BAB 17 : Kejutan Istimewa di Taman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rissa masih memikirkan kotak musiknya yang hilang. Penjaga sekolah yang bertugas mengunci pintu ruang musik hari itu juga tidak tahu. Ia bingung harus mencari kemana lagi. Dimana kotak musik itu? Rissa mengacak-acak rambutnya dan membenamkan kepalanya di meja. Ia frustasi, bagaimana bisa ia ceroboh dan menghilangkan kotak musik itu.

"Riss, jangan sedih terus dong. Kita bakal bantu nyari kotak musik itu. Kalau perlu, kita pasang pengumuman di mading dan broadcast messages ke grup pesan klub musik. Pasti ada yang menemukannya." May menenangkan Rissa.

"Iya, Riss. Sekarang zaman udah canggih, kok. Jadi, kamu nggak perlu khawatir," sambung Karis.

"Gimana kalau aku kehilangan kotak musik itu selamanya? Gimana kalau aku nggak bakal pernah bisa nunjukin kotak musik itu ke Diego?" tanya Rissa sambil memandang sahabat-sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.

Veve mendesah panjang, "Tenang Riss. Pasti ada solusinya, kita bakal bantu nyari kotak musik itu sampai ketemu."

"Tanpa kotak musik itu aku nggak bisa tahu apakah Diego calon tunanganku itu adalah Diego yang kucari. Aku punya rencana buat nunjukin kotak musik itu sama dia dalam waktu dekat ini. Kenapa aku begitu ceroboh, sih?"

"Jangan nyalahin diri kamu sendiri, Riss. Ini semua terjadi di luar harapan kita. Bisa dikatakan ini musibah," kata Veve.

"Veve benar, Riss. Banyak cara lain untuk memastikan Diego adalah orang yang kamu cari. Menggunakan cerita-ceritamu pasti cukup untuk membuktikannya, semoga aja dia ingat tentang kotak musik itu," kata Karis.

Sejenak Rissa bergeming, lalu mengangguk. Sahabat-sahabatnya benar, tapi ia masih belum rela ia kehilangan kotak musik itu. Rissa memijat keningnya yang terasa cenat-cenut.

Di sisi lain, Diego diam-diam memperhatikan mereka, Dia pasti masih mencari kotak musik itu. batinnya. Tak lama kemudian ponsel di sakunya bergetar. Ia memeriksa ponselnya sekilas, bangkit dari bangkunya, dan bergegas ke luar kelas. Di ujung lorong kelas, ia melihat 3 orang anggota SSDC, Bryan, Justin dan Ivandito sedang berdiri menunggunya. Ivandito memandang Diego dan tersenyum miring, Diego mengerutkan kening, Apalagi yang mereka mau? benaknya bertanya-tanya, namun ia mengenyahkan pikirannya dan menghampiri mereka. Tak lama kemudian, mereka terlibat dalam pembicaraan.

*****

Rick dan Rissa duduk berhadapan di sebuah restoran. Seorang pelayan lelaki sedang meletakkan makanan pesanan di meja.

"Terimakasih," ucap Rick kepada pelayan itu, "selamat makan, Tuan Putri." Dengan senyum di wajahnya ia menatap gadis di hadapannya itu. Rissa membalas senyuman Rick dan mengangguk samar.

"Gimana sekolahmu? Aku dengar akan ada festival sekolah," kata Rick setelah beberapa waktu mereka saling diam.

Rissa mengangguk, "Iya. Aku sibuk latihan untuk penampilan klub musik di pentas seni nanti setiap pulang sekolah. Aku juga harus mempersiapkan diri untuk kompetisi piano akhir tahun," jawab Rissa.

Diego terhenyak dari aktivitas makannya, "Kompetisi piano? Aku sedikit tahu tentang kompetisi itu. Kompetisi piano klasik yang diadakan setiap tahun dengan peserta murid-murid dari berbagai jenjang, kan? Kamu akan mengikutinya?" tanya Rick.

Rissa mengangguk, "Aku selalu ikut kompetisi itu tiap tahun."

"Benarkah?" Rick tersenyum lebar, "kamu emang hebat. Ngomong-ngomong tentang piano, waktu kecil dulu ayahku juga sering mengajariku piano. Tapi sayangnya aku nggak bisa mengalahkan kehebatan sepupuku. Dulu, aku merasa iri karena ayahku sering memuji permainan pianonya daripada aku," Rick tertawa.

"Benarkah? Jadi, kamu juga bisa main piano?"

"Yah... sedikit. Aku masih pemula dan udah lama sekali aku nggak mempelajarinya lagi. Mungkin kau bisa mengajariku," ujar Rick sambil mengedipkan sebelah mata.

Rissa tertawa kecil kemudian mengangguk, "Kalau kamu mau, tentu aja aku akan mengajarimu."

Malam itu, mereka menikmati makan malam dan mengobrol bersama. Rissa mulai merasa nyaman dengan Rick. Ternyata calon tunangannya itu adalah orang yang menyenangkan. Namun, di sisi lain ia juga merasa kecewa karena tidak bisa menunjukkan kotak musik itu kepada cowok di hadapannya.

"Oh ya, Cha. Aku ingin ajak kamu ke suatu tempat. Kamu mau, kan?" tanya Rick tiba-tiba setelah mereka menyelesaikan makan malam dan sedang menuju tempat parkir.

Kedua alis Rissa tertarik ke atas, "Kemana, Di?" tanyanya.

"Udahlah, ikut aja." Rick menarik tangan Rissa dan membawanya masuk ke mobil kemudian melesat ke jalanan. Tak lama kemudian, Rick menghentikan mobilnya di tempat yang ternyata sudah tak asing lagi bagi Rissa. Memori-memori masa kecilnya mulai muncul. Rick membawa Rissa ke taman dimana ia bertemu untuk pertama kalinya dengan Diego. Jantung Rissa berdegup kencang ketika pandangannya menyapu taman itu. Sudah lama ia tak mengunjungi taman itu lagi. Masih ada ayunan, perosotan, dan jungkat-jungkit tempat bermainnya dulu. Hanya saja, tanaman-tanaman dan lampu tamannya bertambah banyak dengan penataan taman yang berubah sejauh ia ingat. Mereka pun mulai berjalan-jalan santai di jalan setapak taman.

"Cha? Kamu kenapa? Daritadi diem? Kamu nggak suka tempat ini, ya?" tanya Rick.

Rissa terhenyak, "Eh, nggak, Di. Malah seneng. Soalnya dulu waktu kecil sering main ke sini."

"Oh ya? Berarti kita sama. Dulu aku juga sering main ke sini bersama sepupuku sebelum kami pindah ke Semarang. Tapi, menurutku tempat ini sudah banyak berubah."

Mendengar kata-kata Rick, jantung Rissa berdebar lebih cepat, "Beneran kamu pernah kesini?"

Rick mengangguk, "Ya. Masa kecilku di kota ini, tapi waktu aku naik kelas dua SD, aku dan keluargaku pindah ke Semarang."

Alis Rissa bertautan, Masa kecil Diego di sini dan sering main ke taman ini? batin Rissa. "Dimana sekolahmu pada waktu itu?" tanya Rissa kemudian.

"Saint Sirius Elementary School," jawab Rick ringan.

Rissa terkejut mendengarnya. Saint Sirius? Apa mungkin dia Diego yang kucari selama ini? Ini adalah waktu yang tepat untuk memastikannya. Andai aja aku nggak kehilangan kotak musik itu.

"Cha? Kok diem?"

Rissa terhenyak, "Nggak papa kok, Di."

"Tunggu." Rick membuat Rissa menghentikan langkahnya "ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan ke kamu."

Rick mengeluarkan sebuah kain panjang dari dalam sakunya. "Tapi, aku akan menutup matamu dengan kain ini."

"Ha? Harus makai kain ini?" tanya Rissa sambil menunjuk kain panjang di tangan Rick.

Rick berdecak, "Udah nurut aja." Rick kemudian mengikat kedua mata Rissa dengan kain. Rick meraih tangan Rissa dan menuntunnya ke suatu tempat.

"Stop. Kita udah sampai," kata Rick, ia memberi tanda kepada Romi, asisten pamannya yang sedari tadi menunggu di tempat ia berada sekarang. Romi pun mengangguk dan bergegas pergi. Rick membuka penutup mata Rissa perlahan. "Nah, Tuan Putri, sekarang buka matamu."

Perlahan, Rissa membuka mata dan apa yang ada di depannya membuatnya takjub. Ada ratusan lilin-lilin kecil yang diletakkan di tanah dan membentuk tulisan 'I LOVE YOU' di hadapannya.

"Ini juga untukmu," kata-kata Rick mengalihkan perhatian Rissa dan ia bisa melihat Rick mengulurkan boneka beruang berukuran sedang ke arahnya. Melihat hal itu, Rissa teringat ketika Diego mengulurkan kotak musik padanya ketika masih kecil. Tak terasa air matanya menetes. Rick terhenyak dan raut wajahnya berubah khawatir, "Kenapa kamu nangis, Cha? Kamu sakit? Kalau gitu kita pulang aja." Rick meraih lengan Rissa, namun Rissa menggeleng dan melepaskan pegangan Rick.

"Enggak, Di." Rissa mengahpus air mata yang sempat menetes di pipinya, "aku hanya ingat masa kecilku dulu, ketika seseorang memberikanku sesuatu yang sangat berharga, sama seperti yang kamu lakukan sekarang. Bahkan di tempat yang sama."

Rick tersenyum. "Benarkah? Ternyata, sudah ada orang lain yang mendahuluiku, ya? Yah, aku sedikit kecewa."

Rissa memandang Diego dalam, "Aku nggak tahu jawaban dari pertanyaanmu. Apakah memang orang lain yang sudah melakukan ini padaku sebelumnya."

Rick mengangkat sebelah alisnya, "Apa maksudmu, Cha? Tadi kau bilang kamu mengingat seseorang yang juga memberikanmu hadiah di tempat ini."

Rissa sangat gugup, deg-degan setengah mati. Ia berusaha mengontrol detak jantungnya yang daritadi berdetak lebih cepat. "Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku tentang kejadian dua belas tahun lalu."

Kedua alis Rick tertarik ke atas, kemudian tersenyum simpul, "Tentu aja, Cha. Dengan senang hati aku akan mendengar semua ceritamu. Bahkan aku akan tetap mendengarkan kalaupun kamu bercerita sebanyak seribu satu kisah." Rick tertawa.

Rissa tersenyum mendengarnya, "Waktu itu, umurku baru genap lima tahun. Aku dan Ayah pindah rumah di dekat sini. Kadang, aku emang bermain di sini bersama anak-anak tetangga seumuranku. Di hari ulang tahunku yang ke lima, Ayah memberikanku hadiah sebuah kotak musik. Aku sangat senang dan membawa kotak musik itu ke sini. Aku memainkan kotak musik itu, tapi aku menjatuhkannya. Kotak musik itu jadi rusak."

"Pasti kamu sangat sedih waktu itu. Ya kan, Cha?"

"Ya. Aku merasa sedih dan menangis. Tapi, seseorang berhasil membuatku tersenyum lagi. Ia memberikan padaku sebuah kotak musik klasik yang sangat indah."

"Jadi, dia orang yang sudah mendahuluiku, ya? Tapi, sepertinya aku harus mengucapkan terima kasih padanya karena udah mengembalikan senyum manismu. Apa dia temanmu?"

Rissa menggeleng, "Aku nggak kenal sama dia. Dia hanya seorang anak laki-laki asing yang baik hati. Saat itu, ia memakai seragam Saint Sirius Elementary School. Tapi, sayangnya kami nggak sempat bicara banyak karena ia keburu pergi dan kita nggak pernah ketemu lagi."

Rick menatapnya dengan penasaran, "Terus? Apa anak laki-laki itu begitu penting untukmu sampai kamu nangis waktu ingat sama dia?" tanya Rick kemudian.

"Ya, sangat. Karena dia, aku sekolah di Saint Sirius School dan berusaha mencarinya. Tapi, sampai sekarang aku nggak bisa menemukannya," jawab Rissa.

"Ha? Gimana kamu bisa mencarinya kalau kamu aja nggak kenal dia, Cha? Nggak cukup dengan mengingat wajahnya aja."

"Aku tahu namanya. Aku mendengar ibunya memanggilnya ...." Rissa terhenti, jantungnya berdetak cepat, Rick masih menunggunya bicara. Lalu, ia memberanikan diri, "Ibunya memanggilnya Diego, sama seperti namamu."

Rick tercekat sejenak, lalu tertawa, "Wow, ternyata namanya sama denganku, ya? Jadi, ada dua Diego yang istimewa di hati Icha? Tapi aku akan berusaha menjadi Diego yang lebih istimewa dari Diego lainnya."

"Tapi, gimana kalau Diego yang kutemui dulu adalah Diego yang sama dengan Diego yang ada di hadapanku sekarang?"

Rick tercekat, "Apa maksudmu, Cha?"

"Kamu lebih tua setahun dariku dan kamu pernah bersekolah di SD Saint Sirius. Kamu juga sering main ke sini."

Rick berpikir sejenak dan mulai tahu arah pembicaraan Rissa, "Apa kamu mengira aku adalah Diego yang kamu cari?"

Rissa mengangguk, "Awalnya aku ragu, tapi setelah mendengar ceritamu, keyakinanku mulai tumbuh."

Rick terkekeh, "Baiklah. Anggap aja aku adalah salah satu kandidat Diego yang kamu cari. Bagaimana kamu akan memastikannya di antara ribuan Diego-Diego di kota ini?"

"Kotak musik itu. Aku yakin kalau aku menunjukkan kotak musik itu, maka aku bisa menemukan Diego."

Rick merasa bahwa Rissa sudah salah mengenali orang. Kalau pun cerita Rissa adalah benar, ia tak yakin kalau Diego, sepupunya itu terlibat meskipun ketika kecil mereka sering bermain di taman ini. Ia mulai mengingat-ingat masa kecilnya. Diego emang anak yang ceria, tapi dia pemalu. Nggak mungkin dia mengobrol dengan anak perempuan yang nggak dikenalnya, apalagi memberinya kotak musik. Tunggu ... kotak musik? Apa Diego pernah punya kotak musik?" Rick berpikir keras. Ia berusaha mencari benang merah antara sepupunya dan Rissa. Dan tak lama kemudian, ia mulai mengingat sesuatu.

"Di? Apa yang kau pikirkan?" kata-kata Rissa menyadarkannya.

"Apa kamu bisa menunjukkan kotak musik itu padaku?" Rick mulai menganggap pembicaraan mereka serius.

Rissa menggeleng, raut wajahnya sendu, "Aku nggak memilikinya sekarang. Kotak musik itu hilang waktu aku berlatih piano di ruang musik. Aku ceroboh nggak bawa kotak musik itu lagi ketika aku pulang." Air mata Rissa mengalir lagi, dadanya serasa sesak mengingat kotak musik itu telah hilang. Perlahan, Rick mendekat dan menghapus air mata Rissa.

"Kalau gitu, apa kamu bisa cerita padaku gimana bentuk kotak musik itu?" tanya Rick.

"Indah, Di. Warnanya coklat kayu, ada ukiran-ukiran not balok di sisi-sisinya. Ada tuas yang harus diputar kalau ingin memainkannya, kita bisa merasakan mesin-mesin pemutar lagu di dalamnya bergerak kalau menggenggamnya. Di sisi bawahnya ada stiker timbul lambang sekolah Saint Sirius dan disampingnya terukir sebuah tanda kepemilikan, yaitu inisial huruf D."

Dugaan Rick benar, ia mengenal jelas kotak musik itu. Kotak musik yang ia pesan khusus di Swiss dan ia berikan kepada Diego belasan tahun yang lalu. Stiker Saint Sirius itu ia tempelkan supaya nantinya Diego bersemangat menyusulnya sekolah di situ. Ia mengingat impian indah masa kecilnya bersama Diego sebelum impian itu berubah menjadi impian kosong. Kini, ia tak dapat berkata apa-apa. Berarti, memang Diego yang dicari Icha. Bagaimana sekarang? Apa yang harus kulakukan, Di? batinnya.

"Di? Di? Diego?"

Rick tersadar dari lamunannya. "Ya? Maaf, Cha."

"Kenapa diam aja?" tanya Rissa.

Rick menggeleng dan menatap Rissa dalam. "Hanya saja, aku pikir aku mengenali kotak musik itu."

Rissa terhenyak. Ia merasakan jantungnya berdetak tak karuan dan aliran darahnya mengalir dengan cepat. Tubuhnya seakan tak bisa bergerak, "Benarkah?"

"Iya, Riss. Itu adalah kotak musik khusus yang dipesan sepupuku sepulang liburan di Swiss. Dia memberikannya padaku. Dan huruf D yang terukir di sisinya, adalah inisial namaku, Diego."

Air mata Rissa tak bisa ditahannya lagi. Ia membiarkan air matanya tumpah di pipi. Ia merasakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Terharu, lega, terlalu campur aduk. Tiba-tiba saja, ia lupa akan semua hal yang ingin diucapkannya ketika menemukan Diego.

"Ada banyak yang ingin aku katakan padamu, tapi kenapa sekarang malah nggak terucap. Pikiranku seakan kosong." Rissa terisak tapi memaksakan diri untuk tertawa.

Apa yang kulakukan udah benar? Apa salahnya kalau aku berpikir bahwa Icha berhak tahu? tanya Rick dalam hati. Rick mengulurkan tangan dan menangkup wajah Rissa dengan kedua tangannya, kemudian menghapus air mata di pipi Rissa. "Masih ada banyak waktu. Kamu bisa mengatakan apapun yang ingin kamu katakan," kata Rick.

Rissa tersenyum dan mengangguk. Tak sadar ia beranjank memeluk Rick. "Akhirnya aku menemukanmu. Aku nggak nyangka kalau cinta pertamaku adalah calon tunanganku sendiri. Makasih karena udah memberikanku kotak musik itu, Di. Makasih banget." Rissa memeluk Rick lebih erat.

Rick membalas pelukan Rissa meskipun awalnya ragu. Ia tak dapat berkata apa-apa. Apa yang baru saja terjadi sungguh sulit ia percayai.

*****


Huft, akhirnya bisa megang laptop lagi. Semoga kalian menikmati part baru ini. Kritik dan saran tulis aja di komen yak. sampai jumpa di part selanjutnya. :D

Magic Forest

29 Oktober 2017 (republish)

19:32

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro