[24] : Kalut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

From Home

Mari membuka lembaran baru

—00Line Dream—

•~~•

—Sudah lebih dari sepekan Taeyong benar-benar pergi meninggalkan mereka, meninggalkan segala hal yang terkesan menyakitkan yang mungkin akan terus berlangsung untuk hari-hari kedepannya, sudah sepekan Jaemin enggan pergi ke sekolah, sudah sepekan Renjun tak kunjung berbicara satu patah kata apapun, sudah sepekan Jeno tak bisa terlelap dengan tenang, dan sudah sepekan Haechan berhenti untuk tertawa.

Tak taukah laki-laki itu membuat dunia mereka kembali kelam?

Haechan hanya mampu menatap punggung Renjun yang kian menjauh, sahabatnya itu bahkan tak mau berbicara pada siapapun, tatapannya hampa seolah tak ada lagi kehidupan yang berada disana, sungguh, semua ini nampak lebih menyakitkan ketika Haechan menyadari bahwa orang-orang disekitarnya terasa ikut untuk pergi, mereka disini sebelumnya tertawa bahagia, menertawakan banyak hal dengan celotehan ringan, semua itu seolah ikut dibawa pergi bersama Taeyong, menyisakan sebuah irisan kehampaan yang begitu sepi .

"Chan" Haechan menengok ke arah Jeno yang kini menatapnya penuh dengan rasa lelah "Gue perlu ngomong sama lo'

"Hmm"

"—gue tau ini semua menyakitan, tapi ini salah chan, kita gak bisa terus kaya gini"

"Semua lagi merasa kehilangan Jen, apa yang bisa gue perbuat?, jangankan buat nyembuhin orang lain, gue sendiri aja masih terluka"

"Gue tau, gue juga ngerasain, tapi sadar kaga sih lo? sampai kapan kita mau terus berkabung kaya gini? Kalau Pa Taeyong tau, kita pasti udah dikata-katain, Chan—kita di didik oleh beliau, kita bahkan bisa merekam semua hal yang menjadi alasan kita untuk berdiri sekarang, lo mau usahanya jadi sia-sia kaya begini?"

Haechan nampak terdiam memikirkan seluruh perkataan Jeno.

"Tapi Jen—"

"Gue gak bisa harus gini terus, Gue lebih terluka ngeliat lo semua justru jadi kaya begini"

Haechan kembali mengatupkan bibirnya menatap Jeno dengan lekat, Jeno ada benarnya, semua terlihat menjadi lebih menyedihkan, gurunya itu tak akan pernah suka melihatnya terus begini.

"Jadi apa rencana lo?"

"Gue perlu bicara sama Jaemin, baru kita bicara sama Renjun, gue belum bisa bicara sama tu anak, gue yakin dia yang paling merasa bersalah atas semua ini—tapi gue gak bisa bicara sendirian"

"..."

"Gimana?"

"Lo bener Jen, lagi pula kita gak akan bisa mengubah apapun—kita ke rumah Jaemin"

•~~•

Jaemin tengah berdiri di pekarangan rumahnya, menyirami tumbuhan-tumbuhan yang kini sudah mulai tertata dengan rapih, anak laki-laki itu kembali menatap ke arah mawar biru yang kini mulai merunduk layu, apa ini tandanya bahwa harapannya tidak akan bisa diwujudkan?

"Gue kebanyakan nyiram kali ya" Ucapnya seraya memperhatikan tumbuhan tersebut.

"Jaem?" Jaemin mengalihkan pandangannya sejenak untuk mendapati Haechan dan Jeno yang kini tengah berdiri di depan gerbang rumahnya.

"Bisa buka bentar? Gue ada perlu sama lo"

Jaemin nampak tak peduli dengan pertanyaan Jeno dan memilih untuk kembali fokus dengan apa yang ia lakukan sebelumnya.

"Jeno lagi ngomong ya sama Lo!"

"Udah Chan" Jeno menghalangi tubuh Haechan dengan lengannya, kemudian beralih untuk membuka kunci gerbangnya dan berjalan menghampiri Jaemin.

"Jaem—"

"—gue lagi pengen sendiri Jen"

"Sampai kapan?"

"..."

"Udah seminggu Jaem, ini udah seminggu lebih, Lo mau sampai kapan kaya gitu?"

"Nanti, kalau keadaan hati gue udah lebih membaik" 

"Luka di hati Lo sekarang bukan sesuatu hal yang bisa disembuhin"

"Terus apa yang bisa gue lakuin?" Jaemin memilih untuk berdiri dan menatap Jeno tepat pada manik mata hitamnya "Hah?—Apa Jen? apa yang bisa bikin gue kembali lagi? kemana gue harus jalan lagi? Gue harus apa?"

"Pa Taeyong gak akan seneng liat lo kaya gini"

"Biarin gue sendiri dulu"

"Gue ngerti, gue ngerti gimana posisi lo sekarang—"

"Apanya?—"

"..."

"—Bagian sebelah mana yang lo mengerti dari gue Jen? Hidup gue yang berantakan? anak liar biang onar? anak yang ibunya punya masalah mental dan ditinggalkan begitu saja oleh ayahnya? gak ada yang pernah mengerti dengan posisi gue!—orang-orang diluar sana sering natap gue dengan hina Jen!!, dan satu-satunya orang yang bisa natap gue dengan tatapan manusiawi malah direnggut pergi"

"..."

"Apa yang harus gue lakuin lagi?! atas alasan apa gue harus bangkit?! apa yang harus gue pertaruhkan lagi? gue gak bisa apa-apa, gue udah gak punya apa-apa!"

"Tapi gue masih disini, Haechan juga, lo gak sendiri, semuanya bakalan baik-baik aja—"

"—Buat lo, semua bakalan baik-baik aja karena lo masih punya harapan lain yang bisa bikin lo pulang, lo masih punya ibu yang bisa ngerangkul lo, dan bilang bakalan terus ada bersama lo—terus apa yang gue punya?! gue ga punya siapa-siapa—"

"SADAR JAEM!" sudah cukup, Haechan sudah tak bisa menahan amarahnya lagi, tangannya mengepal kuat dan melayang tepat di rahang kiri Jaemin membuat anak itu kini terjatuh ke belakang.

"GUE BISA YA BIKIN MUKA LO BABAK BELUR!!!!!" Teriaknya tepat di depan wajah Jaemin seraya menarik kerah baju yang Jaemin kenakan kini.

"Kenapa? Lo juga mikir gitu kan?!"

"Denger ya! Gue gak pernah berfikir kaya gitu sama sekali, atas dasar apa Lo punya pemikiran kaya gitu?!—Atas dasar apa?!"

Jaemin baru saja membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan namun kembali terkatup ketika Haechan kembali membentaknya.

"Bukan cuman Lo! Bukan cuman Lo yang lagi ngerasa hancur! Jangan ego Lo gedein!—Pikir Jaem! Otak Lo pake yang bener!"

Haechan kembali mengepalkan tangannya namun tak kunjung ia hantamkan pada wajah Jaemin "Lo gak bisa mengubah apapun Jaem—LO GAK AKAN BISA!"

Jeno mengambil alih dengan mendorong kedua tubuh sahabatnya itu, nafasnya menderu kemuadian menatap mereka secara bergantian "Gue kaga pernah ngarepin ini—Jaem, terserah Lo mau gimana sekarang, gue disini cuman mau ngasih tau kalau justru ada orang yang lebih jatuh dari Lo sekarang"

"..."

"Gue gak pernah ngeliat orang dengan rasa penyesalan sedalam itu bahkan untuk sesuatu hal yang sebenernya bukan salahnya"

Jaemin tertegun membalas tatapan Jeno dengan lekat "Kalau Lo berkenan, gue harap Lo bisa datang ke sekolah besok"

•~~•

Renjun kembali menjalankan rutinitasnya untuk pergi ke sekolah, anak itu berjalan menyusuri lorong kelas dengan lunglai sesekali menghentikan langkahnya hanya untuk termenung menatap kedua kakinya yang dibalut dengan sepatu putih dengan tulisan winwin yang dicoret dengan spidol hitam.

Anak itu terkekeh mengingat sepatu ini lah awal dari pertemuannya dengan Taeyong, Renjun terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya melanjutkan kembali langkahnya untuk memasuki kelas.

"Jun" secara tiba-tiba kini Haechan sudah berdiri tegap di sampingnya, seraya menaruh tangan kirinya di atas bahu Renjun "Lo ngalangin jalan, gue mau lewat"

Renjun menatap Haechan beberapa saat kemudian memilih untuk menggeser tubuhnya, membiarkan Haechan yang berjalan memasuki kelas, mendahului Renjun yang masih berdiri disana.

Anak itu berjalan menghampiri kursinya, mendudukkan dirinya dengan lesu sebelum akhirnya menelungkupkan wajahnya di atas lengan.

Jeno yang sedari tadi berdiam diri dengan kedua telinga yang di sumpal earphone hanya mampu untuk menghela nafas panjang seraya menatap keluar jendela yang nampak berembun, hujan turun deras semalam membuat udara di pagi hari ini menjadi terasa lebih dingin.

"Jen" Jeno mengalihkan pandangannya ke arah Haechan yang kini sedang duduk membalikkan tubuhnya untuk menghadap Jeno.

"Naon?"

"Jaemin" ucapan Haechan yang secara langsung membuat Jeno mengalihkan pandangannya, menatap lurus ke arah seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu, ada bulatan hitam di sekitar matanya yang tak sempat Jeno sadari kemarin, Jaemin berdiri disana, mengarahkan tatapannya ke arah Jeno dan Haechan, sebelum akhirnya menjatuhkan pandangannya ke arah Renjun yang tak berkutik sedari tadi.

Anak itu berjalan menghampiri mejanya, berdiri tepat disamping Jeno dengan mengulurkan tangan kanannya, membuat Jeno justru mengernyitkan dahi.

"Sorry, gak seharusnya gue ngomong gitu kemarin, gue cuman butuh seseorang untuk disalahkan tentang hidup gue—Sekali lagi, Gue minta maaf"Jaemin masih bertahan dengan uluran tangannya, menunggu respon yang ia harapkan dari sahabat di depannya ini.

"Gue yang terlalu egois mementingkan apa yang gue rasain, sorry, gue sempet lost control kemarin"

Selama beberapa menit Jeno dan Jaemin hanya saling bertukar pandang, ada sedikit rasa tidak enak ketika justru Jeno tak membalas jabatan tangannya.

Jeno masih diam sebelum akhirnya tersenyum dan menjabat tangan Jaemin "It's Ok, gue ngerti Jaem"

"Dan Lo, Makasih udah nonjok gue kemarin" tatapan Jaemin beralih ke arah Haechan yang sedang asik menggoreskan tinta pulpen di atas meja.

"Gak masalah" Haechan mengedikkan bahunya setengah tertawa membuat Jaemin secara tak sadar menyunggingkan garis lengkung di bibirnya, ada sedikitnya rasa lega yang ia rasakan kali ini.

Semalaman anak itu memilih untuk tidak tidur, memikirkan semua hal yang selama ini menjadi beban untuk pikirannya, Jeno ada benarnya, dan Haechan memberikan tamparan keras yang memang tidak bisa di bantah lagi.

Dan mungkin kini gilirannya untuk memulihkan kondisi disekitarnya, anak itu berjalan pelan ke arah Renjun yang masih menelungkupkan kepalanya sejak Jaemin datang, anak itu berdiri di samping Renjun untuk menepuk bahunya beberapa kali "Lo kaga kangen gue ngab?"

Tak ada jawaban, Renjun masih diam.

"Rumah gue jauh btw"

"..."

"Sumpah lo kaga kangen sama gue?!"

"..."

"Ini sahabat Lo yang paling ganteng—"

"—Kok gue mau muntah?"

Jaemin memelototi Haechan yang dibalas dengan cekikikan ringan.

"Jun, Lo denger gue kan? Ya seenggaknya Lo denger—Lo percaya kaga sih sama takdir?"

"..."

"Lo tau sendiri, catatan takdir tuh udah di tulis bahkan sebelum Lo lahir"

"..."

"Kapan Lo lahir, jodoh Lo siapa—kaga usah ngarepin mbak Irene, pokoknya mbak Irene punya gue—"

"Nanti-nanti jangan nyuruh si Jaemin ceramah lah Jen" ucap Haechan yang di angguki oleh Jeno.

"—Rezeki Lo gimana, dan kapan Lo mati itu udah di catat Jun—termasuk Pa Taeyong"

Ketiga anak itu tertegun, ada sebuah hantaman yang menyeruak ketika mendengar nama itu disebut.

"—Kita gak bisa ngelawan takdir, ngerti kan maksud gue?"

Renjun masih tak bergerak membuat Jaemin justru mencengkeram bahunya dengan kuat.

"Ini bukan salah Lo—"

Mati-matian Renjun menahan isakannya pagi ini, Renjun mendengarkan tentu, dia mendengarkan setiap kata yang di ucapkan Jaemin, jujur saja dia senang bisa bertemu kembali dengan Jaemin.

"Lo bukan penyebabnya, Lo nggak salah—semua udah ada garisnya"

Bahu Renjun bergetar membuat Haechan dan Jeno kini ikut untuk menepuk pundaknya, mencoba meyakinkan Renjun.

"Lo harus hidup dengan baik—Kita harus hidup dengan baik, untuk Pa Taeyong"

•~~•

• From Home •

•~~•

To Be Continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro