Bab 22 - Kakak Gila

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selama hampir seminggu, aku demam tinggi. Tiga hari pertama, aku tidak sadarkan diri. Rohku terlalu lemah untuk melakukan apapun. Termasuk perjalanan astral. Meski demikian, aku merasa lega. Karena kali ini, aku benar-benar istirahat. Bukannya berada dalam sebuah kegelapan.

Pagi itu, Feng datang membawakan semangkuk bubur sumsum. Selera makanku masih buruk. Jujur saja, aku bahkan ogah menelan air. Lidahku pahit. Sementara tenggorokanku masih membandel tak mau dilewati sesuatu. Sensasi terbakar itu masih menyakitkan bagi saluran pencernaanku.

"Kris," Feng mulai jengkel. Alisnya mengernyit dan bibirnya terkatup rapat. Dia memandangku tajam, seolah menyuruhku segera menyendok bubur di atas meja.

"Nanti saja, Kak. Lagi malas ini," kataku ngeles. Dan tentu saja, Feng tak mau tahu dengan ucapanku. Dia menyingkirkan meja sarapan dari tempat tidur. Lalu mengambil mangkuk bubur.

"Aku tahu, debu neraka itu racun yang kuat," Feng mulai menyendok bubur lalu meniup-niupnya, "Masalahnya, Kris... kalau kamu mati kelaparan, kamu bisa-bisa pergi ke sana lagi."

Iiih. Bujukannya nggak banget!

Ujung sendok bubur menempel di bibirku sekarang. Sorot mata Feng terlihat membujuk. Mau tak mau, aku membuka mulut. Seperti yang kuduga, bubur itu terasa seperti dedak. Tak enak sama sekali.

"Ini pertama kalinya aku nyuapin cewek," Feng tersenyum geli, "Paling nggak, hargai usahaku, Kris. Nggak semua cewek beruntung sepertimu. Uhuk."

Ucapan Feng membuatku tersenyum, "Xie xie, Koko," kataku tulus.

Feng menyendok bubur lagi. Kali ini, rasanya tidak seburuk yang tadi. Rasa gula merah mulai menyentuh syaraf-syaraf lidahku. Manis. Semanis yang nyuapin #eh.

"Maaf, ya... sudah merepotkan kalian semua."

"Aku nggak merasa repot, sih..." Feng berkata datar, "Toh, yang kemarin bukan kamu."

Aku mengernyitkan alis. Sejenak, Feng memilih sibuk dengan meniup dan menyuapkan bubur. Sepertinya, dia sedang mencari kata-kata yang tepat.

"Aku sudah curiga waktu temanmu—Riesa mengantarmu dari kampus. Apalagi waktu itu, kamu pingsan semalaman."

Aku mengingat-ingat kejadian itu. Sepertinya, itu saat para makhluk neraka membawaku ke hadapan Gilang. Gilang menunjukkan adegan horor itu. Lalu dia berubah pikiran dan bertempur melawan neraka.

"Boleh aku masuk, Sis?" sebuah suara terdengar dari balik dinding. Malaikat Yizreel melayang masuk lalu berdiri di sebelah Feng. Luka sayatan di pipinya terlihat amat jelas.

"Maaf, salah panggil lagi," Malaikat Yizreel menyengir. Dia pasti capek sekali. Aku mendengar kalau dia sibuk mengambilkan daun pohon kehidupan untuk menyelamatkanku. Itu pekerjaan yang berisiko, kau tahu? Para kerubin—makhluk yang menjaga pohon itu akan menyerang siapapun yang mendekat. Keberanian Malaikat Yizreel sungguh mengagumkan. Hanya kasih sayang yang besar dapat menggerakkan para kerubin itu.

"Sungguh licik raja neraka itu. Sementara dia memerangkapmu, seseorang berusaha merebut tubuhmu di sini," Kata Malaikat Yizreel jengkel.

Aku mengernyitkan alis dan Feng mengedikkan bahu.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" kataku bingung.

"Seperti yang dikatakan Malaikat Yizreel, iblis menguasai tubuhmu," Feng menyusut kening, "Setiap kali kami lengah, kamu akan mencoba membunuh dirimu sendiri."

Aku bergidik ngeri, "Separah itukah?"

Feng langsung menjelaskan semuanya. Malaikat Yizreel mencoba melakukan eksorsisme yang ternyata sangat sulit. Saat rohku kembali, tubuhku masih sangat tak stabil. Untungnya, semua orang dengan sekuat tenaga membantu pemulihanku. Saat tubuhku terlalu panas, Feng akan membawaku berendam di air es. Saat tubuhku terlalu dingin, Sanosuke dan Freya akan mengalirkan energi panas mereka.

"Semuanya benar-benar kacau, Kris. Dan aku heran, kenapa saat kamu mulai pulih, Bene datang dan memaksa membawamu ke rumah sakit."

"Ke rumah sakit?"

Rahang Feng mengeras, "Kakakmu itu aneh sekali. Apa dia sudah gila? Membawamu ke tempat yang minim penjagaan seperti itu! Seharusnya kalau dia peduli, dia yang menjagamu di sini, kan?"

Aku terdiam mendengar perkataan Feng. Kakakku tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Tapi masalahnya, Bene memang semakin aneh belakangan ini. Tanpa sadar, aku mengingat terakhir kali aku bertemu Bene. Sesaat sebelum para Asvang menyerbu mobilku.

Rayuan Bene saat itu terasa asing. Aku berusaha menangkap bayangan pelukan Bene. Saat aku menangis di dadanya. Dan saat ini, tiba-tiba aku mengingat bisikan Bene saat itu:

"Kum tsu infernum..."

Tengkukku merinding seketika. Setitik air mata mulai turun di pipiku. Bene mengatakan itu? Kum tsu infernum adalah bahasa bawah. Artinya... terbukalah gerbang neraka.

"Aku nggak ngerti jalan pikiran kakakmu, Kris. Dia bilang, kamu akan lebih baik dirawat di rumah sakit. Padahal yang menyerangmu penyakit non medis," Feng menyodorkan obat dan air kepadaku, "Untungnya, kata Vari di tubuhmu tak ada racun apapun. Dokter Nugroho juga bilang, tekanan darah dan suhu tubuhmu sudah mulai normal. Kamu sendiri rasanya gimana?"

"Aku sudah baikan, kok," suaraku masih serak dan lirih. Feng kini memeriksa keningku. Dia memberiku tanda agar aku minum obat, lalu menungguku minum. Dia mengambil gelas dari tanganku, menaruhnya di atas meja dekat tempat tidur.

"Sebenarnya, siapa yang sengaja menjebakmu. Apa kamu punya petunjuk?"

Aku menggeleng. Membiarkan Feng mengatur bantal di kepalaku. Dia memandangku dengan rasa ingin tahu. Bahkan saat ini, kulitku masih kemerahan dan mengelupas. Panas neraka benar-benar menakutkan.

"Aku bertemu dengan Kak Gilang di neraka," aku memaksakan diri menjelaskan.

Otot-otot Feng menegang mendengar nama Gilang. Geram, diteriakkannya nama Sanosuke. Hanya memerlukan beberapa detik bagi Sanosuke untuk muncul di depan kami.

"Kapten Sanosuke. Kau pernah mengatakan kalau musuh Kristina adalah orang yang sangat kuat," Feng berkata dengan nada seformal mungkin, "Bisa kau katakan, siapa sebenarnya musuh kita kali ini?"

Sanosuke tampak salah tingkah, "Maaf, Tuan Feng. Saya tidak berani menyebutkan namanya."

Aku dan Feng seketika bertukar pandang. Kalau JK Rowling pernah menulis tentang 'dia yang tak boleh disebutkan namanya' hal ini sebenarnya berlaku pada bangsa iblis. Tidak ada makhluk yang berani menyebutkan nama iblis-iblis kuat. Konsekuensinya, si iblis akan merasa telinganya gatal, lalu segera mencari tahu siapa yang membicarakannya.

Sanosuke memandangku sekilas dengan rasa bersalah, "Saya sudah berusaha mencari tempat persembunyian iblis ini. Tapi dia begitu pandai menyembunyikan diri. Kekuatannya sangat besar. Mungkin itu juga yang menyebabkan dia bisa bergerak leluasa."

"Aku paham," Feng menatapku penuh arti, "Aku berharap aku salah. Akan tetapi, hanya satu iblis yang bisa membuka akses ke neraka."

Sanosuke mengangguk pasrah, "Yang aku heran adalah... bagaimana caranya dia menyusupkan sesosok iblis pada tubuh Nona Kristin? Bagaimana caranya dia bisa menaruh sutanga di mobil Nona Kristin, mobil yang terus menerus kita pasangi mantra?"

"Aku tak tahu," jawab Feng dengan nada tak yakin, "Tapi, mungkin kita bisa menyusuri jejaknya dengan kartu tarot ayah Kristin."

"Tapi kartu tarot ayahku sudah hancur."

"Apa?" Feng menaikkan satu alis, "Kartu berkekuatan sihir sekian abad bisa hancur begitu saja? Bagaimana mungkin—"

"Sebelum semua ini terjadi, tepatnya beberapa hari setelah kematian Kak Gilang, aku dan Dika menggunakan kartu ayah untuk meramal," jelasku, "Saat itu, aku mendapat firasat buruk. Dan memang saat kami mulai meramal, terjadi hal-hal mengerikan yang tak masuk di akal."

Aku menceritakan kejadian di perpustakaan pada mereka. Dari gangguan-gangguan, hingga hasil-hasil ramalan. Kereta. Keadilan. Kematian. Iblis.

"Kartu kelima yang merupakan kunci penyelesaian malah kosong separuh."

Feng kembali mengangkat satu alis, "Jadi, sama sekali tidak ada penyelesaian masalah?"

"Pasti ada penyelesaian," potong Sanosuke, "Hanya saja, kita belum menemukannya."

"Apa sebenarnya yang dimaksud oleh kartu-kartu itu?"

"Sebenarnya, aku merasa masalah ini dimulai dari Malasunya," aku membersit hidung, "Kereta. Mungkin maksudnya kereta perang. Lalu keadilan itu, aku sempat membahasnya dengan Kak Bene. Dia mengatakan sesuatu mengenai lemahnya balatentara surgawi. Aku curiga, apakah surga berhubungan dengan hal ini? Keadilan dan keseimbangan mereka kadang-kadang sangat tidak masuk akal bagi pikiran manusia," aku menimbang-nimbang, "Lalu kematian dan iblis. Apa ini berhubungan dengan kecelakaan motor kapan hari? Dan sosok iblis yang merasukiku?"

"Terlalu banyak kemungkinan untuk sebuah ramalan, Kristin," Malaikat Yizreel akhirnya berkata, "Hukum semesta masih memertahankan kekalnya perubahan."

"Lalu bagaimana kita akan melacak iblis itu?"

Sanosuke bergeming. Begitu juga dengan Feng dan Malaikat Yizreel. Freya-lah yang kemudian muncul tiba-tiba, membawa satu usul yang membuat semua lelaki itu melotot.

"Kalau kartu sudah hancur, maka jalan satu-satunya adalah perjalanan ke masa lalu."

"Oujo, Nona Kristin baru pulih."

"Omong kosong. Dengan semua teh surgawi itu?" Freya berkata dengan nada berapi-api. Aku sempat melihat Feng masih terlihat canggung di sebelah Freya. Feng mengertakkan jari hingga buku-buku jarinya memutih. Pasti sulit baginya berdekatan dengan cewek yang pernah dia taksir.

"Raiden-oujo, kupikir itu bukan ide yang bagus."

Freya melotot. Terlihat sekali tak suka dengan panggilan Feng, "Masa lalu masih relatif aman. Resikonya hanya kehilangan zona masa kini untuk waktu yang lama," kini Freya ganti memandangku, "Nah, masalahnya, apa kamu rela kembali hidup dalam zona waktu tak tentu?"

Aku mengernyitkan alis. Perkataan Freya ada benarnya. Dengan rusaknya zona masa kini, semua kemampuanku berkaitan dengan ramalan dan kata akan kembali. Aku akan berkali-kali mengalami déjàvu. Aku bisa kehilangan orientasi, kadang berada di dua masa sekaligus. Tubuhku lama-lama akan tidak kuat. Dengan umurku sekarang, aku akan mudah terserang demensia, Alzheimer, vertigo dan penyakit-penyakit menakutkan yang berkaitan dengan otak dan daya ingat.

"Apakah semua risiko itu sesuai dengan apa yang akan diperoleh?"

Beberapa menit, aku membiarkan keheningan menjadi jeda. Baik Freya, Sanosuke, Feng, maupun Malaikat Yizreel menungguku dengan sabar. Saat aku membuka mulut, mereka langsung mendekat dengan wajah penasaran.

"Kupikir semua akan sesuai dengan apa yang akan kita perjuangkan," kataku mantap. Freya tampak puas mendengar jawabanku. Sementara Feng dan yang lain langsung menggeleng pasrah.

"Nah, sekarang bagaimana cara menghancurkan gelembung ini?" Freya berkata riang, "Tinggal lapisan terdalam yang belum koyak."

"Gelembung ini dibuat dari berbagai pantangan, Frey," kataku muram, mengingat mudahnya lapisan-lapisan itu terkikis oleh hawa neraka, "Lapisan terdalam adalah lapisan kejujuran."

"Kebohongan apa yang dapat menghancurkan lapisan itu?" Freya tampak bingung mendengar jawabanku. Namun lirikan Feng saat itu terlihat penasaran.

"Kebohongan besar, Frey," jawabku masam. Lirikanku jatuh pada Feng yang masih menimbang-nimbang. Terlalu banyaknya niat jail pada Feng membuat pikirannya terbaca dengan mudah.

"Kalau begitu, kamu tinggal menjawab satu pertanyaan dariku, Kris," kata Feng datar, "Apakah kamu mencintai Bene sebagai seorang cewek?"

Pipiku memanas. Aku menunduk seketika mendengar pertanyaan Feng. Sudah kuduga, dia akan menanyakan ini.

Kalau saja situasi tidak sedang genting, aku pasti menonjok Feng. Namun, pertanyaan ini memang pertanyaan yang tepat. Hatiku langsung berdebar kencang saat mencari jawaban. Sementara gelembung yang melindungiku mulai menipis.

"Tidak," jawabku lirih.

Feng tampak terkejut mendengar jawabanku. Tidak percaya kalau itu adalah kebohongan. Sayangnya, lapisan kejujuran dalam gelembung telah mengeluarkan suara plup sebelum menghilang begitu saja. Dalam sekejap, zona masa kiniku sirna.

Bumipun terasa berputar semakin cepat. Aku memejamkan mata. Berusaha mencaripijakan. Sayangnya kali ini, pijakan yang kucari bukanlah berada di masa kini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro