BAB 31 : Kebenaran yang Terlewatkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Diego membuka pagar pendek rumah Dibyo yang tidak dikunci dan bergegas masuk. Ia mengamati rumah berlantai dua bergaya Eropa yang cukup mewah itu. Rumah Dibyo dominan dengan cat putih dengan banyak jendela panjang.

Bagus juga seleranya, batin Diego dalam hati.

Diego hanya menekan bel pintu sekali dan tak lama pintu rumah itu dibuka dari dalam. Seorang wanita kurus paruh baya muncul dengan wajah berseri ketika melihat Diego. Rambut wanita itu hampir berwarna putih seluruhnya, keriput di wajahnya semakin jelas terlihat saat ia menyunggingkan senyum.

"Pak Dibyo sudah menunggu Anda."

Alis Diego tertarik ke atas seiring dengan benaknya yang bertanya-tanya. Wanita itu mempersilakan Diego masuk.

"Tunggu di sini sebentar, saya akan memberitahu Pak Dibyo," ujar wanita itu sambil berlalu. Diego melihat sekeliling isi rumah Dibyo, sesuai dugaan Diego bahwa Dibyo mempunyai selera yang bagus. Rumah Dibyo lumayan besar, rapi dan penuh perabotan antik. Tapi ia merasa heran di rumah sebesar itu terlihat sepi. Tidak ada tanda-tanda ada keluarga Dibyo selain wanita tua tadi.

Ia mulai berkeliling, kemudian pandangannya menyapu foto-foto yang dipajang di dinding. Kebanyakan foto-foto kegiatan Dibyo memancing, main golf, dan acara-acara yang dihadirinya. Matanya menyipit ketika ia menemukan foto Dibyo bersama dengan seorang wanita yang duduk di kursi roda dengan tersenyum.

Apa ini istrinya?

"Silakan ikut saya, Pak Dibyo menunggu di ruangannya." Suara wanita tua yang tadi meninggalkannya mengalihkan perhatian Diego. Wanita itu membukakan pintu sebuah ruangan dan dengan sekali lihat, Diego menemukan Dibyo sedang duduk bersandar di belakang meja kerja.

"Aku sudah menunggumu sejak tempo hari. Kukira kau tidak tertarik dengan kata-kataku waktu itu," kata lelaki setengah baya yang brewok itu.

Diego memandangnya dengan tatapan bertanya, "Apa maksud Bapak tempo hari?"

Dibyo tertawa keras hingga membuat tubuhnya berguncang, "Ayolah, Nak. Jangan terlalu serius dan to the point. Mari kita minum teh dulu."

Diego merasa tak nyaman dengan sikap Dibyo. "Bukannya Bapak bilang Bapak sudah menunggu saya datang ke sini? Saya tidak ingin berlama-lama berada di sini."

Dibyo berdecak, dilihatnya Diego yang menatapnya serius. "Kau tahu? Keangkuhanmu dan sikap tak sopanmu itu mengingatkanku pada seorang yang kukenal." Dibyo bangkit dan menuju sofa yang tak jauh darinya, menuangkan teh ke dalam gelas kemudian menenggaknya. Diego tetap pada posisinya, namun, matanya mengekori Dibyo.

"Kau benar-benar mirip dengannya, bahkan aku sempat berpikir bahwa tatapan tajammu itu juga mengingatkanku padanya."

Diego semakin heran dengan sikap Pak Dibyo, "Maaf, Pak kalau saya tidak sopan. Pastinya Bapak sangat sibuk. Saya tidak ingin membuang waktu Bapak."

Dibyo tersenyum kecut, "Baiklah. Tapi pertama-tama, duduklah di sana dan mari kita mengobrol." Dibyo menunjuk sofa di hadapannya. Diego menurut.

"Teh?" Dibyo mengangkat gelasnya, Diego menggeleng pelan. Dibyo menyeringai, "Sudah penasaran dengan hadiah yang kusiapkan, heh?" tanyanya. Diego semakin tak nyaman dengan sikap dan cara Dibyo menatapnya, seakan mendapati tikus yang masuk ke dalam perangkap.

"Sebelum itu, aku akan menanyakan satu hal padamu. Apa kau merasa mempunyai kesalahan hingga aku memanggilmu ke sini?"

"Ya. Saya sudah masuk ruangan Bapak tanpa izin."

"Hanya itu?"

Diego semakin heran, "Setahu saya... ya," katanya sedikit ragu, ia memikirkan kesalahan apa lagi yang diperbuatnya, tapi ia tak menemukannya.

"Benarkah? Baiklah aku akui kau sudah salah masuk ruanganku tanpa izin. Tapi ada kesalahanmu yang lebih besar dari itu, Rick. Oh, bukan! Aku akan memanggilmu dengan nama aslimu, Diego Adi Hendrata."

Diego merasa seperti disambar petir. Gimana dia bisa tahu identitasku? Ia bergeming dan hanya terpaku menatap Dibyo yang puas sudah menangkap basah lagi.

"Terkejut?" Dibyo tertawa, "awalnya aku juga terkejut setelah mengetahui kebenaran ini. Tapi setelah kulihat-lihat, wajahmu mirip sekali dengan ibumu." Dibyo berhenti sejenak untuk menuangkan teh ke dalam gelasnya, "Awalnya aku tak curiga. Setelah bertemu beberapa kali dengan Lubis yang kau akui sebagai ayahmu itu, aku yakin bahwa dia dalah orang yang sama dengan orang yang kukenal pada masa kuliahku dulu. Aku mengenalinya sebagai adik dari Harvian Hendrata. Aku mencari informasi tentangnya dan tak sengaja menemukan fakta kalau ia tak punya anak yang masih SMA." Dibyo meminum tehnya sampai habis.

"Jadi Bapak memata-matai kami?"

"Istilah memata-matai terdengar sangat berlebihan. Aku hanya ingin tahu keadaan Hendra setelah keluar dari penjara, ternyata selain aku mendapat kabar Hendra, aku juga mendapat informasi tentangmu. Kau cukup pintar mengubah semua dokumen sekolahmu bahkan kartu identitas untuk bisa masuk Saint Sirius. Aku sampai mendatangkan ahli untuk memeriksa berkasmu."

Diego tidak berkata apa-apa, ia tetap diam sambil terus bersikap waspada karena Dibyo mulai membuatnya terintimidasi.

"Setelah aku selidiki ternyata kalian menyuap petugas administrasi sehingga kau bisa lolos tanpa mendaftarkan nomor induk siswamu. Aku seakan masih tak percaya hingga aku menghubungi sekolahmu di Semarang. Tidak ada nama Richardo Wijaya. Aku langsung berpikir cepat menanyakan apakah ada murid bernama Diego Adi Hendrata, akhirnya jawabannya kutemukan. Bahkan bisa dibilang informasi yang kudapat lebih dari sekedar yang kubutuhkan, bahwa Diego Adi Hendrata tidak masuk sekolah selama beberapa bulan. Orang tuanya meminta izin untuk membawa Diego ke luar negeri sehingga ia tidak akan masuk sekolah dalam waktu yang lama," terang Dibyo panjang lebar.

Merasa tak ada tanggapan sama sekali, Dibyo menatap tajam ke arah pemuda di hadapannya itu, "Apa kau tahu hukuman Negara untuk orang yang memalsukan identitas? Bahkan kau sudah masuk ke instansi sekolah dengan identitas palsumu. Lebih baik kau segera mengurus itu sebelum pihak sekolah melaporkanmu kepada polisi."

"Kenapa Bapak tidak langsung melaporkan saya kalau sudah tahu sejak lama? Tidak mungkin Anda memancing saya ke sini tanpa tujuan, apa yang Bapak inginkan?" tanya Diego.

Dibyo tertawa lebar, bagaimana bisa Diego tak ada rasa takut sama sekali, "Pintar, instingmu sangat tajam. Aku sudah memberitahumu kalau aku, Hanggono dan ayahmu adalah teman lama. Jadi, aku juga tahu semua perbuatan kalian terhadap Hanggono sekarang. Dan sepertinya aku akan berterima kasih pada kalian, karena kalian mempercepat rencanaku, aku tidak perlu mengotori tangan untuk membunuh Hanggono." Dibyo bangkit, berjalan mondar-mandir.

Diego semakin tidak mengerti arah pembicaraan mereka, "Apa maksud Bapak? Apakah Anda juga membenci Hanggono?"

Dibyo tersenyum, "Bisa dibilang aku tidak membencinya, aku hanya ingin menyingkirkannya. Dia orang yang serakah, dia bersikap sombong padaku, padahal akulah yang membawanya pada kesuksesan."

Alis Diego terangkat, "Membawa pada kesuksesan?"

"Ya. Apa kau pikir kekayaannya saat ini adalah murni hasil kerja kerasnya?" Dibyo menggeleng, "ada campur tanganku."

"Saya semakin tidak mengerti."

"Biarkan aku mendongengkan satu kisah untukmu. Aku dan Hanggono adalah teman sejak kami masuk di bangku SMA. Ketika menginjak perkuliahan di tahun pertama, kami berteman dengan seorang laki-laki seangkatan kami. Orang tuanya kaya raya, tapi kami tidak pernah membeda-bedakan status. Kami bertiga bersahabat baik. Sampai suatu ketika laki-laki yang baru saja masuk dalam kehidupan kami itu mengkhianati dan merusak persahabatan kami." Ekspresi penuh amarah menghiasai wajah Dibyo.

"Tahun demi tahun berlalu dan aku masih membencinya hingga sekarang. Setelah kami meraih gelar sarjana, dia meneruskan bisnis orang tuanya yang kaya raya itu dan hidup bahagia, seolah melupakan kesalahannya kepada kami. Tahun-tahun berikutnya kami bertiga hidup normal, kami menikah, mempunyai istri dan anak. Sampai suatu hari, istri Hanggono, Rena meninggal setelah melahirkan anak pertamanya dan tak disangka saat pemakaman, orang yang berkhianat kepada kami muncul di depan kami dan merasa berduka cita seolah dia tak mempunyai salah kepada kami. Di saat itulah, rasa dendamku padanya muncul kembali, aku menghasut Hanggono agar dia mengikuti rencanaku, menghancurkan hidup teman lama kami itu. Sedikit demi sedikit, kami berteman kembali dengannya, dan di situlah kami juga perlahan menghancurkan perusahaannya. Sekitar lima tahun kemudian dia benar-benar hancur, selain kekayaan, dia juga kehilangan istri, dan..."

"Dan apa?"

"Dia dipenjara selama sepuluh tahun karena tuduhan penggelapan uang perusahaan mertuanya dan membunuh istrinya sendiri."

Diego terhenyak, ia tak bisa menahan amarahnya, setelah mendengar perkataan Dibyo, Diego tersadar bahwa yang dibicarakan Dibyo adalah ayahnya sendiri. Ia bangkit kemudian meraih krah kemeja Dibyo, "Kenapa? Kenapa Anda melakukan semua ini? Kenapa Anda menghancurkan perusahaan kami? Kenapa Anda membuat ayahku dipenjara?!"

Dibyo mendorong Diego dengan kuat sehingga membuatnya melepaskan cengkeraman tangannya. Diego tersentak ke belakang, "Untuk itulah aku menyuruhmu ke sini tapi jangan sekali-kali berkelakuan seperti berandalan di rumahku."

Diego masih terkejut dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak menyangka, kepala sekolahnya juga terlibat atas hancurnya perusahaan ayahnya bertahun-tahun silam. Pamannya harus bekerja keras membangun perusahaan selama bertahun-tahun sedangkan Ayahnya harus dipenjara. Selain itu membuat ia dan ayahnya jauh dari keluarga pihak ibunya.

"Sekarang aku ingin mengakui satu hal padamu. Hal yang selama ini aku sembunyikan dan tak pernah ada orang lain yang tahu selama dua belas tahun." Dibyo meraih kedua lengan Diego dan mendekatkan wajahnya sampai hanya berjarak 5 cm di depan wajah Diego. "Akulah yang telah membunuh Jihan, ibumu," kata Dibyo sambil tersenyum.

Mendengar itu, Diego seakan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri, "Bangsat!!!" teriaknya. Ia mendorong Dibyo dan menghempaskannya ke lantai, kemudian memukul wajah Dibyo berkali-kali, "Dasar iblis!!"

Dibyo tak hanya diam, ia balas memukul Diego sehingga terjadi baku hantam antara keduanya selama beberapa saat.

"Apa kau tahu penderitaanku yang disebabkan oleh Hendra?! Aku akan membeberkannya hari ini juga," Dibyo mendorong Diego sekuat tenaga hingga ia jatuh terduduk. "Dengarkan kebenaran yang terlewatkan ini, karena ini adalah hadiahku untukmu."

******


Magic Forest

4 Mei 2018

21:30

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro