BAB 2 : Hari Pertama Tahun Ajaran Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saint Sirius School, tempat Rissa bersekolah merupakan sekolah swasta besar yang memiliki sekolah dari jenjang SD sampai SMA di tempat terpisah. Sekolah favorit yang mengasah kemampuan para siswanya tidak hanya dari segi akademik namun juga non akademik ini terletak di salah satu kota di Jawa Timur.
Sekolah ini memiliki lambang berupa Centaurus atau manusia setengah kuda dalam mitologi Yunani, yang tengah mendongak menatap dua buah huruf S di tangannya. Selain lambang ini memenuhi sekolah, lambang ini juga ada di bandul kalung para muridnya yang wajib dipakai ketika mengikuti kegiatan belajar di area sekolah.

"Akhirnya masuk sekolah lagi!!!" teriak Karis dengan senang setelah memasukkan sepatunya ke dalam loker di depan kelas XII-4.

"Dasar, kalau masuk sekolah terus pengennya libur. Udah libur, eh, malah pengen masuk sekolah," kata Veve.

"Iya, nih, tau deh Karis. Kalau udah masuk sekolah gini, jatahku pergi ke salon jadi berkurang, aku akan menjadi anak dekil, berangkat pagi pulang sore, oh Tuhan... aku tak kuat memikirkannya," kata May sambil menempelkan punggung tangannya ke kening.

"Dasar. Padahal kalau masuk sekolah, bisa memandang cowok-cowok ganteng lho," timpal Rissa.

"Iya, sih Riss. Tapi aku nggak minat sama cowok-cowok angkatan kita. Paling si Ivandito atau Justin yang tampangnya ganteng, tapi kelakuan mereka sok jagoan, aku nggak begitu respek. Sekarang malah nggak ada kakak kelas sama sekali. Nggak ada lagi semangat mengejar cowok ganteng di sekolah ini," kata May. Rissa, Karis, dan Veve hanya tertawa kecil mendengar kata-kata May.

"Ngomong-ngomong tentang Ivandito, Saint Sirius Devil Club masih saja ada ya sampai sekarang?" tanya Karis.

"Ada lah. Satu-satunya klub tidak resmi pembuat onar di sekolah kita itu nggak akan bisa dibubarin. Gimana bisa coba? Anggota-anggotanya itu kebanyakan adalah anak dari dewan sekolah atau donatur-donatur yang sangat berpengaruh di sekolah kita ini. Dan Ivandito si ketua SSDC itu, ayahnya adalah wakil dewan sekolah. Mana mungkin klub itu dibubarin walaupun sering membuat onar," jawab May.

"Betul. Kalau niat dibubarin sih, udah dari dulu kali. Dari kita masih kelas sepuluh, Ivandito yang memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk mendirikan klub itu bisa dengan cepat mempunyai anggota-anggota anak cowok kelas sebelas dan dua belas, tentunya kebanyakan dari mereka adalah anak dewan sekolah dan donatur sekolah. Makanya, karena kekuasaan ayahnya dan status anggota-anggotanya, Kepala Sekolah pun nggak berani bubarin klub itu. Dulu gosipnya sih gitu," ujar Veve.

"Masa sih Kepala Sekolah nggak berani hanya gara-gara SSDC mempunyai anggota-anggota anak dewan sekolah atau donatur?" tanya Rissa.

"Itu udah bukan gosip lagi, tapi kenyataan. Kamu kira sekolah ini bisa bertahan karena apa? Para donatur lah. Dan keputusan-keputusan yang diambil Kepala Sekolah, harus mendapat persetujuan pula dari dewan sekolah. Sekolah ini swasta, punya yayasan sendiri, jadi nggak bisa berdiri sendiri," kata May.

"Iya juga, ya. Tapi, kelakuan mereka, aku tidak menyukainya. Kadang membuli siswa lain. Mereka juga beberapa kali terlibat kasus keroyokan, berantem, ataupun tawuran. Semoga saja di kelas duabelas ini mereka tobat," kata Rissa.

"Eh, tunggu deh. Jangan menjelek-jelekkan mereka, gitu-gitu dulu May pernah naksir Ivandito waktu kelas sepuluh," ledek Veve sambil menyikut May diikuti tawa yang lain.

"Apaan sih, Ve? Itu kejadian sebelum Ivandito mendirikan SSDC. Gimana aku nggak naksir, aku yakin cewek-cewek lain waktu itu banyak yang naksir dia. Ivandito keren gitu, sih. Kulit bersih, tinggi, hidung mancung, dan pastinya kaya," ujar May membela diri.

"Tapi, menurutku kalau May sih, asal ada cowok ganteng dikit langsung ditaksir, deh," kata Karis.

"Iya tuh. Betul. Di otaknya cuma ada cowok," imbuh Veve.
"Veveee, kamu jahat banget nggak membelaku," protes May sambil merengek seperti anak kecil, melihat itu, Karis dan Veve semakin menggodanya. Rissa hanya bisa tertawa melihat sahabat-sahabatnya itu.
Mereka masih asyik mengobrol di koridor, sampai mata May menangkap sesuatu yang baru saja muncul dari tangga di samping kelas XII-1. Ivandito, Bryan, dan Justin berjalan ke arah mereka.

"Lihat, tuh! Yang tadi kita omongin nongol," ujar May. Sahabat-sahabatnya memandang sumber pembicaraan May. Ivandito, Bryan dan Justin terlihat meletakkan sepatu di loker depan kelas XII-2 dan bergegas masuk kelas. "Untung banget ya, mereka nggak sekelas sama kita. Kalau sampai itu terjadi, kelas kita nggak bakalan kondusif untuk belajar," kata May.

"Iya. Untung dari kelas sepuluh sampai kelas tiga teman sekelas nggak pernah diacak kayak sekolah lain," kata Veve.
"Itu salah satu untungnya dari awal kita udah melalui tes penjurusan," Rissa menimpali.

"Tapi bukan berarti di kelas kita nggak ada anak bermasalah sama sekali. Icha, Lena dan Shilla juga bermasalah buat kita," kata Karis diikuti anggukan sahabat-sahabatnya.

"Udahan deh ngomongin orang. Masih pagi juga. Mending kita mulai mikirin festival sekolah tiga bulan lagi," kata Rissa.

"Oh iya, bentar lagi ulang tahun sekolah, ya? Klub musik harus mempersembahkan penampilan terbaiknya lagi," ujar Veve.

"Tentu saja," jawab Rissa.

Jam tujuh tepat bel sekolah berbunyi menandakan sudah saatnya mereka memasuki kelas. Mereka dan siswa-siswi lain bergegas memasuki kelas masing-masing. "Duh, ada empat bangku yang kosong nggak?" kata Karis tak lama setelah memasuki kelas.

"Ada, tuh." Rissa menunjuk bangku barisan tengah. Mereka bergegas ke bangku masing-masing. May dan Rissa duduk bersebelahan dan di belakangnya ada Karis dan Veve.

"Duh, aku ke toilet dulu ya," kata Rissa diikuti anggukan sahabat-sahabatnya. Rissa keluar kelas dan mengambil sepatu di lokernya.

"Rissa?"

Seseorang memanggilnya dan Rissa sontak saja menoleh ke sumber suara di sampingnya. "Iya, Pak Budi?"

"Tolong antarkan berkas ini ke kantor Kepsek, ya. Saya tadi lupa."

Rissa mengangguk dan menerima berkas amplop coklat yang tipis itu. Setelah ke toilet, Rissa menuju ruang Kepala Sekolah untuk mengantarkan berkas itu. Ruang Kepsek masih satu gedung dengan kelas Rissa di gedung utama. Ruang itu terletak di lantai satu, dua tingkat di bawah kelasnya.
Ketika sampai di depan ruangan, Rissa mengetuk dan membuka pintu dengan sopan, "Maaf, Pak, Saya disuruh Pak Budi untuk mengantarkan dokumen ini."

"Iya, kemarilah, Nak."

Rissa melihat Kepala Sekolahnya, Dibyo yang ternyata sedang duduk ditemani dua orang tamu, seorang lelaki setengah baya dan seorang cowok berseragam putih abu-abu. Rissa sedikit terkejut ketika mengenali cowok berseragam putih abu-abu itu.

Loh? Itu kan Mas-mas yang kemarin tertabrak mobil Vano? batinnya. Sepertinya cowok itu juga mengenali Rissa, ia segera menghindari tatapan Rissa.

Rissa menyerahkan dokumen itu kepada Dibyo.

"Terimakasih. Oh iya, kebetulan ada Rissa," tatapan Dibyo beralih ke lelaki setengah baya, "dia adalah salah satu murid berbakat di sekolah kami. Rissa adalah pianis handal dan pernah mengikuti kompetisi piano nasional. Pak Lubis, anda tidak salah memasukkan anak anda ke sekolah dengan murid-murid berbakat ini." Dibyo memperkenalkan Rissa kepada kedua tamunya.

Rissa tersenyum ramah kepada lelaki setengah baya yang dipanggil Lubis itu. Kemudian, mata Rissa dan cowok berseragam itu bertemu, Rissa tersenyum padanya, namun, tak ada senyum di bibir cowok itu, malah ia berpaling.
Apa-apaan dia? Nggak sopan, kemarin juga kasar banget. Masa masih marah gara-gara kejadian kemarin, sih? Rissa menggerutu dalam hati.

"Permisi, Pak. Saya izin masuk kelas," kata Rissa kepada Dibyo. Dibyo mengagguk.

"Dasar cowok aneh, aku kan hanya berusaha ramah. Paling nggak balas senyum kek di depan ayahnya dan kepsek," gumam Rissa sambil berjalan. Tak lama kemudian, Rissa memasuki kelas dan melihat teman-teman sekelas gaduh, wali kelas mereka belum datang.

"Bu Ratih belum datang?" tanya Rissa kepada May. May menjawab dengan mengangkat bahunya. Beberapa waktu kemudian, kelas menjadi kondusif karena warga kelas menyadari suara sepatu Ratih terdengar di lorong menuju kelas. Ratih, wali kelas XII-4 datang bersama cowok yang tadi dilihat Rissa di ruang Kepsek. Ngapain cowok itu sama Bu Ratih? Jangan bilang kalau....

"Selamat pagi! Hari ini ada murid pindahan di kelas ini dan akan menjadi warga kelas duabelas empat," kata Ratih di depan kelas, kemudian pandangannya beralih ke cowok yang sedang berdiri di sampingnya, "ayo, perkenalkan dirimu."

Semua perhatian penghuni kelas tertuju padanya. Sebelumnya, Rissa tidak begitu memperhatikan cowok itu dengan seksama, ia baru menyadari bahwa cowok itu tinggi dan ternyata.... "Ganteng bangeeett!" May mengguncang bahu Rissa.
"Sssstttt...." Rissa menempelkan jari telunjuk di bibirnya dan memandang sahabatnya itu. May tidak melepas pandangannya dari anak baru, Rissa hanya bisa memutar bola mata. May kumat kalau melihat cowok ganteng, pikirnya.

"Namaku Richardo Wijaya. Kalian bisa memanggilku Rick. Salam kenal, semoga kita bisa menjadi teman baik," di depan kelas, Rick memperkenalkan diri.

Tersenyum. Dia tinggi dan ternyata dia bisa tersenyum juga, beda banget sama kemarin dan tadi di ruang Kepsek, ketus, batin Rissa. Kemudian Rissa melihat luka di siku Rick yang dibalut perban, Pasti itu luka yang kemarin, sampai dibalut perban.

Penghuni kelas gaduh, terutama yang cewek. "Bu, dibuka sesi pertanyaan atau nggak, nih?" tanya seorang cewek bernama Icha yang duduk di bangku depan kepada Ratih.

Ratih mengangguk, "Boleh saja. Silakan bertanya."

"Anak mana? Pindahan darimana?" tanya Icha kepada Rick.

"Rumahku sebelumnya ada di Semarang. Aku pindahan dari salah satu SMA Negri di sana."

"Bagi nomor teleponnya, dong," sahut Shilla.

"Bagi akun medsosnya juga," salah satu siswi menimpali.

"Sudah ada cewek apa belum?" tanya siswi lain. Kelas menjadi gaduh.

"Kamu nggak homo, kan?" celetukan salah satu siswa cowok diikuti tawa seisi kelas.

"Sudah, sudah! Jangan berisik! Cukup, lanjutkan perkenalan kalian nanti saja," Ratih menenangkan kegaduhan, "duduk saja di bangku kosong sebelah sana." Ratih menunjuk bangku paling belakang dan ada di pojok ruangan sebelah jendela ruang kelas yang menghadap ke halaman sekolah. Lalu Rick berjalan menuju bangkunya. 

Sejenak, pandangan Rissa dan Rick bertemu. Rissa ingat ketidakramahan Rick kemarin dan khususnya di ruang Kepsek. Tiba-tiba ia merasa malu, Duh, dia yang ketusin aku, kenapa aku yang malu? Lagian, kenapa aku tadi senyum ke dia, sih? Kalau nggak dibales kan malu, kata Rissa dalam hati, tapi, kalau dipikir, wajar aja sikap dia ketus ke aku. Secara tak langsung aku kan sudah terlibat membuat tangannya terluka dan motornya rusak.

"Riss, beruntung banget kelas kita. Hari pertama tahun ajaran baru, udah ada yang memanjakan mata," kata May.

Rissa tersenyum konyol, "Sekarang, udah nggak pengen liburan lagi, kan? Tuh, udah ada cem-ceman baru,"

May sekilas melirik Rick, "Kalau ada pemandangan indah kayak gitu di kelas sih, libur lama-lama mana betah. Pokoknya, nanti sepulang sekolah aku harus merawat diri ke salon." May mengedipkan sebelah matanya.

Rissa memutar bola matanya lalu menggelengkan kepala, "Duh, mulai lagi deh, princess satu ini."

***

Magic Forest

29 September 2017 (Republish)

15:15

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro