BAB 21 : Aku Mulai Membenci Diriku Sendiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Icha sedang berlatih balet di ruang tari seorang diri. Ia bergerak mengikuti iringan 'Swan Lake Op. 20' karya Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Ia sengaja datang lebih pagi untuk berlatih. Sekilas ia terlihat menari dengan sempurna, tapi sebenarnya itu adalah gerakan menari terburuknya. Icha tidak fokus, pikirannya melayang ke kejadian malam kembang api.

-Flashback-

"Sepertinya aku harus pergi dulu. Kau bisa tetap di sini menikmati kembang api kalau ingin." Diego mengambil ponsel di sakunya hendak menyalakan senter dan beranjak. Icha tak ingin Diego pergi. Ia menarik lengan Diego dengan kuat dan tiba-tiba, membuat Diego yang tidak siap hampir kehilangan keseimbangan dan menjatuhkan ponselnya. Icha merangkulnya dengan cepat, membuat Diego membungkuk. Ia mendekatkan wajahnya ke Diego membuat bibir mereka sangat dekat, lalu Icha menghentikan gerakannya. Diego tak mengerti apa maksud Icha, ia hanya tak sempat mengelak.

"Dengan posisi seperti ini, apa yang kamu pikirkan?" tanya Icha kemudian tanpa mengubah posisinya.

Diego nyengir, "Nggak ada."

Icha mendengus dan terlihat kesal. "Dengan posisi seperti ini, apa kamu nggak berpikir kalau aku bisa dengan mudah menciummu?"

"Benarkah? Bukannya hubungan kita sudah berakhir?"

"Entah kenapa aku bisa jatuh cinta dengan orang yang menyebalkan sepertimu. Apa kamu menggunakan semacam jimat memikat wanita?" Icha tersenyum.

Diego tersenyum sekilas, "Terserah apa katamu." Diego melepaskan diri dari pelukan Icha, lalu ia mengambil ponselnya, kemudian ia tertawa, "Dengan suasana yang kaya gini, kamu masih bisa bercanda, ya? Lima menit lalu, aku masih melihatmu menangis seperti orang gila dan lima menit kemudian, aku melihatmu tersenyum nakal seperti itu. Perasaan yang berubah-ubah, wanita itu memang makhluk yang paling sulit dimengerti oleh pria." Diego geleng-geleng kepala sambil tertawa. Icha juga ikut tertawa dan menghapus sisa air matanya, ia senang melihat tawa Diego.

"Apa itu cukup lucu?" tanya Icha.

Diego tersenyum, "Sepertinya cukup. Aku kira kamu bakal membenciku."

Suasana hening, mereka tenggelam ke dalam pikiran masing-masing, hanya suara kembang api yang tetap terdengar. Icha tak percaya ini terjadi, kini ia dan cowok di sampingnya itu bukan sepasang kekasih lagi. Bahkan, tanpa alasan yang jelas, hubungan mereka sudah berakhir. Ia butuh jawaban dari Diego, "Kamu belum jawab semua pertanyaanku, Rick. Aku nggak bisa menerima ini semua."

Tidak ada respon dari lawan bicaranya. Tak lama kemudian, tak terdengar lagi suara kembang api. Lampu-lampu sekolah kembali menyala. Diego melihat sekeliling, "Sepertinya pesta kembang apinya udah selesai. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya." Diego beranjak pergi namun Icha meraih lengan Diego, "Bagaimana bisa kamu masih tetap bersikap kaku setelah mematahkan hati seorang wanita?"

Diego menghela napas, situasi yang dihadapinya kini sedikit sulit untuk dihadapi, "Aku nggak bisa memberikanmu jawaban apa-apa. Kamu nggak bakal ngerti. Alasanku begitu...." Diego berhenti sejenak untuk menghela napas, "rumit, maaf aku nggak bisa memberikan alasan yang tepat untuk mengakhiri hubungan ini."

"Dan Rissa? Bagaimana tentangnya? Kau juga nggak akan memberiku jawaban tentang Rissa?"

Diego menggeleng. "Aku benar-benar nggak bisa memberitahumu apapun." Diego beranjak pergi. Icha tak bisa menutupi rasa kecewanya.

"Aku benar-benar tulus menyukaimu. Apa suatu hari nanti, kamu bisa memberitahuku hal yang kamu sembunyikan itu, Rick?" kata-kata Icha menghentikan langkah Diego saat ia mencapai pintu. Diego berbalik dan tersenyum. "Mungkin iya, mungkin saja tidak." Diego meninggalkan ruang kelas itu, meninggalkan Icha yang berdiri terpaku dan merasakan kesedihan yang luar biasa.

-Flashback End-

"Aww!" Icha tersandung kakinya sendiri, membuatnya terjatuh. "Aww, duh, sakit." Ia memegang pergelangan kakinya yang terasa linu, sama seperti hatinya sekarang. Kenapa? Kenapa, Rick? Air matanya menetes lagi. Ia merasa ini adalah hari-hari terberatnya.

*****

Halaman utama sekolah dan lapangan sepak bola dipenuhi oleh siswa-siswi berpakaian olahraga yang sedang sibuk membersihkan halaman. Sampah berserakan di mana-mana, tenda-tenda bazaar pun dibongkar. Terlihat Lena dan Shilla yang sedang menyapu.

"Acara tahunan selalu aja kayak gini, sesi bersih-bersih selalu bikin capek," kata Shilla.

"Iya. Sampahnya juga banyak banget, padahal udah disediakan tempat sampah. Apalagi kita cuma tidur tiga jam, besoknya kita udah belajar seperti biasa," tukas Lena.

"Oh iya, Icha kemana, sih? Pagi tadi udah berangkat ke sekolah duluan, nggak tahu apa alasannya. Sekarang malah nggak kelihatan batang hidungnya."

"Iya. Tumben banget dia berangkat duluan, biasanya juga bareng kita. Apa dia mau kabur gara-gara nggak mau bersih-bersih?"

"Mungkin aja, sih. Dasar!"

Tak jauh dari situ, Rissa sedang memungut sampah-sampah plastik, ia mendengar obrolan mereka. Icha nggak ada, Rick juga nggak kelihatan. Apa mungkin mereka sedang bersama? Bayangan Icha dan Diego malam sebelumnya tiba-tiba terbesit di benak Rissa. Melihat kejadian semalam, pasti mereka sedang bersama. Dengan lesu ia memasukkan sampah-sampah yang ia pungut ke dalam kantong plastik.

"Riss?" tiba-tiba May merangkulnya. "Tadi malam kenapa kamu balik duluan?"

Rissa tersenyum, "Nggak papa, kok. Aku cuma ngantuk dan pengen cepet tidur. Oh iya, Karis dan Veve kemana?"

"Mereka bantuin Andre mengurus kostum dan uang bazaar di kelas. Wakil ketua kelas lagi sakit, jadi Andre minta tolong mereka. Banyak temen-temen yang belum mengembalikan kostum juga. Kamu udah?"

"Udah." Rissa mengangguk.

"Ngomong-ngomong, kamu kemarin cantik banget, Riss. Cocok juga sama pemeran pangerannya, si Rick." May menyikut lengan Rissa.

"Ihh, apaan sih, May? Kebiasaan deh, cocok-cocokin orang seenaknya."

"Ecieee. Ngomong-ngomong, aku tadi melihat dia sama geng SSDC yang lain jalan ke luar sekolah. Mereka rombongan gitu kayak mau pawai. Masa dia nggak bantu kita, sih?"

"Apa? SSDC?!!"

Suara teriakan itu membuat Rissa dan May menoleh ke sumber suara. Lena menyela pembicaraan mereka. Tanpa Rissa dan May sadari, ternyata Lena dan Shilla mendengar percakapan mereka.

"Wah, bener kan, Shil? Mereka mau tawuran," ucap Lena.

"Tawuran? Memangnya kenapa? Toh mereka juga biasa tawuran," kata May.

"Kita harus beritahu Icha, Shil. Ayo ambil ponsel di kelas," Lena dan Shilla pergi.

"Eh? Apa-apaan mereka? Ngacir aja diajak ngomong. Dasar!" protes May.

Di sisi lain, terlihat segerombolan pelajar berseragam putih abu-abu dan seragam olahraga beradu tenaga. Keadaan kacau,mereka saling memukul dan melemparkan batu. Salah satu pelajar berseragam olahraga itu adalah Diego.

*****

Diego dan Rick sedang duduk di ruang tamu rumah mereka. "Argh!!" Diego memekik. Wajahnya penuh luka. Rick membantu mengompres luka Diego dengan es batu.

Rick terlihat tidak senang, "Kenapa kamu bisa terlibat tawuran itu? Apa yang kau pikirkan?" tanya Rick.

Diego mendengus, "Udahlah. Kalau keadaanku nggak seperti ini, pasti nggak akan pulang ke rumah ini," jawabnya.

"Sampai kapan kamu akan ceroboh? Gimana kalau ada polisi? Gimana kalau lawanmu itu bawa senjata dan melukaimu?"

"Aku juga udah memikirkannya. Tapi, aku begitu marah sampai mengabaikan semua itu," jawab Diego.

"Marah? Apa mereka mengganggumu duluan? Harusnya kau bilang padaku. Nggak perlu terlibat tawuran seperti itu. Kau juga bisa kena masalah di sekolah nanti."

Diego mengangguk samar. "Kapan kamu kembali ke Semarang?" tanya Diego tak lama kemudian.

"Lusa. Besok siang, aku akan menemui Icha dulu."

"Oh," jawab Diego singkat, ia sedikit kecewa.

"Kenakalan apa lagi yang kamu lakukan, Diego?" suara Hendra, ayah Diego mengagetkan mereka. "Pamanmu sudah capek-capek memindahkanmu ke sekolah itu dan kau hanya bisa membuat sepupu dan pamanmu cemas. Dan sudah berapa lama kau tidak pulang ke rumah?"

"Aku tidak kabur dari rumah. Aku tinggal di asrama. Ayah tidak perlu khawatir."

"Lebih baik selama ayah di rumah, kamu juga harus tinggal di rumah. Hanggono sudah hampir bangkrut. Rencana kita bertahun-tahun akan segera berhasil. Selama sepuluh tahun ayah mendekam di penjara karena perbuatannya, aku tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dan perjodohan itu menjadi hadiah terakhir dariku untuknya."

"Ya, lagipula, Hanggono tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujui perjodohan ini. Aku sudah tidak sabar melihat reaksinya saat nama Harvian Roger Hendrata disebut dan anaknya, Diego Adi Hendrata, akan menjadi menantunya," kata Diego.

"Ya. Diego Adi Hendrata yang akan jadi menantunya dan bukan Richardo Wijaya!" Hendra duduk di sofa di dekat Diego dan menjitak kepala anaknya itu.

"Argh!" Diego kesakitan memegang kepalanya, sedangkan Rick menahan tawanya. Diego melirik Rick, seakan bertanya 'Ayah sudah tahu?' dengan isyarat, Rick hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.

"Kalian benar-benar bodoh! Bertukar identitas, ha?! Seperti teroris, apa kalian mau masuk penjara? Aku menitipkanmu ke Lubis dan Rick, tapi bukan berarti kamu bisa berbuat hal bodoh dan menyuruh mereka membantumu seperti ini selama aku di Kanada. Kamu itu benar-benar anak sial!" Hendra menjitak kepala anaknya lagi.

"Ayah! apa ayah nggak lihat anak sialmu ini terluka? Kami hanya ingin mempermainkan anak Hanggono itu. Apalagi aku masih SMA, bisa lebih mudah mendekatinya dengan pindah ke sekolahnya itu."

"Apa kalian sadar perbuatan kalian ini bisa menjadi bumerang untuk rencana kita? Target kita Hanggono, bukan anaknya. Toh kalau Hanggono menderita, anaknya juga akan ikut menderita. Apalagi jika anak Hanggono itu tahu bahwa calon tunangannya yang menjebloskan ayahnya ke penjara nanti. Jadi, kenapa kalian membuang-buang waktu untuk lelucon seperti ini?!"

Diego mendengus kesal, lalu melengos pergi. "Diego! Ayah belum selesai bicara!! Baiklah, ayah akan melarangmu menggunakan motor, itu adalah hukumanmu!!". Diego tidak menanggapi, terdengar Diego menutup pintu ruangan dengan keras.

"Dasar anak sial! Semprul!" Hendra geleng-geleng kepala sedangkan Rick tersenyum geli melihat polah sepupunya itu.

"Sudahlah, Mas. Biarkan mereka menikmati masa remaja mereka. Mereka hanya main-main saja. Aku yakin tidak akan berpengaruh pada rencana kita. Toh rencana kita sudah hampir mencapai akhir. Hanggono sudah akan bangkrut." Tiba-tiba, Lubis datang dan duduk di samping Hendra.

Hendra menunjuk Lubis, "Kamu juga, Lubis! Membantu memalsukan kartu identitas, ijazah, semuanya. Apa kau sadar dengan perbuatan konyolmu itu?! Kamu terlalu memanjakan Diego." Suara Hendra semakin meninggi. Namun, Lubis hanya menanggapinya dengan mengedikkan bahu.

"Sudahlah, Paman. Kami hanya bermain-main saja. Lagipula, rahasia kami aman. Tidak ada seorang pun yang tahu kami bertukar identitas," kata Rick.

Hendra tersenyum. "Ya dan jangan sampai mengacaukan semuanya. Hanggono sebentar lagi bangkrut dan kalian mempermainkan anaknya. Kalau seperti itu, boleh juga. Perjodohan ini harus berjalan lancar agar mereka semakin menderita. Tapi penderitaan mereka sekarang ini, tak sebanding dengan penderitaan Jihan dulu." Hendra menghela napas.

"Oh, iya. Sebenarnya, apa yang dilakukan bocah itu? Dia jarang pulang ke rumah, tapi setiap pulang, dia selalu mengurung diri di ruang piano selama berjam-jam," tanya Lubis.

"Entahlah, Ayah. Mungkin dia lebih betah tidur di ruang piano dibanding kamarnya sendiri," kata Rick.

Di ruang piano, Diego tampak mencorat-coret kertas.Kertas itu membentuk pola partitur, ia tinggal mengisinya dengan not balok. Ia menggambar beberapa not lagi, lalu memainkan pianonya. Beberapa menit sebuah alunan lagu mengalun di ruang piano. Diego menyelesaikan lagunya, ia memandang kosong kedua tangannya yang masih ada di atas tuts, Sebentar lagi lagu ini selesai. Maafkan aku Ibu, karena aku mulai lemah.Apakah yang kulakukan sudah benar? Sial! Aku mulai membenci diriku sendiri. Diego mengacak rambutnya dengan kesal, diikuti dengusan dan decakan bibir.

*****


Huft, akhirnya selesai direvisi. :D

Mulmed : Swan Lake Op. 20 karya Pyotr Ilyich Tchaikovsky

Swan lake itu salah satu favoritku :D


Magic Forest

17 November 2017 (Republish)

21:09

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro