22. Unsaying Love(2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada satu pertanyaan yang sejak tadi enggan pergi dari kepalaku. Kalau bukan Oliver orangnya, apakah yang lain tetap bertahan di sisiku sampai saat ini?

Sabarnya Oliver memang luar biasa. Aku diajak mampir ke masjid buat sholat Ashar, terus diajak makan. Oliver nggak membahas permasalahan tadi sampai kami tiba di rumah. Dia bisa tahan untuk nggak membalas kata-kataku yang menyakiti hatinya. Oliver bahkan masih bisa nunggu aku selesai mandi dan berpakaian rapi sebelum mengajakku duduk bersama untuk membuka topik yang sangat penting.

"Jadi, Sayang, sekarang kamu udah kenyang, udah wangi lagi. Ada lagi yang kamu butuhin?"

Aku menggeleng, Oliver balas dengan menepuk-nepuk punggung tanganku.

"Udah siap kalau kita bicara dengan kepala dingin tanpa marah-marah, tanpa saling tuduh, tanpa saling menyalahkan?"

Tentu saja aku mengangguk, walau pelan.

Kalau bukan Oliver orangnya apakah saat ini aku sedang dimarahi habis-habisan dan bukan diajak bicara hati-hati begini?

"Pertama, aku minta maaf. Dimaafin nggak?"

Agak maksa, sih. Yah, meski begitu aku tetap mengangguk.

"Lihat sini dong, Sayang. Suami ngomong kamu kok lihatnya ke bawah? Emang lantai itu gantengnya ngalahin aku?"

Bisa-bisanya dia ngelawak. Aku kan jadi nggak bisa nahan senyum.

"Nah, gini kan bagus tatap-tatapan sama suami."

Setelah aku menuruti ucapannya, pipiku dielus. Ck! Dia nggak tahu ya kalau setiap sentuhannya bikin merinding? Nggak tahu ya kalau pikiranku jadi travelling?

"Makasih udah maafin aku, Sayang. Ikhlas maafinnya, 'kan?"

Lagi, aku mengangguk.

"Oke. Kedua, aku kerja, bukan nyari Kak Monic, bukan lebih memilih dia dibanding istriku sendiri. Kamu benar, mungkin aku terlihat takut mengecewakan Kak Monic, tapi bukan itu poin dasarnya, Sofie. Perusahaan ini besar karena ikut campur tanganku. Kedua tangan ini yang selama bertahun-tahun terus mengupayakan agar perusahaan itu memuaskan pelanggan dan terus menghasilkan laba besar. Kalau diibaratkan, perusahaan itu adalah anakku. Sofie, bagimu ini pasti menyebalkan, tapi maaf aku harus bilang, aku nggak bisa melihat anakku hancur ataupun hanya sekedar cacat. Untuk itu aku dengan terpaksa menyakiti kamu hari ini. Maaf."

Kuhela napas panjang, Oliver juga melakukan hal yang sama. Dari wajahnya aku bisa melihat betapa dia menyayangi perusahaan itu. Ya, sekarang aku mengerti betapa pekerjaan sangat penting buatnya. Kalau aku yang jadi dia, bukankah aku akan melakukan hal yang sama? Siapa yang mau mengalami kerugian besar di saat bisa mendapatkan keuntungan? Hanya saja ... aku telah berpikir ulang saat berjongkok di trotoar tadi, memang hidup semudah itu? Ingin ini langsung dapat, mau itu langsung tercapai. Tentu saja semua butuh pengorbanan.

Aku jahat banget saat berpikir mau pisah dari Oliver, sedangkan aku juga menikmati hasil kerjanya. Ya, memang aku kesal dengan caranya yang membatalkan rencana kami. Tapi aku harusnya cukup marah dan mengomel padanya, bukan memutuskan ikatan ini. Ibaratnya, kalau kuku kotor yang dipotong ya kukunya, bukan jari. Lagi pula pas dipikir ulang, aku gila banget mau jadi janda di usia 28 tahun.

Kenapa aku selalu kekanak-kanakan begini kalau berurusan dengan Oliver? Kenapa, sih, aku nggak hati-hati dulu sebelum bicara kalau dengan Oliver? 

"Selain Kak Monic, aku juga bertanggung jawab atas nasib ratusan karyawan, Sofie. Maaf mengecewakan kamu hari ini. Aku cukup panik dan sempat ngerasa kepalaku kosong. Kedatangan beliau udah aku tunggu-tunggu dan yang aku tahu tadi aku harus ketemu beliau apa pun yang terjadi. Maaf karena hal itu aku nggak mikirin perasaanmu dan bertindak tanpa diskusi. Caraku sangat salah tadi. Sepanjang meeting aku tetap kebayang kamu yang lagi nangis. Hah. Kamu bisa tolong maafin aku nggak, Sayang?"

Tanpa ragu aku mengangguk.

"Beneran?" Oliver memastikan seraya mendekatkan wajah.

"Be-beneran."

Duh. Jaraknya dekat banget ini. Bahaya! Bahaya! Aku takut lepas kendali karena Oliver menggoda banget sekarang.

"Makasih ya, Sayang."

Blank! Oliver ... astaga! Dia benar-benar memanfaatkan kesempatan. Aku menutup bibir, sedangkan bokongku bergeser menjauh darinya. Laki-laki ini tertawa kecil, lalu menarik tanganku agar kembali berdekatan dengannya.

"Jangan jauh-jauh, Sayang, belum selesai ngomongnya, nih."

"Ya gimana! Kamu tuh asal cap cup cap cup gitu, bikin ngeri."

"Ngeri? Bukannya happy? Halal lho, Sofie."

Ya Allah! Aku tuh mau ngomel, tapi nggak jadi karena sedang berusaha menjadi lebih kalem ... sedikit.

"Terserah kamulah. Pokoknya itu, aku udah maafin. Ada lagi?"

"Oh, tentu ada. Ketiga ...."

Dari tadi suasananya memang serius, tapi saat ini aku jadi merinding karena mendadak tatapan Oliver begitu tajam dan ekspresinya seperti orang marah.

"Ketiga, lain kali kalau kamu marah sama aku jangan pergi sama laki-laki lain. Pulang ke rumah, kunci pintunya, tenangin hatimu di rumah, dan aku akan tunggu di teras sampai kamu siap bicara sama aku."

Aku menggigit bibir. Tuh kan, aku jadi ngerasa bersalah banget.

"Ini cuma perandaian ya, Sayang. Kalau aku berduaan sama perempuan lain di mobil, kamu nggak apa-apa?"

"Ya kamu ngapain sama cewek lain? Mau selingkuh?"

Bibir Oliver sedikit tertarik. Aku mendesis, baru sadar terpancing memberi jawaban yang mungkin saja melegakan Oliver.

"Kamu langsung mikir aku mau selingkuh. Bedanya aku percaya kamu nggak akan begitu, Sofie. Tapi ...."

Tanganku dituntun untuk menyentuh dada Oliver. Aku kesusahan menelan ludah karena saat ini ternyata Oliver sangat berdebar. Detak jantungnya nggak normal, tapi hebatnya dia masih bisa bersikap tenang.

"Hatiku sakit, Sofie, aku nggak bisa menyangkalnya. Siapa dia? Cuma orang asing. Tapi orang asing itu pernah menyentuh badan kamu dan hari ini kamu bahkan minta bantuannya. Aku cemburu, Sofie. Bisa aku minta tolong jangan lakuin hal itu lagi?"

Ekspresi terluka Oliver saat ini sangat terlihat. Dan aku memahaminya. Benar, aku yang sudah keterlaluan. Niatku adalah membuatnya merasa sakit hati jika aku memilih yang lain, tapi saat itu sudah terjadi aku nggak benar-benar senang.

"Sof, kenapa diam? Nggak bisa memenuhi permintaanku?"

Aku menyentuh rahang Oliver, yang membuatnya sempat mendelik. Setelah itu Oliver memejamkan mata, seolah-olah menikmati sentuhanku.

"Aku bisa. Aku minta maaf, ya. Kamu mau maafin?"

"Aku maafkan, selalu."

Aku mengulum bibir biar nggak terlihat lagi tersenyum. Kok lega banget dia mau maafin aku? Kok senang ya kami menyelesaikan masalah dengan tenang seperti ini?

"Keempat," katanya sambil menahan tanganku agar tetap di rahangnya.

"Hah? Kok ada lagi? Banyak banget."

"Ya belum selesai, Sofie. Duduk dulu di sini, kamu emang mau ngapain buru-buru selesai ngobrolnya?"

"Mau ke kamar."

"Naked? Waiting for me on the bed?"

"Ishhh! Mesummm!"

Nggak segan aku mencubit pinggang Oliver. Dia tertawa kecil, eh tapi bisaan banget malah balas dengan menarik pinggangku sampai aku duduk di pangkuannya.

"Hai. Cantik banget, sih? Istrinya siapa coba?"

Aduh, tolong. Aku berusaha nggak terlihat gugup karena pinggangku dia peluk dan wajahnya yang lebih rendah dariku nggak berpaling ke arah lain. Seumur-umur aku belum pernah coba posisi begini sama laki-laki lain. Mana jago banget bikin orang malu sama kata-katanya.

"Udah deh, buruan. Apa yang keempat?"

"Oke, oke. Serius sekarang. Keempat, kalau kamu marah sama aku, tolong jangan minta pisah, oke? Pernikahan kita bukan bercandaan, Sofie. Mulanya kamu terpaksa, iya itu benar. Tapi apa sampai detik ini yang aku kasih ke kamu hanya penderitaan?"

Tentu saja nggak. Sejak kami bertemu lagi, Oliver terus berusaha membahagiakan aku. Akunya saja yang menyebalkan seperti menutup mata dari semua kebaikannya.

"Ya, oke, aku nggak akan gitu lagi."

"Anak baik."

"Udah, 'kan? Aku pergi nih."

Baru saja sedikit mengangkat badan, Oliver memaksaku duduk lagi. Dia geleng-geleng melihatku yang nggak sabaran pengen menyudahi posisi yang nggak wajar ini. Tolonglah. Aku juga cuma manusia biasa dan kami saat ini ... astaga pikiranku diisi hal-hal kotor, tapi nggak bisa dihentikan.

"Kelima."

Ya ampun. Masih ada?

"Makasih kamu nggak bikin story atau feed aneh-aneh tentang pertengkaran kita. Makasih kamu tetap menjaga privasi kita di publik."

Ah, itu. Ya aku memang begitu sih, bukan tipe yang mencurahkan isi hati secara frontal. Malu saja kalau orang lain tahu jelas masalah apa yang sedang aku hadapi.

"Aku sampai searching arti foto bunga yang kamu kirim ke aku. Maaf ya, Sayang, udah bikin kecewa."

Imut banget Oliver pas bilang maaf sambil jewer dua telinganya.

"Iyaa, dimaafin. Udah."

"Belum. Masih ada lagi."

Ya Allah!

"Last but not least, Sayang. Tadaaa!"

Aku syok karena Oliver tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak dari balik bantal sofa. Di bagian depan kotak itu ada bordiran nama brand-nya; Sista. Hah?! Ini beneran? Oliver beliin aku perhiasan di Sista?

"Isinya bukan kodok atau kecoak, 'kan?" tanyaku curiga.

"Nggaklah, Sayang. Nggak percaya aku bisa beliin kamu perhiasan beneran?"

Ya nggak gitu, sih. Siapa tahu Oliver balas dendam gitu lho karena kesal sama tingkahku hari ini.

"Buka gih."

Aku menerima kotak itu dan segera membukanya. Gilaaa! Mataku langsung silau sama kecantikan kalung dan anting-anting di dalamnya. Kutatap Oliver yang tengah tersenyum, lalu aku ikut tersenyum.

Memang benar Oliver mampu membelinya, tapi poinnya kali ini adalah Oliver berusaha menyenangkan hatiku setelah pertengkaran kami yang cukup hebat. Dia tahu aku bakal happy kalau dikasih hadiah. Sikap Oliver sudah menunjukkan kasih sayangnya ke aku walau tanpa ada kata cinta saat ini.

"Thanks, Oliver."

"Suka?"

Jelaslah aku ngangguk.

"Sini aku bantu pakai."

Nggak ada yang salah saat Oliver memakaikan anting, tapi setelah dia selesai memakaikan kalung, leherku dikecup. Sensasi aneh menjalari seluruh tubuhku. Merinding, tapi juga ... menyenangkan.

"Sayang, udah nggak marah, 'kan? Buka blokirannya, ya?"

Khayalanku tentang apa yang akan kami lakukan setelah ini segera pudar. Aku tertawa. Kukira Oliver akan merayu untuk hal-hal lain, ternyata dia cuma mau aku buka blokiran. Hahaha. Astaga, Sofie, kepalamu banyak pasirnya!

To be continued

Wahhhh udah happy nih! Apa next chap kita selesaikan saja cerita mereka? Ehhh gimana????🤣

Kaburrrr sebelum didemo.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro