BAB 24 : Aku Mencintaimu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Riss!" Suara May membuat Rissa terhenyak. May memutar bola matanya, "Dipanggilin daritadi nggak nyahut-nyahut. Jangan bengong, dong. Yuk ke kantin."

"Iya, Riss. Aku udah laper banget pengen soto. Yuk," sambung Karis.

Rissa memandang Karis dan May bergantian, kemudian menggeleng. Hatinya masih kacau sekarang dan tak ada selera makan, tiap malam saja susah tidur. "Aku nggak ikut, masih kenyang. Aku di kelas aja, ya."

May mendesah panjang. Ia benar-benar bingung dengan sikap Rissa akhir-akhir ini. Selama ini ia hanya diam, namun May sudah tidak tahan, "Riss, kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu selalu ngehindar dari kita. Kamu nggak pernah mau bareng lagi sama kita. Udah berhari-hari, tahu," kata May dengan pandangan menyelidik.

Rissa menghindari tatapan menusuk dari May. "Aku nggak papa, tenang aja."

May berdecak, "Bohong. Jujur, aku nggak suka kamu nyembunyiin sesuatu dari kita, Riss. Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering melamun di kelas beberapa minggu ini sampai ditegur guru? Sepulang sekolah juga kamu selalu alasan ke ruang musik, padahal kamu pengen ngehindar dari kita, kan?" ujar May dengan nada tinggi. Rissa tak menyangka bahwa May akan berkata demikian. Ia sadar yang dikatakan May benar, ia jadi jarang lagi berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Perkataan May membuatnya merasa bersalah.

"May! Apa-apaan, sih kamu?" tukas Veve sambil menyikut lengan May. Ia memberi tanda dengan tatapan tajam agar May diam karena suara May yang keras mulai mengundang perhatian teman-teman yang lain, namun May memutar bola matanya dan mendesah keras.

"Biarin aja, Ve," pandangan May beralih ke Rissa, "nggak aku aja yang merhatiin kamu, Riss. Kamu pikir kita bego percaya gitu aja waktu kamu bilang 'nggak papa'? Kita peduli sama kamu, Riss. Tapi kenapa kamu nggak pernah cerita ke kita masalah apa yang bikin kamu kaya gini? Kamu masih anggap kita sahabat, kan? Kalau iya, harusnya kamu cerita biar kita bisa bantu, biar kita nggak jadi sahabat yang useless."

Rissa terhenyak, "Maaf, aku-"

"Udahlah, Riss! Yuk Karis, Veve, kita ke kantin aja." May menyeret Karis yang kebingungan keluar kelas. Rissa merasa sedih, ia tak pernah melihat May semarah itu.

"Riss, tolong jangan salah paham. Maksud kita itu baik, mungkin cara May menyampaikannya-"

"Nggak papa kok, Ve. May benar, ini emang salahku. Tapi, aku benar-benar nggak bisa cerita masalahku sekarang sama kalian." Rissa membenamkan wajahnya ke telapak tangan, "aku bingung, aku cuma perlu waktu."

Veve menyentuh lembut pundak Rissa. "Aku ngerti, Riss. Kita cuma nggak pengen kamu sedih terus. Kapanpun kamu pengen cerita, aku selalu siap dengerin."

"Makasih ya, Ve. Ya udah, susul May dan Karis."

Veve mengangguk dan beranjak keluar kelas. Maafin aku teman-teman. Kalau semua udah jelas, aku janji akan memberitahu kalian yang sebenarnya, batin Rissa.

*****

Rissa berdiri dengan gelisah di tepi lapangan panahan. Beberapa hari ini batinnya berperang. Ia menyendiri bukan karena ingin menghindari para sahabatnya, ia hanya butuh waktu memantapkan hati menemui Diego. Dan kini adalah waktu yang ia pilih, ia ingin mengungkapkan perasaannya kepada Diego. Kini, ia sengaja menunggu Diego selesai berlatih panahan di tepi lapangan dengan jantung yang berdebar cepat tak karuan. Senyumnya mengembang ketika ia melihat Diego, Alvin dan beberapa temannya berjalan meninggalkan lapangan menuju ke parkiran, Rissa menghampiri mereka. Melihat Rissa, Alvin menyapanya.

"Hai, Riss," Alvin melambai.

"Hai juga, Vin."

"Ada apa?"

"Hmm, aku pengen ngomong sebentar sama Rick."

Alvin melirik Diego yang tak berkomentar, "Kalau gitu, kita pulang duluan, Rick. Bye, Riss." Alvin dan beberapa temannya pergi. Diego menatap Rissa dengan tatapan bertanya, tidak ada senyum di wajahnya, "Ada apa?" tanyanya.

Jantung Rissa berdetak cepat, kini ia berhadapan dengan Diego. Diego yang selama ini ia cari. Rissa menarik napas panjang, ia harus menahan air matanya yang hampir tumpah.

"Aku... udah tahu semuanya. Rick udah memberitahuku tentang kalian."

Kedua alis Diego naik, "Lalu?"

Rissa menghela napas panjang, "Aku yakin Rick udah memberitahumu tentang ceritaku dan kotak musik itu."

Diego mengangguk, "Ya, memang. Tapi, maaf aku nggak ingat kejadian itu dan nggak pernah menganggap kotak musik itu istimewa."

"Kalau memang nggak ingat sama aku dan kotak musik itu, kenapa kamu nggak mengembalikan kotak musik itu waktu aku tanya kamu apakah kamu nemuin kotak musik di ruang musik? Kamu pasti tahu itu milikku, kan?"

"...."

"Aku yakin kamu ingat, kan? Dua belas tahun lalu, ketika kamu memberikan kotak musik itu padaku."

Suasana hening, mereka membisu, saling menatap. Diego menghela napas, "Baiklah. Aku memang mengingatnya, lalu apa?"

Rissa tercekat dan tak bisa menahan air matanya lagi. Ia merasa telah melewati satu langkah anak tangga untuk mengungkapkan perasaannya. Ia lega Diego masih mengingatnya. "Jadi benar kamu masih ingat? Aku ingin ngucapin terimakasih sama kamu karena udah memberikan kotak musik itu padaku. Kotak musik itu sangat berharga untukku sampai sekarang. Dan terimakasih udah mengembalikan senyumku dua belas tahun lalu."

Diego mengangguk, "Ya, sama-sama. Sekarang bisakah aku pulang?"

Rissa sedikit terkejut dengan reaksi Diego. "Kenapa? Kenapa kau bersikap seperti ini?"

"Aku udah mendengar dari Rick kalau kamu ingin berterimakasih padaku, bukan? Sekarang kamu udah melakukannya dan aku menerima ucapan terimakasihmu."

Air mata Rissa mengalir deras, hatinya terluka melihat sikap dingin Diego, "Apa Rick nggak cerita kalau kamu adalah cinta pertamaku?"

"...."

"Ya, Di. Kamu adalah cinta pertamaku. Selama dua belas tahun aku nggak bisa lupain kamu. Kamu pikir kenapa aku belajar piano dan menjadi seperti sekarang? Siapa yang sudah mengenalkanku pada Fur Elise? Siapa orang yang selalu kuingat setiap kali aku melihat kotak musik itu? Kamu, Di," jari telunjuk Rissa terarah kepada Diego, "aku menjaga kotak musik itu karena kamu. Meskipun kecil, aku punya harapan kalau suatu saat bisa ketemu sama kamu dan mengungkapkan perasaanku."

Diego masih terdiam, ia terpaku memandang Rissa. Diego membiarkan Rissa mengatakan hal yang ingin dikatakannya.

"Dan satu hal yang pasti, kamu adalah cinta pertamaku."

Diego tertawa sinis. "Kamu menyebutku cinta pertamamu? Tapi, apa bahkan kau memahami artinya cinta pertama itu?"

Hati Rissa semakin terluka melihat reaksi Diego, "Apa katamu?"

"Dua belas tahun lalu artinya kita masih anak-anak. Apa kamu mau aku percaya dengan cerita konyol tentang anak TK yang sedang jatuh cinta? Dengar, aku tahu kamu menganggapku istimewa karena aku pernah memberimu kotak musik. Kamu juga udah berterimakasih padaku dan aku menghargai ucapan terimakasihmu. Tapi, aku nggak bisa ngerti kenapa kamu naif terlalu menganggap penting kejadian dua belas tahun yang lalu yang mungkin saja aku menganggapnya nggak pernah terjadi. Apa kamu nggak mikir kalau itu hanya kotak musik biasa? Atau aku yang memberikannya juga anak kecil biasa yang mungkin aja pernah memberikan kotak musik kepada orang lain juga? Kamu ini emang bodoh atau apa?"

"Diego, aku-"

Diego mendengus kesal, "Dengar, ya. Hal kaya ini bisa terjadi sama siapapun dan ini bukanlah sesuatu yang istimewa buatku. Jadi, tolong berhentilah. Anggap aja kejadian itu adalah masa lalu yang harus dilupain atau nggak dianggap istimewa. Let's move on!"

"Kamu nggak paham, Di. Tentang kamu adalah cinta pertamaku itu-"

"Cinta? Apa kau nggak paham kata-kataku? Baiklah, aku ulangi. Kamu menyebutku cinta pertamamu. Apa bahkan kau tahu artinya cinta pertama itu?"

"...." bibir Rissa terasa kaku, ia berusaha menjawab, namun tidak ada suara yang keluar. Ia hanya menatap Diego dengan air matanya yang terus mengalir.

Melihat Rissa tidak bersuara sama sekali, Diego tertawa pendek, "Nggak, kan? Jadi, jangan pernah menganggap perasaan cinta itu adalah sesuatu yang sederhana. Hanya berbicara tentang cinta itu mudah, tapi memahaminya adalah sesuatu yang sangat sulit."

Rissa semakin terluka, ia tidak menyangka Diego akan memperlakukannya seperti ini, "Kenapa aku menganggapmu cinta pertamaku?" nada Rissa meninggi, "sebelum kujawab, aku ingin memastikan sesuatu. Kamu bertanya karena memang ingin tahu jawabanku atau sedang meragukan perasaanku?" Rissa berhenti sejenak untuk menarik napas. Ia melihat reaksi Diego yang tidak berubah, menatapnya tanpa ekspresi. "Karena meragukan perasaanku? Baiklah, lupakan saja. Kamu nggak akan pernah ngerti, Di."

Diego menyeringai, "Semua cuma omong kosong, Riss. Jatuh cinta sama anak laki-laki asing yang baru ketemu sama kamu beberapa menit?" Diego berhenti sejenak. Sebenarnya, berat baginya mengatakan itu, dadanya juga merasa sesak. "Maaf, aku juga harus ngomong ini sama kamu. Aku bukan Diego kecil yang dulu, aku adalah seseorang yang harus kamu hindari. Kamu nggak pernah tahu siapa sebenarnya aku. Jadi, hentikan ini semua. Dan aku harap kamu nggak menggangguku atau Rick lagi. Aku akan ngomong sama ayahku buat ngebatalin perjodohan ini. Setelah itu, jangan pernah menghubungi kami lagi."

Rissa menatap Diego dalam. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, walaupun hatinya sangat ingin menyangkal anggapan Diego tentangnya. Tentang cinta pertama yang dirasakannya. Diego meremehkan perasaan yang ia punya. Sesaat, suasana pun hening.

"Aku harus pulang," kata Diego kemudian. Diego berbalik dan berjalan menjauh. Rissa tak pernah menyangka Diego bersikap seperti itu padanya. Kini, hatinya lebih terluka daripada saat mengetahui kebohongan Diego dan Rick. Ia memandang Diego yang semakin berjalan menjauh. Ia berpikir bahwa ia sudah melangkah sejauh ini, ia tidak ingin penantiannya selama duabelas tahun hanya sia-sia. Apapun yang terjadi, ia harus mengungkapkan perasaannya. Rissa berlari dan mendekap Diego, membuat Diego praktis menghentikan langkah. Rissa membenamkan kepalanya di punggung Diego.

Diego terhenyak, Rissa melakukan hal yang tidak terduga. Namun, ia hanya diam dan membiarkan Rissa mendekap tubuhnya dari arah belakang. Ia bisa mendengar Rissa terisak dan menduga pasti ada air mata di wajah gadis itu. Karena itulah ia tak bisa berbalik atau melawan. Rissa memeluknya lebih erat.

"Aku mohon, sebentar saja. Tolong jangan berbalik."

"...."

"Aku cuma pengen kamu dengerin apa yang akan kukatakan. Aku udah menyimpannya selama duabelas tahun dan menunggu waktu untuk mengungkapkannya. Aku nggak peduli kalau sekarang kamu membenciku, meragukan perasaanku, atau hatimu telah menjadi milik orang lain. Apapun yang terjadi, aku akan tetap mengatakannya."

Diego mengepalkan tangan, Kumohon, jangan katakan apapun.

Rissa menghela napas dan berusaha menenangkan diri, "Aku mencintaimu."

Diego mendesah, mencoba menutupi rasa gugupnya. Bodoh, batinnya. Ia bergerak mencoba melepaskan diri dari dekapan Rissa, namun Rissa memeluknya lebih erat, "Jangan. Sebentar lagi aku akan melepaskannya dan pergi. Aku mohon jangan berbalik sampai kamu nggak bisa mendengar langkah kakiku lagi."

Perlahan, Rissa melepaskan pelukannya. Diego bisa mendengar suara langkah kaki Rissa yang sedang berlari menjauh di belakangnya. Ia mengepalkan tangan dan menghela napas panjang. Hatinya juga terluka.

*****

Rissa berlari secepat yang ia bisa, namun ketika sampai di persimpangan jalan menuju asrama, Rissa berhenti, kakinya mulai terasa lemas. Ia menutup mukanya dan menangis sejadi-jadinya. Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ia ingin menghiraukannya, namun, entah mengapa tanpa ia sadari, ia mengangkat teleponnya.

"Riss? Kamu dimana? Kenapa belum pulang juga?"  kata Veve di seberang. Rissa tidak bisa berkata-kata, malah semakin terisak. "Riss? Kamu nangis? Di mana kamu? Aku susul kamu sekarang."

"Nggak perlu, Ve," ujar Rissa kemudian menutup sambungan teleponnya. Ia mengusap air matanya kemudian menguatkan diri untuk cepat-cepat sampai ke asrama. Rissa sudah sampai di gerbang asrama ketika ia melihat Veve berlari ke arahnya.

"Baru aja aku mau keluar nyari kamu. Kamu kenapa nangis, Riss?" Veve menghapus air mata Rissa. Melihat Veve khawatir, Rissa memeluknya. Tangisannya pecah.

"Dia membenciku, Ve. Cinta pertamaku nggak terbalas," ujar Rissa di tengah tangisnya.

Veve terlihat bingung, "Maksud kamu apa Riss?"

"Diego nggak suka sama aku, dia memintaku menjauhinya. Cinta pertamaku hancur, Ve."

Veve memeluk Rissa erat. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sahabatnya itu. Namun, bertanya sekarang bukan waktu yang tepat. Akhirnya, ia hanya bisa menenangkan Rissa. "Jangan nangis, Riss. Semua pasti baik-baik aja."

*****


Magic Forest

21 Desember 2017 (republish)

15:38

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro