BAB 22 : Diego dan Richardo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu mau nemuin Rissa?" tanya Diego ketika mendapati Rick sudah berpakaian rapi dan sedang duduk sambil membungkuk di sofa ruang tamu.

"Ya, sebentar lagi aku akan menjemputnya," jawab Rick tanpa melihat lawan bicaranya. Ia sibuk memakai sepatu.

Diego menyampirkan tas punggung yang dibawanya di bahu kiri, "Aku ke sekolah, ada latihan panahan untuk kompetisi nanti. Ayah melarangku memakai motor."

"Haruskah berlatih di hari Minggu?" Rick menyelesaikan aktivitasnya, ia duduk tegak dan memandang sepupunya.

Diego mengangguk, "Ya, sebentar lagi aku ada kompetisi."

"Baiklah, aku akan mengantarmu."

Diego mengangguk dan beranjak, "Ya. Ayo berangkat."

Rick mengangkat jari telunjuknya, "Tunggu sebentar lagi. Aku masih menunggu barang pesananku."

"Ha?" alis Diego bertautan, kemudian pandangannya menyapu sekitar seperti sedang berpikir, "sebenarnya, aku juga ingin menitipkan sesuatu padamu," kata Diego kemudian, lalu ia berbalik dan bergegas menaiki tangga yang tak jauh darinya, tangga menuju kamarnya.

Tak lama sepeninggal Diego, bel pintu rumah berbunyi, Rick bersiul senang, "Ini dia." Ia bergegas membuka pintu. Seorang pengantar pesanan membawa buket bunga mawar merah yang besar. Bersamaan dengan itu, Diego turun dari tangga. Ia melihat Rick membawa buket bunga yang praktis membuatnya segera menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.

"Gimana menurutmu? Ini adalah buket seratus tangkai mawar merah yang kupesan untuk Icha. Aku akan memberikannya nanti," ujar Rick dengan wajah berseri.

Diego tersenyum miring, "Ya. Kamu melakukan tugasmu dengan baik. Dia pasti akan senang."

"Oh, ya! Katamu tadi ingin titip sesuatu? Titip apa dan untuk siapa?"

Diego menggeleng, "Nggak jadi. Aku lupa menaruh barangnya dimana. Aku tadi ingin menitipkan buku catatan yang kupinjam dari Rissa. Aku bisa mengembalikannya sendiri besok."

"Oh... oke lah kalau gitu, ayo berangkat." Rick mendahului Diego bergegas keluar. Diego diam sejenak, ia teringat kata-kata penjual bunga tempat ia membeli bunga.

"Ini adalah bunga gerbera. Sama dengan bunga mawar, bunga ini melambangkan cinta sejati. Jika kau ingin memberikan bunga kepada seseorang yang telah lama kau cintai, bunga ini sangat cocok."

Dari awal, ia memang ragu akan memberikan bunga itu atau tidak. Tapi, ia sudah mendapatkan jawabannya sekarang. Diego melempar seikat bunga gerbera ke tempat sampah yang berada tak jauh darinya, lalu bergegas menyusul sepupunya.

*******

Rissa memilah-milah sederet buku di rak yang ada di depannya. Tapi, pikirannya kini sedang kalut.

Aku udah menemukan Diego, tapi, kenapa keadaannya malah kayak gini? Ini bukan yang aku inginkan. Aku ingin perasaanku akan tetap untuk Diego. Tapi, kenapa hatiku berkata lain? Gimana bisa perasaan yang dimiliki selama bertahun-tahun kalah dengan perasaan suka yang dimulai dari kekaguman terhadap seseorang yang baru aku kenal?

Tak sadar, ia mengambil salah satu buku tebal bersampul biru. "Seribu satu teknik menciptakan lagu, Sausan Bintara. Kayaknya bagus, ambil aja. Aku akan membelikannya untukmu." Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Rissa menoleh dan melihat Rick yang sedang tersenyum. Rissa melihat buku yang ada di tangannya.

"Eh, nggak usah, Di. Aku asal saja mengambilnya," kata Rissa.

"Kenapa? Buku itu bagus menurutku."

Rissa mengembalikan buku itu ke tempatnya, "Enggak. Aku nggak pengen membelinya."

"Kamu sering ke toko buku ini, ya?"

"Nggak sering kok, sesekali aja sama teman-teman ke sini kalau butuh buku sepulang sekolah. Sudah sore. Lebih baik kita cepat pulang."

"Tapi, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat dan aku juga udah mempersiapkan hadiah yang pasti kamu suka."

Rissa tersenyum, "Ha? Hadiah?"

Rick mengangguk, "Tapi sebelum itu kau harus ikut denganku ke suatu tempat."

Kedua alis Rissa bertautan, namun ia memutuskan untuk mengikuti Rick. Ternyata, Rick mengajak Rissa ke café favoritnya yang sering ia kunjungi bersama Diego, Cool Cafe. Senyum ramah pemilik café menyambutnya dan mempersilakan mereka duduk. "Minuman yang biasa ya, paman," ujar Rick kepada pria paruh baya itu.

Rissa heran, "Kamu kenal sama orang itu?" tanya Rissa.

"Ya. Paman itu pemilik café ini. Cafenya memang kecil, sih. Tapi jangan salah, di sini ada menu minuman khas yang sangat aku suka. Kamu nggak keberatan aku ajak kesini, kan?"

Rissa menggeleng, "Aku suka tempat ini, begitu klasik, apalagi mendengar lagu-lagu melow yang diputar membuatku tenang."

Rick tersenyum simpul. Rissa penasaran apa minuman favorit orang yang ada di hadapannya ini. Tak lama, paman pemilik café mengantar dua gelas minuman.

"Dua Lassi untuk dua orang yang spesial."

"Terimakasih, paman. Coba saja, Riss. Ini namanya Lassi, minuman dari yoghurt. Kata paman ini, Lassi adalah minuman khas dari India."

"Ini adalah menu favorit di café kami. Ada berbagai rasa jika nona ingin memesan yang lain," kata paman itu.

"Terima kasih." Rissa memperhatikan gelas minuman di hadapannya.

"Ini adalah minuman favoritku. Aku selalu memesan minuman ini kalau berkunjung di sini bersama sepupuku," ujar Rick.

Rissa terhenyak, "Hmm? Sepupu?" tanyanya.

Rick mengangkat sebelah alisnya, "Iya. Bukannya aku pernah cerita ke kamu kalau aku punya sepupu? Dulu waktu pertama kali kita ketemu."

"Apa? I-iya." Rissa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa bersalah karena waktu pertemuan pertama itu ia tak benar-benar mendengar cerita tentang itu. Gimana aku bisa fokus dengerin ceritanya? Waktu itu kan aku lagi syok berat karena denger namanya Diego.

"Ngomong-ngomong, minggu lalu, sepupumu itu ke sini bersama dengan seorang gadis. Apa dia pacarnya? Selama ini, setiap kali ke sini, dia hanya mengajakmu. Dan sekarang, kau juga mengajak gadis secantik nona ini," kata pemilik café kepada Rick. Rick hanya tersenyum simpul. "Kalau begitu, lanjutkan acara kalian." Kemudian paman pemilik café berlalu.

"Percaya kan kalau kamu itu cantik?" Rick tersenyum manis dan memandang Rissa. Rissa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan tersipu malu.

*******

Diego berjalan gontai menenteng tasnya keluar gerbang sekolah. Lukanya karena tawuran masih terasa sakit. Berlatih panahan membuatnya semakin lelah, namun, kompetisi yang akan diikutinya beberapa hari lagi mengharuskannya mempersiapkan diri dengan baik. Ia berjalan di sepanjang trotoar menuju asrama.

Matahari sudah hampir tenggelam, hari sudah mulai gelap dan lampu-lampu jalan mulai dinyalakan. Beberapa meter lagi setelah belokan jalan, ia sudah sampai di asrama. Namun, sebelum mencapai belokan jalan, ia menghentikan langkahnya. Sekitar lima meter di depannya, ia melihat gerombolan orang yang sekilas dikenalnya, sedang berdiri menatapnya di ujung jalan. Orang-orang dari Dymitri? batinnya. Seorang dari antara mereka melihatnya.

"Dia kan salah satu anggota SSDC?" seseorang itu menunjuk ke arahnya.

Seorang dari mereka berwajah kotak, dua orang lainnya bertubuh ceking, dan seorang yang lain berambut jabrik. Mereka menatap tajam ke arah Diego. Diego juga menunjukan ketidaktakutannya dengan balik menatap tajam ke arah mereka. Melihat itu, gerombolan itu mendekati Diego.

"Ckckck. Rupanya, orang ini menantang, ya? Ini adalah hari sialmu." Tiba-tiba orang yang berwajah kotak memukul wajah Diego. Diego membalasnya sehingga orang berwajah kotak itu limbung ke belakang, tubuhnya ditangkap oleh dua temannya yang ceking. Orang berambut jabrik akan memukul, namun Diego menahan tangan orang itu dan balik memukul perut si jabrik, lalu menendang perutnya sampai si jabrik jatuh tersungkur.

Si duo ceking menyerangnya bersamaan, memukulinya di bagian wajah dan perut, Diego bertahan dengan mengelak pukulan itu dan menahan hujaman pukulan dengan tangannya. Saat ada kesempatan, Diego berhasil memukul salah satu si ceking dan membuatnya terjatuh.

Tiba-tiba si jabrik dan si berwajah kotak balas memukulinya, membuatnya terjatuh. Percuma saja dengan keadaan seperti ini meladeni mereka. Diego mendorong si jabrik ke sisi jalan, membuat si jabrik kehilangan keseimbangan. Dengan tenaga yang tersisa, ia berlari ke arah jalan menuju asrama. Namun, orang yang berwajah kotak berhasil menangkapnya, ia direbahkan dan dipukul lagi.

Diego melawan dan berhasil membalikkan keadaan, begitu ada kesempatan, ia gunakan untuk melarikan diri dari mereka. Tapi, arah yang ia tuju bukan asrama, melainkan kembali ke arah jalan menuju sekolah. Keempat orang itu tergopoh-gopoh mengejarnya. Saat mencapai belokan jalan, langkahnya terhenti, karena ia dikejutkan oleh sosok seorang berbadan besar yang berdiri tak jauh darinya. Diego tidak melihat dengan jelas siapa orang itu karena lampu jalan yang berada di belakang orang itu membuat silau pandangannya. Namun, ia yakin orang itu adalah salah seorang dari murid Dymitri, Sial, umpatnya dalam hati.

Orang itu berjalan cepat mendekatinya, tiba-tiba dari arah belakang, kedua lengannya ditahan oleh si wajah kotak dan si rambut jabrik. Ia mencoba melepaskan diri, namun tak berhasil karena saat ini ia sangat lelah. Orang berbadan besar itu semakin mendekat dan ketika sampai di hadapannya, orang itu mencengkeram krah kemeja Diego dengan satu tangan, "Kalian memang sampah. Ini adalah pelajaran yang pantas untuk kalian." Tiba-tiba orang berbadan besar itu menusuk Diego dengan pisau yang sedari tadi digenggamnya. Diego melihat perutnya tertembus ujung pisau, Diego meringis, namun masih bisa menatap tajam orang yang menusuknya.

"Kalian yang sampah, orang-orang Dymitri. Apalagi ketua kalian, Reyhan."

Orang berbadan besar itu tampak marah dan dengan cepat menarik lagi pisau yang sudah menancap di perut Diego itu. Diego berteriak mengaduh, darah segar mengucur dari luka tusukan itu.

"Apa kau tahu siapa aku? Aku Rey. Ketua geng Dymitri." Lalu, Reyhan mendorong tubuh Diego sehingga Diego jatuh terduduk. Diego memegangi perutnya yang ditusuk, mencoba menghalangi darah segar yang mengalir keluar, baju putihnya ternoda oleh warna darah. Ia mengerang rasa ngilu dan perih yang hebat mulai dirasakannya. Sedangkan kelima anggota geng Dymitri itu meninggalkan Diego. Melihat banyaknya darah yang keluar, lukanya cukup lebar.

Diego memandang anggota Dymitri yang menjauh itu, Rey? Jadi, orang berbadan besar itu adalah ketua mereka? Dasar licik. Sial! Tasku tertinggal di jalan tadi.

Diego berdiri dengan gontai dan ia memaksakan tubuhnya berjalan menuju asrama. Darahnya menetes di sepanjang jalan yang ia lalui. Tubuhnya mulai mati rasa dan pandangannya semakin kabur. Sial!! Aku mulai kehabisan darah. Badanku sudah sulit untuk kugerakkan. Ia bersandar pada tembok pembatas dan memandang ke sekeliling, tidak ada orang yang lewat. Diego terus memaksakan tubuhnya karena harus mengambil ponsel di dalam tas yang tertinggal ketika ia dipukuli anggota Dymitri tadi. Ia harus memanggil pertolongan. Beberapa menit kemudian, ia melihat tasnya tergeletak tak jauh dari tempatnya dan mengerahkan semua tenaga menggapai tasnya, saat hendak membukanya untuk mengambil ponsel, pandangannya gelap dan akhirnya ia terkapar di pinggir jalan.

******

Rissa sesekali melirik orang yang sedang menyetir di sampingnya. Rissa mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia harus menerima kenyataan, orang yang berada di sampingnya ini adalah cinta pertamanya dan sebentar lagi mereka bertunangan. Benar, kan memang ini yang dari dulu aku inginkan. Menemukan Diego dan akan selalu menyukainya.

"Apa kamu sedang bertanya-tanya tentang hadiah yang aku siapkan?" suara Rick menyadarkan lamunannya. Rupanya Rick menyadari Rissa mencuri pandang memperhatikannya.

Risia terhenyak, "Hadiah apa, Di?"

"Setelah sampai asrama, aku akan memberikannya, jadi, harus sabar ya, Tuan Putri. Bagaimana hari ini?"

"Menyenangkan, kok. Aku baru pertama kali ke café itu, sebenarnya, dekat juga dari sekolah, ya? Tapi aku benar-benar nggak tahu ada café klasik itu."

"Café kecil yang jarang dikunjungi orang menurutku ada dua kemungkinan. Pertama, karena orang-orang tidak terlalu suka karena cafénya kecil. Dan yang kedua, orang-orang tidak mau mencoba mengunjungi café kecil itu karena meremehkan tempatnya."

"Iya, Di, aku juga berpikiran begitu. Oh iya, kamu emang sering mengunjungi cafe itu sama sepupumu?"

"Iya. Sering. Kalau lagi sama-sama jenuh atau sedang ingin membicarakan sesuatu. Kenapa?"

"Nggak papa, kok. Tadi paman pemilik café bilang, sepupumu itu mengajak cewek. Pasti pacarnya, ya?" tanya Rissa.

Rick mengangkat bahu. "Mungkin. Minggu lalu, aku memang menjemputnya di café itu. Tapi, aku juga nggak tahu ceweknya yang mana. Ah, iya, hari dimana kita pergi ke taman. Setelah aku mengantarmu pulang, aku menjemputnya di cafe itu."

"Oh, waktu itu. Sepupumu kuliah juga?"

Rick tertawa, "Sepupuku itu masih bocah, seumuran denganmu. Dia juga masih kelas tiga SMA. Sepertinya waktu pertama kali kita ketemu, aku udah membicarakan banyak hal juga tentang masa kecilku dan sepupuku."

"Oh, iya. Aku minta maaf, soalnya waktu itu, aku sedang nggak fokus karena terlalu syok dengar namamu. Jadi yaa... aku antara ingat nggak ingat gitu. "

Rick tertawa, "Tapi, seharusnya kamu kenal sama sepupuku. Dia juga sekolah di Saint Sirius, mungkin sekelas denganmu."

"Beneran? Siapa namanya?"

Pandangan Rick menangkap sesuatu di trotoar. Matanya menyipit dan ia memperlambat laju mobilnya. "Di?" Rissa menyentuh pundak Rick, Rissa mengikuti arah pandang Rick. Lampu jalan membuat apa yang mereka lihat semakin jelas dan membuat mereka semakin terkejut, karena melihat seseorang terkapar bersimbah darah di pinggir jalan.

Rick dan Rissa segera menghampirinya dan keterkejutan mereka bertambah tatkala melihat orang yang terkapar itu adalah Diego. Rick mengguncang pelan tubuh Diego, "Di! Di! Bangun, Di!! Diego!!" Tanpa sadar kepanikan Rick membuatnya memanggil nama Diego. Rissa kaget mendengar reaksinya. Belum sempat menanyakan itu, Rick menyuruh Rissa membuka pintu penumpang mobil. Lalu, ia menggendong Diego dan memasukkannya ke dalam mobil. Rick dengan cepat menyuruh Rissa melepas jaketnya dan menekan luka Diego dengan jaket itu untuk menahan keluarnya darah.

Rick kembali untuk meraih tas Diego yang tergeletak di jalan dan segera membawa mobilnya melesat menuju Rumah Sakit. Sementara Rick menyetir, Rissa di bangku penumpang membaringkan Diego ke pangkuannya dan menekan luka Diego dengan jaketnya. Di benaknya masih ada pertanyaan yang belum terjawab, namun di sisi lain, hatinya bergejolak merasakan khawatir yang luar biasa. Apa yang terjadi sama Rick sampai dia terluka kayak gini? Sadarlah, Rick. Rissa mengusap keringat dingin di dahi Diego.

Mereka sampai di rumah sakit dan pihak rumah sakit membawa Diego ke UGD untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Di luar ruangan, Rick dan Rissa mondar-mandir tidak tenang. Baju mereka kotor oleh noda darah Diego. Tak lama, perawat keluar ruangan dan memberitahukan mereka bahwa Diego kekurangan darah, serta akan diadakan operasi karena pisau sedikit mengenai organ vitalnya. Perawat berkata ia akan segera mengecek stok darah dan bergegas pergi. Rick mengejar perawat itu dan mengikutinya. Secara tak sadar, Rissa ikut mengejar perawat.

"Apa golongan darahnya, Di?" Rissa bertanya kepada Rick. Karena panik, Rick tidak fokus dengan panggilan Rissa dan tetap berjalan, "Di! Diego!!" panggil Rissa setengah berteriak.

"I-iya?" Rick tergagap menjawab panggilan Rissa.

"Apa yang kamu pikirin? Golongan darah Rick apa?!"

"Golongan darah? Oh, golongan darahnya AB."

"Jadi, kamu mau mendonorkan darah?" tanya Rissa.

"Iya. Setahuku, golongan darah AB bisa menerima donor A, B, atau O," ujar Rick.

"Golongan darahku AB, aku akan mendonorkan darah. Jadi tolong, tenanglah."

Rick bernapas lega. Rissa mengikuti perawat tadi. Pikiran Rick kacau. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi pamannya.

******

Terlihat perawat keluar masuk ruang UGD. Dari kejauhan, setelah mendonorkan darah dan berniat kembali menemani Rick, Rissa melihat ada Lubis, Hendra, dan Rick di depan ruang UGD. Rissa bermaksud mendekat dan menyapa, namun tiba-tiba pintu ruang UGD terbuka, dengan tempat tidur dorong perawat dan dokter membawa Diego segera ke ruang operasi. Sontak, Lubis, Hendra dan Rick mengikuti mereka. Mereka berjalan cepat mendekat ke arah Rissa berdiri. Rissa tampak cemas dan segera melangkah ke tepi untuk memberi jalan.

"Diego, bangun, Nak, Ayah di sini." Rissa mendengar perkataan Hendra yang sedang memegangi tangan Diego ketika tempat tidur dorong itu melewatinya. Rissa yang akan mengikuti mereka mengurungkan niatnya dan tetap berdiri mematung di tempat. Apa? Apa maksudnya ini? Kenapa semua memanggil Rick dengan sebutan Diego?  ucapnya dalam hati. Tak sadar air matanya menetes. Ia hanya bisa memandang mereka yang berjalan menjauh menuju ruang operasi. Seluruh tubuhnya seakan sulit untuk bergerak.

******

Esoknya sepulang sekolah, Rissa bergegas ke rumah sakit. Rissa belum memberitahu seorangpun tentang kejadian semalam. Karena kejadian itu pula, ia tahu bahwa Diego adalah sepupu Rick. Darah Diego yang tumpah di jalan, juga belum ada yang membersihkan, hanya banyak para pejalan kaki dan siswa-siswi yang meringis jijik mengira darah itu adalah darah korban kecelakaan.

Hari ini, ia harus berbohong kepada sahabat-sahabatnya. Ia berkata ingin pulang ke rumah karena rindu ayahnya. Sebelumnya, ia menelepon Rick untuk menanyakan nomor kamar inap Diego. Rissa membawa sekeranjang buah-buahan dan bergegas mencari ruangan tempat Diego dirawat. Ketika ia berjalan melalui lorong rumah sakit, ia melihat pintu salah satu kamar terbuka. Lalu muncul Hendra, Lubis dan Romi dari dalam ruangan. Mereka tampak berbincang dan sedang berjalan menuju ke arahnya. Saat mereka akan berpapasan, Rissa menyapa mereka.

"Ini adalah Rissa, putri Pak Hanggono." Romi memperkenalkan Rissa kepada Hendra dan Lubis.

"Ternyata calon menantuku cantik sekali. Aku adalah Roger Harvian, ayah Diego. Dan dia adalah Lubis, pamannya," kata Hendra sambil menjabat tangan Rissa.

"Salam kenal Pak Roger. Saya sudah mendengar banyak dari ayah saya tentang Anda, terima kasih banyak sudah membantu dan menjadi rekan kerja ayah."

Hendra tertawa, "Sama-sama, Nak," ujarnya sambil mengusap kepala Rissa.

"Saya baru pertama kali ini bertemu dengan Anda, apakah perjalanan bisnis Anda dari luar negeri berjalan lancar?" Rissa menyunggingkan senyum.

"Ya, semuanya lancar dan sesuai dengan harapan," Hendra manggut-manggut. "Oh, ya. Tolong jaga anak saya. Saya dan Lubis harus ke kantor sebentar. Nanti kami pasti kembali."

Rissa mengangguk pelan. Sedangkan Hendra, Lubis dan Romi berpamitan dan pergi menjauh. Menjaga anaknya? Apa maksudnya? Rissa bertanya-tanya dalam hati sambil memandang punggung ketiga pria itu yang semakin menjauh, kemudian ia mengangkat bahu dan segera menuju kamar Diego.

Sesaat sebelumnya di kamar Diego, Rick sedang berdiri memandang sepupunya yang terkulai lemah di atas bangkar. Diego masih tak sadarkan diri.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" bisiknya. Rick mengambil tas Diego yang tergeletak di atas meja. Ia merogoh tas itu dan menemukan kotak musik Rissa. Ia menggelengkan kepala, "Bodoh." gumamnya.

Rick memainkan kotak musik itu, menikmati alunan musik yang cukup dikenalnya. Namun, suara deritan pintu yang dibuka membuatnya berpaling, ia melihat Rissa dan air mata yang jatuh memenuhi pipinya. Rick terpaku. Ia sudah memperkirakan Rissa akan mengunjungi Diego, tapi ia tak menyangka Rissa datang di waktu yang tidak tepat. Sejenak, keheningan menyapu ruangan. Rissa menghapus air matanya kemudian tersenyum. Ia memasuki ruangan dengan santai.

"Hai, Di. Gimana keadaan Rick? Operasinya lancar, kan?" kata Rissa kemudian. Ia mendekat ke tempat Diego berbaring, lalu menaruh keranjang buah yang dibawanya di meja. Rick sedikit terkejut dengan reaksi Rissa, ia tercengang sambil memperhatikan Rissa dan tak tahu harus berkata apa. Rissa mendekati dan memandangi Diego yang tak sadarkan diri.

"Aku nggak nyangka kalau Rick adalah sepupumu, Di. Sebenarnya, aku belum memberitahu teman-teman yang lain tentang keadaan Rick. Hari ini, aku bilang kalau mau pulang ke rumah, aku bilang kalau-" kata-kata Rissa terhenti tatkala Rick memegang pergelangan tangannya.

"Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Cha." Melihat tingkah laku Rissa, perlahan Rick paham, Rissa mulai tahu tentangnya dan Diego, Rissa hanya menunggu penjelasan langsung darinya. Ketika Rissa berbalik melihatnya, Rick sadar bahwa sedari tadi Rissa menahan tangis, matanya berkaca-kaca. Rissa memandang Rick dalam, seakan ia tak sabar ingin mendengar penjelasannya. Lalu, Rick memberikan kotak musik yang ada di tangannya kepada Rissa.

"Ini kotak musik kamu, Cha." katanya. Rissa menerima kotak musik itu di tangannya. "Kotak musik itu dia temukan di ruang musik. Karena suatu alasan, dia tidak bisa mengembalikannya kepadamu."

Tangan Rissa gemetar, air matanya mulai mengalir memandang kotak musik itu. Ia hanya diam.

"Hari ini, aku mau mengakui sesuatu sama kamu, Cha. Aku tahu kalau kotak musik itu sangat berarti buat kamu dan selama dua belas tahun ini pun, kamu mencari seseorang yang telah memberikan kotak musik itu. Tapi sebenarnya... aku bukanlah orang yang dua belas tahun lalu memberikan kotak musik itu sama kamu." Rick memandang Diego yang terbaring di tempat tidur.

"Dialah sudah memberikan kotak musik itu dua belas tahun yang lalu, dia adalah Diego yang sebenarnya." Rissa semakin terisak, air matanya menetes ke kotak musik yang ada di tangannya. Rissa tak tahu apa yang membuatnya tak bisa menahan air mata, semua ini belum jelas dan banyak pertanyaan yang ingin diajukan, tapi, kenapa malah air matanya keluar tanpa henti sehingga ia tak bisa bicara?

"Aku adalah Rick, sepupunya. Karena suatu alasan, kami bertukar identitas. Ayah Diego meminta kami mengakhiri permainan ini dan aku minta maaf, karena kamu mengetahui semuanya dengan cara yang seperti ini. Aku benar-benar minta maaf." Mendengar itu, Rissa hanya mengangguk.

"Kamu berhak marah. Kamu juga berhak membenci kami," lanjut Rick.

Rissa menggelengkan kepalanya dengan keras. "Aku nggak tahu harus gimana, Di. Apakah aku harus marah atau membenci kalian. Semua ini terjadi sangat tiba-tiba," kata Rissa sambil menangis. "Beberapa hari ini perasaanku emang kacau banget. Aku membenci diriku sendiri karena perasaan yang aku rasakan. Aku nggak menyangka bakal jadi seperti ini. Kebenaran ini menyakitkan."

"Aku minta maaf, Cha. Semua ini salahku dan Diego."

"Nggak papa kok, Di. Maksud aku Rick atau entah siapa kamu sebenarnya. Aku juga minta maaf." Rissa menghapus air matanya, "Aku harus pulang." Rissa berlari keluar meninggalkan Rick. Rick merasa bersalah dan mengejarnya. "Cha!!" panggilnya terdengar di luar ruangan. Di tempat tidur, jari-jari Diego mulai bergerak dan perlahan ia membuka matanya.

******

Mulmed : bunga gerbera.

Astaga, nembus 3000 kata, maaf kalau kebanyakan. Karena ini adalah part di mana kebenaran terungkap dan kuberharap kalian nggak bingung ngikutin alurnya. hahaha...

btw, aku nggak pernah ngetik langsung di wp kalau mau publish. Aku selalu ngetik di word lalu pas mau publish aku copas di wp. tp entah kenapa spasinya jadi banyak yg ilang. Aku capek benerin karena terlalu banyak, jadi kalau menemukan spasi yg hilang dan katanya mepet2, maklumin aja ya. haha mngkin ada yg mempunyai pengalaman yg sama? share di komen :D sampai jumpa di part selanjutnya.

Magic Forest

3 Desember 2017 (Republish)

15:10

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro