16. Her Tear

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sewaktu kelas 1 SMA aku punya pengalaman buruk. Ada kakak kelas yang suka sama aku, tapi sikapnya semacam berlebihan di mataku. Hampir setiap hari dia datang ke kelas, bawain hadiah-hadiah kecil semacam cokelat atau setangkai mawar. Kadang, aku juga nemu hadiah tanpa nama di kolong meja, tapi aku yakin itu ulah orang yang sama berdasarkan kesaksian beberapa temanku yang melihat secara langsung. Dia lumayan ganteng, cuma masalahnya aku nggak ada feel karena pernah lihat dia gangguin cewek seangkatanku di belakang kantin.

Soal menolak, itu selalu aku lakuin. Tapi dia itu bebal, nggak nyerah juga buat deketin aku meski sudah aku ingatkan kalau sikapnya itu mengganggu. Lalu puncaknya adalah saat aku piket sendirian setelah jam pulang sekolah. Nggak nyangka dia nungguin aku yang sengaja nyapuin kelas biar besok pagi nggak keteteran karena apesnya aku satu jadwal sama orang-orang tim datang siang. Sekolah sudah sepi, nggak ada murid dan guru yang terlihat wara-wiri. Dan si kakak kelas itu nekat maksa ngantar aku pulang, sampai narik-narik tanganku. Aku ditarik paksa ke parkiran. Takut? Sudah pasti. Badanku gemetaran sampai aku lupa untuk berteriak meminta tolong.

Selanjutnya ... Oliver datang tanpa aku duga. Dia hanya mendorong kakak kelas itu dan memberi ancaman biar nggak ganggu aku lagi. Mereka sempat terlibat perdebatan kecil dan Oliver memenangkannya. Cowok tanpa attitude itu akhirnya pergi setelah seorang satpam terlihat nggak jauh dari tempat kami berdiri. Ya, Oliver menyelamatkanku saat itu, memberikanku rasa aman, dan menenangkanku. Nggak tahu deh apa jadinya kalau Oliver nggak nungguin aku pulang sekolah. Sejak dulu dia memang seperti jelmaan malaikat, ya?

Karena kejadian itu, aku cukup sensitif dengan kata-kata pengagum rahasia. Biasanya aku jadi merinding atau  tiba-tiba menangis ketika merasa terganggu dengan topik atau kejadian seperti itu. Aku akan teringat pada kakak kelas yang masih sempat beberapa kali membuntutiku setelah adegan di parkiran bersama Oliver. Tingkah anehnya akhirnya berhenti saat Oliver memergokinya dan mengancam akan melapor polisi. Nggak paham orang itu punya gangguan atau gimana, tapi beneran deh sikapnya itu nggak normal. Hal lainnya yang membuat aku terpicu untuk bereaksi adalah karena sepupuku yang kerja di kafe sebagai penyanyi pernah kecelakaan karena ketakutan dikejar stalker. Ngeri, 'kan?

"Yakin mau ke toko, Sofie? Kamu udah nggak apa-apa?"

Aku menoleh ke sisi kanan, wajah Oliver yang diliputi khawatir nggak bisa disembunyikan. Semalam nggak lama setelah sampai rumah aku langsung tidur, nggak sempat cerita apa-apa ke Oliver. Terus pagi tadi aku terbangun dengan keadaan tenang sehingga nggak ngerasa butuh istirahat lebih. Selain itu, aku mau bertemu seseorang hari ini untuk memperjelas sesuatu.

"Aku nggak apa-apa. Semalam mungkin karena lelah aku jadi bereaksi berlebihan."

Nggak juga, sih, sebenarnya. Itu memang sudah reaksi alami tubuhku, tapi Oliver nggak tahu karena reaksiku parah begitu mulainya tahun lalu saat tahu sepupuku masuk rumah sakit.

"Yah, oke. Kamu emang keras kepala, mana bisa aku nahan."

Bilangnya sih oke, tapi wajah Oliver masih juga kelihatan cemas. Gemas juga lho lihat dia dari samping gini. Suamiable banget karena khawatir istrinya kenapa-kenapa.

"Kamu ada acara apa hari ini?"

Aku berdeham biar nggak terlalu canggung karena baru saja terkesan memberi perhatian pada Oliver.

"Stay di rumah aja. Mau lunch di rumah? Nanti aku masakin."

Sejenak aku berpikir. Urusanku harusnya nggak lama, sih, ya. Bisa deh makan siang bareng Oliver.

"Ayam bakar?"

Oliver tersenyum lebar padaku.

"Deal, Sayang."

Enaknya punya suami serba bisa gini.

Kami sudah tiba di depan toko saat Oliver tiba-tiba bertanya tentang hal yang sangat menggangguku semalam. Awalnya aku nggak berpikir untuk cerita, tapi mengingat bahwa aku ini sudah jadi istrinya dan segala yang terjadi sama aku juga berhak diketahui Oliver, akhirnya aku memutuskan untuk menjelaskan.

"Aku nggak bermaksud merusak privasimu, tapi semalam aku emang nggak sengaja jatuhin paper bag itu dan isinya berhamburan. Itu hadiah dari siapa?"

Kartu ucapan itu pasti sudah dibaca Oliver dan ajaibnya dia masih bisa mengontrol kecurigaan.

"Dari laki-laki."

Oliver memejam sejenak sembari mengusap tengkuk. Lalu tanpa terduga dia melepas sabuk pengaman dan mencondongkan tubuh padaku. Aku syok dan cuma bisa ngedip saat wajah kami berjarak sangat dekat.

"Boleh aku tahu dia siapa? Aku nggak suka bilang ini, tapi kayaknya kamu harus tahu kalau aku juga bisa cemburu."

Aaaaaaa! Bunda, tolonggg! Ini kenapa aku jadi merinding plus deg-degan gila sih dengar suara Oliver yang rendah? Belum lagi dia kembali duduk, tapi malah menggenggam telapak tangan kananku. Serius, aku seperti baru pertama kali sentuhan sama laki-laki sampai bikin wajah panas gini!

"Sofie, nggak mau bilang?"

"Itu ... itu tuh orang nggak jelas." Atur napas dulu, soalnya wajah Oliver bikin nggak bisa fokus. "Aku nggak tahu dia siapa, tiba-tiba kirim hadiah mahal ke toko. Serius, aku nggak kenal. Kalau tahu orangnya, aku bakal balikin barang itu kok."

Dari wajah memelas menanti jawaban, aku yakin ekspresi Oliver kali ini adalah kaget.

"Itu sebabnya kamu ketakutan semalam? Dia ada telpon kamu dan bicara aneh?"

Mungkin diamku sudah cukup menjadi jawaban untuk Oliver. Dia menepuk-nepuk pelan punggung tanganku, lalu turun dari mobil untuk membuka pintu.

"Nanti kita bahas lagi di rumah. Sekarang kamu kerja yang tenang, nanti siang aku jemput. By the way, hadiah itu nggak usah dipakai, ya? Nanti aku beliin sebagai gantinya."

Astaghfirullah! Aku hampir lunglai karena Oliver memainkan kupingku! Nggak tahu apa ya kalau itu bagian sensitif?

"Iya, ya! Udah, sih, jauhan dikit."

Aku mendorong Oliver, hingga dia menahan senyum karena menyadari sebenarnya aku salah tingkah.

"Aku pulang, ya."

Tangan kanan Oliver terulur.  Aku mengerutkan kening. Apa, nih?

"Salim, Sofie."

Ya Allah. Ternyata itu! Haha! Baru ingat sih pertama dan terakhir kali salim sama Oliver itu pas setelah akad. Jadi, aku belum terbiasa gitu.

Aku meraih tangan Oliver dan menciumnya dengan takzim. Walau aku belum memainkan peranku sebagai istri secara sempurna, tapi aku tetap harus menghormati Oliver seperti kata Ayah.

Dan sebuah kecupan di kening serta bisikan salam yang lembut sejenak membuatku hanyut. Menikah itu ... menyenangkan ya?

Nggak lama setelah Oliver pergi, seorang gadis memarkir motor di pelataran tokoku. Langkahku tertahan untuk masuk dan memilih menunggunya melepas helm. Wajahnya nggak ramah sama sekali, boro-boro mau salim biarpun aku lebih tua. Dia mau datang saja sebenarnya sudah bagus.

"Ngapain ngajak ketemu pagi-pagi gini?"

"Ada yang harus kita bicarakan, Azmi."

Yes, aku meminta Azmi menemuiku di sini untuk mengakhiri drama yang membuatku pusing. Maunya kemarin aku ngajak ketemu, tapi karena ada kerjaan jadinya tertunda. Dan juga aku lagi nyari bukti yang lebih valid.

"Apa? Cepatlah. Aku mau pergi kerja."

Aura Azmi sama Oliver kok bisa beda jauh gini, sih? Lihat, tuh, nggak ada sopannya sedikit pun anak ini sama aku.

Sabar, Sofie, sabar.

"Ngobrolnya di dalam, yuk? Di sini berisik."

Karena tokoku di berada di pinggir jalan raya, otomatis kebisingan nggak terelakkan. Dan memang lebih baik jika kami bicara di tempat tertutup untuk menjaga privasi.

"Nggak usah. Ngomong di sini aja. Ada apa, sih, sampai ngewajibin aku datang?"

"Di dalam aja, ya."

Niatku baik dengan memegang lengannya untuk mengajak masuk, tapi nggak disangka Azmi malah menepis bahkan mendorongku.

"Nggak usah basa-basi, Kak. Kamu tahu aku masih nggak suka kamu, 'kan? Udah deh cepat aja bilang mau apa."

Jangan emosi, Sofie, jangan. Yang lagi nggak stabil itu dia, bukan kamu. Sabar, sabar.

"Kenapa kamu ngelakuin itu?"

Karena dia kukuh nggak mau ke dalam, ya sudah sekalian sajalah ngomong di sini. Malas juga berdebat lama-lama.

"Apa?" tanyanya balik.

"Bunga dan pesanan nggak jelas itu. Kenapa kamu ngelakuin itu?"

Mata Azmi melebar. Mulutnya sudah terbuka, tapi aku lebih dulu bicara.

"Nggak perlu menyangkal. Aku punya buktinya, Azmi. Hanya karena kamu mendaftar kartu SIM atas nama Mama, kamu kira bisa menipu aku? Hanya karena kamu nyuruh kurir, aku nggak bakal tahu pengirimnya adalah kamu?"

Dia tegang.

"Ngomong apa, sih? Nggak jelas."

Aku menghela napas panjang. Memang sudah aku perkirakan sih nggak bakal langsung sekejap mengaku. Tapi aku juga nggak bakal biarin usaha dan uangku untuk melacak keberadaan si kurir sia-sia. 

"Berhenti mengelak, Azmi. Percuma. Masalah ini baru aku yang tahu, karena aku nggak ngerasa kakakmu ataupun orang tuamu perlu tahu kelakuan anggota keluarganya yang di luar jalur. Aku cuma mau tahu kenapa kamu sejahat itu sama aku."

Kami berdua terdiam sampai akhirnya aku mendengar isak tangis Azmi di antara bisingnya kendaraan. Kedua tangannya menutupi wajah, kedua bahunya bergetar, dan dia nggak bisa berdiri dengan tegak. Aku nggak tega melihatnya begini walau aku kesal. Tapi lagi-lagi niat baikku ditolak. Azmi kembali agresif dan menyuruhku untuk menjauhinya. Sebenarnya keadaan sudah nggak bagus banget, orang-orang dari bangunan sebelah mulai memperhatikan kami. Anak-anak tokoku juga pada berdiri di dinding kaca dengan wajah penasaran.

"Azmi, aku bukan musuhmu. Kita keluarga sekarang, tapi kenapa kamu punya niat jahat ke aku?"

"Ini karena kamu ngerebut Kak Oliver! Masih nggak sadar juga, hah?!"

Azmi kehilangan kontrol. Dia menunjuk-nunjuk wajahku sambil berteriak. Orang-orang di sekitar mulai berkumpulnya dan menjadikannya kami tontonan.

"Oke, oke, aku bikin kamu sakit hati karena menikahi kakakmu. Tapi tolong kita lanjutin obrolannya di dalam, ya? Lihat, ada banyak orang di sini."

Jujur, aku agak panik. Aku nggak nyangka bakal jadi seheboh ini.  Begok banget memang aku! Gimana kalau sampai ada yang merekam dan menyebarkannya ke media sosial? 

"Nggak! Aku nggak mau ngomong apa-apa lagi! Aku benci kamu tahu, nggak?! Benci banget!"

"Ya, Oke. Kamu benci aku itu nggak masalah. Ayo kita cari solusinya."

Perkataanku diabaikan. Mulanya Azmi menekan dadaku sambil tetap mengoceh kalau aku sudah merebut perhatian kakaknya. Kakiku refleks mundur untuk menghindari serangannya yang lain. Tapi selanjutnya aku memekik karena Azmi mendorongku hingga terjatuh. Rasanya nggak percaya dia sampai main fisik gini. Amarahnya yang meluap sama sekali nggak bisa dikendalikan. Bahkan di saat aku sudah kembali berdiri, Azmi mendorongku lebih kuat. Otakku kosong sejenak karena menyadari posisiku adalah di jalan raya dengan sebuah mobil yang baru saja berbenturan dengan tubuhku.

Putih? Hitam? Abu-abu? Aku nggak tahu warna apa yang mengisi pandanganku yang sedang menghantam aspal saat ini. Teriakan orang-orang memenuhi telingaku. Mereka berlari mendatangiku, kecuali seorang gadis yang tiba-tiba berlutut dengan tatapan syok. Lalu gadis itu menangis tersedu-sedu sambil menatapku yang sedang dibopong seorang laki-laki. Orang-orang panik, berkali-kali kudengar pertanyaan tentang bagian mana yang sakit, atau ajakan ke rumah sakit.

Tubuhku sakit karena benturan tadi cukup keras, tapi rasanya nggak ada luka ataupun darah yang keluar. Sayangnya ada hal yang sangat menggangguku. Bukan rasa pening ataupun menurunnya kesadaran yang aku cemaskan, bukan juga sosok asing yang terlihat khawatir ketika membawaku ke dalam toko. Aku sedang memikirkan wajah bersedih Azmi tadi.

Apakah dia menyesal?

Atau harusnya aku yang mengoreksi diri karena sudah membuat seorang gadis merasa kehilangan kakaknya?

Yang aku pikirkan seketika terpecah saat suara familier memanggil namaku dengan lantang. Lalu Oliver dengan segera merebutku dari laki-laki tadi dan mengambil alih untuk membaringkanku di sofa.

Rina membawakan sebotol air dan
Oliver membantuku minum. Aku masih syok untuk semuanya, jadi aku hanya menggenggam tangan Oliver lalu menangis.

"Sof, kamu paling tahu cara bikin aku khawatir."

Oliver yang memandangku dengan cemas malah membuatku makin menangis.

Untuk beberapa saat aku goyah, terlintas untuk memberi Azmi kebahagiaan yang dia mau. Tapi ... aku bukan hidup untuk menyenangkan orang lain, 'kan? Aku juga berhak mempertahankan apa yang aku miliki. Dan Oliver itu milikku, dia menyayangiku, aku diinginkan olehnya. Yang bermasalah adalah kepribadian Azmi, jadi itu yang harus diperbaiki.

"Oliver, tadi Azmi di luar, dia kelihatan syok setelah ngedorong aku. Coba kamu cari dia."

Oliver berkali-kali terlihat lebih tegang dan segera berlari ke luar toko. Memang, sih, aku terkesan jahat dengan nggak menutupi tindakan Azmi. Mungkin juga dia bakal tambah benci aku. Tapi aku yakin kalau keterbukaan dan kejujuran pada akhirnya akan selalu membawa kebaikan.

To be continued

Dear you, masih adakah maaf untukku karena slow update? Huhuhu.

Kelihatannya santuy, tapi di dalamnya mendidih lihat Sofie digendong cowok lain🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro