BAB 1 : Marissa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang gadis berambut panjang yang dikuncir rapi lengkap dengan pita merah jambu sedang duduk di bangku piano. Sejenak ia melirik seorang laki-laki yang bertugas sebagai *page-turner di sebelah kirinya. Cahaya putih panggung kini terarah padanya, suasana hening penonton di sisi kanannya membuat ia sedikit gugup. Ia menghela napas lalu menghembuskannya perlahan, kemudian menata jari-jari lentiknya di atas tuts piano. 

Beberapa detik kemudian jari-jarinya menari menciptakan sebuah alunan lagu klasik. Impromptu in A Flat Mayor *Opus 142 No. 2 karya Franz Schubert menggema di dalam aula. Ia memainkan grand piano di depannya dengan penghayatan penuh mengikuti alunan lagu. Ia tahu ribuan pasang mata termasuk beberapa orang yang disayanginya di bangku penonton tertuju padanya. Ia sudah sering melakukan pertunjukkan piano, namun, kali ini orang-orang yang disayanginya menonton dan mendukungnya secara langsung. Untuk itu ia harus memberikan permainan terbaik.

Tak seperti sebelumnya, ia semakin terlarut dalam permainannya sendiri, rasa gugup yang menjalarinya tadi lenyap. Selama jari-jarinya menyatu dengan tuts-tuts piano, sesekali ia fokus melihat kertas *partitur, page-turner juga melakukan tugasnya dengan baik sehingga permainannya berjalan dengan lancar. 

Jantungnya sedikit berdebar lebih keras ketika ia sudah mencapai baris akhir, ia akhiri penampilannya dengan memainkan *ritenuto di not terakhir yang segera disambut tepukan tangan meriah dari penonton. Ia beranjak dan berdiri menghadap penonton, kemudian melakukan hormat singkat.

"Tepukan meriah untuk Marisa Eka Putri," seorang lelaki pembawa acara menghampirinya, "dan tentu saja tak lupa, Geovano Pratama sebagai page-turner yang juga seorang pianis berbakat. Selamat kalian sudah berhasil menampilkan yang terbaik dan membuat penonton terpukau. Berikan tepuk tangan sekali lagi untuk Rissa dan Vano!" ajakan pembawa acara berhasil menggaungkan tepukan tangan penonton di aula sekali lagi. Rissa bisa melihat ayah, guru piano, dan para sahabatnya di bangku penonton paling depan, senyumnya mengembang.

Setelah memberikan hormat kepada penonton, Rissa dan Vano meninggalkan panggung.

"Riss, permainan kamu tadi luar biasa banget meskipun di awal aku ngerasa kamu ada sedikit keraguan memainkannya. Nggak biasanya kamu kayak gitu. Gugup?" Vano membuka suara setelah mereka sudah berada di ruang tunggu.

Rissa tersenyum, "Ya. Aku tadi sempat gugup, sih. Gimana enggak? Bu Martha, ayah, dan sahabat-sahabatku nonton. Tapi untunglah itu nggak berlangsung lama."

Vano mengulurkan tangan ke arah Rissa, "Selamat, ya. Lain kali, aku boleh kan memintamu menjadi page-turner-ku? Tentu saja atas permintaan pribadiku, bukan karena dipilih bu Martha."

Rissa menyambut uluran tangan Vano, "Tentu. Terimakasih juga sudah membantuku."

"Ehem!" deheman seseorang membuat Rissa menarik tangannya yang masih di genggaman Vano. Rissa menoleh dan melihat tiga gadis sahabatnya menyunggingkan senyum gembira. Ia segera menghampiri mereka yang langsung menyambutnya dengan pelukan.

"Selamat, Rissa!" ucap mereka bebarengan.

"Seperti biasa, permainan pianomu tadi bagus banget. Setelah latihan band, aku bela-belain datang ke acara pembukaan kantor teman ayahmu ini, lho," ujar seorang gadis berkulit sawo matang dan berambut pendek.

"Makasih ya, Veve sayang udah datang."

Gadis yang dipanggil Veve itu mengangguk.

"Ini bunga dari kami, Riss." Seorang gadis berbadan sedikit tambun menyerahkan buket bunga kepada Rissa.

"Terimakasih Karis." Rissa memeluk gadis itu kemudian berganti memeluk gadis berambut keriting di sampingnya, "terimakasih May. Kalian memang sahabat-sahabatku yang terbaik," ujar Rissa sambil memandang mereka bertiga bergantian.

May melirik Vano sekilas, lalu beralih ke arah Rissa, "Riss, page-turner-mu jangan dianggurin gitu, dong."

Rissa menoleh ke belakang dan melihat Vano yang memandang mereka sedari tadi. Ia memberi tanda agar Vano mendekat dan kemudian memperkenalkan Vano kepada para sahabatnya.

"Jadi ini ya teman di tempat kursus piano yang sering kamu ceritakan itu?" ujar May sambil mengedipkan sebelah mata ke arah Rissa. Veve menyikut lengan May dan memberi tanda agar May diam. Rissa tertunduk, ia merasa tidak enak dengan Vano karena sifat ceplas-ceplos May.

"Duh, ya udah Riss. Kita bertiga balik duluan aja, ya," kata May kemudian.
Veve dan Karis memandang May dengan heran, "Loh? Katanya kita-" perkataan Karis belum selesai karena May menutup mulutnya dan memberi tanda dengan kerlingan mata agar Veve dan Karis menurut.
"Ayok udah cepetan, sopirku udah nunggu." May mendorong Veve dan Karis menjauh, "kita balik duluan, ya," ujar May.

"Kalian mau ke mana? May!" Rissa berniat mengejar sahabat-sahabatnya, namun, ia merasa tak enak jika harus meninggalkan Vano, apalagi setelah mendengar perkataan May tadi. Vano jadi tahu kalau ia sering membicarakannya di depan mereka bertiga.

"Maaf, ya," Rissa menahan rasa malu, "a-aku hanya cerita ke mereka kalau kita sama-sama belajar piano dengan bu Martha."

Vano tersenyum, "Nggak papa, kok, Riss. Aku malah senang kamu memperkenalkan aku sama mereka. Oh, ya! Kamu langsung pulang ke asrama atau menemani ayahmu dulu?"

"Langsung pulang, besok udah masuk sekolah. Lagipula, Ayah pasti sibuk dengan rekan bisnisnya sekarang, nggak mungkin aku ikut menemaninya."

"Oh, iya. Besok hari pertama kita di kelas dua belas. Yah, sayang kita beda sekolah. Ya udah, ayo aku antar, kayaknya kamu ditinggal sahabat-sahabatmu, tuh," ucap Vano sambil menahan senyum.

Rissa menghela napas panjang, tak ada pilihan lain. Ia mengangguk.

***

"Jadi, mereka juga satu asrama denganmu?" tanya Vano yang menyetir sambil membagi pandangan antara Rissa yang duduk di sampingnya dan jalanan di depannya.

Rissa mengangguk, "Iya. Kalau May itu mahir bermain biola. Sedangkan Veve pinter main gitar, dia anak band. Menurut ceritanya, gitar yang sering dibawanya ke sekolah itu adalah gitar pemberian kakeknya. Kalau Karis dia nggak punya kemampuan memainkan alat musik, tapi jangan ditanya soal suara. Dia itu sangat mahir bernyanyi seriosa dengan teknik suara tingginya. Dia sering diundang untuk tampil di berbagai acara di sekolah lain sampai di acara para pejabat negara," ujar Rissa berseri-seri.

Vano yang menyadarinya tersenyum simpul, "Kayaknya kamu sayang banget sama mereka, ya."

"Iya lah, Van. Kita berempat kenalan di hari pertama masuk SMA dan langsung akrab soalnya kita punya satu kesamaan yaitu kita sangat mencintai musik. Berbeda denganku yang sedari SD, SMP, sampai SMA sekolah di Saint Sirius. Mereka datang dari sekolah yang berbeda-beda. Terus, sekarang kita masuk di ekstrakurikuler seni musik. Persahabatanku sama mereka semakin kuat."

"Wah, enak, ya. Sayangnya, orang tuaku melarangku pindah ke Saint Sirius. Kalau aku di sekolah yang sama kaya kamu, aku bisa ketemu tiap hari sama kalian."

Rissa melirik Vano sekilas dan mengedarkan pandangan ke jalanan. Suasana hening beberapa saat.

"Riss," panggilan Vano membuat Rissa menoleh ke arahnya, "apa boleh aku meminta jawabanmu hari ini?"

Rissa tercengang, pikirannya melayang ke beberapa minggu yang lalu ketika Vano memintanya menjadi kekasih. Saat itu Rissa sudah menolak, tapi Vano meminta Rissa untuk memikirkannya kembali dan ia diperbolehkan menjawab kapan pun ia mau.
Vano memang secara terang-terangan mendekatinya sejak cowok itu menjadi murid gurunya dua tahun lalu. Ia sering bercerita tentang usaha Vano yang mendekatinya kepada sahabat-sahabatnya.

Rissa hanya diam, menyadari itu, Vano menatap gadis itu dan angkat bicara, "Kamu tahu kan, sebentar lagi keluargaku akan pindah ke California, aku tidak bisa menunggu terus seperti ini, kamu akan memberi jawaban padaku hari ini, kan?" tanya Vano dengan nada setengah tidak sabar.

Rissa gusar selama beberapa detik, kemudian pandangannya mengarah ke depan. Ia tersentak ketika tak jauh di hadapannya ada pengendara motor yang berhenti.

"Van, awas Van!!" teriaknya.

Vano tersentak dan menginjak rem, namun terlambat.

Bruaakk!! Pengendara motor itu jatuh tertabrak, motornya terguling ke samping.

"Astaga! Sial!" Vano meminggirkan mobilnya dan segera keluar, sekilas melihat bumper depan mobilnya, kemudian menghampiri orang yang ia tabrak.
Rissa melihat mereka dari dalam mobil, orang yang telah ditabrak Vano itu ternyata seorang pemuda, ia melepas helm dan tampak marah. Rissa tak begitu jelas mendengar pembicaraan mereka, namun, tampaknya Vano berusaha menenangkan pemuda itu. Ia juga melihat Vano memberikan sejumlah uang kepada pemuda itu.
Tiba-tiba, pandangan Rissa menangkap luka berdarah yang ada di siku sang pemuda. Rissa beranjak keluar dan menghampiri pemuda itu, sekilas dilihatnya Vano, cowok jangkung itu sedang memeriksa bumper mobilnya.

"Maaf ya Mas, kami sungguh-sungguh nggak sengaja," ucap Rissa dengan tulus.

Pemuda memandang Rissa dengan tatapan tidak suka, "Mbak, tolong bilang sama pacarnya ya, kalau minta maaf tapi ujung-ujungnya tetap nyalahin orang lain mending nggak usah minta maaf. Memangnya tidak lihat kalau lampu lalu lintas sudah menyala merah?"

Rissa meminta maaf sekali lagi dan menawarkan untuk mengobati luka pemuda itu, namun tangannya ditampik dengan kasar ketika menyentuh lengan pemuda itu.

"Nggak perlu! Tolong bilang aja sama pacarnya yang saya katakan tadi, kayaknya dia lebih khawatir sama bumper mobilnya daripada yang ditabrak," sekilas pemuda itu melirik Vano, "dan saya nggak butuh uangnya."
Pemuda itu berbalik dan menghampiri pengemis yang duduk di dekat lampu merah tak jauh dari situ lalu memberikan uang Vano kepada pengemis itu. Sang pengemis terkejut melihat nominal yang diberikan pemuda itu dan hanya bisa mengucapkan terimakasih berkali-kali dengan mata berkaca-kaca. Rissa hanya bisa terpaku memandang pemuda itu, sampai pemuda itu menancap gas motornya dan pergi.

***

Rissa terkejut ketika memasuki lobi asrama dan melihat Veve, May, dan Karis mengobrol di sofa tamu. Menyadari kedatangannya, mereka berhambur menghampiri Rissa.

"Kok kalian di sini?" tanyanya.

"Loh? Riss, kok cepat amat pulangnya? Kita aja belum sempat ke kamar, memangnya nggak diantar pulang Vano?" ujar May.

"Diantar, kok. Aku dan dia sama-sama capek, jadi langsung pulang."

"Yahh, aku pikir bakal ada hal romantis, contohnya Vano yang meminta jawabanmu lagi, candle light dinner, atau kalian jadian gitu." Bibir May mencebik ke bawah.

Rissa menghela napas panjang, "Dia memang nagih jawaban tadi. Aku sudah menjawabnya dan jawabanku tetap sama."

"Yahh?! Kenapa Riss?" tanya May. Kedua alisnya bertautan.

"Iya, kenapa? Padahal Vano kan baik," imbuh Karis.

"Dan kayaknya Vano juga tulus sama kamu mengingat cerita-ceritamu tentangnya," sambung Veve.

"Apa karena kamu tidak bisa melupakan cinta pertamamu? Riss, plis, deh. Udah dua belas tahun berlalu dan kamu masih nunggu dia?! Cinta pertama sih cinta pertama, tapi kamu juga harus move on, dong," ujar May dengan nada meninggi.

Rissa malas berdebat, ia tersenyum dan mengatakan bahwa butuh istirahat kemudian bergegas menuju kamarnya, meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih heran.
Rissa menghempaskan diri ke ranjangnya. Pikirannya mengembara, ia yakin keputusan yang diambilnya tepat. Lagipula, ada beberapa hal yang tidak ia sukai dari Vano, apalagi setelah kejadian kecelakaan tadi yang membuatnya berpikir bahwa Vano adalah orang yang egois. 

Dan yang lebih penting, ia tidak mungkin menerima cinta Vano sedangkan hatinya sendiri untuk orang lain. Ia bangkit dan meraih sesuatu di atas nakasnya, sebuah kotak musik kayu berwarna coklat dan memiliki tuas putar di sisi kanannya. Senyumnya mengembang ketika ia memutar tuas itu dan alunan Fur Elise terdengar nyaring.

"Akankah aku bisa bertemu denganmu suatu saat nanti?" gumamnya.

***

Footnote :

*Page-turner = seorang asisten pianis yang bertugas membalik lembar partitur yang dimainkan oleh pianis. Biasanya kalau partitur lebih dari satu lembar dan pianis tidak mempunyai jeda waktu untuk membalik partitur selanjutnya, page-turner lah yang berperan. Page-turner harus menyimak permainan pianis agar bisa dengan sigap membalik partitur selanjutnya yang dimainkan pianis. Umumnya page-turner bersiap ketika pianis sudah mencapai satu atau dua baris akhir dalam partitur. Sehingga, peran page-turner sangat penting dan berpengaruh dalam kelancaran pertunjukkan piano maupun dalam opera.

*Opus (Op.) = karya musik yang diberi nomor untuk menunjukan tempat (urutan) gubahan tersebut dalam semua karya seorang komponis.

*Partitur = bentuk tertulis atau tercetak pada komposisi musik.

*Ritenuto(rit.) = tempo yang diperlambat tiba-tiba, biasanya dengan cara menahan not.

Selamat membaca :D kalau ingin tahu gimana alunan lagu  Impromptu in A Flat Mayor Op. 142 No. 2 karya Franz Schubert, silakan cek mulmed ya. Geser sampai menemukan video. Dan aku tambahkan cast untuk Marissa atas permintaan seorang teman. Semoga suka :D. Untuk cast yang lain, aku serahkan pada imajinasi pembaca :D Sampai jumpa di bab selanjutnya.

Magic Forest,

28 September 2017 (Republish)

20:18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro