Bab 31 - Tsalmaveth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rafael pernah bercerita kepadaku tentang dua tempat penghukuman. Neraka adalah tempat yang paling populer hingga sekarang. Meski demikian, ada satu tempat lagi yang lebih mengerikan dari neraka.

Tempat itu bernama Tsalmaveth. Rafael tidak pernah menjelaskan tentang tempat ini. Meski aku sendiri sangat penasaran. Dia selalu menghindar jika aku bertanya. Dan aku selalu menebak-nebak itu karena Rafael terganggu dengan ingatan kematian ayah dan ibu.

Tapi ternyata, bukan itu alasan Rafael bungkam. Tempat ini terlalu menakutkan untuk dibayangkan. Terlalu menyedihkan bahkan jika dipikirkan.

Walau aku telah pasrah berkorban. Aku benar-benar tak sanggup berada di tempat ini. Gelap yang benar-benar gelap. Mengelilingiku hingga aku tak bisa melihat apa-apa. Di mana asal? Di mana tujuan? Ke mana aku harus pergi? Utara? Selatan? Timur? Barat? Bagaimana aku dapat menemukan mana utara, selatan, barat, atau timur, sementara semua terlihat sama?

Tangisku pecah seketika. Ingatan-ingatanku kandas begitu saja. Semua kegembiraan dan semangat menguap tak bersisa. Tak ada yang tertinggal dariku. Sedikit pun. Walau itu nama. Atau hanya setitik eksistensi.

Inikah kematian itu?

Terkubur dalam kegelapan menyesakkan?

Yang lebih menyedihkan, aku bahkan tidak ingat kenapa aku ada. Bagaimana mungkin aku bisa pergi sejauh ini? Di sana sini hanya ada hitam, seolah ini adalah black hole yang memerangkap sedemikian rupa. Menyedot semua jiwa dan emosi, hingga hanya tertinggal kesepian yang menyakitkan.

Aku ingin seseorang. Siapapun yang sanggup mendengar. Tapi aku bahkan tak yakin apakah aku bisa bersuara. Terlalu jauh untuk berteriak. Terlalu tak terjangkau untuk meminta pertolongan.

Aku benar-benar takut. Ini tempat penghukuman yang kejam. Kesunyiannya menyiksa setiap bagian diriku. Sementara lagu yang terdengar begitu purba merayap dalam setiap detik:

Inilah kebenaran yang dicari setiap manusia.

Sesuatu yang dikejar hingga akhir hayat.

Apa yang terpikir sebagai tujuan,

Sebenarnya hanyalah kekosongan.

Mata, hidung, telinga, mulut, lidah,

Kesadaran...

Semua yang fana

Semua yang akan mati,

Dipandang dengan kejijikan.

Seakan-akan kematian itu indah.

Jadi, apakah kebenaran ini memuaskan?

Apakah kematian terlihat indah?

Aku memegang kedua telinga. Kata-kata itu seolah menyayat setiap bagian dari tubuh. Jika ini adalah kematian, ini adalah samudera penderitaan tanpa akhir. Aku tak ingin berada dalam tempat ini lebih dalam lagi.

"Tolong!" suaraku teredam begitu saja. Aku mencoba berteriak lagi, tapi kini bahkan lidahku terasa kelu. Tidak! Aku tidak ingin berakhir seperti ini. Ketidakberdayaan membuat tulang-tulangku ngilu. Sementara kegelapan semakin merasuk membawaku tenggelam dalam ketakutan dan kesengsaraan.

Siapa saja, tolong aku!

Air mata. Air kesedihan seolah keluar dari setiap pori-pori kulitku. Sementara kekosongan semakin berusaha menguasaiku, hatiku menjerit-jerit memohon pertolongan. Tolong, siapa saja... dengarkan aku!

Keheningan semakin menyiksa detik demi detik. Napasku mulai sesak dan keputusasaan mulai merayap dalam setiap jengkal tubuhku. Menyerah! Menyerah! Seru otakku. Tetapi aku masih ingin meminta tolong. Tolong! Tolong! Aku tak berdaya. Aku dikepung kegelapan. Bawalah aku ke tempat terang. Kasihanilah aku!

Aku masih menangis dan merintih saat aku tiba-tiba mendengar sebuah suara yang tak asing:

"Mengapa engkau takut, Kristin? Engkau telah memanggil. Engkau telah memohon ampunan. Janganlah engkau takut. Siapa yang percaya takkan celaka dalam kegelapan."

Kata-kata apa ini? Begitu lembut dan menenangkan. Ingatan akan pertempuran di Orchard Road tiba-tiba kembali dalam benakku. Itu suara yang sama. Suara yang muncul bagai setitik harapan dalam lingkaran penderitaan. Suara penuh kekuatan dahsyat itu bahkan mengembalikan semua ingatan-ingatanku. Termasuk alasan kenapa aku berada di tempat ini.

"Janganlah takut, Kristin."

Aku menangis sesegukan mendengar suara itu. Jemariku terlihat menggapai-gapai. Suaraku kian jelas menembus kegelapan.

"Tolong. Aku tak ingin mati seperti ini," rintihku.

Sesuatu yang hangat merayap di leherku. Kata-kata yang kini menjelma menjadi nyata. Hope and Faith. Suaraku bergetar saat aku memanggil dengan tulus. Benar-benar ingin diselamatkan.

"Engkau yang ditakuti kegelapan. Engkau yang dekat dengan mereka yang patah hatinya... Tolong! Bebaskan aku dari penderitaan ini!"

Ketidakberdayaan membuat permohonan itu benar-benar menggenaskan. Tapi aku merasakan kehangatan mulai melingkupiku. Dari setitik menjadi jutaan dan milyaran cahaya datang. Menyelimutiku seolah aku sedang berada dalam rahim yang hangat.

"Tenanglah, Kristin."

Perkataan itu menenangkan. Terlalu menenangkan hingga membuatku merasa aman. Bahkan aku tidak peduli jika aku hidup atau mati. Selama aku bersama-Nya, semua akan baik-baik saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro