Bab 30 - Perang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di bumi, waktu berhenti. Namun di langit sangkakala telah berbunyi nyaring. Kurasa, jika saja para manusia tahu bagaimana pelindung semesta bekerja... mereka tidak akan menyempatkan diri untuk terus menerus mengeluh tentang hidup.

Dari penjelasan Archangel Michael, aku tahu kalau setiap kali ada perang astral, para pelindung harus meminimalisasi kerusakan agar tak merusak bumi atau merugikan manusia. Iblis akan bertempur dengan kekuatan penuh, sementara para dewa dan malaikat memiliki batasan-batasan yang menghambat gerakan.

Kali ini, Archangel Michael menurunkan hujan teramat deras. Freya berjuang mengumpulkan awan untuk menutupi peperangan. Sementara di atas awan, barikade iblis mulai maju serentak. Panah api beterbangan. Denting tombak, pedang, dan berbagai senjata tajam bersahut-sahutan. Tersembunyi di dalam suara gemuruh guntur yang sambung menyambung tanpa henti.

Kekuatan mereka memang terlalu besar. Berkali-kali aku mengingatkan diri akan tugasku. Hujan kadang berubah sangat lebat. Jika tidak dibendung, pasti akan badai dan banjir.

Aku baru tahu kalau kekuatan pasukan Lucifer ternyata tidak sebesar yang kuperkirakan. Beberapa batalion tidak mampu menembus Bali. Pagar vibrasi kebahagiaan yang dibangun oleh pendengar program Rico dan Altair membuat pasukan Mammon dan Belphegor terluka hingga terpaksa mundur.

Karena itu, Archangel Michael menyerahkan perang ini kepada Rafael. Pasukan dengan lambang Rafael menjadi pasukan inti peperangan ini, sementara pasukan Syushin dan Satta menguatkan formasi samping. Pasukan Archangel Michael sendiri mencegah efek merusak dari perang ini sampai ke muka bumi.

Malaikat Yizreel berjuang sepenuh hati. Pakaian perangnya menyala biru keunguan oleh darah iblis. Monster-monster kuat dihabisi oleh ayunan pedangnya.

"Ryu!"

Mendengar teriakan khawatir Freya, aku langsung mengalihkan pandangan ke arah pandangnya. Sosok Tommy dalam pakaian perang hitam terlihat amat jelas. Griffin tunggangannya menggeram tajam. Berhadapan dengan Raijju yang ditunggangi Raiden Shiryu.

Di sekeliling mereka, berkumpul pasukan berpanji bulan hitam—pasukan Balthazar. Aku ikut panik melihat posisi Raiden Shiryu. Namun Freya bertindak lebih cepat. Dia melayang melompati langit dalam sebuah gerakan. Saat aku melihatnya bergabung dengan Raiden Shiryu, dia telah mengenakan pakaian perang bergaya feminin.

Bahkan dari sini pun, aku bisa merasakan kekhawatiran Raiden Shiryu. Mereka sempat berdebat di atas. Namun akhirnya Sang Raiden membiarkan Freya menghunus pedangnya—pedang merah berukir naga menyala-nyala. Berdua, mereka membabat habis siapapun yang datang mendekat. Termasuk Balthazar dan Tommy.

"Gantikan Lady Syushin membangun formasi awan, Kristin," suara Archangel Michael menghentikanku memerhatikan pertarungan lebih jauh. Aku merasa pegangan Rafael mulai mencengkeram bahuku. Tapi aku sudah tidak peduli.

"Abhaya abhaya jaya," aku mengucapkan mantra pelindung yang tadi diucapkan Freya. Lalu aku mulai memusatkan perhatianku untuk mengumpulkan awan-awan kecil hingga bisa membentuk awan besar. Aku tidak pernah melakukan ini di dunia manusia, jadi agak sulit untukku menemukan mantra yang tepat. Awan-awan mulai terasa amat berat. Dan saat itulah, aku merasakan sesuatu yang panas menembus pinggangku.

Kami bertiga berbalik bersamaan. Melihat asap masih mengepul dari Colt di tangan Gideon. Berengsek. Aku hampir melupakan orang ini.

Awan-awan mulai terlepas. Malaikat-malaikat yang sedang mengadang api mulai terlihat jelas. Aku memekik panik, tapi rasa sakit di pinggangku membuatku sulit untuk fokus kembali. Terlebih saat itu, Gideon mengarahkan moncong pistolnya tepat ke kepalaku.

"Kalian para malaikat yang harus mematuhi peraturan," Gideon terkekeh, "Kalian tidak bisa menghentikanku jika aku bertarung dengan cara manusia. Terima kasih idenya, Kristin. Kebencian dan semua ketakutan manusia ada dalam setiap peluru. Karena itu, kekuatan malaikat takkan mampu mengadangnya."

Gideon meniupkan ciuman jauh padaku. Napasku yang sesak membuatku sulit untuk memakinya. Bajingan!

"Archangel Rafael," Gideon berkata kasar, "Aku ingin mengingatkan, Kristin telah melepas sayapnya. Jadi kalau sekarang dia mati, dia akan benar-benar menghilang ke Tsalmaveth. Wuuuush!"

Gideon bersiul melagukan Auld Lang Syne. Pandangan Gideon saat itu persis seperti predator yang menemukan mangsa, "Satu peluru telah menembus tubuh gadismu. Jika kau tidak menurutiku, maka aku akan menembakkan semua sisa peluru ini! Di tempat yang benar-benar tepat."

Archangel Michael hendak maju, akan tetapi Gideon lebih dulu menggeleng, "Sedikit saja kalian bergerak, maka peluru ini akan langsung meluncur ke jantungnya. Jangan macam-macam!"

Kepalaku kembali berputar-putar. Hanya saja, kali ini Rafael menahanku. Dia bahkan terus menepuk-nepuk pipiku, "Tetap sadar, Kristin! Sadarlah!"

Letusan kedua terdengar saat aku sempat merosot lemas. Peluru itu menembus tulang rusuk. Darahku terasa mendidih seketika. Tenggorokanku terasa menyempit, hingga aku semakin sulit bernapas.

"Maaf, Luv. Tapi tanganku ini licin," Gideon kembali tertawa, "Tetaplah berdiri agar aku tidak keliru membidik sasaran. Tempat berikutnya mungkin akan lebih sakit."

Archangel Michael hendak maju. Namun sebuah kekuatan besar menghalanginya.

"Malaikat-malaikat payah! Kalian tak mungkin lupa larangan menyerang manusia, bukan?"

"Apa yang kau inginkan, Jezebeth?" suara Rafael terdengar geram. Tapi Gideon malah tertawa penuh kemenangan.

"Maaf, kau salah... Archangel Rafael. Aku sedang menjadi Gideon Craddock. Itu artinya, kalian tidak bisa melakukan apapun padaku. Karena aku manusia! I'm the boss! Hahaha~"

Gideon mengarahkan pandangannya ke atas. Lucifer menyambut gembira keberhasilan sang anak buah. Dengan segera Lucifer berdiri di singgasana kereta kudanya.

"Nah, malaikat-malaikat manis," nada bicaranya terdengar sangat merendahkan, "Bagaimana kalau kalian menarik mundur pasukan kalian? Mundurlah dari perang ini, dan anakku yang baik hati itu akan melepaskan gadis kesayangan Rafael."

"Jangan... dengarkan... dia," kata-kataku terdengar lemah. Tapi tetap didengar Gideon. Dengan kejam, Gideon menembak bahu kananku.

"Lebih baik hemat tenagamu, Luv. Diamlah dan biarkan kami menyelesaikan masalah ini."

Apakah kali ini aku akan benar-benar mati? Aku tak tahu. Tapi alih-alih mengucap mantra apapun, mulutku lebih memilih untuk mengatakan dua kalimat ini:

"Tuhan, ampunilah semua dosa-dosaku. Nyawaku kuserahkan pada-Mu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro