23. Bitter and Sweet(1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sof, bangun. Siap-siap sholat Subuh."

Lenganku diguncang-guncang, tapi mataku tetap saja nggak terbuka. Masih ngantuk banget!

"Lima menit lagi, Olv."

Aku semakin meringkuk sambil memeluk guling.

"Aku mau ke mushola bentar lagi, Sofie. Nanti kamu malah jadi kesiangan. Ayo bangun. Nanti siang kan bisa tidur lagi."

Kali ini Oliver mengguncang lenganku lebih keras. Nggak cuma itu, dia sepertinya mengecup seluruh wajahku sampai terasa basah. Tapi sama juga, nggak ngaruh. Aku mau tidur lagi tanpa gangguan dan akhirnya kutarik selimut sampai menutupi wajah. Hangat, nyaman, dan hening. Nggak ada lagi yang berisik. Sekarang aku bisa melanjutkan mimpi.

"Man Rabbuka."

"Allahu Rabbi," sahutku cepat.

"Man Nabiyyuka."

Eh? Gimana? Tunggu. Itu kan pertanyaan ....

"Astaghfirullah! Aku udah mati?!" teriakku sambil melompat.

Aku membuka mata lebar-lebar untuk memperhatikan sekitar biar jelas. Lalu napasku yang tadi rasanya beneran mau putus, sekarang normal lagi. Ini masih di kamarku, aku masih pakai piama, dan di tepi ranjang ada Oliver yang duduk sambil menutup bibir dan garuk-garuk kepala. Dia sudah rapi dengan koko dan sarung, tapi sempat-sempatnya kepikiran bangunin aku dengan kalimat esktrem tadi.

"Ihhhh! Kamu ngerjain aku, Oliver!"

Kuambil bantal dan melemparnya ke arah Oliver. Cicaknya, Oliver berhasil menghindar.

"Jantungku udah nggak jelas detakannya gara-gara kamu, Olv."

Hah. Hah. Benar-benar deh Oliver ini.

Kupegangi dadaku, lalu duduk lemas di tepian ranjang. Oliver tiba-tiba saja sudah berlutut di bawahku dan menyentuh wajahku.

"Apa kamu nggak pernah berpikir yang kamu kerjakan terakhir kali sebelum meninggal adalah melalaikan sholat? Tadi itu hanya simulasi, tapi kalau benar-benar terjadi apa yang bisa kamu lakuin, Sofie? Kamu cuma bisa menyesal dan ingin hidup lagi untuk selalu mengerjakan sholat. Sayang, neraka itu berat. Kita nggak akan sanggup. Langsung siap-siap sholat ya. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum."

Aku menjawab salam Oliver dengan wajah tertunduk. Masih lemas mikirin yang tadi. Gimana kalau seandainya beneran pas buka mata ternyata aku sudah berada di alam kubur? Ihhh ngeriii. Terus nanti pasti ditanya malaikat, aku nggak bisa jawab. Ya Allah! Kok mendadak merinding parah gini?

Ah! Pokoknya sekarang mandi dulu biar lebih segar dan langsung sholat Subuh!

Ada beberapa momen yang membuatku menangis saat sholat, tapi tentu saja itu termasuk jarang. Dan kali ini aku nggak tahu apa sebab pastinya kenapa air mataku terus menetes, terutama di saat aku bersujud. Apa ini karena sebenarnya aku ketakutan yang diucapkan Oliver bisa saja terjadi?

Astaghfirullah. Dadaku sesak banget. Kenapa sih ini? Air mataku makin deras saja.

Selesai sholat, aku jarang berzikir, karena biasanya terburu-buru mengerjakan hal lain. Kali ini aku melakukannya dengan wajah basah yang seperti enggan kering. Bahkan aku bertanya-tanya, kapan terakhir kali aku menghadap Allah dengan khusyuk.

Baru saja aku selesai berdoa dan mengatur napas plus emosi, pintu kamar terbuka. Oliver datang sambil memberi salam, lalu duduk di sampingku setelah mengambil Al-Qur'an dari kabinet. Ekspresinya bertanya-tanya, tapi seolah sengaja tetap bungkam. Aku mengusap-usap wajah dengan mukena, Oliver hanya memperhatikan tanpa bertanya duluan.

"Dari tadi aku nangis, nggak tahu kenapa. Dadaku kayak penuh, susah dijelasinnya."

Finally aku mengatakan isi hatiku.

"Sini rebahan. Temenin aku ngaji."

Oliver menepuk-nepuk pahanya. Tanpa basa-basi ataupun penolakan, aku langsung menerima tawarannya.

Dan ini adalah salah satu momen kami yang sangat melelehkan hatiku. Sebelum-sebelumnya aku selalu menolak kalau Oliver memberi tawaran begitu, tanpa aku tahu ternyata menggunakan pahanya sebagai alas kepala sangat nyaman. Ditambah pula dengan ayat demi ayat yang Oliver lantunkan menghangatkan hatiku. Aku nggak tahu adakah situasi yang lebih baik dari sekarang. Karena sejujurnya, saat ini aku merasa sangat sangat bahagia dan beruntung memiliki Oliver.


Pagi ini aku bantu Oliver bersihin rumah atas kemauan sendiri tanpa keterpaksaan. Eh? Gimana ya menyebutnya? Apa bagusnya diganti dengan kalimat akhirnya aku mengerjakan tugasku di rumah? Habisnya selama ini kan Oliver doang yang mengerjakan ini itu. Ya, ya, aku ini memang pemalas and lucky me dapat suami se-perfect Oliver.

Setelah beres-beres, Oliver mandi. Aku sih nggak. Soalnya cuma nyapu saja tadi dan nggak bikin aku keringetan. Oliver sih wajar, soalnya dia yang ngepel rumah dan nyapu di halaman belakang. Hehehe! Seenggaknya aku turut berkontribusi.

Selain bersih-bersih, aku itu ya ogah banget di dapur. Cuma ... tadi itu aku sempat lihat resep pancake yang kayaknya mudah banget dibuat. Oliver beberapa kali pernah bikinin aku, masa aku nggak bisa sih? Well, berhubung dia masih mandi, aku mencoba ngasih kejutan dengan menyiapkan sarapan. Aku berjuang keras mengingat apa yang tertera di resep dan mengambil bahan yang sama biar nggak bolak-balik salah terus.

Setelah melewati usaha fokus pada adonan agar sama dengan resep, serta panas api kompor, akhirnya pancake itu jadi. Sudah kutata di piring. Dan ... siap aku buang ke tempat sampah. Gosong semua! Huaaaa!

"Sof? Ngapain?"

Aku membalik tubuh dan menyodorkan piring berisi tumpukan pancake yang gosong. Bibirku manyun, kecewa pada hasil tangan sendiri.

"Masya Allah. Istriku bikin black pancake, ya?"

"Ambigu banget kamu tuh, mau ngejek apa muji."

"Muji dong, Sayang. Sini aku cobain."

Dilihat dari penampilannya saja itu benar-benar nggak layak makan. Tapi dengan nggak tahu malu aku masih berharap rasanya enak. Aku membiarkan Oliver membawa piring itu ke meja makan, duduk di seberangnya serta menanti komentar. Lalu aku teringat obrolan kami beberapa waktu lalu. Dengan terburu-buru aku menarik piring itu, membuat tangan Oliver nggak sampai untuk meraih pancake.

"Kenapa, Sof? Aku mau cobain."

"Kamu segini bucinnya ya sama aku? Udah tahu ini gosong, masa masih mau dimakan? Nanti kalau kamu sakit perut gimana?"

Oliver melipat kedua tangannya di meja, kemudian mencondongkan badan.

"First trial itu biasa kok kalau gagal. Lagian mubazir kalau nggak dimakan, Sayang. Tahu kan di luar sana ada orang yang bahkan ngorek-ngorek tempat sampah untuk dapat makanan?"

Aduh, kena ceramah lagi aku. Ya, tapi benar sih yang dibilang Oliver.

"Ya udah, aku aja yang makan. Kamu bikin yang baru aja tuh. Adonannya masih ada, nggak aku masak semua tadi."

Cuma tiga pieces, harusnya aku nggak bakal sekarat sih ya?

"Sof," Oliver mengambil satu pancake yang sudah kuberi topping madu, "makasih ya kamu udah bikinin aku sarapan. Apa pun hasilnya aku nggak terlalu peduli, yang penting kamu udah niat."

Pancake itu Oliver arahkan ke mulutku. Kuhela napas panjang sebelum menggigitnya. Dan ... ya ampun, pahit sekaligus ada manis dari madu. Parahlah rasanya. Cuma yang lebih bikin aku syok, Oliver menghabiskan sisa gigitanku tadi.

"Lho, kok tetap kamu makan? Aku aja yang makan, Oliver."

"Kita makan berdua kan jadi adil."

Mana ada adil. Tadi aku baru gigit sedikit dan Oliver dapat bagian yang jauh lebih banyak.

Selanjutnya Oliver menyuapi aku lagi. Kali ini aku menggigit sampai setengahnya, karena kemampuanku cuma segitu. Oliver tertawa melihat tingkahku.

Please deh, ini kenapa pancake-nya tiba-tiba manis sewaktu lihat Oliver senyum?

Untunglah pancake-nya tinggal satu. Tapi nggak aku bayangkan sebelumnya kalau Oliver bakal mengubah cara makan kami.

Pertama, dia menyuapiku. Kedua, sebelum aku selesai menggigit, Oliver berdiri dan memajukan badan. Ketiga, dia juga menggigit pancake ini. Keempat, aku nggak sanggup menceritakan gimana salting-nya aku dengan posisi kami sekarang. Kyaaaaa!

Thanks to pancake gosong.

To be continued

Kalian pengen cerita ini tamat di adegan ....


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro