BAB 18 : Marissa dan Icha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diego menahan seorang pelayan yang berjalan dengan membawa minuman di nampan, lalu ia mengambil segelas cocktail. Diego menuju beranda lantai dua sekarang. Ia ingin meninggalkan suasana pesta di belakangnya, ia tak begitu suka dengan keramaian. Icha mengajaknya ke pesta di rumah salah satu teman Icha setelah pulang kegiatan ekstrakurikuler, ia bahkan tak sempat membersihkan diri. Diego melirik arlojinya, sudah hampir jam 9 malam. Ia segera menenggak habis minumannya. Kenangan masa lalu terlintas di benaknya. Diego mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia harus selalu membenci Hanggono, pembunuh ibunya.

Dilihatnya Icha yang sedang mengobrol dengan Ivandito dan yang lainnya. Dengan cepat, Diego beranjak ke tempat Icha, menggandeng tangannya dan membawanya keluar dari rumah pesta. Awalnya, Icha memberontak, tapi Diego mempererat pegangannya, akhirnya Icha pasrah mengikuti dengan tatapan bertanya-tanya. Setelah keluar, Diego melepas jaketnya dan menyelimuti tubuh Icha yang memakai pakaian terbuka.

"Hei, kamu kenapa, sih?" Icha protes. Namun, Diego tak menanggapinya. "Kenapa kita keluar, Rick? Pesta belum selesai," sambungnya.

"Nggak bisa ya sehari aja kita lewatin waktu berdua? Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu," jawab Diego.

Icha memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya, namun Diego mengacuhkan tatapan itu dan membawa Icha menuju parkiran motornya. Tak lama kemudian, mereka telah melesat ke jalanan. Diego menghentikan motor di depan ke cafe 'Cool', tempat Diego dan Rick sering bertemu. Ketika Diego berjalan ke pintu masuk, pemilik café langsung menyapanya dengan ramah dan mempersilakan mereka duduk.

"Kamu kenal sama orang itu? Kayaknya, kamu sering ke sini, ya?" tanya Icha beberapa saat setelah mereka duduk.

"Ya, begitulah," jawab Diego. Tampak seorang pelayan cafe melayani mereka dengan mencatat pesanan-pesanan Icha.

"Oh ya? Sama Ivandito dan gengmu?" tanya Icha setelah pelayan cafe itu pergi.

Diego menggeleng, "Tidak. Sendiri. Dan kamu cewek pertama yang aku ajak ke sini," jawab Diego.

Icha tersipu malu, ia tersenyum sambil mengaitkan rambutnya ke belakang telinga. "Kamu nggak akan ke sini sendirian lagi, kok. Cewekmu ini akan selalu nemenin kamu. Jadi, jangan sungkan kalau mau ajak aku ke sini. Tapi, suasana cafe ini apa nggak terlalu sepi dan..." Icha berhenti sejenak dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, "terlalu klasik? Kayak cafe jaman dulu aja."

Diego tersenyum kecut, "Aku lebih suka tempat ini daripada suasana pesta-pestamu itu."

Icha tersenyum dengan paksa kemudian mengangguk samar, "Oh ya, katanya, ada sesuatu yang mau kamu omongin?" Icha meraih tangan Diego yang berada di meja, "ngomong aja, Sayang."

Diego melirik sekilas tangannya yang digenggam Icha, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada cewek di hadapannya itu, "Ya. Sebenarnya, aku pengen ketemu sama Ayahmu. Itu pun kalau kamu nggak keberatan."

Icha terlihat senang. "Beneran? Boleh lah. Aku senang banget kalau bisa kenalin kamu sama ayahku."

Kedua alis Diego bertautan, ia memperhatikan Icha dengan pandangan skeptis. Berani juga dia? Apa dia nggak takut mempertemukan aku sama ayahnya? Apa ayahnya nggak bakal marah mendapati anaknya yang udah punya calon tunangan tapi malah bawa cowok lain untuk dikenalkan? Diego tersenyum kecut, Masa bodoh! Yang penting aku bisa bertemu langsung dengan Hanggono. Akhirnya setelah bertahun-tahun, aku akan bertemu langsung dengan pembunuh ibu, batin Diego.

Pembicaraan mereka terhenti sejenak karena pelayan cafe membawa pesanan mereka.

"Jadi, kapan kamu akan mempertemukan aku sama ayahmu?" tanya Diego setelah suasana kembali intens.

Icha terlihat berpikir, matanya menerawang ke sekitarnya, "Kapan ya? Gimana kalau setelah festival sekolah nanti? Aku juga akan mengenalkanmu sama ibuku yang sekarang tinggal di Bogor. Kadang dia pulang kok buat jenguk aku."

Diego terkejut, ia meletakkan kembali cangkir minuman yang sempat diangkatnya dan menatap Icha dengan tatapan bertanya, Ibu? Bukannya ibunya udah meninggal? Ia terkekeh, "Tunggu... tunggu. Apa tadi kamu bilang? Ibu? Kamu punya ibu?"

"Ngomong apaan, sih? Ya punya lah. Kalau nggak punya aku nggak bakalan lahir ke dunia."

Diego menggeleng, "Bukan... bukan itu. Maksudku, bukannya ibu kamu udah meninggal? Apa ayahmu nikah lagi?" tanya Diego dengan sedikit menaikkan nada bicaranya.

Icha terlihat bingung. "Apa maksudmu, Rick? Memang sih, ayah dan ibuku udah nggak tinggal sama-sama karena udah cerai, tapi bukan berarti ibuku udah meninggal, kan? Ayahku juga nggak nikah lagi, kok." Icha menghela napas dan tak melepaskan pandangan ke Diego, "siapa yang bilang sama kamu kalau ibuku udah meninggal? Enak aja!"

Diego tercekat, Apa yang terjadi? Aku semakin nggak ngerti. katanya dalam hati. "Aku lupa siapa yang bilang padaku." Diego menenggak minumannya untuk menenangkan diri, ia mulai merasa tidak nyaman. Menurut informasi dari paman selama ini, ibu Icha udah meninggal dari ia baru lahir. Apa Hanggono nikah lagi tanpa sepengetahuan Icha?

"Aneh. Seneng banget bikin gosip nggak bener tentang aku. Nggak bener lah, ayah dan ibuku udah cerai dan tinggal terpisah, sekarang ibuku di rumah nenek di Bogor. Aku ikut tinggal sama ayah di sini," terang Icha.

Diego semakin tidak mengerti dengan semua yang telah ia dengar. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semuanya bertentangan dengan apa yang selama ini ia dengar dari Lubis dan Rick, ia harus memastikannya lagi. "Kamu yakin itu ibu kandung kamu? Maaf, tapi kalau yang aku dengar, ibu kandung kamu meninggal setelah melahirkan kamu. Dan mungkin aja ibu kamu yang ada di Bogor itu adalah ibu tiri kamu yang dinikahi ayahmu waktu kamu masih bayi."

Icha tertawa keras, "Rick? Kamu sebenarnya kenapa, sih? Kamu mabok?"

Diego mengenyahkan ucapan Icha dan ia menunjukkan wajah seriusnya, "Aku sangat waras dan sadar dengan apa yang aku tanyakan sama kamu, Cha. Jawab aja pertanyaanku."

Icha menatap Diego dengan bingung, "Lelucon apa ini, Rick Sayang? Aku yakin banget dia adalah ibu kandungku. Lagipula, perceraian mereka juga baru aja terjadi, kok. Sekitar bulan terakhir di kelas dua. Dari kecil juga mereka yang ngrawat aku. Apa aku perlu nunjukin akta lahirku sama kamu biar kamu percaya?"

Diego merasa ganjil dan ia berpikir cepat, hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah ia salah mengenali orang. Dan yang kedua cerita tentang Icha dari Lubis dan Rick itu salah, mungkin mereka yang tidak menyelidiki dengan benar. Dan hal itu diperkuat dengan perceraian orang tua Icha yang terjadi beberapa yang lalu, tak mungkin ia, Lubis, dan Rick tidak mengetahuinya. Mereka selalu mengawasi Icha selama ini.

Dan sekarang, Icha yang kini di hadapannya itu bercerita bahwa sedari kecil, kedua orang tuanyalah yang mengasuh Icha. Sedangkan berdasarkan penyelidikannya selama bertahun-tahun ini, Icha yang dimaksud hanya memiliki ayah, karena ibunya sudah meninggal dan sejak kecil diasuh oleh ayahnya seorang diri. Hanya ada satu cara agar bisa menguatkan keyakinannya. "Cha, apa nama ayahmu adalah Hanggono Liem?"

Icha tercekat, sikap Diego semakin membuatnya tak nyaman. "Bukan lah. Kata siapa? Kau mulai aneh, deh? Ayahku bukan Hanggono Liem, tapi Handoko Subrata. Han... do... ko. Bukan Hanggono. Kamu membuatku takut, tahu? Mencecarku dengan banyak pertanyaan aneh. Aku yakin kamu beneran mabuk?"

Perasaan Diego campur aduk, tangannya terkepal. Ia sadar selama ini ia telah salah orang. Bodoh. Jadi benar aku salah orang? Ia mengutuk dirinya sendiri, Gimana bisa aku hanya membuang-bunag waktu selama ini? Gadis di hadapannya ini adalah orang lain. Lalu, di mana Icha yang dia cari? Siapa sebenarnya Icha? Di mana anak dari seorang pembunuh yang telah membunuh ibunya itu? Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Ia sangat marah pada dirinya sendiri.

Icha terhenyak, "Tunggu... tunggu... apa tadi kamu bilang? Hanggono Liem? Kayaknya aku pernah denger nama itu, deh. Tapi, siapa ya?" Icha mencoba mengingat-ingat. Tiba-tiba ponsel Diego berdering. Terlihat nama Rick tertera di display ponselnya. Ia menjawab telepon itu. "Ya?"

"Di? Kamu di mana?" terdengar suara di seberang.

Diego melirik Icha yang sedang sibuk mengingat-ingat, "Aku di cafe biasa," jawabnya

"Ya udah, aku kebetulan ada di jalan dekat café, bentar lagi aku nyampai di sana. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan sekarang, Di," jawab Rick.

"Kita bicara di luar aja. Jemput aku di sini." Diego menutup teleponnya. "Maaf, Cha. Aku nggak bisa antar kamu pulang ke asrama. Ada urusan mendadak yang harus aku selesaikan," kata Diego kepada Icha.

Icha semakin tidak mengerti dengan sikap Diego. "Kamu ingin aku pulang sendirian?"

"Kamu bisa manggil taksi."

Icha berdecak keras, "Tapi kamu mau kemana, Rick?"

Diego tak mempedulikan kata-kata Icha, "Maaf, maaf banget, Cha. Aku harap kamu bisa ngerti." Diego bangkit menyambar tasnya, menuju kasir, menyerahkan uang kepada penjaga kasir dan berlari meninggalkan cafe tanpa mempedulikan penjaga kasir yang akan menyerahkan uang kembalian.

"Rick! Rick!" Icha memanggil dan berusaha mengejarnya. Penjaga kasir menahan Icha, "Mbak, uang kembalian temannya belum diambil." Icha nampak kesal, Diego pun sudah berlari di seberang cafe dan berlalu dengan mobil putih yang berhenti di depannya bahkan meninggalkan motornya.

Icha tahu ia takkan berhasil mengejar Diego dan akhirnya terpaksa meladeni penjaga kasir. Icha benar-benar bingung dengan sikap Rick barusan, ia berpikir keras. Hanggono Liem? Oh iya, aku baru ingat, itu kan nama ayahnya Rissa. Kenapa Rick menyebut nama ayah Rissa? Emangnya apa hubungannya aku sama Rissa? Lagipula, semua kisah yang disebutkan Rick tadi kan, bukan kisahku, tapi setahuku, itu kisahnya Rissa. Ada apa sebenarnya?"

Di dalam mobil, Rick dan Diego terlibat perang bisu. Wajah mereka menunjukkan bahwa mereka masih tak percaya dengan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu.

"Di?" Rick memulai percakapan setelah beberapa waktu. "Kamu nggak bakal percaya dengan cerita yang aku dengar waktu di taman."

Pandangan Diego mengarah ke jalanan lewat jendela di sampingnya "Jangan sekarang, Rick. Untuk saat ini, aku nggak mau mendengar cerita konyolmu. Ada hal yang lebih penting dan baru aku sadari beberapa menit yang lalu," kata Diego.

"Nggak, Di. Ini bukan cerita konyol. Ini menyangkut Icha."

Diego menoleh cepat untuk menatap sepupunya itu, "Icha? Nggak! Jangan biacarakan dia lagi. Kita salah. Icha yang selama ini kita tahu bukanlah Icha yang kita cari. Icha yang sekarang ada di hidup kita hanya membuang waktu kita."

Alis Rick saling bertautan, ia membagi pandangan antara Diego dan jalanan di depannya, "Maksud kamu apa, Di?"

"Kita salah orang, Rick. Icha yang selama ini bersamaku, Icha yang selalu kamu temui, bukan Icha anak Hanggono."

Mendengar itu, Rick tertawa keras sampai keluar air mata. Tubuhnya terguncang-guncang. Diego terlihat kesal. Selama beberapa saat Rick berusaha menghilangkan sisa tawanya. "Maaf, tapi, leluconmu itu berhasil membuatku sakit perut karena ketawa."

"Aku serius, Rick."

"Baiklah, aku akan berhenti tertawa. Kenapa kamu ngomong begitu? Waktu Pak Romi datang ke restoran untuk menemui Hanggono dan berbicara tentang perjodohan itu, Hanggono ngajak Icha." Rick menarik napas sejenak. "Beberapa hari setelahnya, aku bertemu Icha untuk pertama kali di restoran Perancis. Kau tahu? Aku sengaja membuatnya menunggu. Aku dan Pak Romi sudah ada di restoran dan kata Pak Romi, gadis itu sama dengan gadis yang diperkenalkan Hanggono beberapa hari sebelumnya . Jadi, nggak ada kesalahan apapun."

Diego terkejut, "Benarkah? Menurutku nggak masuk akal. Tadi aku berada di cafe itu dengan Icha. Kamu nggak akan percaya ini, ketika aku bertanya tentang keluarganya, ceritanya benar-benar-"

"Tunggu! Tunggu!" Rick memotong cerita Diego. "Kamu bilang kamu di cafe itu sama Icha? Barusan?" Rick tertawa. "Lelucon apa lagi ini, Di? Sebelum aku jemput kamu di depan cafe itu, aku baru aja mengantar Icha pulang ke asrama. Aku mengajaknya makan malam ini dan ngasih kejutan kecil di taman yang dulu sering kita kunjungi."

Diego semakin bingung dengan apa yang terjadi, Apa-apaan ini? Apa mungkin, Icha yang aku kenal dan Icha yang dikenal Rick adalah orang yang berbeda? Kalau yang dikatakan Rick tentang pertemuan di restoran itu memang benar, berarti yang salah orang adalah aku? Dan Icha yang sebenarnya adalah anak yang selama ini bersama Rick. Sial!! Kalau itu mungkin saja terdengar masuk akal.

Rick terhenyak seakan menyadari sesuatu, "Di? Apa kamu juga berpikir hal yang sama denganku sekarang?" tanyanya kemudian. "Apa mungkin Icha yang selama ini bersamaku dan Icha yang bersamamu adalah orang yang berbeda? Astaga, Di. Kenapa kita nggak sadar itu dari awal? Padahal kalau mendengar ceritamu tentang Icha, seperti benar-benar berbanding terbalik dengan Icha yang aku kenal."

Diego terpaku. Ia merasa bodoh. "Nama ayahnya bukan Hanggono Liem. Sepertinya aku yang salah mengenali orang."

"Sekarang udah jelas semuanya, Di. Kau benar-benar ceroboh. Kau nggak pernah menurut kalau aku memintamu membaca data Icha. Kau selalu berkata kalau kau akan dengan mudah menemukan Icha jika pindah sekolah di sana dan masuk ke kelas yang sama dengannya. Kebiasaan buruk, meremehkan sesuatu."

"Di kelas dua belas empat, hanya dia yang bernama Icha. Jadi tanpa pikir panjang aku langsung mendekatinya. Aku benar-benar bodoh." Diego mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

"Ya, Di. Kamu benar-benar bodoh. Data dan fotonya udah ada di tangan kita. Tapi tanpa melihatnya, kamu melangkah sejauh ini. Dan darimana kamu tahu nama ayahnya bukan Hanggono Liem? Apa kau bertanya langsung sama dia?"

"Ya. Kalau aku nggak tanya tentang itu, aku nggak bakalan yakin aku udah salah orang."

"Apa yang sebelumnya kalian bicarakan? Jangan berbuat sesuatu yang mencurigakan. Kamu sendiri yang bilang kalau kita nggak boleh meremehkan orang asing."

"Aku ingin bertemu Hanggono, karena itu aku memintanya mengenalkanku dan mempertemukan aku dengan ayahnya."

Rick memukul kemudinya, "Bodoh! Kalau ayahmu tahu kau mencoba bertemu dengan Hanggono kau akan dicincang. Selama ini ayahmu dan ayahku mati-matian agar kau tak bertemu si keparat itu sampai waktunya tiba. Selain menghindari kemungkinan rencana kita bakal kacau, ayahmu juga mengkhawatirkanmu."

"Aku nggak peduli. Aku lelah bersembunyi. Lagipula aku nggak akan mengacaukan rencana kita, aku hanya ingin ketemu sama si tua itu. Lalu, gimana sekarang? Maaf kalau aku ceroboh nggak membaca data keluarga Hanggono dengan tepat dan membuang-buang waktu," kata Diego.

Rick berdecak, "Dan seharusnya kamu ketahui ini, Di. Icha itu bukan nama dia yang sebenarnya. Icha adalah nama panggilan yang diberikan Hanggono waktu ia masih kecil."

Diego semakin terkejut, "Lalu? Siapa namanya yang sebenarnya?"

"Dia memang ada di kelas dua belas empat, temen sekelasmu, Di. Nama lengkapnya Marissa Eka Putri. Dia seorang pianis, sering mengikut kompetisi piano nasional. Apa kau mengenalnya?"

Sekali lagi, Diego merasa benar-benar seperti disambar petir. Tubuhnya melemas. Bagaimana mungkin? Rissa adalah anak Hanggono?

Rick menghela napas panjang, "Beberapa waktu yang lalu, waktu aku ngajak di ke taman tempat bermain kita waktu kecil, dia menceritakan suatu kisah padaku. Katanya, dia pernah menerima sebuah kotak musik dari seseorang waktu berumur lima tahun dan setelah aku berpikir keras mencari benang merah antara kalian, aku tahu kalau orang yang udah ngasih kotak musik itu ke Rissa adalah kamu, Di. Kau ingat aku pernah memberimu kotak musik klasik saat aku pulang dari Swiss?"

Diego mengangguk samar, "Ya, aku sangat ingat dengan kotak musik itu. Dan kau juga harus tahu, kalau aku udah tahu bahwa Rissa adalah orang yang kuberi kotak musik dua belas tahun lalu," kata Diego. Kemudian ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kotak musik dari dalamnya. Kotak musik milik Rissa yang diambil Diego di ruang musik. Rick menghentikan mobilnya di tepi jalan. Rick mengambil kotak musik itu dan mengamatinya.

"Ini benar-benar kotak musik yang aku berikan padamu dulu. Kotak musik edisi khusus yang nggak bakalan ada yang menyamainya. Wow, ukiran huruf D itu bahkan masih ada. Aku nggak nyangka bisa melihat kotak musik ini lagi setelah sekian lama. Bagaimana bisa ada di tanganmu? Icha mencarinya. Apa kau mencurinya?"

Diego menggeleng, "Dia meninggalkan kotak musik itu di atas piano ruang musik. Karena itu, aku akhirnya jadi tahu kalau dia adalah gadis yang aku temui waktu kecil. Tapi, kalau soal Rissa yang sebenernya adalah Icha, anak Hanggono, aku serius nggak tahu sama sekali. Aku menyesali kebodohanku."

Rick dan Diego tenggelam dalam perasaan mereka masing-masing selama beberapa menit. Tak lama kemudian, Rick menancap gas dan melesatkan mobilnya ke jalan dengan kencang. Selama perjalanan, mereka saling diam. Rick konsentrasi ke arah jalanan di depannya dan Diego menatap jalanan lewat jendela samping. Ibu, sepertinya setelah ini keadaan akan semakin sulit. Apa yang harus aku lakukan, Ibu? Maafkan aku. batin Diego.

*****

Wah, part ini tembus 2500 an kata. Hahaha. Semoga tidak capek bacanya. Sampai jumpa di part berikutnya. Jangan lupa komen dan vote kalau kalian suka dengan cerita ini. Vote dan komen kalian membuat semangatku bertambah :D

Magic Forest

1 November 2017 (Republish)

22:04

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro