[7] : Lee Jeno dan Pohon Mangga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

Buah mangga hasil maling itu manisnya another level
—JenoKangNemuManggaDiPohon—

Kata Pa Atuy 'No mikir No Life'
—Jeno aja—

•~~•

—Jeno bergegas untuk kembali pulang ke rumahnya setelah mengetahui bahwa ibunya sudah pulang telebih dahulu sesaat setelah Jeno sampai di rumah sakit yang sempat diberitahukan oleh seseorang yang beberapa waktu lalu mendatanginya ke sekolah.

"Eh...anak mama udah pulang" ucap seorang wanita paruh baya yang terlihat sedang merapihkan pakaian kering di sofa ruang tamu ketika mendapati Jeno yang baru saja masuk dengan nafas yang terengah.

"Ma, bisa gak sih kalau ada apa-apa mama tinggal bilang sama Jeno?"

"Ada apa-apa gimana maksud kamu?"

"Mama masih nanya maksud Jeno? terus kenapa mama bisa sampe drop gini?—Ma, apa susahnya bilang sama Jeno, kalau mama sakit mama bilang, kalau mama sedih mama bilang, sesusah itu ya bilang sama Jeno?"

"Kamu kenapa sih, dateng-dateng—"

"Jeno susul mama ke rumah sakit"

Wanita itu nampak terhenyak, ini bukan sekali atau kedua kali, tapi anak itu justru terlampau mengetahui banyak hal, tidak jarang ia melihat Jeno yang justru terlihat marah ketika mengetahui suatu hal yang bahkan sulit bagi wanita itu ungkapkan, tak sesekali wanita itu justru mendapati jeno yang merutuki dirinya sendiri atas kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahannya, seberapa keras apapun wanita itu menutupinya akan semakin cepat bagi Jeno untuk mengetahui segalanya

"Mama gak mau kamu kepikiran—"

"—Justru kalau mama gak bilang kaya gini, Jeno lebih kepikiran"

"Shhhttt...udah ya, mama masih kuat kok, gimana sekolahnya? kamu fokus belajar biar—"

"Gimana Jeno mau fokus belajar kalau mama gini terus"

"Jen—"

"Ma—Jeno bukan anak-anak lagi, ini udah giliran Jeno yang harus bisa jaga mama, Kalau ada yang sakit bilang ma, Jeno lebih sakit kalau mama tiba-tiba gini"

"Lebay kamu, Mama cuman kecapean"

"Kecapean sampai pingsan dijalan? kecapean sampai harus dibawa ke rumah sakit?" Jeno menatap lekat ke arah ibunya, mencoba untuk mencari pengakuan yang selama ini ingin ia dengar.

"Jeno cuman punya mama—kalau nyatanya yang Jeno rasakan Mama cuman berjuang sendiri, apa gunanya Jeno buat mama?"

"Hush...kok ngomongnya gitu—Jen, Mama beneran nggak apa-apa kok, besok juga sembuh, kamu belajar aja yang bener, yang fokus, biar bisa masuk perguruan tinggi"

"Jeno gak mau kuliah"

"Loh, kenapa?"

"Jeno mau kerja, biar mama gak usah kerja lagi"

"Mama mau kamu kuliah"

"Nggak ma"

"Jeno"

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau cuman bikin Mama masuk rumah sakit?"

"Kalau kamu bisa sekolah tinggi Mama juga yang bahagia"

"Tapi Jeno nggak ma, Jeno harus ngeliat Mama kaya gini Jeno gak bisa"

"..."

"Ini bukan kali pertama mama kaya gini, Jeno gak akan se-khawatir ini kalau mama gak sering bohong sama Jeno, sebenernya Jeno ada gunanya gak sih ma? Jeno ngerasa kalau Jeno cuman bisa jadi beban doang buat mama"

"Kamu gak pernah jadi beban buat mama jangan mikir kaya gitu ah" Wanita itu segera menarik tubuh anak laki-lakinya untuk ia dekap seerat mungkin, mencoba untuk mematahkan pikiran buruk yang sedang berkecambuk dalam pikiran anaknya itu.

"Mama sayang sama Jeno"

•~~•

"Sampe kaga bisa jalan"

"Sumpah lo?!"

"Sumpah!" Seru Haechan seraya mengelap tangannya yang penuh dengan bubuk cabai ke seragam Renjun yang langsung dibalas dengan toyoran penuh dengki.

Maklum kalau siang jajanannya modelan kerupuk-kerupuk yang di goreng setengah mateng ditambah cabai bubuk dan setumpuk micin.

"Lah beneran?!"

"Gila!"

"Lo tau darimana Chan?"

Sejenak Haechan menegak air mineral yang ia genggam sebelum akhirnya mengelap sisa air di bibirnya dengan lengan dan  kembali memasang ekspresi serius.

Ekspresi yang cuman bisa dilihat kalau dia punya cerita buat di ghibahkan.

"Dari kelas sebelah"

"Gue gak mau ghibah—dosa" Jaemin sok tidak peduli.

"Lo tau gak udah gitu gimana?"

"Gimana?" Tapi tetep kepancing.

"Di drop out—orang tuanya gak rela anaknya sampe kaya begitu"

"Kena tulang ekor pasti" 

"Tau darimana?"

"Tadi kan si Haechan bilang sering ditarik kursinya pas mau duduk, kalau sampai gak bisa jalan berarti kena tulang ekor" Jeno menjelaskan.

"Serem euy bocah jaman sekarang"

"Iya termasuk kalian" Renjun si langganan kaget langsung terlonjak tak kala mendengar suara Yuta yang sedang berdiri dengan lengan di dalam saku celana jeans yang Haechan yakini cuman diganti dua bulan sekali, itu juga kalau inget.

"Eh Atuy, udah lama bre berdiri disitu?"

"SIALAN!!!"

"Ngegas mulu heran"

"ngeselin mulu heran"

"Eits..jadi guru harus sabar dong"

"Jadi murid yang patuh dong"

"Ngejawab teros!"

"HEHH!!!"

"Hwhwhwhw sayang atuy"

"Jijik"

"Jijik ceunah ngab" Haechan tergelak bersama dengan Jaemin disampingnya.

"Kalau gak lulus jangan salahin saya ya"

"TB TB"

"Takut Banget~"

"TBL TBL TBL"

"Takut Banget Loch~"

Pengen ngumpat tapi nanti dicontoh, Yuta membatin.

"Sebenernya saya lagi males ngajar"

"kalau kita emang udah dari dulu males belajar sih pa"

"Nggak aneh"

Yuta beranjak untuk ikut duduk lesahan bersama keempat anak itu yang dengan ajaibnya kini memberikan sebuah senyuman yang SUMPAH RENJUN, JENO, HAECHAN SAMA JAEMIN MALAH DIBIKIN NGERI.

"Jangan senyum pa!"

"Terlalu ganteng?"

"Nggak, Serem, itu kalau Aram liat aja udah kocar-kacir nyari tempat persembunyian"

"Sinting!"

"Yang tukang ngegas nanti jakunnya jadi segede batok kelapa tah pa ,mau?"

"Gimana kalau saya sentil aja itu jakun kamu biar jadi segede batok kelapa?"

"GILEEE SEREM!"

"PENYIKSAAN ITU PA!"

"GELAP-GELAP!"

Yuta hanya dapat memutar bola matanya dengan jengah.

"Kita ngobrol-ngobrol aja gimana?"

"Biasanya—"

"—Beli" Ucap Yuta seraya menjulurkan uang lembaran berwarna biru ke arah Renjun yang membuat keempat anak itu justru dibuat melongo tidak percaya "Pa?!"

"Hoh?"

"3 + 25 × 5 berapa?"

"140"

"Oh, masih sehat"

"Ah...salah, 128"

"Fiks Sakit!!!!!"

"Beli apa kek sana" Yuta tak memperdulikan wajah-wajah yang sedang menganga lebar yang dibuat semenyebalkan mungkin dari keempat anak di sekelilingnya ini.

"Rokok boleh?"

"Boleh, tapi nanti rokoknya harus dikunyah"

"debus debus"

"Mamang atuy mau roleplay jadi kuda lumping?"

"Jadi Reog aja"

"Gak jadi nih?"

"Jadi!" Renjun langsung menyambar uang yang disodorkan Yuta dan segera beranjak pergi bersama Haechan yang ikutan heboh kalau diajak jajan apalagi gratisan kek gini.

"Ok, sambil nungguin Haechan sama Renjun balik"

"Atuy beneran gak lagi sakit?"

"Mau di pijitin gak kepalanya? Berhubung tadi saya nemu minyak urut di UKS"

"Maling itu namanya bukan nemu"

"Hwhw"

"Kalau kalian dikasih pilihan—"

"—tinggal itung kancing"

"Dengerin dulu curutttt!"

"Eh ada yang ngamuk Jen"

"Bodo amat!"

"Ok pa, gimana?"

"Kalau—"

"—Kita di kasih pilihan?"

"Hooh, kalau kalian dikasih dua pilihan yang sama pentingnya, apa yang kira-kira bakalan kalian lakuin?"

"Pa"

"Apa?"

"Kenapa sih?"

"Hah?"

"Heh-hoh"

"Bocah geblek!"

"SANTE DONG!"

"Apaan cepet"

"Kenapa Pa Yuta kalau ngasih pertanyaan suka berbobot gitu sih pa?"

"Biar kalian mikir"

"Cape mikir terus"

"Kalau gak mikir kalian gak hidup"

"Iya juga"

"Gak dijawab sekarang juga gak masalah"

"Ok lah—coba sekarang saya yang tanya aja sama Bapa"

Yuta berdeham.

"Coba kasih saya jawaban tentang 'kenapa kita dilahirkan di dunia'?"

Yuta tampak berfikir sejenak, matanya menerawang ke arah lain mencoba untuk menyusun kalimat yang mudah untuk di mengerti oleh anak-anak ini.

"Ok— ada hal penting yang perlu kalian ketahui, bahwa sebenarnya kita sendiri tidak bisa memilih untuk lahir atau tidak lahir di dunia ini, kita bahkan tidak bisa memilih seandainya kita dilahirkan, kita akan menjadi apa, dan yang perlu kalian sadari adalah bukan atas keinginan siapa kalian di lahirkan tapi untuk apa keberadaan kalian ini ada di dunia"

Pernyataan dari Yuta tadi membuat Jaemin dan Jeno sama-sama terdiam, pikirannya mencerna segala ucapan laki-laki itu untuk di renungi.

"Karena tadi kamu nanya, saya jadi ada mood buat ngajar"

"Gimana pa?" Jeno jadi ngebug, Jaemin masih belum sadar, terlalu fokus merenung sampe dikira kesambet sama Jeno.

"Kita belajar dulu bentar"

"DIH! YA GAK BISA KAN PA YUTA UDAH BILANG GAK AKAN BELAJAR"

"Terserah saya dong kan saya gurunya"

"Hah kenapa?"

Jeno mengalihkan pandangannya untuk menatap ke arah Jaemin "Kalajengking kakinya berapa Jaem?"

"Gue jadi bego apa gimana ini?! Lo ngapain nanya gitu ege gue jadi tambah mikir!"

•~~•

"Kalau kamu punya pilihan, pastikan kamu tidak akan menyesali pilihan yang kamu ambil, jangan pernah berhenti di pertengahan jalan, yang harus kamu harus lakukan adalah bertanggung jawab atas pilihan kamu sendiri"

Jeno memilih untuk berdiam diri di atas pohon mangga belakang sekolah, tempat yang sudah sekian lama tak ia kunjungi untuk berbulan-bulan lamanya.

Anak itu memejamkan matanya dengan berlahan merasakan suara gesekan daun dan angin yang seakan menutup segala riuh suara di dalam kepalanya yang terus-menerus berlalu lalang keluar masuk melalui telinganya.

Diantara damainya suasana sore ini, Jeno kembali untuk berfikir dengan keras, mencoba mengingat apakah ada saran yang lebih baik yang Taeyong katakan pada dirinya yang mungkin saja ia lupakan?

Jeno bukan seseorang yang mudah untuk bercerita kepada orang lain, anak itu justru sering diserang rasa kebingungan untuk menceritakan segala hal yang telah ia alami, entah karena respon yang ia dapatkan disaat ia menceritakan keluh kesahnya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan atau rasa tidak enak ketika ia hendak mengeluarkan rasa gundahnya karena merasa bukan waktu yang tepat baginya untuk menceritakan apa yang ia alami, membuat Jeno justru memberikan benteng terhadap orang lain yang ajaibnya dapat Taeyong tembus begitu saja.

"Woy balik kaga?!"

Jeno mengalihkan pandangan ke arah Jaemin yang sedang mengadahkan kepalanya dengan sebungkus cokelat choki-choki yang bertengger di mulutnya.

"Duluan"

"Percuma Jen, mau sampai Lo menyatu dengan pohon kaya gitu, Lo gak akan nemuin jawaban yang ada di kepala Lo sekarang"

"Tau darimana Lo gue lagi mikir?"

"Inget kata Mang Atuy tadi 'kalau gak mikir kalian gak hidup'" Jaemin tersenyum dengan begitu bangga ke arah Jeno yang justru dibuat mengernyitkan dahinya.

"Hubungannya?"

"Lo masih hidup, pasti lagi mikir"

Jeno terkekeh geli "Seringkas itu pikiran Lo"

"Yoi—lo turun dulu aja, nanti beres dari Renjun, Lo aja yang bawa"

"Apaan?"

"Jurnalnya Pa Taeyong"

•~~•

• From Home •

•~~•

ToBeContinue
























•~~•

So, ya halo semua apa kabar?
Hehe, aku disini cuman mau nyapa aja
Sama mau berbagi sedikit sesuatu,
Nggak ada hubungannya sama cerita ini emang tapi semoga bisa sedikit membantu mungkin(?),

Ditahun yang baru ini pasti ada banyak harapan baru yang sama-sama kita niatkan di penghujung tahun yang lalu, pasti seenggaknya ada kata-kata kaya gini

"semoga ditahun selanjutnya semua dapat membaik"

Ditahun yang baru ini di usia yang juga baru, aku dapet satu kalimat dari salah satu teman yang menurut aku menarik untuk aku bagi, dia bilang gini

"Hidup itu gak akan selamanya baik dan gak akan selamanya buruk, jadi cukup
Jalani kekacauan ini dengan positif"

Dari situ aku mikir, iya
Kita cukup menjalani kekacauan yang kita punya saat ini dengan positif, mau seburuk apapun keadaannya, setinggi apapun kita terjatuh, segimanapun bentuk rasa patah hati kita karena kekecewaan terhadap hidup, hanya perlu kita jalani dengan positif, juga percaya kalau semua akan menjadi baik ketika kita mau untuk membawa diri kita ke arah yang lebih positif,

misal dengan percaya pasti ada satu hal yang bisa kita syukuri untuk satu hari yang sangat rumit.

Masih ada beberapa waktu untuk menanti hari esok, masih ada besok pagi yang menunggu energi baik kita untuk kembali menjalani hiruk-pikuknya dunia.

Udah sih gitu aja,wkwkwk
Pokoknya, have a good day
Jangan lupa buat tidur dengan nyenyak
Maafin semua hal yang terjadi sama kamu hari ini

And Happy New Year 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro