[17] : Lee Jeno dan Resahnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

•~~•

Aku sudah terbiasa untuk menerima banyak hal, Ma
Tapi buat kali ini, aku nggak sanggup

LeeJeno

Jangan lupa senyum barisan calon istri orang

—Jeno—

•~~•

—Jeno sempat heran, sebenernya muka Haechan tuh setebal apasih sampai kalau lagi pakai mode reog, urat malunya berasa kecabut entah kemana.

"Dadah Ryujin!"

"Bacot!"

"Eh eh...galak" Haechan tergelak diiiringi dengan cekikin Renjun, Ryujin yang nahan malu setengah mati bergegas untuk melenggang pergi dari kantin, please banget Ryujin pengen pindah sekolah aja!!!.

Jadi ceritanya hari ini Haechan baru aja nembak Ryujin di kantin sekolah, anak laki-laki itu berteriak kencang menggunakan toa yang entah ia dapat dari mana, kini seantero siswa-siswi serta mamang kang jualan sama-sama melongo tidak percaya, yang justru membuat Ryujin memelototinya galak.

"Gak di jawab euy!"

"Santai dong, lagian lo bego banget, udah tau itu nyai satu kalau ngamuk bisa ngalahin Pa Jepri yang ngupas kulit duren pake tangan kosong"

"Kene juga Pa Jamal!"

"Soalnya dia punya perut yang kaya batu bersusun"

"Lagian si Ryujin kan punya cowok Chan" Jaemin mengingatkan dengan wajah yang santai.

"Eh iya aing lupa!" Haechan nampak mengerjap beberapa saat, sebelum ekspresinya berubah tengil seperti biasa "Kalau pacaran mah bisa putus ini, santuy bre"

"Yeu si tolol"

"Eits kalau soal urusan percintaan, gue masih lebih unggul dari Pa Jamal"

"Halah moncong mu cinta-cintaan!"

"KAGET PA!" Renjun hampir aja nampar mukanya Jeno.

"Gak usah teriak!"

"Tapi Pa Jamal juga teriak!"

"Kamu duluan!!!!"

"Terserah Pa Jamal aja deh, yang punya otak ngalah"

"HEH!"

"Mang Cuanki!" Pekikan Renju menimbulkan kerutan dahi yang membingungkan dari Mamang cuanki yang sedang sibuk melayani pembeli.

"Mau pesen cuanki lagi Jang?"

"Nanti aja mang kalau saya banyak duit"

Jaehyun hanya dapat berkacak pinggang dengan jelas dengan tatapan yang perlahan beralih untuk menatap Haechan yang udah mirip mahasiswa-mahasiswa yang lagi orasi, bedanya itu bocah masih pake seragam putih abu doang "Ngapain kamu bawa-bawa toa kek gitu? Dapet dari mana?"

"Itu dari ruang piket guru"

"Satanis sekali bocah ini"

"Yoi, saya emang manusia-manusia penyuka masakan bersantan"

Jujur, Jaehyun cape banget.

"Nanti kembaliin lagi kesana"

"Nggak bisa pa, saya belum dapet jawaban, nanti saya balikin kalau Ryujin udah jawab"

"Hadeuh, Nemu lagi modelan bucin tolol kek gini"

"Laki-laki pemberani tuh mampu untuk sat-set-sat-set dalam perihal ngungkapin perasaannya pa!"

"LIAT SIKON DONG EMANG DIA MAU SAMA KAMU?!"

"JELAS! BAPA GAK LIAT MUKA SAYA YANG—"

"—Banyak daki?"

"Sabar Chan!!" Jaemin jadi panik mencoba dengan cepat menghabiskan permen yupi yang baru saja ia buka bungkusannya.

"JANGAN TAHAN GUE JEN!!!, JANGAN TAHAN GUE!!!!" Dengan tenang Jaehyun hanya mampu menatap Haechan, tangannya terulur untuk meraih sebuah permen Yupi milik Jaemin yang tepat berada di atas meja kantin.

Sedangkan Jeno sendiri hanya menunjukkan jarinya ke arah belakang Haechan.

"Baju Lo nyangkut di paku, Chan"

"Alah siah! robek ntar"

"Hadeuh cape banget ngadepin anak beruk"

"Ada apa ya Pa Jepri datang kemari?" Jaemin kembali bersuara.

"Biasa aja mukanya!"

"Muka saya biasa banget ini pa! Rupawan seperti biasanya!"

"Ini kan kantin Pa Jepri!" Tukas Renjun.

"Emang cuman siswa yang boleh ke kantin?"

"Ya nggak juga sih, siswi juga boleh masuk sini" kini Jeno ikut tersenyum, mencoba untuk memamerkan mata sabitnya.

"Ini wilayah pusaka kita Pa!, Nanti Bapa kena teluh tah mau?"

"Ngaco"

"Silahkan pergi lagi ke arah sana"

"Gak ada tulisannya tuh guru dilarang ke kantin!!!"

"Emang Pa Jamal guru?"

"Saya kan guru!"

"Ah masa?"

"Saya kira cuman figuran doang gitu buat mengganggu ketentraman dunia persekolahan kita"

"Kalian pasti—"

"Apa ternyata selama ini kita tuh punya kekuatan super yang lagi Pa Jamal handle karena takut kita ketauan terus di culik dan kekuatan kita disalah gunakan?"

"Nah kan—kamu habis baca buku cerita yang mana lagi?" Pengen Jaehyun lempar pake sepatu itu mukanya Haechan.

"Ehehehehhehehehe"

"Nyengir Lo Budi!"

Jaehyun kembali menyisir surainya dengan jari, Jaehyun depresi!

"Pa, Baso, jangan pake mie kuning, pake bihun aja—Jangan pake saos sama kecap, disambelin aja sebotol!"

"5 PORSI YA MANG!DI BAYARNYA SAMA PEDOFIL YANG INI"

Laki-laki itu hanya dapat membulatkan matanya lebar-lebar ketika mendengar teriakan kurang ajar dari salah satu siswanya.

"Ampun dah Pa, itu mata lama-lama menggelinding ke kuah baso juga"

"Bayar sendiri, saya ogah jajanin kalian"

"Apa daya dunia ini terlalu kejam bagi kita yang sedang krisis moneter"

"Kita sebenernya mau ngasih tau Pa Jepri sesuatu"

"Saya gak peduli"

"Ewh... sok-sokan gak peduli, giliran di sogok fotonya Teh Yeeeun sumringah banget mukanya kaya ada bunga bangke bermekaran"

Jaehyun beneran ngegebuk Jaemin pake topi yang barusan dia pake.

"AMPUN PA!"

"Apaan"

"Cieelah, jadi siapa yang bucin tolol?"

"Yaudah baksonya bayar sendiri"

"PA JEPRI LOPYU!"

"Geleuh"

"SAYANG BANGET ASLI"

"Ok stop!"

"Stop-stop-stop oh baby, lihatlah diriku yang mencinta~"

"ITU PLEASE ANAK KAMBING! PLEASEEEE!"

"Ampun pa!"

"Kita cuman mau ngasih ini"

"Apaan? Kalian lagi nyogok saya buat gak ngajar kalian lagi? Oh tidak bisa, saya taat aturan gak minat sogokan"

"Suudzan" Jaemin berbisik pada Haechan yang langsung memasang ekspresi wajah yang asem banget.

"Dibaca dulu pa judulnya apa itu"

Emang cuman Jeno yang paling normal disini.

Dengan santai Jaehyun membuka sebuah lembaran HVS yang di lipat kecil macaman uang ongkos angkot yang di remas-remas sampai gak karuan bentuknya.

Planning masa pengembalian hutang Haechan depan kami!

Kurang lebih begitu judulnya

"Bacanya yang digaris bawah aja pa" Haechan menyengir.

"Widihhhhh......udah bisa bikin planning kalian sekarang?"

Jaehyun pengen sujud syukur rasanya.

"Seneng banget dia"

"Seenggaknya ada yang bisa saya lakuin buat kalian"

"Dedikasi bapa bilang gitu apa ya?"

"Gak usah kurang ajar, saya gelepak juga pala kamu bolak-balik!"

"Awokwkowkwowkowk"

"Nanti saya baca"

"..."

"Bareng Yuta"

"Bapak?"

"Apa?"

"Gak beneran homo kan?"

"Kalau saya homo kenapa? Kamu mau jadi partner homo saya?"

"MON MAAP PA SAYA MASIH NORMAL MENUJU JALAN YANG RURUS"

"Cih, yang kemarin peluk-pelukan sama Renjun itu siapa?"

"TOLONG BEDAKAN YA PA ANTARA MEMELUK SAMA MERANGKUL!"

"Saya gak sabar banget nunggu kalian lulus"

"Nanti kangen"

"Gak bakalan"

"Heleh awas ya besok nangis-nangis sedih sambil bilang 'Gimana nanti si Echan sama Jaemin' huhuhuhu"

"LIAT DI MANA?!" Jaehyun kembali meninggikan suaranya ketika menyadari kalimat yang baru saja Haechan ucapkan tadi.

"My Bestie Mamang Atuy dengan sejuta Bimilnya"

"Anjay gurinjay! Segitu sayangnya Pa Jamal sama kita, jadi pengen berak!"

"Makanya Pa kalau ngamer tuh di rumah Bae dah"

"That's Haram Brodi"

Jaehyun gak jadi bersyukur.

•~~•

—Jeno paham tidak semua hal di dunia ini akan berjalan sempurna tanpa adanya sebuah hambatan, Jeno juga paham bagaimana nasibnya selalu menguji segala sesuatu yang telah ia rencanakan, tapi yang masih anak itu sadari, bahwa akan selalu ada keajaiban nyata apabila ia ingin percaya—apabila ia mampu untuk berserah.

Dan pada legamnya malam ini, Jeno melakukannya, berserah kepada sang pencipta dengan keyakinan penuh untuk sedikitnya mengurangi rasa resah yang kembali menyelimuti jiwanya.

Keluarganya merupakan patah hati pertama yang pernah ia rasakan, patah hati yang berangsur parah untuk setiap hari-hari yang pernah ia lalui.

Terlalu ragu untuk membela sesuatu atau terlalu takut untuk menentukan apa yang harus ia lakukan, perpecahan dalam keluarga yang seolah ikut serta memecahkan rasa damai dalam hatinya.

Dulu sekali Jeno pernah menangis sesenggukan sebab tidak ada satupun dari orang tuanya yang hadir dalam pembagian raport, ibunya sibuk bekerja seharian, dan ayahnya yang seakan lenyap entah kemana.

Dari waktu ke waktu, tanpa sadar anak itu justru membentuk sebuah tembok besar yang tidak bisa di tembus oleh siapapun, memasang wajah tersenyum yang seharusnya ia tangisi, garis matanya yang melengkung menjadi tipu daya handal untuk menutupi segala umpatan yang berkumpul di ujung lidahnya.

"Jen?"

"Amu Jungwoo?—Kapan Dateng?"

"Tadi Amu ketok-ketok di bawah gak ada yang jawab, eh pintunya gak di kunci"

"Maaf, Jeno gak dengar"

"Nggak apa-apa"

"Mama gimana?"

"Uhmmm...gini—yang dokter bilang tadi" Jungwoo sedikit berdeham, ada rasa ragu ketika menatap raut wajah Jeno yang begitu resah.

"—Mama kamu mengalami penyumbatan pada pembuluh darah di jantung—harusnya mama kamu melakukan perawatan rutin dari beberapa bulan yang lalu"

"—Berarti Mama sakit udah lama?"

Laki-laki itu mengangguk "—Dokter bilang baru ketahuan sekarang, Dokter juga sempat tanya kenapa gak melakukan pemeriksaan ketika rasa sakitnya mulai terasa dulu"

Anak itu kini tertunduk lesu, ada rasa bersalah yang amat dalam ketika ia menyadari bahwa ia tidak dapat menjaga ibunya dengan baik.

Bahkan hanya untuk memastikan apakah ibunya dalam keadaan yang sehat saja, Jeno tidak bisa.

Jeno merasa gagal.

"—Amu yakin Jeno kuat, semuanya bakalan baik-baik aja, semua sayang sama Mama kamu, Amu juga—"

Jungwoo mencoba untuk merangkul tubuh Jeno, tak ada yang dapat anak itu katakan, tak ada satu respon pun yang dapat Jeno bagikan, ada lubang hitam yang seakan menembus dadanya, menghilangkan segala rasa yang seharusnya ia sorakan, Jeno hanya merasa hampa, ada yang menghilangkan.

"—Jen, Mamamu harus masuk ruangan ICU, tapi tenang aja udah Amu urus semuanya, kamu gak usah khawatir ya?"

"..."

"Tapi Jeno dengerin Amu, Mama kamu lagi butuh dukungan kuat, jadi Jeno juga harus lebih kuat"

"..."

"Jeno bisa kan?"

•~~•

Tadinya Jeno akan segera berangkat untuk bergantian menjaga ibunya di rumah sakit, anak itu berjalan perlahan untuk menghampiri pamannya dan sang istri yang sedang duduk dengan lelah di ruang tamu.

"Saya perlu istirahat sebentar"

"Aku antar kembali, kalau kamu mau kesana"

"Iya, Terimakasih—" Jungwoo mengeratkan genggaman tangannya kepada sang istri yang tak kalah khawatir dengan dirinya, sedangkan Jeno hanya dapat mematung dibalik tembok, ada sepercik hal yang membuatnya memilih untuk berdiam diri sebentar disana.

"—Saya cuman sedikit lelah, jadi biarin saya mendinginkan kepala saya sebentarr saja—sudah ini, ayo kita bawa Jeno ke rumah sakit"

Perempuan di sampingnya hanya mengangguk dengan patuh memahami bagaimana mendungnya atmosfer malam ini "Tadi Dokter bilang apa?"

"Aliran darah ke otak Teh Gina mengalami penurunan, begitupun detak jantung yang terkadang tak dapat terdeteksi—saya gak tau lagi, saya cuman bisa berdo'a, apapun yang terbaik menurut-Nya, saya cuman meminta itu"

Jeno nampak tercekat, ada yang menerobos jatuh begitu saja dalam hatinya, ada rasa gundah yang secara bertubi menghantam batinnya, ada gemuruh amarah yang bahkan anak itu sendiri tak bisa pahami.

"Jeno tau?"

"Saya belum bilang ini—Jujur saja, saya juga takut, saya takut kehilangan—"

"Hush...Jangan ngomong gitu ah"

"Saya lebih takut lagi kalau justru Jeno nggak bisa sanggup dengan ini semua"

"..."

"Dia nggak punya siapa-siapa lagi, Ra, apa lagi yang bisa saya perbuat?"

•~~•

• From Home •

•~~•

ToBeContinue

~~•






FYI : mungkin sebagian udah ada yang tau, "Amu" itu paman ya gais :>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro