BAB 16 : Kebenaran yang Mengubah Segalanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sesaat setelah berjalan keluar gerbang sekolah, Rick melihat mobil Pajero Sport putih yang sudah dikenalnya berhenti di sudut jalan. Ia segera menghampiri dan masuk ke dalam mobil itu. Tak lama, mobil itu melaju ke jalanan.

"Ada urusan apa?" Rick angkat bicara setelah beberapa lama tak ada suara.

Diego tertawa, "Apa aku harus ada alasan dulu untuk bertemu dengan sepupuku sendiri?"

"Motorku ada di sekolah. Kita harus kembali sebelum gerbang sekolah nanti dikunci," kata Rick.

"Oke, oke. Kalau kamu ada di rumah dan nggak sulit kuhubungi, aku juga nggak akan menghampirimu di sekolah. Kenapa kau tak pulang selama beberapa hari?" ujar Diego sambil membagi pandangan dengan sepupunya dan jalanan di depannya.

Rick melirik Diego sekilas, "Mungkin tak hanya beberapa hari lagi. Aku memutuskan untuk tinggal di asrama sampai kelulusan nanti."

Diego membeliak, "Apa? Kenapa? Rumah masih lebih baik daripada asrama. Kau akan dikekang di sana."

"Rumah? Tak ada rumah untukku. Aku selalu saja mimpi buruk kalau ada di rumah. Tidurku juga tidak nyenyak. Rumah itu malah mengikatku pada suasana masa lalu. Bahkan, setelah bertahun-tahun di Semarang dan kembali lagi ke situ, masih tetap sama saja."

Diego berdecak, "Baiklah, terserah kau saja. Tapi kau harus izin pamanmu dulu. Beliau menghawatirkanmu."

"Ya. Nanti aku akan bicara pada ayahmu."

"Oh, ya. Aku ingin memberitahu perkembangan rencana utama kita sekarang, ayahmu sudah memasukkan beberapa orang suruhannya ke perusahaan Hanggono dan menambah jumlah investasi ke perusahaan itu. Seperti yang kita harapkan, Hanggono memang sudah hampir jatuh. Harga sahamnya juga melorot drastis kalau saja perusahaan kita tidak investasi."

Rick terlihat tak tertarik, "Benarkah? Aku sedang malas membicarakan Hanggono sekarang."

Diego merasa heran dan tertawa. "Wah, wah. Nggak biasanya kamu seperti ini."

"Aku tak tahu, suasana hatiku sedang tidak bagus."

Diego tertawa skeptis, "Baiklah kalau begitu. Kalau Icha? Bagaimana perkembangan hubungan kalian?"

Rick membuang muka ke arah jalanan, "Tidak ada yang menarik. Hanya saja, aku sedikit terganggu dengan beberapa kegiatannya yang mengharuskanku menemaninya."

Diego penasaran, "Apa itu?"

"Pesta dan belanja."

"Apa? Pesta dan belanja, ya."

Rick mengalihkan pandangan dari jalan ke arah sepupunya, "Dari nada bicaramu, pasti kau tak percaya. Dia memang suka pesta dan belanja. Kepalaku benar-benar pusing dibuatnya."

Kening Diego mengkerut, "Apa kau sering menghubunginya?"

Sebelah alis Rick terangkat, "Maksudnya?"

"Mengirim pesan, menelepon, hanya untuk sekedar mengobrol dan bertanya sedang apa."

Rick menggeleng, "Tidak. Aku tak pernah menghubunginya dulu. Atau lebih tepatnya tak sempat. Karena ia yang selalu menghubungiku dulu setiap waktu."

Diego tertawa. "Ya wajar, lah. Dia cewek, pasti selalu khawatir dan ingin tahu kemana kamu pergi."

"Tapi dia sangat berlebihan. Apa dia sering menghubungimu?" tanya Rick.

"Tidak. Aku yang menghubunginya, itu pun tak sering kalau memang tidak ada hal yang ingin kubicarakan. Hanya sesekali saja aku mengiriminya pesan selamat malam."

"Lebih baik kau sering menghubunginya untuk memikat hatinya. Kau harus lebih mengenalnya kalau ingin perjodohan itu berjalan baik."

"Tenang saja, aku sudah menyiapkan pendekatan yang lebih baik daripada hanya sekedar mengirim pesan atau telepon." Diego mengedipkan sebelah matanya.

"Terserah kau saja." Rick memutar bola matanya. Suasana hening. Rick membisu, pikirannya jauh menerawang ke masa lalu, kejadian yang mengubah jalan hidupnya yang menyenangkan dan bahagia, menjadi hidup dengan hati yang penuh dengan dendam dan ambisi.

****

Diego kecil membuka matanya. Ia sadar sedang terbaring di tempat tidur kamarnya. Tiba-tiba ia merasa takut, kamarnya begitu gelap, hanya diterangi lampu duduk kecil di samping tempat tidurnya. Sejenak ia memandang ke sekeliling, mencari sosok seorang yang sebelumnya menemani ia tidur.

"Ayah? Yah? Ayah di mana?" Diego terbangun dan bergegas keluar kamar mencari ayahnya. "Yah?? Ayah?!". Diego menuruni tangga, menuju ke ruang tamu, tetapi baru saja menuruni beberapa anak tangga, ia mendengar beberapa orang lelaki dewasa sedang bercakap-cakap, entah apa yang mereka bicarakan. Ia tidak mengenal siapa saja orang-orang yang gaduh di ruang tamunya itu dan menghentikan langkahnya.

Beberapa waktu kemudian, terdengar nada suara salah satu dari orang itu semakin meninggi, lalu semakin keras dan lama-lama diikuti oleh orang lainnya. Diego mengenal salah satu suara diantaranya, suara ayahnya. "Ayah? Ayah?". Diego kecil semakin takut, ia duduk diam, tangannya gemetar. Sambil mendengar suara-suara gaduh itu, Diego mulai mengerti bahwa itu adalah pertengkaran antara beberapa orang dewasa dan melibatkan ayahnya. Ia mulai menitikkan air mata dan menangis.

"Huuu... huu... huaa, Ayah?!" isaknya..

Pertengkaran itu semakin menakutkan. Di ruang tamu keadaan kacau balau. "Maafkan kami, Pak Hendra. Tapi kami harus memaksa anda ikut dengan kami," kata salah seorang pria berpakaian polisi, "jika anda memberontak seperti ini, kami terpaksa memakai tindakan yang lebih tegas," kata seorang yang lain. Kedua orang itu berusaha menangkap ayah Diego.

"Tidak! Saya tidak bersalah! Saya tidak pernah menggelapkan uang perusahaan, apalagi menipu perusahaan Hanggono. Dan pembunuh yang sesungguhnya bukan saya, tapi Hanggonolah yang membunuh istri saya. Saya tahu itu!" Hendra berteriak keras, sambil memberontak, berusaha melepaskan diri dari dua orang yang menangkapnya, dan memaksanya. Lubis, adik Hendra yang ada di dekatnya pun berusaha berbicara kepada dua orang tersebut.

"Maaf, Pak. Sepertinya anda berdua salah paham. Saya sangat mengenal kakak saya. Dan saya yakin kakak saya tidak mungkin melakukan hal yang anda tuduhkan. Tolonglah kami, Pak," kata Lubis sambil menangis dan berusaha memohon kepada kedua polisi itu.

Di sisi lain, Rick kecil mengintip dari pintu kamarnya yang ada di samping ruang tamu. Ia menjadi saksi pertengkaran itu. Ia juga sangat ketakutan. Dan menangis sejadi-jadinya.

"Saya memang tidak bersalah dan merasa tidak melakukan apa-apa. Saya akan tuntut kalian jika tetap memaksa saya," seru Hendra.

"Maaf, Pak. Kami bekerja berdasarkan surat penangkapan. Pembelaan dan penjelasan Anda nanti saja, karena hanya bisa dilakukan di kantor polisi. Maka dari itu, mohon kerjasama Anda untuk ikut kami ke kantor polisi. Anda juga bisa menyewa pengacara nanti."

"Kami mohon, Pak. Jangan bawa kakak saya, kakak saya masih mempunyai anak yang harus dirawat, bagaimana nasib anaknya bila kakak saya mendapat tuduhan sekeji itu sehingga harus dibawa ke kantor polisi dan dihukum. Kami mohon dengan sangat, Pak." Lubis masih berusaha memohon.

"Saya mohon, Pak. Saya tidak membunuh siapa pun, apalagi istri saya sendiri. Saya sangat menyayanginya," kata Hendra memelas, ia mulai pasrah dan tangisnya pun tetap tak bisa membantu. Kedua polisi itu tetap menyeret Hendra keluar. Lubis juga tak bisa berbuat banyak. Bersamaan dengan itu, Diego sudah tidak tahan lagi, dengan menahan rasa takutnya, ia bangkit dan berlari mengejar ayahnya.

"Ayahh! Ayahh!! Huaaaaa... Jangan pergi Yah!!" teriak Diego.

Lubis menangkap badan mungil Diego dan menahannya. Ia juga merasa sedih dengan kejadian ini. Rick juga menyusul dan langsung memeluk ayahnya. Diego menatap ayahnya yang sedang digiring menuju mobil polisi. Hendra memandang putra satu-satunya. Sambil merasakan amarah dan dendam yang membara, ia berseru kepada Diego.

"Ingat, Nak. Ini semua terjadi karena Hanggono. Jangan pernah lupakan nama itu. Hanggono... Hanggono... balas perbuatannya terhadap keluarga kita."

Lubis, Diego, dan Rick menatap kepergian mobil polisi yang membawa Hendra pergi, sampai menghilang di tikungan. Lubis memeluk erat kedua bocah kecil yang menangis keras itu. Lubis bertekat akan mewujudkan keinginan Hendra untuk membalaskan dendamnya kepada Hanggono.

****

"Di! Diego! Diego!"

Diego membuka matanya, napasnya tersengal-sengal. "Maaf, aku tertidur." Ia mengusap keringat di keningnya.

"Apa kau mimpi buruk lagi? Kau berkeringat dan menggeliat dari tadi."

Diego mengangguk, "Ya. Mimpi buruk yang sama dengan mimpi saat aku tidur di rumah. Dan aku sudah memperingatkanmu, jangan memanggilku dengan nama itu. Sekarang aku bukan Diego."

Rick tertawa tanpa suara, "Kau terlalu berlebihan, hanya ada kita di dalam mobil ini."

"Nggak cukup hanya itu. Kau harus terbiasa memanggilku Rick, bisa berbahaya kalau kau keceplosan memanggilku di tempat umum."

Rick yang sedang menyetir itu hanya bisa mengangguk. Suasana hening beberapa saat.

"Aku sudah mempertaruhkan semuanya demi rencana ini, Rick. Identitas tidak berati apa-apa untukku, kalau dengan membuangnya aku bisa membuat Hanggono dan keluarganya menderita," jawab Diego.

"Ya. Aku tahu apa yang kau rasakan, karena perbuatan Hanggono, keluarga kita juga ikut menderita."

Diego tersenyum kecut, "Hanggono tetap bisa berkeliaran meskipun sudah menghilangkan nyawa ibu dan menyebabkan ayah dipenjara. Akan sangat menyenangkan jika aku juga bisa membuat anaknya menderita."

"Karena itu aku akan selalu mendukungmu. Tapi, aku juga harus mengatakan kekhawatiranku padamu."

Diego tersenyum sinis, "Kenapa kau harus khawatir padaku? Aku bukan anak kecil."

"Sejak kecil kita mempunyai beban untuk membenci Hanggono. Selama bertahun-tahun kita juga terlibat secara tidak langsung dalam rencana ayahmu untuk membuat perusahaan Hanggono bangkrut. Dan sekarang, kau akan terlibat langsung dalam perjodohan ini hanya untuk tujuan balas dendam. Apa kau benar tidak apa-apa?"

Diego tidak menjawab, ia bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya Rick coba sampaikan.

"Maksudku, kau sudah mengorbankan banyak hal, Di. Harusnya, anak seusiamu fokus belajar dan bersenang-senang menikmati masa muda. Kau tak harus melangkah sejauh ini. Kalau kau mau, aku bisa berbicara pada paman untuk membatalkan perjodohanmu dengan Icha. Aku kira, masih ada banyak cara lain," terang Rick seakan bisa membaca pikiran Diego.

Diego menggeleng, "Nggak, Rick. Aku nggak pernah menyesal melakukan hal yang seharusnya dilakukan seorang anak. Aku nggak keberatan sama perjodohan ini."

"Kau tahu benar alasan paman merencanakan perjodohan ini, Di. Setelah Hanggono bangkrut dan paman muncul di hadapannya, paman akan memanfaatkan ketidakberdayaan Hanggono untuk mengambil satu-satu harta Hanggono yang terakhir, yaitu Icha dan membawanya ke kehidupanmu. Ketika itu sudah terjadi, kau nggak bisa mundur lagi."

Diego bergeming, "........."

"Apa benar kau nggak akan menyesal?" tanya Rick.

"Nggak akan," ujar Diego.

"Apa kau tak ingin melakukan hal yang kau suka?"

Diego menggeleng mantap, "Nggak."

"Apa tak ada gadis lain yang kau suka?"

Diego terhenyak, ia tak menyangka sepupunya menanyakan pertanyaan itu. Sekelebat, muncul bayangan Rissa dan kotak musik klasik miliknya dulu. "Nggak ada," jawab Diego setelah terdiam sejenak.

Rickmengehembuskan napas panjang, "Baiklah. Kalau begitu, aku akan menganggap bahwakau memutuskan hal yang tepat."

****


Mulmed : bisa diputar pas adegan mimpi Diego :D. Bagaimana pendapat kalian tentang FE sejauh ini? Tak ada salahnya komen, kasih krisar, dan vote :D Sampai jumpa di part selanjutnya...

Magic Forest

20 Oktober 2017 (Republish)

9:28

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro