Bab 29 - Rafael

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Archangel Rafael. Sang Tabib Surgawi. Salah satu dari delapan panglima surga terkuat.

Di antara para archangel, dialah yang paling menarik perhatianku. Rambutnya panjang dan gelap. Kontras dengan kulitnya yang sewarna buah zaitun. Kelembutan terlihat jelas dari manik matanya yang sewarna madu. Bahkan saat berdiri di depan sepasukan tentara iblis, dia lebih terlihat seperti bangsawan yang lembut—alih-alih seorang panglima.

Archangel Rafael berdiri di samping kanan Archangel Michael. Sementara Archangel Gabriel berdiri di samping kirinya. Mereka hanya bertiga, sementara pasukan Balthazar kuperkirakan tidak kurang dari seribu tentara.

Api telah mengelilingi kami, efek pertempuran ayah dan ibu melawan pasukan Balthazar. Aku masih menangis di punggung Bene. Sementara dia berdiri di depan. Mengadang serangan apapun yang diarahkan kepada kami.

"Apa kalian begitu rendahnya hingga bersedia membela manusia-manusia tidak berguna seperti ini?" Balthazar tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk kami. Bene terbatuk sekali. Aku melihat darah ke luar dari mulutnya.

"Kami hanya sedang melindungi yang tidak bersalah," Archangel Rafael berkata. Aku merasa dia sedang memandangku. Pipiku memanas seketika. Debar-debar menjengkelkan justru mengganggu hatiku saat ini.

Fokus, Kristin! Fokus! Aku mengingatkan diri. Kupeluk Bene erat-erat. Dia telah melarangku mengembangkan sayap untuk alasan apapun. Tiga archangel itu masih berdiri di tempat. Mereka hanya membangun tabir agar kerusakan di apartemen ini tidak mengakibatkan manusia-manusia lain celaka.

Balthazar masih berdiri dengan pasukan yang sedang mengangkat tombak. Tidak ada siapapun dari kedua kubu itu yang maju. Mereka masih menunggu kesempatan. Para archangel yang paling terlihat tenang. Yang aku lihat, saat ayah dan ibu bertempur tadi, bukannya membantu melawan iblis, mereka lebih banyak menghalangi api menjalar jauh.

"Kit Benedict," Balthazar akhirnya membuka suara, "Kalau kau bersedia menyerah, kau akan hidup enak dengan adikmu. Kenapa kau tidak menerima tawaran baik hati ini?"

"Aku memiliki sumpah pada ibuku, Balthazar," Bene menjawab tanpa gentar. Dia bahkan mengambil pedang ayah lalu mengarahkannya pada Balthazar, "Lawan aku. Tapi lepaskan adikku. Berduellah secara jantan!"

"Bocah yang berani," Balthazar mengacungkan pedangnya. Kilat licik terlihat saat dia melirikku. Lalu tanpa basa-basi, Balthazar langsung mengarahkan tusukan ke jantung Bene. Beruntung, Bene bisa menangkisnya. Aku melihat kedua orang itu berduel dengan sengit. Tidak ada yang mengalah. Semua menyerang dengan tujuan mematikan. Sayangnya, fisik dan kekuatan Bene sebagai wizard tidak sebanding dengan Balthazar. Meski saat itu Balthazar telah mengenakan penyamaran manusia yang mengurangi kekuatannya.

Bene terhuyung saat Balthazar berhasil mengentak pedang Bene, hingga pedang itu terlempar jauh dari genggaman. Tanpa ampun, panglima neraka itu menghunjamkan pedangnya ke arah perut kakakku.

"Kit!!!" aku tak mampu menahan jeritanku. Aku hendak menghambur ke arah Bene, namun kakakku itu hanya mengangkat tangannya, melarang. Lukanya membuat Bene kesulitan, namun dia segera berlutut, "Kyrie, eleison," gumamnya dengan suara bergetar. Tubuhnya bergoyang lemah saat dia menguatkan diri, "Tuhan, aku rela menyerahkan nyawaku. Namun jagalah adikku. Dia masih berhak memiliki kesempatan hidup..."

Lalu Bene pun menutup mata untuk selama-lamanya.

***

Pandanganku telah kabur. Tapi entah kekuatan dari mana yang membuatku sanggup melihatnya. Mungkin kekuatan dari Sang Mahakasih? Ataukah kepekaan dari kerinduanku yang semakin memuncak? Apapun itu, aku merasa lega. Aku masih bisa tersenyum, walau tubuhku terasa luluh lantak didera berbagai macam luka.

Lucifer kembali menjambak rambutku, memaksaku berdiri. Dia bahkan menampar wajahku untuk menyadarkan. Namun bukan itu yang membuatku berusaha memandang lelaki di depan Lucifer sekarang. Semua terasa begitu otomatis, bahkan bibirku bergerak sendiri memanggilnya, "Rafe..."

Senyum Rafael adalah senyum terindah yang kulihat seumur hidupku. Kedamaiannya mampu menyentuh hatiku. Membuatku bahkan tak peduli akan nyawaku yang sebentar lagi akan hilang.

"Apa yang membuatmu datang ke sini?" sembur Lucifer marah. Tapi Rafael bahkan tak mau repot-repot melayani kemarahan Lucifer. Dia hanya meraihku dari tangan Lucifer, lalu menjagaku dalam pelukannya.

"Kau telah mendengarnya dengan jelas. Dia memohon kepada Sang Pencipta. Dan aku diperintahkan untuk melindunginya."

"Omong kosong!" Lucifer menggeram, "Pertaruhan masih berjalan. Bagaimana mungkin—"

"Bagaimana mungkin makhluk yang paling sering melanggar peraturan ngotot menegakkan peraturan?" Rafael berkata dengan nada mengejek, "Itu pesan-Nya tadi untukmu, Luce."

Lucifer berusaha meraihku kembali, namun Rafael segera mencegah. Pegangannya padaku tak mengendur sama sekali.

"Kristina telah menjadi milikku," rengek Lucifer, "Lihatlah sayapnya!"

"Sayapnya telah terpisah dari tubuhnya, Luce. Kristina kini manusia. Dia telah mengambil keputusan," tidak sedikit pun Rafael kehilangan ketenangannya berbicara. Dan ini membuat Lucifer semakin marah.

"Dan kau masih mau mengabdi padanya meski dia telah kehilangan sisi malaikatnya?"

"Malaikat memang ditugaskan mendampingi manusia, kan?" Rafael kini mengangkat tongkatnya ke arah Lucifer, "Nah, sekarang kembalikan tubuh itu padaku."

Merasa telah kalah, Lucifer akhirnya keluar dari tubuh Bene. Aku melihat Rafael membuka sebuah portal, kemudian membuat sebuah gelembung untuk menbawa tubuh itu menembus dimensi. Bersembunyi di tempat yang lebih aman. Setelah itu, Rafael mengusapkan tangan di kepalaku. Mengusir sakit kepala yang tadi membuatku hampir pingsan.

"Kau tidak apa-apa, kan?"

Aku menggeleng, menelan ludah dengan susah payah. Tulang-tulangku terasa rontok. Kulitku pedih luar biasa. Tapi aku harus bertahan. Aku tidak mungkin membiarkan Rafael membuang waktu untuk menyembuhkanku, sementara lima belas batalion pasukan iblis masih menunggu waktu untuk berperang.

Dan benar saja, ketika Rafael membawaku keluar, aku melihat pasukan itu telah mengibarkan panji perang. Lucifer telah duduk dalam kereta perang berukir ular.

Namun pasukan itu kini tidak sendiri.

Di sisi lain langit, dua batalion pasukan malaikat juga menunggu. Aku melihat Malaikat Yizreel dan Archangel Michael. Namun tanpa panji perang, pasukan itu hanya terlihat sebagai penonton.

"Kalian tidak keberatan kalau perangnya maju sehari, kan?" Lucifer berkata, lebih bernada geli, "Meski kupikir, kalian tidak akan suka berperang saat suasana festival Samhain."

""Tapi, Nona Kristina telah menentukan pilihan," Malaikat Yizreel maju untuk membela. Hanya untuk mendengar tawa licik Lucifer.

"Pilihannya adalah antara surga, atau neraka," jawabnya, "Tidak ada pilihan menjadi manusia."

"Dasar licik!"

Malaikat Yizreel maju dengan emosi, tapi ditahan Archangel Michael.

"Dia benar, Saudaraku."

"Tapi—"

Entah pandanganku mulai kabur lagi, ataukah saat itu Archangel Michael sedang tersenyum geli. Mata sebiru langitnya memandangku tajam, lalu dia menggerakkan jarinya, mengundang cahaya menyilaukan. Tubuhku tersorot cahaya itu, yang rupanya berefek menyembuhkan. Semua kesakitanku lenyap oleh rasa nyaman melegakan.

Lucifer terlihat tak suka melihat itu. Jarinya mengertak menahan amarah, "Sebentar lagi hampir tengah malam. Sangkakala harus segera dibunyikan. Apalagi yang kau tunggu?"

Archangel Michael tersenyum. Namun alih-alih mengenakan jubah perangnya, Archangel Michael malah melayang turun ke sebelah Rafael, "Apa kau perlu bantuanku, Saudaraku?"

Aku heran melihat senyum yang sama terlihat di wajah Rafael. Dia menggerakkan tongkatnya. Dalam sekejap, tongkat itu berubah menjadi panji putih berlambang ikan perak.

Rafael melemparkan panji itu ke atas. Panji itu terbang ke satu arah. Malaikat Yizreel.

"Kupikir, sejak dulu kau ingin melakukan ini," katanya lantang, "Aku menyerahkan pasukanku kepada Malaikat Yizreel. Dia akan menjadi panglima pasukanku."

Lucifer semakin mengernyit kesal melihat ini, "Kau meremehkanku, Rafael. Jumlah pasukanmu sama sekali tak sebanding dengan pasukanku!"

Sedetik kemudian berubah bagai seabad. Archangel Michael kembali menggerakkan tangan membentuk lingkaran serupa jam dinding. Jarinya kemudian menghentikan jarum jam itu, tepat ketika jarum pendek dan panjang berada di angka 12.

"Saya menerima komando ini dengan senang hati," Malaikat Yizreel membungkuk hormat. Setelah itu, dia mengibarkan panji itu beberapa kali. Lalu melemparkannya kembali ke belakang kami. Terlindung oleh keberadaan kami.

"Karena saya akan bertempur, panji itu lebih baik ada di sana."

"Baiklah, Malaikat Yizreel," jawab Rafael.

"Setelah ini, waktu akan berjalan dengan sangat lambat," jelasnya, "Tinggal menyembunyikan perang dari mata manusia."

Petir bergemuruh lantang, sesaat sebelum sangkakala benar-benar berbunyi. Sekelompok prajurit muncul kembali di langit timur. Aku mengenali sosok Freya yang langsung terbang mendekat ke arahku.

"Aku sudah siap," kata Freya mantap.

Archangel Michael mengangguk lalu beralih memandangku, "Kekuatanku dan Lady Syushin akan sangat besar. Tugasmu mengingatkan kami agar hujan deras tidak berubah menjadi badai yang merusak."

Aku merasa pegangan Rafael di pundakku mengerat. Sorot matanya terlihat khawatir, tapi Archangel Michael malah tersenyum geli. Dengan enggan, Rafael mengembangkan sayapnya, melindungi kami dari pengaruh perang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro