17. End of the Drama(1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu baik-baik saja?"

Ah, aku melupakan laki-laki asing ini.

"Ya, thanks."

"Ada yang sakit? Kurasa kamu perlu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan."

"Nggak perlu."

Karena merasa nggak nyaman berbaring di hadapan laki-laki, aku berniat duduk. Mungkin intuisinya sebagai manusia bekerja sangat cepat, sehingga laki-laki ini menyentuh tengkuk dan tanganku untuk membantuku duduk. Aku deg-degan, bukan karena suka, tapi merasa asing dan aneh saat laki-laki ini melakukan kontak fisik denganku. Dalam sekejap aku membuat gerakan menolak bantuannya dan meminta Rina saja yang membantu.

Nggak ada yang salah dengannya. Penampilan rapi yang bikin enak dilihat, wajah bersih dengan rambut diatur, dan wangi segar yang aku pastikan itu adalah parfumnya. Semua normal, nggak ada alasan buatku merasa nggak nyaman kecuali tentang bagaimana aku harusnya bersikap sebagai seorang wanita yang sudah menikah. Yes, itu hal yang membuatku risih. Kalau salaman saja itu masih normal, tapi kalau sampai pegang-pegang tengkuk, itu sudah nggak wajar. Aku juga jadi teringat kalau tadi dia yang membawaku kemari dan ada rasa sesal di hatiku. Tapi bisa dibilang itu keadaan darurat, 'kan? Bukan aku sengaja mau digendong, kok.

"Mbak Sofie nggak apa-apa? Aku kaget banget tadi, Mbak."

Rina terlihat sangat khawatir. Dia memijat-memijat pelan kedua tanganku.

"Iya, aku nggak apa-apa, kok."

"Yakin? Perlu ke rumah sakit? Saya bisa antar." Laki-laki tadi kembali bertanya.

Khawatir banget kayaknya sama aku, padahal nggak kenal.

"Oh, nggak usah. Suami saya ada di sini kalau saya butuh ke rumah sakit. Makasih tawarannya ...."

Aku sengaja menggantung kalimat, karena agak bingung mau manggil dia siapa.

"Panggil Ray. Nama saya Rayhan."

Tangan kanan Ray terulur. Saat aku hendak membalasnya, Oliver tiba-tiba datang dan berlari sambil memanggil namaku. Lalu yang terjadi selanjutnya membuatku benar-benar syok. Tanganku yang sedikit lagi bersentuhan dengan Ray, digenggam oleh Oliver.

"Bukan mahram, Sofie."

Rina dan anak-anak lain yang berdiri di dekatku terlihat menahan senyum. Sementara itu, Ray mengerutkan alis sambil menarik kembali tangannya yang nggak sempat aku jabat.

"Terima kasih sudah membawa istri saya ke sini. Kalau Anda butuh sesuatu, hubungi saya saja."

Wow! Wow! Itu adalah pengusiran halus ala Oliver yang nggak pernah aku prediksi. Ray yang kayaknya nggak punya pilihan selain menerima kartu nama Oliver, nggak lama kemudian berpamitan pergi. Nggak ada lagi hal yang bisa Ray omongin karena Oliver sudah duluan menghadangnya. Anyway, apa sikap Oliver ini bisa kuartikan sebagai cemburu?

"Gimana rasanya?"

"Hah? Rasanya apa?" Aku bertanya pada Oliver yang duduk di sebelahku.

"Digendong sama cowok tadi."

Muka Oliver kaku dan aku tahu ini cara ngomongnya bukan dia banget. Gimana menjelaskannya, ya? Intinya aku paham kalau Oliver nggak suka membahas laki-laki ataupun perempuan lain di antara kami. Pernah dia bahas Farel atau petualangan cintaku setelah kami terpisah lama? Nggak sama sekali! Suamiku ini ngasih batasan untuk hal yang bisa kami bicarakan. Dan kurasa sekarang cemburu lagi benar-benar menguasainya sampai dia nggak bisa ngontrol diri. Maunya aku godain dengan jawaban yang bikin Oliver kepanasan, tapi dia keburu balik ke mode normal.

"Astaghfirullah. Sadar, Olv, sadar."

Tepatnya entah kenapa, aku senang melihat Oliver yang panik dan cemburu karena aku. Di saat dia bereaksi seperti itu, mau nggak mau aku mengakui ada kilatan musim semi di dadaku.

Aku memperhatikan Oliver yang sedang mengusap-usap kening sambil berkali-kali mengucap istighfar. Adem banget lihat adam yang satu ini.

"Maaf, Sofie, buat omonganku tadi. Kamu ada yang luka? Mau cek ke rumah sakit nggak?"

Sebelum aku merasa sakit hati, Oliver sudah lebih dulu meminta maaf. Caranya memperlakukanku terasa sepenuh hati. Sudut-sudut hatiku yang masih memiliki penyangkalan atas rasaku ke Oliver sepertinya mulai terpengaruh. Gawat. Kalau begini terus aku bisa-bisa jadi bucinnya Oliver.

"Sofie? Bagian mana yang sakit? Kamu pusing?"

Oliver menekan lengan kiriku dan bagian lainnya, tapi itu malah membuatku meringis. Tubuh bagian kiriku lumayan sakit.

"Ya Allah, sakitnya di sini? Aku periksa, ada luka atau nggak."

"Eh, ngaco!"

Aku memukul tangan Oliver yang sudah siap untuk mengangkat blouse-ku.

"Astaghfirullah!"  seru Oliver dengan ekspresi kacau.

Tampaknya dia sudah menyadari kesalahannya. Ya gila banget mau melakukan pemeriksaan di sini. Memang ya kalau lagi khawatir susah konsentrasi bahkan untuk sekadar bicara yang . Ahmad yang dengar niat Oliver pun jadi salting.

"Panas, ya? Aduh, cari angin dulu deh di luar," kata Ahmad. Dia mengibas-ngibaskan tangan, seolah-olah memang sedang kegerahan.

Absurd banget ya Allah! Panas dari mana, sih? Toko ini full AC, lho. Konyolnya anak-anak yang lain pada ikutan bilang gerah sehingga mereka beramai-ramai keluar toko dan meninggalkan aku berdua saja dengan Oliver.

"Jadi mau periksa? Mumpung sepi, nih," godaku sambil menekan-nekan lengannya.

Oliver menutup mata sambil beristighfar. Vibe-nya tuh jadi kayak aku adalah setan yang lagi gangguin si polos Oliver. Padahal ya coba kalau aku dibalas dengan tantangan serupa, kalahlah aku pastinya. Ampun! Aku belum berani buat buka-bukaan di depan Oliver.

"Beneran nggak apa-apa, Sof?"

"Iya. Mungkin memar aja, yang jelas nggak ada luka."

"Pengendara mobil itu perempuan, dia tadi masih di depan dan panik. Tapi dia udah minta maaf dan ngejelasin kalau kamu yang tiba-tiba muncul di jalan sampai dia nggak sempat ngerem sebelum nabrak kamu. Dia juga bersedia biayai kamu ke rumah sakit kalau kamu mau. Orang-orang juga ngasih penjelasan yang sama setelah aku nanya kronologinya dan bilang aku suamimu."

Oliver pasti sudah punya gambaran kejadian tadi.

"Terus kamu jawab apa ke yang nabrak?"

"Aku bilang kita damai aja, kamu nggak apa-apa, dan itu bukan murni kesalahan dia."

Aku mengangguk setuju. Baguslah Oliver sudah mewakiliku bicara.

"Tapi, Sofie, kamu punya kewajiban ngejelasin semuanya dengan detail."

Daguku disentuh Oliver. Pandangan kami bertemu yang dalam sekejap membuatku ngeri karena Oliver berekspresi serius. Dia pasti marah karena aku nggak jujur.

"Aku khawatir sama kamu, Sofie, tapi sorry harus bilang kalau aku juga marah sama kamu."

Aku nggak bisa berkata-kata. Selain karena sadar salah sudah nggak jujur dari awal, aku tengah mengagumi kehebatan Oliver yang lebih dulu khawatir dengan keadaanku daripada menuntut penjelasan atas apa yang terjadi.

"Azmi mana?"

"Di mobilku. Dia minta nenangin diri sebentar."

Hah. Azmi juga pasti syok. Aku sudah bertemu dengan banyak orang, jadi aku cukup bisa memperkirakan makna mimik wajah seseorang. Dan Azmi tadi terlihat kacau karena membuatku celaka.

"Kalau aku nggak balik ke sini untuk nganterin dompetmu yang jatuh di mobil, apa kamu nggak berniat jujur tentang kamu dan Azmi?"

Aku mengalihkan pandangan karena nggak sanggup beradu tatap dengan Oliver. Benar yang dia bilang, sejak mencurigai Azmi, aku berniat menyelesaikan semuanya sendiri. Aku bermaksud membiarkan ini menjadi rahasiaku dan Azmi saja. Nggak ada niatan untuk menjadi keren karena nggak membagi masalah dengan keluarga, tapi karena aku nggak mau Oliver, Mama, dan Papa marah ke Azmi. Tadinya kukira aku saja cukup untuk membuat Azmi mengaku dan sadar, sehingga dia nggak perlu terlihat buruk lagi karena membenci kakak iparnya. Ternyata ... aku salah.

"Kak ...."

Tatapanku tertuju pada Azmi yang baru saja melewati pintu toko. Mata gadis itu sembab dan garis-garis ketakutan masih tercetak jelas di wajahnya.

"Ke sini, Azmi," Oliver menyuruh.

Langkah Azmi pendek-pendek, terkesan ragu untuk mendekat, tapi dia tetap melakukannya. Sampai akhirnya dia berdiri di depanku dengan aura yang terasa sangat sendu. Azmi memang salah, keadaannya nggak stabil, jiwa mudanya sedang bergejolak hebat, dan aku jadi terenyuh melihat keadaannya yang sekarang.

"Maaf, Kak Sofie, maafin Azmi. Azmi nggak sengaja."

Lalu tangisnya pecah. Azmi terisak-isak, seperti anak kecil. Dan semua kekesalan serta kecewa yang masih tersisa pada diriku seketika lenyap. Aku bersyukur Azmi masih punya hati nurani. Kurasa membuatnya menerimaku nggak akan sulit setelah ini.

To be continued

Teror aku boleh kok biar End of the Drama(2) bisa tayang nanti malam. Wkwkwk.

Btw, kalian yakin Ray cuma figuran yang numpang lewat doang? Hahahahaaaaa.

Oliver said, "Stop kau membuatku pusing, buatku pusing."

😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro