Bab 32 - Tuhanlah Mahakuasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terima kasih! Terima kasih! Terima kasih, Tuhan!"

Sayup-sayup, suara itu terdengar di telingaku. Aku terbatuk-batuk beberapa kali. Tanganku ingin bergerak. Tapi jemariku digenggam begitu erat. Bahkan punggungku terbaring di sesuatu yang hangat.

"Kristin. Jangan bergerak. Sedikit lagi peluru terakhir akan keluar," suara Rafael terdengar penuh permohonan. Dari mulutnya melantun sebuah mantra—bukan, itu doa. Doa yang sama-sama menggenaskan dengan doa yang terucap dariku di tempat terkutuk itu.

Aku merasa jiwaku seperti layang-layang. Sesaat berada dalam tubuh. Sesaat lagi melayang-layang tak tentu arah. Aku melayang di dekat Dika yang kini berkelahi melawan Gideon. Aku terbang melalui Feng yang kini bergumul dengan angin yang berontak.

Mereka semua tak melihatku. Aku ada, tapi tidak ada. Aku tertarik, lalu terulur lagi. Sementara suara-suara berbagai dunia berdengung di telingaku. Masa demi masa berputar-putar di sekelilingku. Aku melebur. Tenggelam dan timbul. Namun aku sama sekali tak tahu, kenapa aku masih ada. Bahkan aku bingung, kenapa tiap menit sebuah beban seakan ditambahkan ke atas punggung. Hingga aku semakin tak kuat berdiri.

"Mengapa kau tertekan, hai jiwa? Apakah engkau percaya pada perisaimu? Atau berpikir kemenangan ada di ujung pedangmu?"

Suara itu mendatangkan rasa takut bukan kepalang. Kakiku gemetar hingga bertelut. Aku terdiam. Tak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Air mata menetes-netes tanpa bisa kuhentikan. Aku bahkan tak tahu kenapa mulutku mengatakan satu kalimat itu, "Tuhan, hanya Engkau yang memampukan pedang dan perisai memberi kemenangan."

Seiring kalimat itu terucap, keheningan mengisi hatiku. Lalu semua perasaan-perasaan menyenangkan membanjir di sana. Seolah ada yang membalut setiap luka. Ada yang membasuh setiap kepedihan.

Dan semenit kemudian, aku telah kembali. Aku bangkit dan berdiri di arena pertempuran. Bahkan Rafael terkejut melihat sosokku. Keberanian menyala-nyala dalam diriku. Menjelma menjadi sepasang sayap emas yang kini terkembang di belakang punggungku.

"For fear shudders before God!" tanpa ragu aku berkata. Pedang terbentuk dari tangan kananku. Sementara pakaianku mengeras menjadi baja dan besi pelindung. Pakaian tempur yang tak kuduga akan mewujud begitu saja. Bersama dengan perisai berkilau di tangan kiriku.

"Kristin!"

Aku menoleh kepada Rafael. Kecemasannya terhapus oleh keyakinan dalam senyumanku. Dan langkahku terasa sangat ringan saat aku maju. Mengayunkan pedang demi keyakinan akan kuasa-Nya.

***

Kerusakan akibat peperangan ini mulai merambat ke muka bumi. Rupanya kali ini, Lucifer tak tanggung-tanggung. Dia benar-benar mengerahkan segenap kekuatan untuk memenangkan neraka. Pertempuran terlalu sengit. Kekuatan pasukan Rafael dibantu para dewa tetaplah tak sebanding dengan balatentara neraka yang main keroyokan.

Kilat menyambar saat pedang Raiden Shiryu berbenturan dengan pedang Balthazar. Begitu juga saat pedang Freya menangkis serangan Tommy. Pasukan Izanami Kimiko dikeroyok dari tiga arah. Benturan-benturan kekuatan semakin sulit dihindarkan. Jika pertempuran berlangsung lebih lama, maka kerusakan lebih parah tak dapat dihindarkan lagi.

Aku telah mencapai garis tengah medan pertempuran. Semakin ke seberang, semakin banyak iblis berwujud monster-monster raksasa. Aku menjatuhkan satu iblis yang hendak menyerang Malaikat Yizreel.

"Sis!" dia sempat berteriak lalu berdeham dua kali, "Maaf, maksudku kamu tak apa-apa, Nona Kristin?"

"Aku nggak apa-apa," aku menyengir, "Ngomong-ngomong, aku nggak keberatan dipanggil Sis."

Malaikat Yizreel tersenyum membalasku. Dia masih menggerakkan pedangnya menebas semua iblis yang mengepung kami. Keadaan yang rusuh membuat kami harus berbicara keras bahkan berteriak.

"Kita tidak bisa membiarkan perang ini berlanjut lebih lama lagi!"

"Satu-satunya cara mengakhiri pedang adalah dengan merebut panji perang!" Malaikat Yizreel berputar lalu menusuk iblis di belakang. Aku sendiri baru menghabisi satu iblis yang mau menikamku.

Aku menoleh ke arah pasukan kami. Panji itu masih aman terlindung oleh keberadaan Rafael dan Archangel Michael. Di pihak lawan, panji perang mereka berada di kereta perang Lucifer. Raja neraka itu hanya duduk mengawasi pasukannya yang banyak. Tidak adanya niat bertempur menandakan kalau dia tidak sekadar mengincar kemenangan.

"Lucifer akan mati-matian melindungi panji itu. Terlebih hingga kini, belum ada yang bisa mendekati Lucifer."

"Kalau begitu, aku akan mengalihkan perhatian Lucifer. Saat dia lengah, kakak bisa mengambil panji perangnya."

"Sis! Bagaimana kamu bisa tahu—"

"Nggak keberatan kalau kita mulai berhenti berpura-pura, kan?" aku mengedipkan mata, "Bagaimana mungkin aku bisa lupa pada Kit-ku?"

"Tapi dari kapan—"

"Hanya Kit yang memanggilku Sis. Dan hanya Kit yang bisa mencemaskanku hingga rela mencuri daun pohon kehidupan. Waktu kamu menyapaku, aku melihat luka-lukamu, Kit. Kamu pasti sempat bertarung melawan kerubin sebelum dapat meyakinkan mereka. Ya, kan?"

Malaikat Yizreel berteriak jengkel. Aku tersenyum seraya menghantamkan perisai untuk mendorong sesosok iblis. Demi menembus pertahanan Lucifer, kami perlu menghancurkan beberapa barikade lagi. Beberapa pasukan malaikat dan dewa berhasil merangsek masuk. Mereka ikut membantu kami menembus pertahanan.

"Lucifer! Tunjukkan dirimu bukanlah pengecut!" pancingku, "Bertarunglah secara jantan! Tunjukkan dirimu bukan pecundang yang hanya bisa main ancam dan main siasat!"

Aku sengaja naik semeter agar menarik perhatian. Tapi si raja neraka masih bergeming. Berengsek. Rupanya provokasiku masih kurang nendang.

"Hei, Lucy. Kamu seperti perempuan. Bisanya duduk cantik doang. Lucy manis. Seharusnya kamu pakai rok saja! Raja Neraka cuma duduk-duduk gitu. Iiih! Malu dong!"

Teriakanku yang cukup keras malah menarik perhatian pasukan di bawah. Mereka berhenti sejenak karena pecah konsentrasi. Bahkan pasukan iblis juga kaget junjungan mereka disuruh memakai rok.

"Hei, Iblis-iblis bodoh. Mau-maunya ya, dibego-begoin. Ngapain kalian susah-susah bertempur sementara rajamu malah benerin lipstik di atas keretanya."

"Jangan memancing kesabaranku, Luv."

Tampaknya, Lucifer mulai terpancing. Bagus. Kali ini aku sengaja menggerakkan tangan seperti kepakan sayap, "Miss Lucy, Miss Lucy, kamu kayak ayam betina yang bisanya hanya mengerami telur. Petok petoook!"

Pasukan iblis yang lebih dulu tertawa. Mengejutkan! Hal ini rupanya menyinggung Lucifer. Dengan segera, dia melompat ke depanku, dan mengayunkan pedangnya. Seringainya menakutkan. Matanya merah oleh amarah. Dan dia terus menerus menyerang tanpa memberi kesempatan melawan.

"Kau terlalu sombong, Manusia!"

"Oya?" kataku sambil menangkis serangannya, "Mungkin kamu nggak lupa, siapa yang jatuh ke neraka karena kesombongan, kan?"

Teriakan Lucifer bergemuruh. Aku sempat melihat Malaikat Yizreel telah berhasil mencapai kereta perang Lucifer. Tinggal beberapa prajurit yang harus dia lawan.

"Akan kuhabisi kau dengan tanganku sendiri!" suaranya kini serupa desis menakutkan. Kerasnya benturan pedang membuat aku maupun Lucifer mundur beberapa langkah.

"Nyawaku tidak berada di tanganmu, Raja Neraka," geramku. Aku mengarahkan beberapa sabetan ke atas dan ke samping. Helm pelindung Lucifer terlempar oleh dorongan pedangku. Sumpah serapah langsung keluar dari mulutnya. Beberapa kali, pedang kami berbenturan lagi. Ekor mataku melihat tangan Malaikat Yizreel telah menggapai tiang panji. Sementara beberapa tombak kini mengarah padanya.

Detik demi detik berlalu sangat lambat. Aku bahkan tidak peduli saat ujung pedang Lucifer menyayat pipiku. Mataku terpejam. Hanya mengucapkan dua kata, "God, please..."

Suara sorak-sorai itu mengembalikan kesadaranku. Aku melompat girang saat melihat Malaikat Yizreel berdiri gagah di atas kereta Lucifer, mengangkat panji perang neraka ke atas langit.

Mata Lucifer berkilat penuh amarah. Namun peraturan jelas membuatnya tak boleh melawan lagi. Pasukan neraka telah kalah. Mereka harus segera kembali ke asal mereka. Game over. Bye bye.

"Hebat juga kau, Manusia."

"Aku bukanlah apa-apa, Luce," kataku seraya menyarungkan pedang, "Seharusnya kamu ingat, siapa yang paling hebat dan berkuasa. Siapa yang memampukan pedang dan perisai memberi kemenangan. Siapa yang menendangmu dari langit ke kolong bumi."

Tawa Lucifer terdengar aneh. Dia melayang lalu terbang menjauh. Pasukan-pasukannya mundur perlahan-lahan. Bersamaan dengan munculnya semburat cahaya keemasan dari arah timur.

Peperangan berakhir seiring kedatangan fajar. Harapan membuat pagi itu terlihat lebih indah. Pagi yang mengingatkan dimulainya kehidupan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro