[18] : Huang Renjun dan Ujung Cakap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

From Home

•~~•

Mau ngajak pacaran? Nggak dulu, gue mageran soalnya

Njun

Cape ya? Cape raga, cape pikiran, cape hati, komplit sekali seperti mie ayam
HuangRenjun

•~~•

"Serius maneh?!" Makanan di usus buntu Haechan rasanya kaya balik lagi saking kagetnya mendengar pemaparan Renjun tadi.

Sedangkan Jaemin dibuat menganga lebar dengan seonggok baso di dalam mulutnya.

"Kenapa juga gue harus bohong sih, Chan"

"Nggak—maksud gue, Lo beneran udah daftar?"

Renjun menganggukkan kepalanya, membuat Haechan dibuat tidak percaya secara brutal.

"Tesnya kapan?"

"Sekitar bulan Agustus nanti"

"KOK LO BARU BILANG SEKARANG?!"

DEMI APAPUN, JUJUR, RENJUN TUH KAGETAN!

"YA KAN GUE TAKUT GAK LOLOS SELEKSI PERTAMA MAKANYA GUE GAK BILANG DULU!"

"UDAH LULUS SELEKSI PERTAMA LAGI NI BOCAH!"

"Ini Tah Lo beneran ke Jepang?"

"GUE BERASA DI KHIANATI JUN LO GAK NGASIH TAU GUE!"

"Bentar nge—INI MAKSUTNYA JEPANG KAMPUNGNYA MANG ATUY?! BUKAN SINGKATAN DARI JEPARA PALANGKARAYA?!"sungut Jaemin dengan tegas disertai bola mata yang membulat sempurna.

"MANG ATUY DARI JEPANG?!"

"LO GAK TAU?!"

"INI BENERAN JEPANG?! JEPANG YANG BANYAK—"

"—Banyak apa?"

"BANYAK ROBOT?!"

"Wah Gila sih"

"MANG ATUY BENERAN ASLI JEPANG?!"

"KAN GUE UDAH BILANG TADI!"

"PANTESAN BAHASA INDONYA BERLOGAT!"

Jaemin menenggak cepat air mineral yang ia beli sebelum kembali berbicara kepada Renjun "Pantesan kemarin Lo gak daftar UTBK, gue overthinking bokap Lo ngeluarin lagi taring berapa lapis kalau tau Lo gak ikut tes perguruan tinggi negeri"

"Hih merinding gue, Lo ngomong kek begitu"

"Tapi kenapa Lo akhirnya memilih buat ngambil langkah sejauh itu?"

"Gue sangat mendukung Lo Jun, tapi Lo beneran yakin?" Haechan berani bertaruh kalau dia bisa punya penyakit jantung gara-gara dikasih kabar yang mengejutkan mulu.

"Gue udah mikirin ini berkali-kali— gue dapet rekomendasi dari Mang Atuy sekalian bimbingan belajar bahasa jepang juga hehe—jadi dukung gue, juseyo" Renjun menyengir sempurna, tubuhnya ia bungkukkan 90° untuk memberikan hormat ala-ala orang Koreya katanya.

"Kalau sampai Renjun beneran di terima, mau gue botakin kepalanya Pa Jamal" secara refleks Renjun nyekek leher Haechan, yang di cekek malah cekikikan gak jelas.

"Biadab banget temen lu Jaem—tapi gue agak setuju sih, boleh juga ide lo"

"Bukan temen gue"

"Sampai hati Lo giniin gue Jaem?!"

"Bokap Lo tau?" Jaemin meneruskan, tanpa peduli Haechan yang sudah merangung-raung minta di tolong.

"Ya...belum"

"Geblek!" Pada akhirnya Haechan bisa lepas juga.

"Moncong Chan! Pilter! Mau di cekokin Cappucino lagi Lo sama Pa Jepri?"

"Nggak, gue udah nyerah lama-lama di cekokin Cappucino Mulu, gue liatnya aja udah enek!"

"Jam berapa sekarang?"

"Jam 7 lebih 15 menit"

"Si Jeno belum datang batang idung mancungnya?"

"Gue chat dari semalem kaga di bales juga"

"Lah kemana pula dia?"

"Apa gue tanpa Jeno, Jun?"

"Lebay sia!" Kepala Haechan dipukul.

"Anak rajin tumben membolos"

"Idih si kampret ini tidak mengaca!" Renjun jadi ngegas sendiri kala mendengar Haechan yang lagi sok sedih dan galau-galauan gak ngotak.

"Itu kan dulu, sekarang udah tobat walafiat"

"Nanti pulang, gue ke rumah nya dah"

"Lo bisa Jun?"

"Gue sayang Jeno, tapi gue taruhan nyawa kalau balik"

"Anak Papa pulang aja anak papa mah"

"Gue gebuk empedu Lo, Chan!—lagian pulangnya gue harus ketemu dulu sama Pa Yuta"

Jaemin mengangguk paham.

"Kalau ada apa-apa, kasih tau gue"

"Bayar"

"Berapa sih Chan? Harga diri Lo gue beli dah!"

"Anjayyyyyyy"

"Emang kaga nitip surat atau apa gitu ke Lo Jaem?"

"Kaga, tumbenan banget bocah"

"Yowes, gue ikutan ke rumah Jeno"

"Kaga usah, Lo ngerepotin soalnya"

"Ngucap Jaem!—Tapi seru ke rumah Jeno, masakan mamanya enak hwhwhwhwhw"

"Kan, dari niatnya aja udah gak bener"

"Heleh, jadi Lo gak bisa ikut nih?"

"Kaga bisa, sorry banget, nanti gue nyusul dah, gue liat sikon ntar, Lo berdua jangan dulu balik"

"Siap Raden Mas Renjun".

•~~•

"Yang namanya manusia—mereka itu cenderung ingin di dengar"

"Iya kan punya mulut pa"

"Iya makanya sedep banget kalau saya tarik kenceng-kenceng"

"Jangan atuh mwehehehe"

Taeyong greget banget pengen nyekek leher Renjun, tapi tak ia lakukan, laki-laki itu memilih untuk kembali mengelap sepatu hitamnya.

"Makanya kenapa ayah kamu bersikap kaya gitu Renjun"

"Gak ngerti ah pa, ngomongin papa itu topik yang gak akan pernah ada habisnya, saya nyerah"

"Terus mau sakit hati tiap hari gitu?"

"Ya gak gitu juga!"

"Coba buat diskusi—bicara baik-baik"

"Mana mau pa—saya senyumin aja kayanya gula darah papa bakalan naek"

"Emang bahlulnya sampe inti sel"

"Eh ngatain—Istighfar!"

"Sok-sokan nyuruh istighfar! Kemarin yang habis maling permen karet sebungkus gede di meja saya itu siapa?!"

"Hehe...itu mah minjem pa lupa balikin, nanti aja ya kalau saya inget"

"Sampai mana tadi?" Tak mengindahkan ucapan Renjun tadi, Taeyong mencoba kembali mengalihkan perhatiannya.

"Bahlul sampe inti sel"

"Beneran bahlul!"

"Naon atuh pa?!"

"Intinya begini, yang namanya orang tua, biasanya gengsi banget kalau soal mengakui kesalahan—dengan dalih 'ini yang terbaik buat kamu', tapi ada kalanya dimana kita sebagai anak juga bisa mengingatkan—"

"Kita? Payong sekarang sodaraan sama saya?"

Taeyong refleks noyor kepala Renjun.

"Lanjut Pa"

"Mau orang tua, mau anak, ponakan dan sanak saudara lainnya—tetap kita ini adalah manusia—ada kalanya kita khilaf, ada kalanya kita melakukan kesalahan yang perlu diingatkan"

"..."

"Tidak ada salahnya jika kamu memulai untuk terbuka, coba untuk mengalah"

"Kenapa sih pa?"

"Kenapa kamu kurang tinggi?"

"Anj—"

"HEHHHH!!!!!"

"Anjani Pa, pemain sinetron—cieeee otaknya"

"Mau ngomong apa tadi kamu barusan?"

"Haechan suka sama Ryujin"

"Bukan yang itu!"

Renjun kembali menyengir seraya membentuk sebuah love sign dengan tangannya.

"Kenapa harus saya yang mengalah?" kenapa harus saya yang selalu dituntut untuk memahami? Kenapa harus saya duluan?"

"Karena kamu orang yang lebih dahulu diingatkan atau mungkin orang tua kamu juga, tapi saya harap kamu adalah orang yang terlebih dahulu sadar akan hal tersebut"

"..."

"Saya tau ini tidak mudah, tapi tidak ada salahnya untuk di coba"

Anak itu hanya mampu terdiam, mencoba memahami apa yang sedang Taeyong katakan padanya.

"Akan selalu ada sepercik keinginan bagi semua orang tua untuk dapat memahami anaknya—jadi bicaralah"

"Tapi pa—kadang apa yang saya coba untuk sampaikan malah berujung dengan hal yang tidak mengenakkan"

"Inget Jun—yang instan di dunia ini tuh cuman mie sama kopi sisanya ribet"

"..."

"Begitu juga dengan hubungan kamu dan keluarga kamu"

"..."

"Bicara dengan baik, kendalikan diri kamu—tapi saya gak akan maksa kamu buat sesegera mungkin bicara sama ayah kamu itu"

"..."

"—Pastikan diri kamu sudah mampu mengontrol emosi kamu, bersikap tenang tanpa ada amarah"

"Susah atuh pa, saya kalau udah sakit hati kaya lingkaran gunung berapi!— meletus semua!"

"Makanya coba di handle"

Renjun kembali terdiam, terlihat kelu untuk menjawab argumen Taeyong.

"Yang kamu perlukan hanya komunikasi sebenarnya—semakin banyak kamu memendam sesuatu, akan semakin banyak kesalahpahaman yang akan terus tertuju kepada kamu—jadi cobalah bicara dengan tenang"

"..."

"Saya tau kalau kamu gak pernah cerita soal ikut lomba waktu itu—"

"Susah Payong!"

"Saya tau, saya gak nyuruh kamu ngelakuin hal ini sekarang kan? Bisa jadi bertahun-tahun sampai kamu benar-benar siap, atau kamu memilih untuk tidak melakukan hal tersebut—itu hak kamu, lakukan sesuatu yang menurut kamu baik, lakukan apapun yang kamu sukai selama kamu tidak merugikan orang lain"

•~~•

"Kamu mau masuk gitu aja? Habis dari mana kamu?" Renjun baru saja menapakan kakinya di dalam rumah ketika sebuah pertanyaan kini tertusuk begitu saja pada dirinya, membuat anak itu hanya mampu memutar bola matanya dengan jengah.

"Renjun cape Pa—"

"Papa denger kamu gak jadi ikut UTBK?"

Renjun menarik nafasnya berat, tolonglah, Renjun hanya ingin beristirahat, tubuhnya sudah tak bertenaga untuk menopang lelahnya.

"Papa udah memperjuangkan banyak hal! anak gak tau untung!— gak bisa kamu menghargai Papa?!"

"Pa, Renjun cape"

"Terus kamu maunya apa?! mau diem di pinggiran jalan sana?! iya?! itu mau kamu?! kumpul sama anak-anak gak bener itu?!"

"PA!"

"Nurut sama papa!! Papa gak minta apa-apa lagi!! Nggak tau diri sekali kamu!!!"

Bicara Renjun, Bicara

"Pa—"

"Udah cape Papa ngasih tau kamu!! Mau kamu gimana lagi Huang Renjun?!!!"

"Pa—dengerin Renjun sebentar aja— sebentar, cukup 5 menit, udah itu Papa bisa ngelakuin apa aja ke aku, terserah Papa" anak itu kembali menarik nafasnya, bersiap untuk memberanikan diri dengan apa yang ingin ia lakukan.

"Renjun punya passion sendiri pa, Renjun punya hal yang ingin Renjun perjuangkan—"

Ada sedikit jeda selama beberapa saat, ada rasa takut yang juga menyelimutinya sekarang.

Lanjutkan Renjun.

"—Renjun udah memilih jalan yang mau di tuju, tentang impian aku, tentang usahaku, tentang segala hal yang selama ini Papa khawatirkan"

"..."

"—Renjun tau Papa banyak melakukan banyak hal, terutama untuk aku, tapi biarin aku memilih apa yang aku inginkan"

"..."

"Aku ikut seleksi masuk perguruan tinggi di Jepang—bulan Agustus nanti Renjun bakalan melakukan penyeleksian tahap kedua—aku bakalan berjuang lebih keras lagi Pa, jadi tolong dukung aku".

•~~•

Renjun kembali terpaku ke arah luar jendela, menatap burung-burung yang berlalu-lalang pulang ke sarangnya, diiringi dengan mendung yang siap meneteskan air hujan kapan saja dan gemerisik dedaunan yang begitu kentara ketika didengarkan, ada rasa lega yang ia rasakan setelah mengatakan hal tersebut, anak itu dengan segera pergi ke kamarnya setelah memaparkan apa yang harus ia katakan, belum seluruhnya memang, namun Renjun pikir itu akan menjadi sebuah awal yang baik, Ayahnya tak berbicara lagi, laki-laki paruh baya itu hanya dapat terpaku diam menatap lekat ke arah Renjun dengan ekspresi yang bahkan sulit untuk ia pahami.

Renjun kembali berangan, jiwanya kembali berharap.

Semoga membaik, Semoga akan terus membaik.

Ponselnya bergetar beberapa kali, membuat anak itu mengalihkan pandangannya, menatap sebuah nama yang kini terpampang di layar ponselnya.

"Halo Jaem?"

"Lo sibuk gak?"

"Kaga, kenapa?"

"Lo—" Jaemin tak lekas melanjutkan ucapannya, hanya hening yang dapat Renjun rasakan selama beberapa saat.

"Ada apaan?"

"Bisa ngikut kaga?"

"Kemana dulu?"

"Gue sama Haechan jemput"

•~~•

• From Home •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro