[22] : Lee Taeyong Dan Catatan Takdir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

•~~•

Semesta memainkan peranan yang besar dalam kehidupan kita, siap atau tidak siap, mau atau tidak mau, semesta punya rencananya sendiri

—Lee Taeyong—

•~~•

—Belum genap jam weker yang berdiri di atas nakas milik Taeyong menunjukan pukul sembilan pagi tapi laki-laki itu sudah bediri tegak tepat dihadapan cermin seraya menggenggam pergelangan tangannya sendiri, matanya menatap lekat ke arah pantulan dirinya yang kalau kata Haechan 'ganteng setengah modar', sesekali ia tertawa sendirian mengingat sebuah hadiah berbentuk jaket hoodie berwarna merah muda yang diberikan oleh Renjun, Jeno, Haechan, dan Jaemin tempo hari, anak-anak itu berulang kali mengirimkannya pesan agar memakai jaket hoodie tersebut untuk acara hari ini , bisa-bisanya ia menuruti pemintaan keempat anak itu, tentu Teyong hanya bisa menertawai dirinya sendiri.

"Siapa yang tau kalau hari ini bakalan turun hujan, mereka bahkan nggak tau BMKG itu apaan"

Taeyong menggapai ponselnya hanya unuk mendapati serentetan notifikasi yang sungguh tak asing lagi baginya.

Cunguk 4 : Jangan lupa dipake wahai Payong yang ter❤ (21)

Cunguk 1 : Pa, gak bisa sekarang aja?, Soalnya saya lapernya sekarang pa (15)

Beban Didikan (5) : Cunguk 4 ; JANGAN LUPA DI PAKE PAYONG KALAU NGGAK, BESOK AING DEMO DEPAN PERUMAHAN PAYONG!!! (178)

Cunguk 3 : Pa saya otw sekarang ya, paling nanti pesen makan, payong yang bayar (7)

Cunguk 2 : PAYONG SAYA BARU BANGKIT DARI MIMPI BERSAMA MBAK IRENE! (11)

Taeyong kembali menertawai dirinya, ingatkan dia untuk benar-benar menarik telinga keempat anak itu satu-satu ketika sampai disana.

Laki-laki itu berjalan mendekati jendela, hujan mulai turun cukup deras di tengah-tengah kemarau, Taeyong menatap nanar keluar sana sebelum akhirnya memilih untuk mengambil kunci mobilnya dan bergegas pergi, tak lupa dengan sebuah jaket hoodie merah muda yang ia kenakan kini.

•~~•

—Renjun, Jaemin, Jeno dan Haechan sedang duduk saling berhadapan disebuah meja salah satu cafe yang Taeyong janjikan, empat anak itu terlihat bosan menunggu, sudah 30 menit mereka duduk disini, menanti kapan Taeyong akan datang kemari?

Jaemin hanya menatap keluar jendela, menikmati rintikan hujan, sesekali memperhatikan orang-orang yang sedang berlalu lalang di tengah kesibukan kota di pagi hari, hujan yang cukup deras ini bahkan tak menjadikannya penghalang bagi mereka untuk melakukan aktifitas.

"Payong kapan tah datangnya?"

"gak tau, ya elu lagian datangnya awal banget Cahyono!"

"Ya Elu juga sama Karyo!"

"Ini kenapa lo pada saling nyebut nama Bapak sih?" Jeno menatap Renjun dan Haechan bergantian dengan tampang kebingungan.

Sebuah ide cemerlang muncul dibenak Renjun ketika ia menyelesaikan perdebatannya dengan Haechan, anak itu merogoh ponselnya untuk melakukan Videocall dengan Taeyong.

Setelah beberapa nada 'tuut' kalau kata Jaemin, akhirnya Taeyong mengangkat panggilannya, memperlihatkan wajah serius Taeyong yang sedang menyetir mobil.

Taeyong sendiri justru dikejutkan dengan penampakan wajah Renjun yang berada tepat di depan kamera, memamerkan deretan gigi putih rapih yang nampak begitu menyebalkan bagi Taeyong.

"What's up brother! Udah sampai mana kah tetua kita ini?"

"Tumben udah datang"

"Urusan perut masih jadi prioritas utama Pa, Payong dimana geh?"

"Jalan"

"Yeuuu itu bocah ingusan yang lagi ngemut choki-choki juga pasti tau Payong lagi dijalan"

"Tunggu Aja"

"Astantang Payong, saya udah berkarat nungguin Payong disini!" Sekarang giliran muka Haechan yang terlihat di layar tersebut.

"Saya tanya, saya ada janji sama kalian jam berapa?"

"Jam?WAHAHAAHAHHA BUKAN WOY JAEM!" Haechan yang tertawa membuat Taeyong menjauhkan ponselnya dari depan wajah, suara Haechan udah kaya toa pake teriak segala tambah kenceng.

"Tadi Payong nanya apa?"

"Jam berapa saya janjian sama kalian?"

"Gak tau pa, Jen jam berapa jen?—Oh...Jam 8, eh? Naon lah yang bener! Ngibul si RenjunWAHAHAHAHHA APAAN DAH ITU?!"

Taeyong nampak memutar bola matanya dengan kesal, Ingin sekali rasanya Taeyong mematikan sambungan ponselnya sekarang, namun tak kunjung ia lakukan.

"Tunggu aja 10 menit lagi saya sampai, kalian jangan pergi kemana-mana, jangan keluyuran, diam disitu sampai saya datang, hujan lagi besar di luar"

"Siap Payong!—"

"Hati-hati Pa!"

"Kalau ada tukang gorengan nitip ya pa"

"Pesen aja disini bego!"

"Udah dulu Pa, kacung-kacung saya pada rusuh, intinya hati-hati dijalan"

Layar ponsel milik Taeyong kembali menggelap, Laki-laki itu memilih menyetel sebuah lagu untuk menghilangkan keheningan didalam mobil, setelah sambungan videocall dengan empat anak tadi terputus kini hanya tertinggal sepi yang dengan cepat mengerubunginya, empat anak yang Taeyong sumpahi di awal itu menjadi alasannya untuk hidup hari ini, tanpa berdasarkan apapun, dan entah apa yang semesta gariskan untuknya, tiada hentinya ia mengucapkan syukur.

Anak-anak itu memang serentetan anak yang bahkan jauh dari kata sempurna, anak-anak tengil yang justru memiliki sejuta hal lain yang bahkan tak akan pernah terpikirkan bagi orang-orang yang merasa bahwa dirinya telah menjadi manusia baik yang patuh pada aturan.

Mereka hanyalah anak-anak yang mencoba bertahan di tengah goncangan ujian hidup, tanpa tau menahu harus melakukan apa, bertekad dengan sedikit dari keberanian yang mereka miliki, berjalan tanpa pijakan, dan kebingungan di tengah tekanan yang menuntut mereka harus tetap berjalan.

Mobil Taeyong berhenti tepat di sebuah perempatan jalan, memperhatikan hitungan mundur berwarna merah, tanda berhenti, laki-laki itu mengeluarkan ponselnya untuk mendapati sebuah pesan masuk memperlihatkan wajah Haechan dengan muka gamparaeble.

Curut 4 : Kami lelah menanti

Taeyong hanya tertawa singkat sebelum akhirnya menyimpan kembali ponselnya diatas dasboard mobil, matanya kembali menatap ke arah lampu jalan yang dengan cepat berubah menjadi kuning dan hijau.

Laki-laki itu kembali menjalankan mobilnya dengan santai, menikmati setiap momen yang ia lalui pada hari ini dan hari-hari sebelumnya, hidupnya terasa lebih damai dari sebelumnya, mungkinkah ini yang dirasakan oleh kekasihnya dulu?

Seharusnya ia melakukan hal-hal kecil seperti ini sejak dulu, Taeyong kembali tersenyum, ditemani rintikan hujan yang untuk pertama kalinya terlihat begitu membahagiakan, di antara garis lurus dari jalanan yang licin dan suhu yang kian terasa lebih dingin, menimbulkan kabut-kabut yang menghalangi jarak pandangnya.

Tanpa Taeyong sadari sebuah Triton lepas kendali melaju cepat menembus kabut, berjalan dengan zig-zag, dengan kecepatan yang dapat membuat siapapun yang melihatnya akan bergidik ngeri, membuat Taeyong seketika diserang rasa panik yang luar biasa ketika mengetahui jaraknya dan Triton tersebut hanya berselang beberapa meter.

Tangannya mencengkram kuat setir yang berada digenggamannya kemudian dengan sekali hentakan membantingnya ke arah yang semoga bisa menyelamatkannya, hatinya merapalkan sedikitnya do'a yang ia harap dapat menolongnya saat ini, waktu berlalu begitu cepat entah apa yang terjadi setelahnya, mobilnya terasa berguncang dengan hebat, kepalanya terhantam berkali-kali membuat dirinya diserang oleng cahaya yang kian meredup, nafasnya begitu menyakitkan bahkan hanya dengan sekali penarikan nafas lembut, telinganya berdenging keras, siapapun adakah yang bisa membantunya sekarang?

Tunggu dulu, tolong jangan sekarang, ia berjanji untuk hadir bersama anak-anak itu, Taeyong memohon dengan lirih ia harus ada disana, banyak hal yang belum ia selesaikan.

Taeyong menatap nanar ke arah jalanan, berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dan berlari, namun yang dapat ia lakukan sekarang hanya dapat terkapar lemah sebelum akhirnya penglihatan laki-laki itu kian melebur dan berujung dengan serangan gelap yang menghilangkan semua kesadaran yang ia miliki.

•~~•

—Jeno sedang menatap layar pipih yang menggantung ditembokan cafe, menampilkan sebuah pembawa acara yang sedang membacakan informasi-informasi ter-aktual dengan jas yang terlihat sangat formal.

"Gue baru liat ada berita kecelakaan lagi"

"Kecelakaan?" Jaemin ikut mengalihkan pandangannya ke arah pandang Jeno.

"Apa karena gue jarang nonton TV kali ya"

"Emang Lo punya TV?"

"Ada, nyokap gue fans beratnya Aldebaran"

Jaemin tertawa singkat sebelum akhirnya menatap Haechan dan Renjun yang terlihat sangat bosan menunggu.

"Payong kok lama banget ya? Katanya cuman 10 menit"

"Macet kali Chan, lagi hujan juga, jalanan pasti rame"

"Tapi Bre ini bukan gaya si Payong banget, lo tau sendiri segimana on timenya Payong, kalaupun telat, pasti udah ngasih tau"

"Lo bener, coba telepon Jaem" Renjun menepuk pundak Jaemin yang langsung dibalas dengan anggukan dari anak tersebut.

Baru saja Jaemin mengeluarkan ponselnya dari saku celana, ia justru mendapatkan panggilan lain dari seseorang, anak itu menatap ke arah teman-temannya, meminta izin untuk membiarkannya berbicara, Haechan yang menanggapi duluan dengan sebuah anggukan membuat Jaemin dengan segera mengangkat panggilan tersebut.

"Halo Pa Taeil?"

"Halo Jaemin, kamu lagi ada dimana sekarang?

"Saya—Di luar pa"

"Kamu bisa pergi ke Rumah Sakit Harapan sekarang?"

"Maaf Pa tapi saya—"

"Taeyong ada disini, bawa teman-teman kamu untuk ikut kemari"

•~~•

—Jaemin berlari paling depan menerobos lalu-lalangnya orang-orang berjas putih diikuti dengan Renjun, Jeno dan Haechan dibelakangnya, menghampiri seseorang yang kini sedang berdiri di depan ruangan gawat darurat dengan wajah yang tak kalah panik.

"PA?! MANA PA TAEYONG?!" Jaemin sedikit meninggikan suaranya ketika menemukan Taeil yang kini sedang menahan tubuhnya agar tidak menorobos masuk ke dalam sana, anak itu menangis tanpa sadar, hatinya di serang rasa panik yang luar biasa.

Disebrangnya seorang perempuan yang Jaemin kenali sebagai adik perempuan Taeyong sedang menangis tersedu di dekapan seseorang yang tak sempat Jaemin kenali.

Tak lama seorang pria berjas putih keluar dari ruangan tersebut, memanggil salah seorang kerabat Taeyong yang bisa di ajak untuk bicara.

"Apakah salah satu kerabat pasien dapat ikut dengan saya?"

"Saya dok! saya adiknya"

"Jaehyun! Jaehyun!, temani Yeeun!—Dok, boleh kami masuk ke dalam?" Taeil bertanya setelah berseru kepada laki-laki yang mendekap Yeeun tadi.

"Dipersilahkan, tapi dimohon untuk tidak terlalu ribut"

Taeil hanya mengangguk kemudian membawa Jaemin, Renjun, Jeno dan Haechan untuk masuk menghampiri Taeyong.

Laki-laki itu terlihat terkapar tak berdaya di atas ranjang, wajahnya begitu puca dan matanya terpejam dengan damai, Bukankah laki-laki ini yang masih sempat meledeknya tadi pagi?

Bukankah laki-laki ini yang tadi berjanji untuk segera datang?

Jaemin menggenggam tangan kanan Taeyong dengan kuat, diikuti oleh Jeno disampingnya dan tangan yang lain digenggam dengan lembut oleh Renjun dan Haechan.

"Pa Taeyong?" suara Jaemin nampak bergetar ketika memanggil namanya ada tetesan air mata yang pasti akan langsung diledeki oleh Taeyong apabila ia sadar sekarang "Pa Taeyong kenapa ada disini Pa?—Pa Taeyong kenapa bisa sampai ada disini?

"Pa Taeyong orang yang kuat, Bapa pasti bisa, liat Haechan sampai nangis Pa, Ayo kita ledekin—"

"—Kita disini sekarang, Pa Taeyong punya janji buat ketemu kita hari ini, nggak apa-apa Pa, biar kami yang menghampiri Bapa sekarang—"

"Pa Taeyong liat kan? kita jauh-jauh kesini cuman buat ketemu bapa—-"

"—Pa Taeyong cuman perlu bangun, Pa Taeyong yang bilang masih pagi gak boleh tidur, Pa Taeyong sendiri yang sering negur saya"

"Pa, Saya minta maaf, saya janji bakalan nurut terus sama Bapa, saya nggak apa-apa kalau saya di omelin terus—"

"Pa Taeyong gak marah sama kita kan Pa? Pa Taeyong jangan diem kaya gini, kita jadi lebih takut kalau Bapa marah tapi Bapa cuman diam—"

Tak ada reaksi apapun, Taeyong masih terdiam disana, dengan nafas yang sangat berat, dengan tubuh yang tak bergerak sedikitpun, bahkan hanya untuk membuka matanya Taeyong tidak bisa, suara dari mesin elektrokardiogram menjadi satu-satunya respon yang sedikitnya bisa membuat anak-anak itu merasa tenang.

Lantunan-lantunan do'a terus dipanjatkan, berharap adanya sebuah keajaiban yang diberikan tuhan, berharap agar tuhan memberikan kesempatan bagi Taeyong untuk melakukan hal yang ia inginkan.

Di tengah pembacaan do'a tersebut Yeeun datang untuk menghampiri Kakaknya, matanya sembab penuh dengan air mata yang terus menerus menerobos keluar, tangannya menggenggam erat tangan Taeyong, menatapnya penuh rasa penyesalan "Ka Taeyong, Ka Taeyong bangun ya, nanti siapa yang bakalan nemenin aku ka?"

"Kaka tau sendiri kan, cuman Kaka yang bisa bikin rumah jadi kerasa lebih hidup? jadi bangun ya, Semua orang disini sayang sama Kaka, Kaka gak boleh gini terus, nanti Papa marah, memang kaka mau ngeliat aku di marahin lagi sama papa? siapa yang bakalan belain aku lagi nanti? Kaka gak boleh kaya gini, Bangun ya" Gadis itu kembali menangis dengan tersedu tangannya meraih tangan Jaemin, menatapnya dengan seksama "Kalian dekat sama Ka Taeyong kan? bantu aku, bantu aku buat Ka Taeyong bangun".

Suara dari mesin EKG monitor itu terdengar begitu nyaring, sedikit menusuk pendengaran yang memberikan efek yang sama menyakitkannya bagi hati mereka yang pernah merasakan hangatnnya kehadiran Taeyong dalam kehidupan mereka, udara semakin dingin, bumi dilanda kembali oleh rintikan hujan, seolah ikut menangisi nasib yang terjadi pada laki-laki itu, perlahan tapi pasti suara mesin itu kian melemah, membuat semua orang disana dilanda rasa panik yang luar biasa "JAEHYUN PANGGIL DOKTER!!!!"

Tak berselang beberapa lama, suara itu berganti dengan suara nyaring yang mampu merubuhkan dunia sekaligus kehidupan orang-orang yang pernah mengenalnya, satu visualisasi garis lurus yang terlihat jelas menjadi alasan mereka menangis hari ini, Mereka menangis hebat hari ini dengan mulut yang tak henti-hentinya mengucapkan nama laki-laki itu, berusaha sebisa mungkin untuk membalikann semua realita yang mereka terima.

Mereka tak sempat untuk mengatakan maaf, tak sempat untuk mengucapkan terimakasih, dan tak sempat untuk menucapkan selama jalan.

laki-laki itu menutup kelopak matanya dengan damai, tanpa peduli orang-orang yang sedang menangisinya kini, terdiam dengan tenang tanpa tahu menahu hati mereka yang tertusuk dengan rasa sesak yang menyiksa.

Kini tak ada lagi nada marah yang keluar dari mulutnya, takkan ada lagi kalimat sarkas yang terdengar oleh telinga, tak ada lagi rangkulan tanpa sentuhan, tak ada lagi kalimat menenangkan yang akan laki-laki itu berikan, tak ada lagi pijar yang menyala untuk menarangi kelamnya rasa takut.

Laki-laki itu benar-benar pergi tanpa pamit, menyisakan sebuah kenangan yang berujung kepada luka, meninggalkan ribuan tangis yang akan terus mengisi hari-hari setelah kepergiannya.

Dan

Seseorang yang kisahnya akan selalu abadi dalam kehidupan orang-orang yang mengenalnya.

•~~•

• From Home •

•~~•

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro