BAB 25 : Misi Penyelidikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diego berjalan pelan melewati lorong lantai 3, matanya serasa berat, semalaman ia tidak bisa tidur karena memikirkan pernyataan Rissa kemarin. Semoga saja dia menjauhi kami, batinnya. Lorong kelasnya sepi, karena memang ia datang terlambat. Kegiatan belajar mengajar sudah mulai sekitar lima belas menit yang lalu. Ia sedang tenggelam dalam pikirannya, ketika ia dihentikan oleh suara yang memanggilnya dari arah belakang.

"Rick!"

Suara itu membuatnya berpaling ke belakang. Ternyata itu suara Irwan, guru biologinya, "Saya minta tolong, taruh dokumen ini ke ruang kepala sekolah di lantai satu, ya. Saya sedang terburu-buru ke kelas duabelas lima. Tolong, ya." Irwan menyerahkan amplop coklat besar dan tebal kepada Diego.

"Oh, Iya, Pak," jawab Diego sopan. Diego berbalik dan segera menuju lantai satu. Ia ingat ketika pertama kali ke ruang kepala sekolah yaitu saat ia mendaftar ke sekolah ini, ditemani Lubis, pamannya. Kepala sekolahnya sangat ramah. Tak lama kemudian, Diego sampai di depan ruang kepsek. Ia mengetuk pintu selama beberapa waktu, namun, tak ada jawaban. 

Karena ia sudah cukup terlambat masuk ke kelas, Diego harus segera menyerahkan dokumen itu. Jadi, tanpa pikir panjang, Diego membuka pintu ruang kepsek yang tidak terkunci itu dan segera masuk. Ia melihat sekeliling. Memang tidak ada orang di ruangan itu. Kemudian ia meletakkan dokumen itu di meja.

Sejenak, ia berpikir untuk sesegera mungkin kembali ke kelas, namun, setelah melihat salah satu foto yang ada di meja kepala sekolah, ia mengurungkan niatnya dan mencoba melihat foto itu lebih seksama. Foto kepala sekolah, Dibyo bersama seorang wanita yang ditaruh di pigura kotak berwarna biru laut. Terlihat Dibyo tersenyum bahagia sedang duduk bersama seorang wanita yang juga terlihat bahagia. Sepertinya foto itu diambil di sebuah bangku taman.

Siapa wanita itu? Istrinya?

Pandangannya beralih ke foto di pigura lain. Foto Dibyo sewaktu muda berdiri diapit oleh dua orang lain. Mereka berangkulan dan tersenyum seakan tidak ada beban dan berteman akrab. Diego mengamati foto itu, ia merasa wajah salah seorang dari foto itu begitu familiar. Ia terhenyak ketika ingat siapa yang ada di foto itu, Ayah?. Perhatiannya kembali teralih ke potret seorang yang lain di samping Dibyo. Dia mirip dengan Hanggono. Ayah dan Hanggono memang sebelumnya berteman. Tapi aku nggak tahu kalau mereka juga berteman dengan Pak Dibyo. Kenapa Ayah dan Paman nggak pernah cerita tentang Pak Dibyo?

Suara deritan pintu yang dibuka membuat Diego terkejut dan dengan gerakan cepat meletakkan foto itu ke meja. Ia tidak sadar sudah mengambil foto itu dari tempatnya. Muncul Dibyo yang memergokinya memasuki ruangan tanpa ijin.

Diego gelagapan, namun, ia berusaha tetap bersikap tenang, "Maaf, Pak. Saya mengantarkan dokumen dari Pak Irwan."

Mata Dibyo menyipit, mengamati Diego sejenak, kemudian tersenyum miring, "Ya, terima kasih. Sekarang kamu bisa kembali ke kelas."

Diego mengangguk samar dan sedikit membungkuk ketika melewati Dibyo. Setelah Diego bergegas keluar, perhatian Dibyo beralih kepada pigura foto yang dilihat Diego beberapa waktu yang lalu. Ia mengambil dan mengamati foto itu. Dibyo tersenyum, sekilas tadi ia melihat Diego cepat-cepat meletakkan foto itu ke meja. Tentu saja kau tertarik mengamati foto ini, Nak, batinnya.

******

Diego berjalan cepat ke luar gedung dan menuju ke arah belakang gedung utama. Sesekali ia mengamati keadaan sekitar, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan menelepon Rick.

"Rick, apa kamu tahu Pak Dibyo, Ayah, dan Hanggono berteman akrab?" tanyanya tanpa basa-basi ketika jaringan teleponnya sudah tersambung.

"Apa? Pak Dibyo siapa?" suara Rick di seberang.

"Dia kepala sekolahku."

"Oh, entahlah. Aku nggak kenal dan aku nggak tahu hubungannya dengan Paman. Apa dia pernah ke rumah kita?"

Diego memijat pelipisnya, kemudia berdecak, "Aku juga nggak tahu. Bisakah kau tanyakan itu pada paman? Dan jangan sampai ayah tahu kalau aku menanyakannya."

"Baiklah, aku lagi di luar, nanti aku kirimi pesan. Memangnya ada apa? Kenapa kau menanyakan ini?"

Bayangan ketiga orang yang ada di pigura ruang kepala sekolah itu muncul sekilas di benak Diego.

"Nggak papa, lakukan saja permintaanku." Ia segera menutup sambungan dan kembali menuju kelas. Diego sudah sangat terlambat masuk ke kelas dan untuk beberapa menit mendengar omelan Joni, guru matematikanya. Diego hanya membisu, juga ketika ditanya kenapa terlambat masuk kelas. Pikiran Diego melayang ke foto yang dilihatnya tadi. 

Kenapa bisa ada foto ayah, Hanggono, dan Pak Dibyo di situ? Apakah mereka berteman dari dulu? Tapi kenapa ayah nggak pernah bercerita tentang Pak Dibyo? Aku mengenal teman-teman ayah, seingatku Pak Dibyo nggak pernah ke rumah atau keluar dengan ayah.

Diego sadar sekarang ia tak mungkin menemukan jawaban dari pertanyaannya. Saat jam pelajaran berlangsung, Diego tidak memperhatikan guru dan hanya sibuk dengan pikirannya saja. Tak lama kemudian, ia merasakan ponselnya bergetar dan diam-diam mengecek ponselnya. Ia membuka pesan dari Rick.

Rick :

Kata ayah iya mereka berteman ketika duduk di bangku kuliah. Kenapa? Ada masalah?

Diego menghela napas panjang. Berarti foto itu diambil ketika ayahnya kuliah. Ayah dan pamannya sering bercerita tentng Hanggono, tetapi kenapa mereka tidak pernah menyinggung Pak Dibyo sama sekali?. Diego mengacak rambutnya dengan kasar.

Di sisi lain, Rissa memperhatikan Diego, ia menatap Diego dengan sendu mengingat Diego memintanya untuk menjauh. Sekarang, iabenar-benar tak bisa menghadapi Diego. Ia tidak dapat memastikan sampai kapan ia bisa bertahan untuk tetap menjauhi Diego, karena bahkan mereka bertemu setiap hari. Rissa merasa takut jika ia tidak bisa bertahan.

******

Diego menghampiri Icha yang sedang berbincang dengan sahabatnya di bangku depan. "Aku ingin bicara sesuatu sama kamu," kata-kata Diego yang tiba-tiba itu membuat Icha sedikit terkejut. Orang yang sudah membuatnya patah hati ingin mengajaknya bicara, hatinya bergejolak, sedikit merasa takut kalau usaha melupakan cowok itu gagal, tapi ia mencoba terlihat tenang.

"Oke. Ada perlu apa?" tanya Icha kemudian. Tanpa banyak bicara, Diego menyambar tangan Icha dan membawanya ke luar. Pandangan Rissa menangkap gerakan mereka, ia memandang mereka sampai menghilang dari pandangan. Rissa menahan rasa sesak di dadanya ketika melihat Diego menggandeng tangan Icha.

"Riss?" May mengalihkan perhatiannya.

"Ya, May?"

Mata May menyipit melihat mata Rissa sembab dan terlihat pucat. May semakin merasa bersalah sudah membuat sahabatnya itu bersedih. Lalu, ia tersenyum samar dan memeluk Rissa. "Maafin aku, Riss. Aku sahabat yang egois. Aku nggak mikirin perasaanmu dan menuruti egoku aja. Aku benar-benar minta maaf."

Rissa membalas pelukan sahabatnya itu, "Nggak kok, May. Harusnya aku yang minta maaf. Aku yang salah karena jarang main sama kalian lagi."

May melepas pelukannya, sekarang, ia melihat Rissa dengan tatapan yang dalam. "Enggak, Riss. Harusnya aku ngerti keadaanmu, bodohnya aku maksa kamu buat cerita semua masalahmu sama kami. Nggak seharusnya aku tambah membebani pikiranmu. Semua orang berhak memiliki privasi."

"Aku juga minta maaf, Riss. Kami udah berburuk sangka sama kamu. Kami pikir, kamu nggak solid lagi. Dan juga kami terlalu khawatir Sama kamu, makanya kami jadi egois," imbuh Karis.

Rissa tersenyum. "Udahlah, itu nggak penting lagi. Jangan dipikirin lagi, aku udah seneng banget kalian mau dukung aku. Aku cuma minta waktu untuk bisa membicarakan masalahku sama kalian, kalian mau kan menungguku?"

Karis dan May memeluk Rissa. Mereka benar-benar merasa beruntung Rissa sudah memaafkan. Veve tersenyum senang melihat ketiga sahabatnya berangkulan dan tertawa bersama lagi.Iya May, Karis. Kalian harus nunggu Rissa cerita. Karena masalah yang dihadapinya kini bukan masalah yang ringan. Aku harap, ketika kalian udah tahu masalah Rissa, kalian bisa mendukungnya walaupun waktu kalian tahu nanti, hal pertama yang akan kalian rasakan adalah syok, kayak yang aku rasakan kemarin, ketika Rissa menceritakan masalahnya sama aku, batin Veve.    

******

Diego mengajak Icha ke belakang gedung utama. Tempat ini jarang dilalui siswa-siswi lain sehingga Diego bisa leluasa mengutarakan maksudnya.

"Cha, aku ingin tanya sesuatu," ujarnya.

"Tanya sesuatu? Tanya apa, Rick?" tanya Icha.

"Dulu, waktu festival kembang api, bagaimana caranya kamu bisa dapat kunci kelas dua belas tiga dari penjaga sekolah?"

"Ha? Kenapa emangnya? Hmm... kalau kukasih tahu, apa kamu akan mengadukanku ke wali kelas?"

Diego menggeleng, "Aku nggak bermaksud seperti itu."

Sesaat, Icha memandang Diego setengah curiga, namun, ia mencoba untuk mempercayainya. Ia melipat tangan di depan dada, "Aku cuma mencoba meyakinkan penjaga sekolah. Aku memohon-mohon nggak jelas gitu, lalu aku memberi mereka beberapa uang dan berjanji nggak akan ada barang yang hilang. Tapi, aku nggak boleh lama-lama meminjamnya karena kalau ketahuan mereka yang bakal dimarahi. Kenapa?"

Diego berpikir sejenak, Kalau kunci ruang kelas aku yakin mudah untuk meminjamnya, tapi penjaga sekolah nggak akan sembarangan meminjamkan kunci ruang kepsek, lagipula nggak ada jaminan mereka punyai kunci cadangannya. Bisa aja hanya ada satu kunci dan selalu dibawa Pak Dibyo?

"Hei? Kenapa, sih kamu? Ditanya malah ngelamun," Icha mengibaskan tangannya di depan wajah Diego.

Diego menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Ya, udah, makasih udah mau jawab pertanyaanku." Diego beranjak pergi, tapi Icha menahannya.

"Kamu kenapa, sih? Aneh banget. Jangan bilang, kamu bawa aku ke sini cuma pengen nanya hal nggak penting itu? Apa sebenarnya yang kamu mau? Pinjem kunci?"

Diego menatap Icha skeptis, kemudian ia mengangguk.

"Kalau kamu mau, aku bisa bantu kok. Memangnya kamu mau pinjam kunci kelas mana?"

"Sebenarnya... aku ingin mendapatkan kunci ruang kepala sekolah, Cha."

Icha membeliak, "Apa?! Kunci ruang kepsek, Rick? Gila aja!" Icha berpikir bahwa Diego bercanda dan bicara ngelantur.

"Ini benar-benar penting, Cha. Aku bakal berterimakasih banget sama kamu kalau kamu mau bantu aku. Apa ada kunci cadangan ruang kepsek yang dipegang penjaga sekolah?"

Melihat kesungguhan Diego, Icha mulai sadar kalau Diego tidak bercanda. "Serius, Rick? Tapi buat apa?"

"Aku harus masuk ke ruang kepsek tanpa diketahui orang lain. Cuma itu yang bisa aku katakan sama kamu. Kamu bisa membantuku mendapatkan kunci ruang kepsek, kan?"

Icha mulai ragu, Kenapa kamu ngotot pengen minjem ruang kepsek, sih? Beresiko tahu, nggak? Aku khawatir sama kamu. Icha takut Diego terkena masalah kalau ketahuan, namun, kekhawatirannya itu tidak bisa ia ungkapkan. Akhirnya ia hanya mengangguk, "Oke, aku bakal berusaha mendapatkan kunci itu dari penjaga sekolah. Nanti, sepulang kegiatan klub, tunggu aku di gerbang depan, ya?"

Diego tersenyum, membuat hati Icha berdegup kencang, ia sadar masih menyukai cowok di hadapannya ini dan tak bisa melupakan Diego. Diego mengacak rambut Icha, "Iya. Terimakasih banyak."

Icha tidak bisa menahan degup jantungnya yang semakin cepat, ia harus segera pergi atau ia tidak akan bisa melupakan Diego, "Aku duluan, ya." Icha berlari meninggalkan Diego.

Senyum Diego menghilang, ia mengambil ponsel dan melihat sekali lagi pesan yang dikirimkan Rick padanya, yang belum sempat dibalasnya.

Rick :

Kata ayah iya mereka berteman ketika duduk di bangku kuliah. Kenapa? Ada masalah?

Jari Diego mulai ketak ketik membalas pesan Rick.

Ada misi penyelidikan yang harus aku lakukan. Jangan beritahu siapa pun.

******


Hai haii... lama aku nggak update. hehe. Wattpad sering error sih, jadi males buat revisi dan publish. //digampar reader

Aku harap kalian paham alur ceritanya, ya. hehe.. Teman-teman sekolah Diego kan belum tahu Diego yang sebenarnya, jadi mereka manggilnya tetep Rick, tapi di narasi diceritakan bahwa yang melakukan adegan adalah Diego. Kalau masih belum paham, bisa tinggalkan komen. Kalau kalian menemukan kalimat yang nggak ada spasinya, komen juga ya biar aku revisi.

Btw, ada yang penasaran sama kelanjutannya nggak? Kalau ada, aku bakal up cepet, hehe.. See you di next part. Babayy..


Magic Forest

19 Januari 2018 (republish)

11:10

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro