[8] : Na Jaemin dan Waffle

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home

Kamu tuh gak cocok suka sama bunga
cocoknya suka sama aku

NaJaem

Semesta selalu memiliki cara yang adil dalam menentukan imbalan

—Na Jaemin

~~•

—Pagi ini Haechan dan juga Renjun sama-sama dibuat melongo tidak percaya kala melihat Yuta yang sedang duduk santai di atas meja guru seraya mengikat tali sepatunya, laki-laki berjaket kulit itu sedang menatap ke arah Jeno yang baru saja mengunyah tempe goreng buatan ibu kantin dan Jaemin yang hampir saja menyemprotkan minuman berperisa cokelat dari dalam mulutnya yang baru saja datang dari kantin.

"Atuy kok disini?!"

"Jadwal les kita siang kan tuy?!"

"Kok ngajar?!"

"Terus kenapa hari ini atuy yang ngajar?!"

"Siang ini saya gak bisa ngajar—"

"Pa Jam—"

"Jaehyun juga ada urusan, jadi nanti siang gak ada les"

Keempat anak itu mengangguk paham.

"Tapi berhubung saya pagi ini kosong, jadi saya gantiin dulu jadwal guru pelajaran kalian yang lagi sakit"

"Alhamdulillah"

"Minta disumpahin balik emang!"

"Astaghfirullah, kualat Jun kualat"

"Gue dari tadi cuman nafas doang ya Chan! Kaga usah ngajak gelud"

"Gak ngajar juga gak apa-apa padahal, kita bakalan belajar kok"

"Sampah banget bahasa kamu"

"Eh gak tau aja dia bre!"

"Ngerjain PR aja masih alesan ketinggalan di rumah, sok-sokan mau otodidak! Yang ada kalian riuh-ricuh berantakin kelas!"

"Kan ada Renjun"

"Kok gue?"

"Lo piket hari ini Njun"

"Hari ini Kamis Chan, elu yang piket"

"Masa sih? Bukannya gue Selasa?"

"Lo ada masalah apa sih sama gue Chan?perasaan gue kaga pernah dah selingkuh sama nyokap Lo"

Yuta memutus perdebatan dengan melempar sebuah kapur ke jidat Renjun dan Haechan, yang dibalas dengan satu cengiran yang kalau kata Yuta udah persis Kuda kena rabies.

"Pokoknya gak ada bantahan, belajar yang bener biar cepet lulus"

"Nanti kangen"

"Ngapain saya—"

"Pacar saya yang kangen"

"Lah? Tu cewek kelilipan krikil segede bola sepak apa gimana?"

"Jangan remehkan gwa!!!"

"Sejak kapan Lo punya cewek?"

"Ada-lah, di another nation"

"Jangan bilang—" Jeno memicing curiga.

"Imagination" Haechan langsung ditabok sama Renjun.

"Udah gue duga"

"Emang gak ada yang bisa gantiin lagi?" Tanya Jaemin seraya mengunyah gehu goreng yang berada didalam plastik yang ia beli tadi.

"Maksudnya kalian gak suka gitu kalau saya yang ngajar?"

"Bukan gak suka sih pa, cuman kita juga kan butuh pemandangan yang menyejukkan hati pas lagi belajar"

"Modelan Momo Twice misalnya pa"

"Via Vallen juga yang melokal dan nampak sedikit bisa di gapai juga gak apa-apa pa"

"Sekalian deh member-member Red Velvet pa, dijamin betah, bisa di uji coba pada baju kotor"

"Dikata iklan Rinso uji coba pake baju kotor!"

"Gimana ya soalnya kalau liat atuy tuh bawaannya kaya melihat penghuni neraka aja gitu"

"COBA BILANG APA SEKALI LAGI?!"

"Maksudnya gini loh tuy, Kalau ngeliat atuy tuh kaya menggebu-gebu dengan semangat muda yang sangat membara kaya api neraka"

"Kaga gitu juga pengibaratannya bocah kampret"

"Coba deh Pa Yuta liat di sekeliling Bapa"

"Ogah, sekeliling saya bikin enek"

"Itu lah makanya tobat pa—"

"SEKELILING SAYA TUH DI PENUHI SAMA KALIAN MAKANYA ENEK!"

"Ini Atuy alergi cowok ganteng apa gimana?"

"Siapa yang bilang kalian ganteng"

"WOY! GUE GANTENG NGGAK?!"

"NGGAKKKKKKKKK!"

"Gue gak ganteng Jen?"

"Bukan nggak, tapi dikit"

"Untuk apa rupawan kalau tidak humoris"

"Untuk apa humoris kalau tidak ada uang"

"Udahlah bre yang paling bener emang lu kudu Humoris, Tajir dan Good looking"

"Kalau gak ada akhlak buat apa?"

"Emang atuy punya akhlak?"

Pertanyaan Jaemin tadi langsung dibalas dengan jitakkan tajam.

"Aduh Pa! kepala saya cuman satu kalau dijitak gitu tiba-tiba kebelah tambah umur gimana?"

"Hah?"

"Jadi kepala dua"

"Beda istilah Jaem! bikin emosi gue aja lo!"

"Emang kadar emosi lo tipis Jun macaman dompet atuy"

"Kan!—emang kaga ada kapoknya kalian tuh"

"Itu yang biasa di pake buat isian kasur bukan?"

"Itu kapuk bego"

"Udah bacotnya?"

"Belum"

Yuta berdecak kesal "Buka bukunya sekarang, gak ada lagi bacot!!"

•~~•

"Ini jadwal olahraga kelas kenapa harus siang sih?" Renjun berjalan gontai ketika melewati lorongan kelas, menghampiri Jeno yang sedang menyandarkan tubuhnya di tembok dan Jaemin yang sedang berjongkok melamuni gersangnya lapangan sekolah.

"Belum pemanasan ae ketek gue udah basah"

"Woe! Gue buta dadakan" Ujar Haechan yang baru saja datang dengan dahi yang mengernyit serta lengan yang sibuk mengais dua buah bola voli berwarna biru-kuning, sesaat setelah anak itu menyusuri lapangan untuk membantu guru olahraganya membawa peralatan yang akan dipakai hari ini .

"Panas pisun euy!"

"Takut item gue"

"Lo udah item Chan"

"ini tah namanya Tan!"

"Itu nama pemain film Cha Eun-Sang bukan?"

"Saha Cha Eun Sang?"

"The Heirs ege judulnya"

"gue tau nya cuman si Cha Eun-Sang"

"Nama aslinya Park Shin Hye"

"GUE CUMAN TAU CHA EUN SANG!"

"Eh lo tau kaga?"

"Chan sumpah lo dari kemarin"

"Gelar Bigos emang pas banget buat Haechan"

"Hah big boss? ganteng dong aing"

"Bigos budek bigos"

"Apaan tah"

"Biang gosip"

"Sebenernya gue menghindari dengan apa yang namaya perghibahan, tapi kaga tau dah ada aja yang ngasih tau gue, sebagai pendengar yang baik jadi gue selalu menyimaknya dengan seksama"

"Terus disebarin"

"Itu bukan ghibah tapi berbagi informasi"

"Hooh informasi gak guna"

"Beneran cuk, itu kata anak IPA ada yang percobaan main game horror sambil nyuguhin es teh manis airnya tiba-tiba berkurang"

"Please ya ini gue yakin si Haechan waktu SD percaya banget dulu sekolahnya bekas rumah sakit"

"Bekas kuburan Jun"

"HAI CANTIK!" Haechan berteriak lantang tak kala mendapati Ryujin yang baru saja menyelesaikan pelajaran olahraganya.

"Cewek gue cantik banget ya kalau udah pasang muka jutek gitu" Haechan menarik turunkan alisnya mencoba menggoda Ryujin yang sudah dibuat badmood parah.

"Makan tuh muka jutek!"

Ryuji melemparkan sebuah bola basket yang ia bawa ke arah Haechan yang tepat mengenai kepalanya, membuat Haechan terhuyung sebelum akhirnya terjatuh, hal tersebut justru menimbulkan kehebohan dari Renjun, Jaemin dan juga Jeno, ketiga anak itu berteriak heboh seraya menatap galak ke arah Ryujin. 

"WAH! WAH! WAH! SI HAECHAN PINGSAN!"

"TANGGUNG JAWAB LO GIMANA SIH INI TEMEN AING PINGSAN!"

"Apa sih orang cuman pelan"

"YA INI TEMEN GUE GIMANA WOY"

"Mati kali"

"WAH PARAH BANGET NYUMPAHIN"

Teriakan ketiga anak laki-laki itu membuat Ryujin dilanda frustasi hebat "IYA!IYA!"

"Woy Bangun"

"DIH BANGUNINNYA GITU"

"Bangun bego temen-temen lo berisik"

Haechan yang tak kunjung terbangun membuat gadis itu sedikit khawatir, masalahnya adalah ketiga teman Haechan inilah yang nampak begitu memojokinya.

"Lo beneran gak pingsan kan?"

"Hayoloh mati"

"Haechan?, Woy lo beneran pingsan?!"

Ryujin menatap ke arah Renjun, Jaemin dan Jeno, mencoba untuk meminta tolong, tapi ketiga anak laki-laki itu malah memalingkan wajahnya ke arah lain, sumpah pengen Ryujin tonjok aja muka mereka satu-satu.

"Ish...Haechan!"

"Aduh, apanih cerah banget—ehhhh pantes cerah, ada masa depan gue ternyata—pukul lagi aja muka gue gak apa-apa jin gue rela"

Ryujin yang emosinya udah tumpah beruah kemana-mana kini sedang menatap penuh dendam ke arah Haechan yang lagi cengengesan gak jelas, membuat gadis itu mengepalkan genggamannya seerat mungkin sebelum akhirnya mendaratkan pukulannya ke arah perut Haechan.

BUG!

Iya,  permintaan Hechan beneran dikabulin sama Ryujin.

•~~•

"Kamu mau?" Jaemin menyodorkan sebungkus kue waffle coklat ke arah gadis kecil dengan rambut yang dikuncir dua, anak itu hanya menatap ke arah tangan Jaemin yang terulur sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya.

Tadinya mau Jaemin makan aja itu waffle tapi ini bocah ekspresinya malah bikin Jaemin gak enak buat makannya.

"Kakak punya dua, ini—ambil aja"

"Nggak—nanti aku dipukul"

Jaemin dibuat mengernyitkan dahinya tak kala mendengar jawaban anak tersebut"Kenapa harus dipukul?"

"Shhhtttt....Nanti banyak yang marah sama aku"

"Gak ada yang berani marah atau pukul kamu" Tak kunjung mendapatkan jawaban, akhirnya anak laki-laki itu memilih untuk membuka bungkusan dari waffle yang ia pegang kemudian menarik tangan gadis kecil tersebut.

"Gak usah takut—makan aja"

Selama beberapa saat anak itu hanya terdiam menatap ke arah Jaemin yang sedang tersenyum.

"Nama kamu siapa?"

"Nama aku Nana, Kakak liat? Gelang aku ada tulisannya, mi-lik Na-na"

Jaemin terhenyak untuk beberapa saat kala mendengar jawaban dari anak perempuan tersebut.

"Kalau Kakak, nama kakak siapa?"

"Sama persis dengan apa yang ditulis di gelang kamu"

"Nana juga?"

Jaemin mengangguk, Anak perempuan itu hanya terdiam sedari tadi memperhatikan wajah tersenyum Jaemin yang hampir dibuat pegal.

"Ka Nana?"

"Hmm?"

"Bulu mata Kak Nana cantik" 

"..."

"Kalau aku nggak, Kak Nana laki-laki tapi bulu matanya cantik, aku gak cantik"

"..."

"Nggak ada yang mau temenan sama aku, katanya aku jelek"

"Siapa bilang? Nana cantik kok"

"Nggak—Aku jelek"

"Liat sini" Jaemin menggenggam lembut tangan gadis kecil dihadapannya ini "Nananya Kakak cantik banget kok, coba sekarang senyum"

Anak itu masih terdiam, matanya hanya terpaku pada manik mata Jaemin yang sedang menatapnya lembut.

"Senyum, kaya gini"

Secara berlahan anak dihadapannya mulai menarik seutas senyumnya, membuat Jaemin melebarkan senyumannya.

"Cantik banget".

"...."

"Ka Nana punya satu cerita, kamu mau dengar?"

"Suster sering bacain aku cerita juga—Kak Nana bisa baca cerita?"

"Bisa dong, tapi gak usah pake buku cerita"

"Cerita apa?"

"Judulnya Beauty and the Beast"

"Mobil panjang?"

"Beast bukan bis" hampir saja Jaemin tabok kalau bukan anak kecil"—cerita tentang si cantik dan si buruk rupa—"

"Nanaaaa?"

"Ka, aku di panggil, nanti kita cerita lagi ya" Anak perempuan itu melambaikan tangannya dan segera berlari ke arah seorang wanita berseragam putih yang baru saja memanggilnya.

"Namanya sama banget kan kaya kamu" Jaemin sendiri justru dikejutkan oleh kedatangan Taeil dibelakangnya.

"Pa Taeil"

"Dia pasien saya"

"Anak sekecil itu?"

"Kamu kira?"

"Nggak seharusnya anak sekecil itu ada disini"

"Hanya jika dunianya baik-baik saja Jaemin"

"Apa yang bikin anak itu ada disini?"

"Tebak"

"Trauma kecelakaan?"

"Uhm...bukan"

"Anak itu mungkin ngeliat sesuatu sampai kaya gitu?"

Taeil memilih untuk duduk disamping Jaemin, laki-laki itu menarik nafasnya sejenak sebelum akhirnya memilih untuk menjawab pertanyaaan Jaemin tadi.

"Anak itu salah satu korban perundungan"

"Orang tuanya tau?"

"Dia gak pernah mau cerita"

"Terus?"

"Orang tuanya sempet ngira dia kerasukan, padahal mentalnya yang hancur parah, lucu bukan?"

"Kenapa?"

"Menurut kamu?"

"Mungkin temen-temennya gak bermaksud begitu, Pa Taeil tau, anak sebesar itu lagi suka bercanda"

"Ada yang salah sama cara bercanda mereka, gak semua orang bisa menganggap candaan itu sebagai lelucon"

Jaemin mengangguk setuju.

"Lagipula semua orang punya kadar yang berbeda dalam menangani mentalnya, tidak semua orang kuat, tidak semua orang mampu untuk menahannya"

"Terus kenapa anak itu gak pernah mau cerita?"

"Coba kamu analisis jawabannya"

"Anak itu gak nyaman karena orang tuanya gak pernah percaya sama apa yang dia ceritakan?"

"Ya, jawaban kamu masuk akal—Orang tua punya peran besar dalam mendidik anaknya Jaemin, hal itu gak akan terjadi apabila ada kesalahan yang dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya sehingga memberikan jarak antara dirinya dan anak"

"Cukup simple—Jangan nangis!, Sering dengar?"

Jaemin mengangguk.

"Kata-kata yang akan membentuk sebuah kepribadian bagi anak untuk memendam apa yang dia rasakan, anak itu akan menjadi terbiasa memendam segalanya sendirian bahkan hingga ia dewasa"

"Anak itu sengaja dibawa kemari?"

"Saya yang nemuin dia"

"Waktu itu saya gak sengaja ngeliat sedikit kericuhan dan orang-orang hanya menjadikannya sebagai bahan tontonan, jadi saya membawanya"

"Apa yang membuat Pa Taeil ngelakuin ini semua?"

"Maksud kamu?"

"Pa Taeil gak pernah meminta apapun, kepada saya dan mungkin untuk keluarga anak itu atau pasien lainnya"

"Coba kamu pikir—apa yang terjadi apabila semua hal di dunia ini harus selalu mendapatkan imbalan?"

"Cara kerja semesta kan begitu"

"Iya, dengan adil, sesuai dengan konsekuensi, baik itu imbalan atas kebaikan ataupun balasan akan keburukan"

"..."

"Kalau manusia justru tidak bisa bertindak sebijak mungkin dalam hidupnya, untuk apa dia dilahirkan di dunia?"

"Merusak?"

"Merusak, jika profesi saya hanya dapat membantu orang-orang dengan imbalan tanpa peduli dengan sisi lain dari kehidupan, tanpa peduli pada mereka yang terlihat kecil namun berhati besar, itu tandanya saya seorang perusak Jaemin"

"..."

"Kita nggak pernah tau apa yang telah mereka jalani, seberapa jauh langkah mereka sehingga bisa sampai pada titik ini, itulah fungsi sesungguhnya ketika kita mampu untuk memahami betapa uniknya manusia"

"..."

"Apapun keinginan kamu, apapun yang sedang kamu impikan, yang harus menjadi acuan utama adalah bagaimana caranya agar kamu bisa bermanfaat untuk orang lain, bukan hanya untuk mendapatkan kehidupan tua yang damai di masa depan tapi bagaimana caranya kamu memanfaatkan apa yang kamu punya untuk menjalani peran sebagai manusia"

Taeil menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya beralih untuk beradu pandang dengan anak laki-laki di sampingnya ini.

"Saya belajar itu semua dari Taeyong"

Jaemin menatap lekat ke arah Taeil yang sedang tersenyum, pandangannya kini memilih untuk melihat ke arah langit malam yang tertutup oleh awan dengan sempurna, tak membiarkan serbuk-serbuk bercahaya untuk menunjukkan dirinya.

Malam ini memorinya kembali berputar, memperlihatkan wajah lelah Taeyong yang pada saat itu menemaninya bersama dengan sepiring martabak cokelat kacang dan sebotol minuman teh berperisa buah markisa yang diletakan tepat di hadapan Taeil kala itu.

"Dulu gue pernah dengan bangga terlahir dari orang tua yang berkecukupan"

Taeyong mulai mengoceh yang langsung ditanggapi baik oleh Taeil.

"Dan Lo tau apa yang terjadi?—gue merasa bahwa gue selalu menjadi yang paling tinggi untuk dapat melakukan banyak hal sesuai dengan apa yang gue inginkan"

"Terus lo nyesel?"

"Iya—Perasaan itu sendiri yang akhirnya menjadi bumerang buat gue, rasanya gue kehilangan segala rasa syukur atas kehidup gue, tanpa menahu, tanpa sadar, kalau ternyata ada alasan besar kenapa gue di lahirkan seperti ini"

Taeil memperhatikan Taeyong yang kini bersandar pada tembok, matanya terpejam seolah semua kata yang laki-laki itu keluarkan berada diluar kendalinya.

"Karena gue punya peran Bang, gue punya peran untuk menjalani hidup, bukan hanya untuk gue, apa yang gue miliki sekarang ternyata nggak semua menjadi hak gue, gue gagal menjadi manusia"

"..."

"Karena sampai detik ini gue cuman seorang makhluk perusak"

"..."

"Kayanya gue sedikit terlambat menyadarinya, tapi gue masih bisa merubahnya, mungkin?"

•~~•

• From Home •

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro