BAB 29 : Perkelahian (Part 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalian mau jadi berandalan di sekolah sendiri?!" bentak Dibyo kepada dua orang muridnya yang berdiri di depannya, wajahnya memerah karena marah. Di depannya, Diego dan Ivandito berdiri dengan balutan perban di tubuhnya yang terluka. 

"Kalian sudah bosan sekolah?! Kalau memang begitu, langsung saja angkat kaki dari sini, tidak perlu berbuat hal yang memalukan seperti ini. Saya benar-benar kecewa dengan kalian! Setelah tawuran di luar sekolah, sekarang mau adu jagoan di sekolah ini, ha?!"

Diego dan Ivandito hanya menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. "Kamu, Rick! Kamu termasuk murid baru di sini, tapi kenapa kelakuan kamu seperti ini? Sudah merasa jadi jagoan di sini?" Dibyo berhenti sejenak untuk menarik napas panjang, "selama seminggu ini, selesai jam pelajaran kamu tidak boleh langsung pulang ke asrama, tapi harus membersihkan semua toilet laki-laki di gedung utama. Dan karena sudah merusak properti sekolah, saya akan mengirim surat pemberitahuan dan surat peringatan yang pertama kepada orang tuamu. Mengerti?" kata Dibyo diikuti anggukan kepala Diego.

Pandangan Dibyo beralih ke arah Ivandito, "Dan kamu Ivandito, sudah berapa kali saya memanggilmu ke ruangan ini karena berkelahi? Berapa kali saya menghukummu pun kamu tidak kapok padahal sebentar lagi kamu akan menghadapi ujian kelulusan. Jangan berpikir kamu akan bebas dari hukuman karena kamu anak dari wakil dewan sekolah. Kali ini terpaksa kamu diskorsing dan jangan harap kamu bisa ujian semester tepat waktu."

Perkataan Dibyo membuat Ivandito dan Diego terkejut. "Maaf, Pak. Saya yang salah, saya yang telah memukul Ivandito habis-habisan. Tapi dia tidak pernah melawan saya, dia tidak membalas pukulan saya satu pun. Lihat, Pak. Saya tidak terluka sama sekali, adapun luka di tangan saya itu memang karena saya sengaja memukul kaca jendela lorong sampai pecah. Bapak bisa menanyakan pada teman-teman lain yang melihat kami berkelahi. Tidak adil kalau saya hanya diberi hukuman ringan dan Ivandito harus diskorsing sampai ujian semester nanti."

Dibyo tersenyum kecut. "Beberapa waktu lalu dengan rasa marah yang besar kau memukul Ivandito sampai babak belur bahkan di hadapan teman-temanmu yang lainnya. Bukannya kau sangat membencinya, heh? Sekarang di hadapan saya, kau malah melarang saya memberi hukuman skorsing. Bukannya seharusnya kau senang?"

Diego tersenyum, "Anda salah, Pak. Saya memang membenci Ivandito dan saya merasa puas sudah membuatnya babak belur. Tapi saya merasa ini tidak adil kalau lawan saya yang sudah kalah karena tidak melawan ini harus diberi hukuman yang lebih berat daripada hukuman saya."

Dibyo memperhatikan Diego, tidak ada rasa penyesalan dalam sorot matanya. "Benar kau tidak melawan sama sekali?" tanya Dibyo kepada Ivandito, Ivandito mengangguk, "Saya tidak tahu apa masalah Rick. Tiba-tiba dia menyerang saya tanpa ampun, Pak."

Dibyo menatap Ivandito dan Diego bergantian. "Baiklah. Kau boleh keluar dan jangan terlibat masalah lagi. Kali ini kamu saya biarkan," kata Dibyo kepada Ivandito. Ivandito mengangguk dan segera keluar ruangan.

Begitu keluar dari ruang kepsek, Ivandito disambut Justindan Bryan yang langsung memberinya air mineral dan kompres luka. "Kamu nggak papa, Van?" tanya Bryan. Ivandito hanya mengangkat tangannya, seakan berkata 'tidak apa-apa dan jangan mengajakku bicara'. Ivandito menolak Bryan dan Justin yang berusaha membantunya berjalan. Sambil mengompres lukanya, pikiran Ivandito melayang kebeberapa hari sebelumnya, saat Diego memintanya untuk bertemu.

-Flashback-

Diego dan Ivandito bertemu di Cool Cafe. Raut wajah mereka menunjukkan bahwa apa yang mereka bicarakan penting.

"Sebenarnya nggak usah repot-repot ngajak ketemuan kayak gini lah, bilang aja langsung kalau butuh bantuan. Aku dan anggota yang lain pasti siap membantumu, Rick. Tapi mengenai permintaanmu itu apa aku nggak salah denger? Kenapa kau pengen banget dihukum guru sepulang sekolah? Di saat semua murid menghindari hukuman yang merepotkan itu kau malah pengen dihukum. Gila!"

"Aku pengen dapat hukuman bukan berarti aku menyukainya, aku cuma pengen ada di sekolah waktu sekolah udah sepi. Bersihin kelas, menyapu halaman, apalah itu. Yang penting aku bisa berada di sekolah meskipun sekolah udah bubar tanpa dicurigai."

"Tapi Rick, setiap Selasa dan Sabtu kan ada ekstra. Meskipun jam belajar udah selesai, kita masih bisa keliaran di sekolah. Kenapa harus nyari perkara?" tanya Justin.

"Nggak mungkin hari itu. Kita ada kegiatan klub, banyak orang di area sekolah. Ada suatu hal yang pengen aku lakukan sendirian, saat sekolah benar-benar sedang sepi."

"Gitu, ya?" Ivandito mengangguk samar dan berpikir sejenak, kemudians eakan menyadari sesuatu, senyumnya mengembang. "Sebenarnya aku punya ide yang lebih bagus daripada rencanamu bikin onar di kantin. Tapi ya... selalu ada konsekuensi melelahkan."

"Apa itu?"

"Jadigini, aku sudah beberapa kali melakukan ini dan hukuman dari Kepsek selalu sama, yaitu membersihkan toilet cowok sepulang sekolah. Tertarik?" 

-Flashback End-

"Kayaknya sukses, nih, Van," kata-kata Justin mengaburkan lamunan Ivandito. Ivandito tersenyum miring, Semoga beruntung, Rick.

****

Diego menggosok-gosokkan kain pel di lantai toilet cowok. Rencananya berhasil, keadaan sekolah sedang sepi dan ia bebas melakukan hal yang dia mau sampai sore hari. Diego memperhatikan keadaan sekitar, setelah merasa aman, ia membereskan peralatan pelnya, menyambar tas, dan bergegas keluar.

Sambil sesekali melihat keadaan sekeliling, ia melangkah cepat menuju ruangan yang ia incar. Diego melewati lorong lantai satu dengan cepat dan berhenti di depan ruangan paling ujung, ruang dengan pintu bertuliskan 'Kepala Sekolah'. Diego membuka pintu ruangan itu dengan kunci yang sudah ia dapatkan dari Icha kemudian masuk ke dalam. Tak sesuai dengan perkiraannya, ruangan itu gelap dan selama beberapa waktu ia harus membiasakan penglihatannya di ruangan itu.

Ia mengambil ponsel dari saku dan menyalakan senter, kemudian dengan perlahan menuju meja kerja kepsek. Selama beberapa waktu ia mencari sesuatu di atas meja dengan bantuan senter dari ponsel.

"Ini dia," bisiknya setelah menemukan apa yang dia cari. Diego mengambil salah satu pigura foto dan memasukkannya ke dalam tas. Pandangannya kemudian beralih ke laci meja, Diego berpikir sejenak kemudian membuka laci itu dan mengacak-acak isinya.

Belum lama ia mengacak-acak laci itu, tiba-tiba lampu menyala dan ia melihat Dibyo berdiri di dekat sofa tamu dalam ruangan. Diego terhenyak.

Sejak kapan dia di situ?

"Wah, wah, wah. Kenapa kau ada di ruanganku, Rick? Bukannya seharusnya kau ada di toilet laki-laki?"

Diego tercekat, ia menelan ludah dengan susah payah. Ia sudah tertangkap basah, "Saya... saya..."

"Saya tidak suka ada orang yang masuk tanpa izin ke ruangan saya. Oh, ya, saya minta kembalikan foto yang ada di tasmu itu ke tempatnya!"

Diego terdiam, kemudian perlahan membuka tasnya dan mengembalikan foto yang sudah diambilnya ke atas meja. Dibyo mendekati Diego perlahan. Merasa terintimidasi dan tidak mau masalah semakin panjang, Diego segera meminta maaf, "Maafkan saya, Pak. Saya-"

"Bagaimana bisa kau dapat kunci ganda ruangan ini?"

Diego bergeming.

"Kenapa kau mengambil foto itu?" Melihat Diego yang tetap terdiam, Dibyo duduk di meja kerjanya, "serahkan kunci itu padaku." ujarnya. Diego menurut, ia menyerahkan kunci ganda ruang kepsek kepada Dibyo.

"Saya akan menganggap kejadian ini tidak pernah terjadi, sekarang pergilah."

Diego melirik Dibyo sejenak, kemudian melangkah perlahan ke arah pintu. Langkahnya terhenti ketika ia berada kurang satu langkah lagi mencapai pintu, kemudian berbalik memandang Dibyo yang ternyata masih mengawasinya. Ia mendekat sampai berhadapan dengan Dibyo.

"Saya tidak akan menutupi tujuan saya lagi, Pak. Saya memang berniat mencuri foto itu."

Dibyo tertawa pendek, "Kenapa kau ingin mencuri sebuah foto?"

"Karena saya penasaran bagaimana hubungan Anda dengan kedua orang yang ada di foto itu."

Dibyo tertawa keras mendengar alasan Diego, "Kalau cuma itu kau tak perlu repot-repot mencuri, kau bisa bertanya langsung padaku. Mereka hanya teman lamaku. Harvian Hendrata dan Hanggono Liem."

Sudah kuduga mereka dulu berteman baik. Tapi kenapa aku dan Rick tidak pernah mengenal pak Dibyo? Setahuku, pak Dibyo juga nggak pernah menjenguk ayah waktu di penjara. Berarti mereka tidak berteman baik sekarang? Apakah berakhirnya pertemanan itu ada hubungannya dengan Hanggono? Diego larut dalam pikirannya sendiri. Tiba-tiba muncul pertanyaan-pertanyaan di benaknya yang membuatnya tambah penasaran.

"Di antara mereka pasti ada yang kau kenal, kan?" tanya Dibyo mengaburkan pikiran Diego.

Diego menghela napas menenangkan diri, ia harus memutar otak agar Dibyo tak curiga, "Saya tidak yakin, Pak. Mungkin saya salah mengenali, mereka mirip dengan kerabat ayah saya. Awalnya saya hanya ingin menunjukkan foto itu kepada kerabat ayah saya agar saya mudah untuk bertanya padanya kalau menunjukkan foto, karena itu saya ingin mengambilnya. Saya minta maaf, Pak. Bolehkah saya pulang sekarang, Pak?"

Dibyo tersenyum ragu, "Begitukah? Baiklah, kau boleh pulang dan jangan berbuat nakal lagi."

Diego mengangguk, "Permisi, Pak." Ia berbalik menuju keluar.

"Datang saja ke rumahku. Ada hadiah kecil dariku untukmu. Aku tidak memaksa, itupun kalau kau ingin memuaskan rasa penasaranmu itu."

Diego menghentikan langkah selama beberapa detik, Hadiah? Apa maksudnya? kemudian ia melangkah keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang.

Dibyo menyeringai, Bagaimana bisa aku terkecoh dan hampir tak mengenali anakmu sendiri, Hendra. Dibyo melirik foto ayah Diego di atas mejanya,tenang saja, aku akan memberikan hadiah istimewa yang tak pernah ia bisa dapatkan dari siapapun. 

****

Ivandito - Diego kompak banget ya :p dan hadiah apa yang dimaksud Dibyo? Jawabannya ada di bab selanjutnya. Vote deh, update cepet atau enggak nih? :p

Oh ya, buat penggemar Mario Maurer dan Masahiro Higashide, baca karyaku : Jewel In The Kings Heart. Castnya mereka loh... thank you and see ya...

Magic Forest

19 April 2018 (Republish)

21:23

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro