BAB 30 : Kisah Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sial!!!"

Bunyi benda jatuh dan pecah memenuhi kamar Diego. Ia melempar ganas apapun yang bisa ia raih. Jam beker, pajangan keramik, buku, botol parfum, benda-benda lain yang berada di atas meja. Kini kamarnya terlihat seperti kapal pecah, membuatnya semakin frustasi, namun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk meredakan kemarahannya.

Ia berhenti melempar, lalu menatap nanar telapak tangannya yang masih terbalut perban. Diego menggerak-gerakkannya membuka dan menutup, rasa perih dan nyeri di tangannya masih terasa, ditambah perih dan nyeri di hatinya. Terbesit bayangan Ivandito yang sudah dihajarnya dan Icha yang membantunya mendapatkan kunci ruang kepala sekolah.

Apa yang udah kulakukan? Aku melibatkan orang lain terlalu jauh demi keuntunganku sendiri.

Diego merasa bersalah, perasaannya kini campur aduk. Ivandito terluka untuk membantunya dan Icha bisa terlibat masalah kalau ketahuan mendapatkan kunci duplikat ruang kepala sekolah. Diego marah pada dirinya sendiri. Di tengah kegamangannya, kata-kata Dibyo terakhir kali tiba-tiba terngiang di kepalanya. "Datang saja ke rumahku. Ada hadiah kecil dariku untukmu. Aku tidak memaksa, itupun kalau kau ingin memuaskan rasa penasaranmu itu."

Kenapa kemarin dia bilang begitu? Buat apa dia menyuruhku ke rumahnya segala? Dan sikapnya itu sangat aneh. Apa dia tak terlalu mudah meloloskanku? Padahal aku sudah tertangkap basah masuk ruangannya dan mencuri.

Diego mengambil ponselnya, jarinya sibuk ketak ketik selama beberapa saat ketika ia mendengar kedatangan seseorang dan tak lama mendengar suara Romi di ruang tamu yang sedang berbincang di lantai bawah.

"Direktur Liem Corp belum sadarkan diri dan sekarang masih berada di rumah sakit. Tapi kemungkinan dia menyetujui sangat besar, jadi kita siapkan saja dokumennya."

Diego turun dan melihat Romi dengan seorang lelaki berpakaian jas rapi di ruang tamu. Romi menyadari kedatangannya, "Loh? Mas Diego pulang?" ujar Romi, "kebetulan ada mas Diego. Ini adalah Pak Wira, notaris yang nanti akan mengurus penjualan aset Pak Hanggono."

Kening Diego berkerut, Jadi, rencananya sudah dijalankan, ya.

Perhatian Romi beralih kepada Wira, "Dia adalah Diego Adi Hendrata, anak dari Pak Hendra, kebetulan sekali jadi kita bisa langsung diskusi bersama. Sayangnya, Pak Hendra tidak bisa hadir karena kepentingan kantor dan Pak Hanggono masih di rumah sakit."

Diego terhenyak, "Dia belum keluar dari rumah sakit?"

"Belum. Beliau masih belum sadar."

Bayangan Rissa terlintas di benaknya, Dia pasti sedih, batinnya. Sedetik kemudian ia merasakan getaran ponselnya di saku. Diego mengambilnya lalu membaca pesan yang diterimanya selama beberapa detik.

"Baiklah, bisa kita mulai?" suara Romi mengalihkan perhatian Diego.

"Maaf, saya nggak bisa, mungkin lain kali saja," ujar Diego sambil berlalu, tidak peduli dengan kedua orang yang ditinggalkannya menatap keheranan.

*****

Diego berjalan cepat melewati lorong-lorong rumah sakit dan berhenti di depan pintu salah satu ruangan dengan papan bertuliskan 'Hanggono Liem' di dekat pintu. Pintu ruangan itu terdapat jendela kaca kecil, cukup untuk melihat keadaan di dalam. Ia bisa melihat Rissa yang sedang menangis sambil menggenggam tangan Hanggono. Ada rasa ngilu di hatinya melihat gadis yang ia cintai menangis. "Maaf," bisiknya.

Diego tersentak ketika Rissa mulai bangkit dan menuju ke pintu. Diego dengan cepat menyingkir dan bersembunyi di tikungan lorong rumah sakit. Rissa keluar ruangan dan menyandarkan diri di tembok dekat pintu selama beberapa saat, kemudian tubuhnya merosot ke bawah dan pundaknya terguncang seiring dengan tangisnya yang pecah.

"Ayah, Ayah..." Ia memeluk kaki dan membenamkan kepalanya. Diego hanya bisa menahan diri untuk tak memeluk gadis itu. Hatinya semakin terluka ketika ia sadar bahwa penyebab gadis itu hancur adalah dirinya. Diego menghela napas panjang untuk meredakan sesak di dadanya, kemudian pergi meninggalkan tempat itu.

*****

"Nak Rissa?"

Suara seorang lelaki membuat Rissa mengangkat kepalanya, sejenak ia merasa linglung dengan melihat sekeliling. "Kenapa Rissa duduk di lantai?"

Rissa bangkit berdiri, ia juga tidak yakin sudah berapa lama meringkuk di depan ruangan ayahnya. Ia bergerak rikuh, "Pak Lubis? Silakan masuk."

Lubis tersenyum dan mengangguk.

"Bagaimana keadaan Pak Hanggono?" tanya Lubis sesaat setelah duduk di samping bangkar Hanggono.

"Kata dokter jantung ayah sudah membaik, tapi entah kenapa ayah belum juga sadar. Saya hanya bisa menunggu."

"Pasti sebentar lagi Pak Hanggono siuman. Nak Rissa jangan khawatir."

"Terima kasih sudah datang menjenguk ayah. Bagaimana kabar Bapak sendiri dan juga Pak Roger?"

"Kami baik-baik saja. Mungkin sebentar lagi Pak Roger akan datang kemari."

Rissa mengangguk samar, kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Hanggono. "Pak, apa saya boleh bertanya sesuatu kepada Pak Lubis?"

Kedua alis Lubis tertarik ke atas, "Tentu."

"Tentang Ayah. Selama ini yang saya tahu, ayah baik-baik saja. Tapi kenapa tiba-tiba Ayah kena serangan jantung? Pak Anwar bilang ia hanya kecapekan, tapi saya tahu kalau ada yang sedang disembunyikan. Saya merasa kejadian ini begitu tiba-tiba, ayah selalu hidup sehat dan tidak pernah makan sembarangan. Saya tidak tahu harus bertanya kepada siapa lagi. Sebenarnya apa yang terjadi, Pak? Apa Bapak tahu sesuatu yang membuat ayah kolaps?"

Lubis melihat mata Rissa berkaca-kaca. Tiba-tiba ia teringat kemarahan Diego, bahwa anak-anak tak sepantasnya terlibat dengan pertikaian orang tua. Dari lubuk hatinya, ia juga merasa sedih melihat anak yang tidak terlibat apapun menanggung akibat perbuatan orang tuanya.

"Hmm... sebenarnya perusahaan ayahmu sedang dirundung masalah. Pak Hanggono sudah menempuh perjalanan ke luar negeri beberapa kali untuk menyelesaikan masalah itu. Namun, sepertinya hasilnya tidak sesuai dengan harapan dan berakibat fatal untuk Liem Corp. Perusahaan ayahmu terancam bangkrut dan dalam waktu dekat ia harus menjual semua aset perusahaannya."

Rissa terkejut. Seberat itu permasalahan yang dihadapi ayahnya, tapi ia tidak pernah menceritakan itu kepadanya. Tangis Rissa tak bisa dibendung. "Kenapa Ayah nggak pernah cerita sama Icha? Kenapa Ayah cuma diam dan menanggung semua sendirian?"

"Sudahlah, Rissa, yang penting sekarang adalah kesembuhan Pak Hanggono dulu, jangan memikirkan perusahaan. Biar rekan bisnis dan karyawan kepercayaan ayahmu yang akan mengurusnya."

"Terimakasih Pak Lubis. Anda adalah orang yang sangat baik."

Lubis tersenyum untuk menyembunyikan rasa bersalahnya, Maafkan kami. Kami tak sebaik yang kaupikirkan, Nak, batinnya.

"Yakinlah Pak Hanggono pasti segera sembuh. Nak Rissa harus banyak berdoa, kesembuhan-"

Kata-kata Lubis terpotong tatkala terdengar bunyi pintu ruangan dibuka, Rick muncul disusul dengan Hendra.

"Sudahlah, Lubis. Berhenti berbasa-basi. Rissa, perusahaan ayahmu itu sudah bangkrut dan akulah orang yang akan membeli aset perusahaan Hanggono."

"Pak Roger?" Rissa tampak terkejut dengan kehadiran Hendra dan Rick. Ia menatap Lubis, Rick, dan Hendra bergantian. "Apa maksud Pak Roger?"

Lubis menghampiri Hendra, "Mas Hendra, ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya di depan Rissa, ia masih terguncang dan-"

"Diamlah, Lubis! Sebaliknya, ini adalah waktu yang sangat tepat setelah bertahun-tahun," Perhatian Hendra teralih ke arah Rissa yang masih tampak terkejut, "kamu harus siap mendengarkan apa yang akan aku katakan."

Rick melirik Lubis, Lubis menggeleng samar. Rick tahu apa yang akan dikatakan pamannya itu, ia tidak tega melihat Rissa dan tidak bisa membayangkan hancurnya hati gadis itu ketika mendengar apa yang dikatakan pamannya. Namun, Rick tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sebenarnya akulah yang menghancurkan perusahaan Hanggono," ujar Hendra.

Rissa terpaku mendengar ucapan Hendra, "Ma-maksud Bapak?"

"Ya, Rissa. Aku mempunyai dendam masalalu yang sudah lama ingin aku lampiaskan. Aku, Lubis, Diego, dan Rick juga terlibat. Keruntuhan Hanggono lah yang kami tunggu-tunggu dan sekarang sudah terwujud." Hendra tertawa keras.

Rissa merasa seakan ia tak dapat menopang tubuhnya sendiri, ia limbung dan berpegangan pada bangkar ayahnya. Ia memandang Lubis yang menggeleng lemah, kemudian Rick yang langsung membuang tatapan ke arah lain.

"Kenapa?" tanyanya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.

"Karena Hanggono sudah mengambil perusahaanku dan membunuh ibu Diego, istriku, dua belas tahun yang lalu," ujar Hendra.

Sekali lagi Rissa seperti disambar petir, hatinya kacau tak karuan. Apa? Membunuh ibu Diego? air mata mengalir deras di pipinya. "Nggak mungkin! Apa yang Bapak bicarakan? Ayah nggak mungkin membunuh! Dia bukan pembunuh!" tangisnya pecah.

"Suka atau tidak, percaya atau tidak, memang itu kenyataannya. Ironisnya, kamu akan menjadi calon tunangan Diego. Anak dari orang yang telah membuat Ayahmu seperti ini."

Rick mengepalkan tangannya, ia benar-benar tak tega melihat Rissa sesedih itu.

"Sudah cukup, hentikan Hendra."

Semua pandangan beralih pada Hanggono yang terbaring lemah. Mata Hanggono terbuka. "Ayah!" Rissa beranjak, kemudian menggenggam tangan ayahnya.

"Aku tidak pernah merebut perusahaanmu... aku juga tidak membunuh istrimu," kata Hanggono dengan napas yang tersengal-sengal.

Hendra tertawa remeh, "Sudahlah, Hanggono! Jangan mengelak lagi. Aku ingin kau bicara yang sejujurnya di depan anakmu ini. Lalu kita akhiri ini dengan hal yang paling membuatmu takut, jatuh miskin. Oh ya, satu lagi, aku akan mengambil hartamu yang paling berharga yaitu anakmu. Supaya kau tahu rasanya kehilangan seseorang yang berarti bagimu!!" bentak hendra.

"A-aku... sudah bicara jujur." Air mata Hanggono mengalir, "selama ini kau sudah salah paham padaku... demi Tuhan, aku tidak membunuh Jihan, aku berani bersumpah atas nama anak dan istriku."

"Ayah, hentikan. Sudahlah ayah, jangan memaksakan diri." Rissa mengatupkan tangan memandang Hendra, "saya mohon, biarkan ayah saya sembuh dulu."

Hanggono mengangkat tangannya dan mengangguk samar. "Tak apa, Nak."

"Hentikan bualanmu! Berhenti bicara omong kosong. Kau tahu? Saat ini aku sedang menahan diri untuk tak membunuhmu di sini! Jadi, berhentilah membela diri dan akuilah kesalahanmu, Hanggono!!"

"Dibyo... Dibyo adalah orang yang bertanggung jawab... atas kasus dua belas tahun lalu," Hanggono menarik napas panjang, dengan tenaga yang masih lemah, Hanggono berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya, "demi Tuhan aku tidak berbohong, Hendra."

"Apa?" Hendra menarik rambutnya dengan frustasi, nuraninya mulai meragu, "kau tak bisa menyalahkan orang lain, Hanggono."

"Dia memberitahuku tentang Diana dan aku begitu marah padamu... aku mengikuti rencananya menyelinap masuk ke rumah sakit di mana istrimu dirawat... karena dia bilang dia ingin menanyakan langsung kepada istrimu tentang Diana. Aku membiarkannya masuk ke ruangan istrimu... tak kusangka saat aku menyusulnya masuk ke ruangan istrimu, alat bantu pernapasan Jihan sudah terlepas dan aku tak melihat Dibyo."

"Tidak! Tidak mungkin! Aku melihatmu menyelinap keluar dari rumah sakit saat kejadian itu terjadi dan aku tidak melihat Dibyo."

"Aku tidak tahu bagaimana cara Dibyo kabur. Aku juga tak menyangka bahwa setelah itu kau yang malah dituduh membunuhnya dan menggelapkan uang perusahaan mertuamu."

"Tidak! Bohong! Jangan berbicara omong kosong untuk menyelamatkan dirimu sendiri!"

"Maafkan aku. Kami memang bekerja sama menghancurkan perusahaanmu. Tapi, aku menyesali semuanya setelah tahu tentang pembunuhan itu dan kau yang jadi korban... aku mohon, percayalah. Maafkan aku karena aku bungkam dan membiarkan mereka memenjarakanmu. Aku benar-benar menyesal." Air mata membasahi wajah Hanggono.

Lubis, Rick, dan Hendra berdiri terpaku setelah mendengar pengakuan Hanggono. Semua sungguh sulit dipercaya. Hanggono melepas oxigen mask-nya dan mencoba bangkit dari tempat tidur, Rissa membantunya. Dengan susah payah, Hanggono turun dari bangkar dan berlutut di hadapan Hendra. "Kau lebih mengenalku, aku juga menyayangi Jihan, ia sudah seperti adikku sendiri... aku juga kehilangan istriku, mana mungkin aku melakukan hal keji itu? Ingat kisah masalalu kita, Hendra."

"Tidak, Hanggono! Aku tak akan mempercayaimu!" Hendra terlihat semakin murka, tangannya mengepal dan wajahnya memerah.

"Percayalah padaku, Hendra. Aku rela berlutut selama yang kau inginkan, asalkan kau bisa memaafkanku dan membebaskan keluargaku dari dendammu," tangis Hanggono semakin keras.

Hendra menitikkan air mata mengingat wajah istrinya, tapi ia buru-buru menghapusnya. "Baiklah! Berlututlah selamanya karena sampai kapan pun aku tak akan memaafkanmu. Kutunggu kau secepat mungkin dan tandatangani penjualan asetmu!" Hendra berbalik dan meninggalkan ruangan, Lubis dan Rick mengikuti Hendra. Tinggalah Rissa dan Hanggono dengan perasaan pilu.

*****

Diego menghentikan motornya di depan sebuah rumah bergaya Eropa berlantai dua. Ia mengambil ponsel dan melihat pesan yang dikirmkan Ivandito kepadanya, sebuah alamat. Ia mengamati rumah itu dan matanya menangkap papan nomor rumah di samping pintu pagar.

Benar, ini adalah rumah Pak Dibyo.

*****


Magic Forest

29 April 2018 (Republish)

23:37


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro