23. Bitter and Sweet(2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah menghabiskan pancake gosong dengan cara nggak biasa, Oliver membuatkan pancake yang baru. Aku baru tahu ternyata tadi pas aku bikin apinya kebesaran. Lihat hasil buatan Oliver ini jadi berasa banget dia pro dan aku newbie.

Selesai makan kami duduk-duduk di ruang tamu, niatnya nonton TV tapi ternyata nggak ada yang menarik perhatianku. Ke toko saja kali ya? Mau ngapain juga kalau seharian di rumah sama Oliver?

"Sof, kamu ada kegiatan apa hari ini?"

"Nothing. Maunya sih ke toko, bosan di rumah gini."

"Oke, ayo siap-siap."

"Kamu mau antar aku ke toko?"

"Bukan, kita mau ke rumah Bunda. Setelah kamu bilang mau mengakhiri kita di depan keluarga, kamu harus kasih klarifikasi dong."

Aku berdecak seraya memukul jidat. Benar yang Oliver katakan, aku harus bertemu keluarga untuk meminta maaf dan pastinya siap-siap mendengarkan nasihat mereka. Huhuhu. Bisa di-skip nggak sih? Kayak nggak siap kalau diingatkan kalau kemarin-kemarin itu aku benar-benar keterlaluan. Aku sudah sadar kok dengan kesalahanku. Tapi ya biarpun aku menghindar hari ini, tetap saja pertemuan keluarga itu bakal terjadi.

"Dan ada hal lain yang mau aku bilang ke kamu."

Hmmmm? Wajah Oliver serius. Dia mematikan TV, lalu menggenggam satu tanganku. Mau ngomong apa sih? Bikin deg-degan saja.

"Sof, kemarin seharusnya kita belum selesai bicara. Karena aku lihat kamu udah lelah, jadi aku nggak melanjutkan. Soal pengunduran diri, itu aku serius kalau kamu setuju. Aku nggak akan bohong kalau keputusan itu sangat berat dan mungkin aku bakal susah move on nantinya. Aku jadi kayak sekarang karena perusahaan itu. Tapi kalau bekerja di bawah Kak Monic bikin kamu nggak nyaman, aku akan mengalah."

Ah, soal ini.

"Aku akan melamar di perusahaan lain. Ribut dan salah paham sama kamu bikin aku nggak tenang dan resah saat kerja. Demi kedamaian kita bersama, aku bisa keluar dari perusahaan Kak Monic."

Obrolan kami serius, aku juga menanggapinya dengan serius. Semalam sebelum tidur aku sudah memikirkannya dan yakin pada keputusan yang akan kubuat. Monic itu nggak salah, apalagi perusahaannya. Nggak ada alasan untuk aku menyuruh Oliver membuang perusahaan yang turut dia besarkan. Masalahnya ada padaku yang nggak bisa berkepala dingin saat berhadapan dengan Oliver. Aku nggak mau beralasan, tapi mungkin ini karena aku pernah ditinggalkan. Perasaan curiga dan waswas dikecewakan serta dibohongi membayang-bayangiku. Walau Oliver telah membuktikan keseriusannya, jujur saja kemarin-kemarin aku masih memiliki keyakinan bahwa hatiku akan dipatahkan lagi. Dan kejadian kemarin membuktikan ketakutanku. Aku jadi menggebu-gebu untuk mengakhiri segalanya, karena yakin bahwa hal seperti itu akan terjadi terus-menerus.

"Olv, kamu stay aja di sana. Aku nggak keberatan."

"Sof, yakin? Boleh tahu aku alasannya?"

Bagaimana tatapan Oliver itu sudah mewakili perasaannya saat mendengar ucapanku tadi. Ya wajar saja dia ragu, karena aku pernah nggak percaya padanya dan menuduh kalau yang dia pikirkan kemarin sebenarnya adalah Monic, bukan perusahaan.

"Kamu nyaman kerja di sana, jadi aku nggak bisa melarang. Aku nggak terlalu paham pekerjaanmu, setiap hari ada di depan laptop 2-3 jam, tapi aku dapat poinnya kalau kamu berperan penting di sana. Semacam CEO gitu kan karena kamu pernah bilang Monic ngasih kamu hak untuk mengendalikan dan membesarkan perusahaan? Yah, intinya, kamu kerja aja yang tenang."

"Ya Allah. Beneran, Sofie? Ikhlas, ya? Nggak akan marah-marah lagi, ya?"

Bibirku sedikit tertarik. Cara bicara Oliver dan rona wajahnya itu bikin aku bangga karena nggak salah ambil keputusan. Dia yang sudah berjuang keras selama bertahun-tahun pasti merasa galau dan patah hati kalau sampai aku setuju dia berhenti kerja sama Monic. Jahat banget ya aku kemarin sampai Oliver rela berkorban kayak gini?

"Makasih, Sayang, kamu udah ngertiin aku."

Oliver mengecup tanganku. Kalimatnya barusan simple banget, tapi cukup bikin aku nge-fly. Apa ini salah satu tanda kalau aku memang sudah menerima Oliver?

"Aku nyebelin gini kenapa kamu mau sih nikahin aku?"

"Terlalu banyak alasan kenapa aku mau sama kamu sampai aku nggak bisa menyebutkannya."

Aku salah tingkah ditatap lembut begitu dan memilih meninggalkan Oliver untuk berganti pakaian.

Aduhhh! Jadi nyesel kenapa aku naya gitu barusan. Akibatnya aku yang meleleh dengar jawabannya!

Hush! Hush! Berhenti mikirin Oliver sejenak, aku harus siap-siap dulu.

"Ganti celanamu, Sof.",

"Heh! Kaget aku!"

Apa-apaan dia masuk tanpa permisi padahal tadi udah kasih peringatan aku mau ganti di kamar. Dan untungnya aku sudah berpakaian lengkap. Astagaaa!

"Kenapa celanaku?"

Aku melanjutkan merias wajah di depan cermin, di belakangku Oliver bersedekap dan nggak enak banget tatapannya.

"Itu jeans lho," katanya.

"Ya terus?"

"Bisa dinaikin nggak? Pasti nggak?"

"Eh, apa sih?!"

Aku memekik karena Oliver tiba-tiba berjongkok, lalu menarik ke atas bagian betis celanaku. Ya nggak bisa naik memang, kan ketat.

"Kan, ini nggak wudhu friendly, Sofie. Ganti sana."

What?!

"Kenapa, sih? Style-ku aneh emangnya?"

Melalui pantulan kaca, kami bertatapan.

"Kalau kita pergi seharian, nanti kamu gimana mau wudhu? Susah, 'kan?"

Ya ampun. Jadi gara-gara itu.

"Ganti deh sana. Pakai long dress aja atau rok."

"Rok pendek ada. Mau aku pakai itu?"

Oliver langsung melotot dong, tawaku jadi seketika pecah. Gini ya, aku tuh sebenarnya sudah berusaha menyesuaikan dengan pandangan Oliver soal outfit. Walau Oliver nggak bilang, tapi setelah kami pergi beli es krim malam-malam itu, aku nggak pernah lagi keluar pakai celana pendek. Paham sih aku dia keberatan banget kalau paha istrinya ini jadi konsumsi publik. Tapi kalau jeans panjang gini juga nggak boleh, aku harus pakai apa dong?

"Long dress ada?"

"Ada. Talinya kecil tapi."

"Terus tali bra-mu jadi kelihatan nanti?"

Oliver menutup matanya dengan lima jari sambil geleng-geleng. Ngeselin sih ya sampai pakai apa-apa diatur gini, lebih ketat dari Ayah lho. Tapi ngelihat ekspresinya apalagi saat membuka lemariku, itu mood banget. Dia sedih, kayak lagi nelangsa banget karena ternyata lemariku beneran kebanyakan diisi jeans dan dress selutut. Pening deh kayaknya dia karena baginya ini mungkin pakaian haram, secara Mama sama Azmi kan berhijab. Mama pakai gamis, Azmi pakai rok, sedangkan aku pakai celana ketat.

"Nanti kita shopping yuk. Aku sekalian mau beliin kamu gamis syar'i satu kodi."

Santai banget dia ngajakinnya tanpa tahu aku syok. Gamis? Seriusan? Nggak mauuu!

Dua hari lalu itu hari yang ... nano-nano bangetttt. Kami pergi ke rumah Bunda setelah Oliver mengizinkan aku pakai long dress plus outer. Sesuai dugaanlah, aku tuh dengerin banyak nasihat kemarin. Agak sorean, kami ke rumah Mama. Tujuannya sama kayak sebelumnya, minta maaf dan ngasih klarifikasi. Kami makan malam dan sholat Magrib di sana, tapi aku bertanya-tanya kenapa Azmi belum pulang. Dia kerja sebagai akuntan di kantor rent car yang ternyata itu punya Oliver dan temannya, join bisnis gitu lho. Aku baru tahu deh suamiku punya usaha gini.

By the way, balik lagi ke Azmi. Jadi, alasan dia belum pulang sampai aku meninggalkan rumah Mama adalah ... Azmi konsultasi lagi dengan psikiater. Yes, aku bilang lagi karena dulu sebelum pindah ke Bali Azmi sudah pernah beberapa kali terapi dengan psikiater, tapi dihentikan karena sudah menunjukkan perubahan besar. Mungkin karena kehadiranku secara nyata, Azmi ke-trigger sehingga brother complex-nya kambuh dan cukup parah. Mama bilang kalau Azmi mau menemui psikiater tanpa paksaan dan itu bikin Mama Papa bersyukur, terutama karena ngelihat sikap Azmi yang jauh lebih baik ke aku. Aku juga jadi senang dengarnya.

Eh, tapi ... ada yang janggal nggak sih? Aku merasa melewatkan suatu informasi penting kemarin, cuma nggak tahu apa itu.

Oke, oke, sementara skip dulu. Coba nanti aku pikirin lagi tentang dua hari lalu, barang kali ketemu apa yang bikin perasaanku aneh.

Oh, ya, soal pakaianku di lemari... Oliver memang cicak! Dia keluarin semua celana jeans baik itu pendek ataupun panjang. Dia masukin ke tas besar, terus bilang bakal disumbangkan ke yang benar-benar butuh. Huaaaa! Mau nangis asli! Tapi aku nggak berkutik pas dia bilang, "Ya gimana ya, Sayang. Neraka bukan di tanganku soalnya."

Tahu banget deh aku kalau itu sindiran. Nggak berhijab, celana ketat yang bikin susah wudhu, dan ya ... gitulah. Benar-benar deh Oliver, tapi ya omongannya nggak salah, jadi aku cuma bisa diam. Huhuhu. Sebagai gantinya, Oliver belanjain aku beberapa pieces long dress dan kulot. Nggak berani protes banyak aku tuh, syukur-syukur nggak jadi dibeliin gamis syar'i.

"Sofie? Kamu di sini sendirian?"

Eh? Aku segera menoleh, ternyata Rayendra. Eh, salah, salah! Rayhan! Laki-laki ini berdiri di dekat mejaku dengan telapak tangan sejajar dada dan bergerak memberi isyarat sapaan. Kebetulan banget ya kami ketemu di restoran saat jam makan siang gini. Aku memang sendirian sekarang, tapi sudah janjian sama Fani, harusnya nggak lama lagi dia datang.

"Hei. Aku lagi nunggu teman. Kamu gimana?"

"Sendirian. Boleh duduk di sini?"

Aku mengangguk. Lucu ya kami, benar-benar sepakat untuk bersikap kasual layaknya teman.

"Udah pesan makan?" tanyanya.

"Baru minum. Sekalian ntar sama teman."

"Oh, oke. Nanti aku pindah ke sebelah saat temanmu datang."

Aku mengangguk pelan. Kami baru kenal, Fani bahkan nggak tahu Ray. Aku harus konfirmasi ke Fani dulu kalau mau ngajak Ray duduk satu meja, karena takutnya Fani nggak nyaman. Tapi untunglah Ray pengertian. Dia melihat-lihat daftar menu dengan antusias setelah seorang pelayan mengantarnya barusan.

"Kabarmu baik, 'kan, Sofie?"

"Sangat baik. Thanks udah bertanya."

Ray mengangguk-angguk, lalu entah kenapa menutup buku menu dan menatapku dengan lurus. Ini beneran aku yang dilihatin seolah-olah tanpa kedip lho.

"Hei, kenapa? Ada yang aneh?"

Aku sudah memeriksa penampilan pas di toilet, rasanya aman-aman saja deh.

"New earring?" (1)

"From him." (2)

Perhatian banget ya si Ray ini, tahu saja aku punya barang baru.

"Look so beautiful on you. But why don't you wear mine?" (3)

Sesaat aku nge-blank. Gimana maksudnya? Gimana? Aku salah dengar kan barusan? Iya, pasti aku salah dengar karena suara Ray kecil. Tapi kenapa hatiku malah menolak pemikiran itu?

"Oh, shit," ucapnya dengan nada rendah.

Aku masih terpaku, berusaha meyakinkan diri atas informasi mengejutkan barusan.

"Kalau kamu dengar, sorry itu cuma ucapan ngelantur."

Laki-laki berpakaian formal ini kembali membuka halaman menu, lalu memanggil pelayan untuk mencatat pesanan. Aku yang sudah selesai merangkai beberapa kejadian di kepala seketika mengepalkan tangan. Melihatku yang diam dan mungkin raut wajahku yang nggak bersahabat, Ray sesaat menunjukkan keterkejutan. Dan dia menghela napas panjang.

"Mengerikan," kataku.

"Sof, I'm sorry. Ini nggak kayak yang kamu kira."

"Oh ya? Kamu bisa ngirimin aku perhiasan mahal, apa sih artinya cuma membuat kita ketemu di restoran seolah-olah kebetulan? Wow. Kamu mengerikan, Ray."

Aku sedang menimbang-nimbang harus langsung pergi dari sini atau tetap menunggu Fani datang dan di sisi lain mendengarkan Ray yang berusaha menjelaskan.

How come?(4) Astaga. Memang kami pernah kenal sebelumnya? Nggak lho. Tapi kok dia bisa ngasih aku anting-anting dari Sista dan menolong aku seperti tanpa maksud?

To be continued

Puas Bund ada hal baru yang terungkap? Hehehee

NB:

1. Anting-anting baru?

2. Dari dia (Oliver).

3. Kelihatan cantik banget di kamu. Tapi kenapa punyaku (anting-antingku? nggak kamu pakai?"

4. Kok bisa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro