Bab 8 - Sayap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini benar-benar hari yang kacau. Setelah rapat menyebalkan tadi, aku mulai siaran dengan ogah-ogahan. Sebenarnya, program yang aku bawakan di Radio Lentera adalah program reguler remaja. Menghadirkan lagu-lagu unyu, review buku dan film, juga ramalan bintang yang kucomot dari internet.

Tapi hari ini, aku meminta Dika memilih banyak lagu. Aku malas bicara. Terlebih melayani curhat galau remaja cewek yang kebanyakan bosan sekolah dan pengin nikah cepat.

Mengabaikan teguran Mbak Amy karena aku lupa membaca sebuah adlibs (iklan yang dibaca penyiar), aku langsung pergi membawa Suzuki Splash-ku pulang. Sayangnya, aku lupa kalau aku punya anggota rumah baru. Aku sempat mendelik pada Kak Feng yang keluar kamar dengan hanya memakai handuk.

"Oh, ayolah... apakah hari ini tidak bisa berubah jadi lebih buruk lagi?" omelku langsung. Mau tak mau teringat lelucon Dika soal main drama Full House. Ada kali, ya... adegan handuk-handukan begini. Iiih!

Kak Feng menyengir melihatku langsung kabur menaiki tangga. Rupanya, Kak Feng tinggal di kamar tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamar Bene. Aku sendiri menguasai lantai 2. Di sini, selain kamarku, ada ruang rias dan gym yang juga difungsikan sebagai tempat meditasi.

Aku menemui Kak Feng setelah berendam hampir sejam dengan aroma kamomil. Feng tampak terkejut melihatku dengan piyama Hello Kitty dan rambut terikat asal-asalan.

"Wow," gumamnya, "Aku tidak menyangka kalau Kristin yang cantik dan seksi bisa..."

"Kak Feng," aku memperingatkan, "Sekali lagi aku mendengar kata cantik atau seksi, maka aku akan segera menendangmu."

Feng mengangkat satu alisnya, "Memangnya ada apa dengan kata cantik dan seksi?"

Aku memelotot lagi. Kak Feng langsung diam. Meski tampaknya dia penasaran sekali. Kutaruh cangkir susu coklat di atas meja. Kak Feng kembali terkejut melihat motif sapi imut di sana.

"Kamu bikin aku kaget, tahu! Selama ini, kupikir dirimu itu orang yang tegas dan galak," katanya, tidak berusaha menyembunyikan nada terkejut. Pandangannya memindaiku dari atas ke bawah. Aku jadi risih diperhatikan seintens itu.

Sebenarnya, selera berpakaianku dipengaruhi Bene juga, sih. Aku sering keder saat cewek-cewek memandangku dengan tatapan merendahkan waktu SMA dulu. Sejak itu, aku mulai belajar tentang fashion terkini. Aku belajar menyembunyikan bahuku yang tidak menarik dengan pakaian yang mengekspos bagian dada dan pinggul. Lalu memilih warna make up yang cocok menutupi tulang pipiku. Aku juga memakai soft lens hijau dengan semburat almond, dan memberi layer-layer cantik pada rambutku yang ikal dan tebal.

Tapi beginilah aku sebenarnya. Masih adik kecil Bene.

Kurasakan angin sejuk bergerak di atas telinga. Pandangan Feng masih memperhatikanku dengan seksama. Mata biru gelapnya terlihat jernih. Sama seperti mata yang biasa memerhatikanku waktu kecil. Sial. Aku tak ingin diperhatikan seperti ini. Aku tak ingin memiliki pengharapan kosong. Kepada siapapun itu.

"Hentikan."

Kak Feng menyugar rambut, perasaan menyesalnya kini menyapuku menggantikan angin sejuk tadi, "Maaf."

"Sedang ingat Freya?"

Feng menggeleng.

"Atau memikirkan Vrey tunanganmu?"

Feng memejamkan mata. Dia masih sakit hati mengingat dua nama itu, aku tahu. Aku menyesap susu coklatku dengan perasaan gamang, mengabaikan Feng dan pusaran perasaannya yang semakin tidak galau.

"Jangan pergunakan aku sebagai pengganti Freya atau Vrey," kataku jengkel.

"Aku hanya teringat masa kecil kita," Feng akhirnya berkata, "Seandainya kita tidak terlibat dalam intrik politik Dunia Astral..."

"Kakak Feng-lah yang terlibat dalam intrik politik Dunia Astral," sanggahku, "Aku masih seperti dulu. Tidak turut campur. Yah, kecuali waktu pertempuran itu."

"Kamu menyesal bertempur bersamaku?"

"Aku menyesal karena akhirnya Freya kehilangan nyawa," kataku pahit, "Meski dengan kematiannya kali ini, orang tuanya malah semakin dekat."

Feng menarik napas lalu mengembuskannya, "Entahlah, Kris. Tapi entah kenapa, aku merasa kita hanya seperti pion-pion catur yang sedang mereka mainkan. Kelihatannya saja kita punya pilihan. Padahal apa yang kita pilih sebenarnya tak jauh-jauh dari kehendak mereka."

"Aku masih pembela Hak Asasi Manusia," kataku yakin, "Dari dulu, masalahnya hanya pilihan yang salah, kan? Sayangnya, kita nggak tahu mana yang benar dan salah dari awal."

Feng tertawa.

"Ah, sudahlah. Membahas hal ini hanya merusak hari yang sudah buruk," aku mengibaskan tangan sambil memasang tampang bosan. Feng terbawa dengan suasana hatiku. Pusaran perasaannya tidak sehebat tadi.

"Sudah ketemu dengan Gideon?"

"Ya, dialah yang tadi bilang... Francois Kristina Saraswati yang cantik dan seksi ini bisa dengan mudah mengundang pria hidung belang," aku menirukan suara Gideon dan aksen Inggris yang menurut semua orang serak-serak becek ala pemain sinetron blasteran. Feng langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

"Warlock alias iblis gila itu mau aku membawakan acara Unreality," kataku masam, "Dia bahkan sudah siap dengan seorang paranormal. 'Perkenalkan... Madame Linggar ini paranormal yang berhasil mengalahkan Pak Durmada dan Roy Kimochi di adu kekuatan acara TV 'Black Magic White Magic'..." aku menirukan Gideon lagi.

"Sebenarnya, apa sih... yang sedang mereka rencanakan?"

Aku angkat bahu.

"Bene juga belum muncul," kata-kata Feng semakin menyurutkan semangatku, "Terakhir kali, orangku melihatnya di Frankfurt. Dan lihat ini..."

Feng memerlihatkan sebuah laman internet kepadaku. Mulutku langsung menganga saking kagetnya.

"Kamu bercanda, kan? Ini Tommy yang itu? Tommy yang pernah aku kalahkan dulu?"

"Iya. Tommy yang ingin sekali kubunuh saat itu. Kalau saja aku tidak harus menyelamatkan Freya," Feng berkata dengan nada menyesal, "Aku tidak berani memastikan apakah Bene yang membunuhnya. Tapi... semua ini terlalu kebetulan."

Aku menarik napas, "Kak Bene tidak mungkin membunuh orang," aku merasakan ketidakyakinan dalam nada suaraku.

***

Mungkin karena terlalu gelisah, menjelang tengah malam aku mulai mengalami peralihan. Bagi para astravalor, perasaan yang terlalu kuat atau terlalu lemah bisa membawa mereka melakukan perjalanan. Ini hal yang buruk, sebenarnya. Aku sendiri tidak suka berjalan-jalan dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Salah-salah, aku bakal nyasar ke dunia-dunia bawah yang mirip dunia dystopia penuh kehancuran. Sumpah, itu seram banget! Resident Evil tuh nggak ada apa-apanya dibanding kerusakan di sana.

Untungnya, malam ini aku hanya menjelajah ke perpustakaan Bu Luckty. Saking sepinya, perpustakaan adalah salah satu tempat yang disukai para mahkluk gentayangan. Beberapa sosok transparan tampak melayang-layang di dekatku. Berbagai wujud: dari kepala tanpa tubuh, wanita berambut panjang (kenapa nggak ada hantu perempuan berambut pendek, sih?), tangan doang, kaki doang... membosankan.

Sesuatu tampak bercahaya di salah satu rak. Itu rak di mana kartu-kartu ayahku berada. Sayang, ketika aku hendak menjulurkan tangan, mengecek apakah kartu itu masih ada di sana... sebuah buku terjatuh di depanku.

Itu bukan buku dunia manusia. Sampulnya penuh dengan bara api. Sementara ular kobra besar di sana menatapku dengan tatapan tajam. Sisik-sisik emasnya begitu mempesona. Sedang mata merahnya berkilau seperti cahaya rubi.

Setelah meliuk beberapa kali, ular itu masuk ke dalam buku. Halaman-halaman buku itu kemudian terbuka menampilkan kalimat-kalimat yang mengerikan:

Para nephilim adalah makhluk-makhluk perkasa! Sadarlah! Kekuatan malaikat ada pada kalian! Kelemahan manusia tidak akan mengganggu kalian!

Wahai, para nephilim... apakah kalian akan menundukkan kepala di hadapan manusia? Raja Neraka telah menyediakan tempat bagi kalian. Tempat yang aman dari balatentara surga. Tempat yang terlindung dari keserakahan manusia...

Aku berteriak saat kalimat-kalimat dalam buku itu naik, melayang mengelilingiku... sementara ular kobra besar itu menjelma menjadi ular raksasa yang menakutkan.

"Jadi, kapankah kau akan bergabung denganku, Milady?"

Suara kekehan ular itu terlalu mengerikan hingga aku terpaku. Ekornya telah hampir melilitku, ketika aku mendengar suara sabetan pedang dan gemuruh awan di sekelilingku.

"Kau tidak akan bisa menguasai Kristina di Dunia Astral," geram Sanosuke sambil mengarahkan apinya ke arah ular itu. Api milik Sanosuke yang kuning kebiruan beradu dengan bara api neraka merah kehitaman milik ular itu. Panas beradu panas. Menyebabkan hujan bara api mulai turun di dalam perpustakaan. Lemari-lemari terbakar. Buku-buku seolah meleleh.

Aku sendiri terpaku di dalam pelukan Malaikat Yizreel. Sayapnya terkembang, melindungi kami dari letusan-letusan api yang panas membakar. Kalau saja tidak dilingkupi sayap itu, aku pasti terbakar. Tapi saat itu, pikiranku sangat kabur. Kata-kata dalam buku tadi sempat berputar di pikiran, berniat memengaruhiku.

Setelah mendapatkan kesadaranku, aku sadar kalau Malaikat Yizreel telah terluka lagi. Sanosuke bahkan juga mulai kewalahan dengan serangan Si Ular. Terlalu marah, reaksiku setelahnya adalah menutup mata. Berkonsentrasi penuh membuka segel kekuatan yang paling terlarang.

"Jangan lakukan apapun," bisik Malaikat Yizreel cemas.

Tulang belikatku bereaksi paling cepat. Lalu otot-otot dan sendi punggung mulai bergetar hebat. Energi itu mulai berkumpul di tulang belakangku. Meletup seperti letusan kembang api. Dengan cepat, energi itu mengalir ke samping. Kehangatan di sana terasa nyaman. Rasanya sangat lega, seakan-akan aku sedang menghirup udara bebas setelah lama terkungkung dalam penjara. Tulang rusukku langsung terasa ringan. Sesuatu di sana telah menemukan tempat yang tepat. Cahaya itu kini bersinar terang di tulang-tulang dada, naik ke bahu, lalu terkembang sebebas-bebasnya.

Pandangan ular itu seketika terarah kepadaku. Celah sempit ini dipergunakan Sano untuk menyabetkan pedangnya ke leher Si Ular.

"Sacrum Venite Ferrum!" aku menyerukan mantra cahaya.

Bulu-bulu halus perak bercahaya pelangi telah terkembang sempurna di punggungku. Bersamaan dengan mantraku, gerimis air turun di atas kami. Mengundang teriakan kesakitan dari Si Ular. Seperti besi panas tersiram air, asap dan desis keluar dari tubuhnya. Kekuatan hitam ular itu semakin menyusut di antara guyuran air suci di atas kami. Sanosuke hendak menyerang ular itu lagi, namun dalam sepernano detik, ular itu telah menghilang. Hanya meninggalkan jejak asap hitam.

"Sial."

Sisa-sisa api masih tersisa dari sayap Malaikat Yizreel. Aku memandangnya dengan kasihan. Tapi dia membalasku dengan tatapan tak terima.

"Sudah kubilang, jangan melakukan apapun."

"Jika aku tidak melakukan sesuatu, kalian berdua bisa terluka lebih parah," aku membela diri. Seakan sepemikiran denganku, sayap di punggungku mulai mengepak cepat untuk menyingkirkan hawa kejahatan. Sebenarnya, ini cukup menjengkelkan. Hingga kini, aku belum terlalu mahir mengendalikan sayapku. Sementara, dia sepertinya cukup marah karena terlalu lama dibiarkan kaku. Saat ini pun, dia menyempatkan diri menepuk pelan pipiku.

Sano langsung menggetok kepalaku. Argh.

"Jangan terlalu sok pamer."

"Berengsek, siapa yang sok pamer?"

Malaikat Yizreel terbatuk sekali. Aku melihat banyak asap hitam keluar dari mulutnya. Mau tidak mau, aku jadi membalas Sanosuke dengan perkataan lebih pedas.

"Apa kau lebih suka kita bertiga langsung mengangkat bendera putih untuk menyerah?"

Sanosuke langsung cemberut.

"Malaikat Yizreel memerlukan tempat menyembuhkan diri," aku menopang Malaikat Yizreel yang masih berasap. Sanosuke akhirnya menemukan alasan untuk tidak mendebatku.

"Kau benar," katanya dengan nada menyesal, "Saat ini, kita terpaksa mengandalkan bantuan apapun."

"Bagaimana kalau kau membawanya ke Syushin?"

Sanosuke menggeleng cepat, "Sejak beberapa hari yang lalu, Raiden-sama menutup Syushin. Tidak ada seorang pun bisa masuk atau ke luar dari sana."

"Apa???"

Sanosuke kembali menggetok kepalaku, "Kau benar-benar tak tahu seberapa berbahaya lawanmu, ya?" katanya dengan nada sinis bercampur geli.

"Hei, memangnya kapan aku diberi tahu?"

"Memangnya kau-kalian, pernah peduli?"

PerkataanSano bak air dingin yang mengguyur kepalaku dulu. Apa yang dia katakan memang benar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro