BAB 32 : Hidup dan Mati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Flashback-

Seorang wanita muda berumur duapuluhan berlari kecil dengan wajah berseri melewati jalanan perrumahan elit. Rambut hitam sebahunya melambai-lambai tertiup angin. Langkahnya terhenti di depan pintu masuk sebuah rumah berlantai dua. Tangannya terulur menyentuh gagang pintu tapi ia menarik tangannya kembali. Ia gugup.

"Duh, gimana ngomongnya, ya?" bisiknya. Ujung jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya bertautan dan digerakkan dengan cemas, menimbulkan suara kuku yang bertabrakan, kebiasaan ketika ia sedang merasa gugup. "Udah kuputuskan, aku harus memberitahunya." Ia membuka pintu di depannya yang tak dikunci itu dengan mantap. "Hendra? Ndra, kamu di mana?"

"Diana?"

Mendengar namanya disebut dari arah belakang, wanita itu menoleh dan tersenyum lebar ketika tahu orang yang sedang dicari berdiri di hadapannya.

"Hendra." Diana menghampiri Hendra dan memeluknya erat. Namun, Hendra segera melepaskan diri dari pelukan Diana. "Ada urusan apa kamu ke sini? Darimana kau tahu aku pulang?"

Diana tetap tersenyum lebar seakan tak menyadari sikap dan tatapan Hendra yang tidak menyenangkan. "Aku punya berita baik untukmu, Sayang. Coba tebak?" ujar Diana mengabaikan pertanyaan Hendra.

Hendra melengos, "Aku tak ingin main tebak-tebakan denganmu sekarang. Ayo pergi dari sini." Hendra menarik lengan Diana tapi Diana menarik tangannya kembali.

"Apa begini caramu menyambutku setelah kau berbulan-bulan menghilang dan tak pulang, hah?" Diana mulai kesal.

"Kau tak seharusnya berada di sini. Ayo keluar dari sini." Hendra menyeret Diana dengan paksa. Diana memberontak, tapi Hendra semakin kasar menariknya.

"Aku hamil anak kita, Ndra."

Kata-kata Diana praktis membuat Hendra berhenti menariknya paksa. Hendra merasa seperti disambar petir. "Apa? Hamil katamu?"

"Ya! Aku hamil anak kita. Aku belum memberitahu kakak tapi aku yakin dia juga akan senang kalau mendengarnya. Ndra, ini adalah tanda kalau Tuhan akan mempersatukan kita." Diana menatap intens mata Hendra.

Hendra tersenyum miring, "Tidak! Kamu nggak mungkin hamil anakku. Hubungan kita berakhir, Diana. Gugurkan saja kandunganmu!"

"Apa? Apa kau baru saja memintaku menggugurkan kandunganku?" Diana mulai terbakar emosi, ia tak menyangka Hendra akan memintanya melakukan aborsi, "dia adalah darah dagingmu, Ndra!"

"Darah dagingku? Hubungan kita sudah berakhir!"

"Ndra, jangan bercanda! Aku tak pernah menganggap hubungan kita berakhir." Mata Diana berkaca-kaca.

"Apa kau tak mengerti juga? Aku menghilang berbulan-bulan dan tak pernah menghubungimu sama sekali. Aku anggap hubungan kita sudah berakhir. Pergi dari rumahku!"

"Tidak! Aku tak akan pergi sebelum kau bersedia menikahiku."

"Mas Hendra?"

Sebuah suara mengagetkan Hendra dan Diana. Sosok wanita muda yang kelihatan berumur tak jauh dari Diana terlihat berdiri di anak tangga.

"Jihan?" gumam Hendra.

"Ada apa ini?" tanya Jihan, "siapa wanita itu, Mas?"

Hendra gugup. Ia bergerak rikuh, "A-aku tidak tahu, tiba-tiba wanita ini masuk ke rumah kita dan mengatakan sesuatu yang gila."

"Apa yang kau katakan?"

"Lebih baik kau segera pergi dari sini, "Hendra menarik lengan Diana dan hendak menyeretnya keluar.

Diana melepaskan diri, kini perhatiannya teralih kepada Jihan, "Aku kekasih Hendra. Kamu siapa?"

"Jangan percaya, Jihan. Wanita ini benar-benar sinting. Ayo, pergi dari sini, wanita sinting," sahut Hendra.

Jihan memandang mereka dengan tatapan bertanya-tanya. "Apa yang dikatakannya, Mas?"

"Jangan mempercayainya, Jihan. Aku tidak mengenal wanita ini."

"Mas? Kenapa kau bilang aku gila kepada wanita itu? Banyak hal yang harus kita bicarakan," kata Diana.

"Apa yang akan kamu bicarakan dengan suamiku?" tanya Jihan.

Kata-kata Jihan sukses membuat Diana syok, "Apa? Suami?"

Hendra menganggap suasana akan semakin buruk jika ia tak segera menyingkirkan Diana. Dengan cepat ia menyambar lengan Diana dan membawanya menuju pintu.

"Tidak, lepaskan aku. Kau harus bertanggung jawab, Ndra." Diana memberontak, tapi cengkraman lelaki itu lebih kuat dari pada kekuatannya. Jihan menuruni anak tangga dengan cepat dan mengikuti suaminya itu. Hendra membuka pintu dan mendorong Diana keluar dari rumahnya.

"Pergi kamu dari sini. Ayo, Jihan, aku akan menceritakan semuanya di dalam." Hendra segera menutup pintu meninggalkan Diana yang menangis sendiri.

Keesokan harinya, Diana mendatangi rumah Hendra lagi. Namun, hari itu tujuannya bukan menemui Hendra tetapi Jihan. Ketika membuka pintu dan melihat Diana, Jihan menyuruh Diana pergi tapi Diana segera berlutut dan memohon kepada Jihan.

"Mbak, aku mohon mbak, aku sedang mengandung anaknya, tolong serahkan Hendra kepadaku, biarkan dia bersamaku, biarkan ia menjadi ayah untuk anakku. Tolong mbak, kau pasti tahu perasaan seorang wanita sepertiku."

Jihan yang sudah mengetahui semuanya menatap Diana dengan mata berkaca-kaca. Tangannya terulur untuk mengusap perutnya, "Tidak! Aku juga mengandung anak Hendra. Kandunganku masih berumur satu bulan. Kami sudah menikah. Anakku juga membutuhkan seorang ayah. Pergilah! Dan jangan kembali lagi ke sini. Kamu hanya mantan kekasihnya. Biarkan keluargaku hidup dengan tenang." Jihan melenggang masuk meninggalkan Diana di depan pintu.

Diana sangat marah, ia sudah berusaha memohon dengan tulus, namun Jihan tetap tak mau menyerahkan Hendra padanya, ia masuk dan mengejar Jihan, mengikutinya menaiki tangga. Diana menangkap lengan Jihan dan menjambak rambutnya.

"Dasar wanita jahat! Aku sudah memintanya baik-baik, tapi kau tak mau menyerahkannya. Bahkan kau telah merebutnya dariku!"

"Hentikan! Jangan!" Jihan mencoba melepaskan diri dari cengkraman Diana, tapi genggaman Diana sangat kuat. Lalu, Diana beralih memukuli perut Jihan.

"Anakmu harus mati!"

"Tidak, anakku! Pergi!" refleks, Jihan mendorong Diana. Diana limbung, kakinya tak sepenuhnya menginjak anak tangga dan terpeleset jatuh, tubuhnya pasrah dihempas anak tangga sampai ia berhenti berguling. Ia mengerang sesaat dan kemudian diam tak bergerak.

Jihan tampak syok, ia memegang perutnya, "Bertahanlah, Nak." Tangisnya pecah. Tak lama, seakan tersadar akan apa yang barusan diperbuatnya, ia menghampiri Diana, namun Diana tidak bergerak. Ia melihat rok Diana basah dan melihat banyak darah. Kepala Diana juga mengeluarkan darah. Ia lalu menelepon suaminya. Hendra segera datang dan membawa Jihan serta Diana di rumah sakit. Hendra meraih ponsel di sakunya dan menelepon seseorang.

"Dibyo, datanglah ke rumah sakit, Diana kecelakaan." 

-Flashback End-

Diego tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Perasaannya campur aduk. Ia bisa merasakan darahnya berdesir hebat di sekujur tubuh. Ibunya hanya berusaha melindunginya. Hatinya terluka tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Kedua kakinya gemetar, ia merasa lemas seakan tak sanggup berdiri. Matanya berkaca-kaca. Dibyo tertawa puas melihat reaksi Diego setelah mendengar ceritanya.

"Ayahmu itu adalah seorang yang kejam. Dia mencampakkan Diana, adikku begitu saja setelah menghamilinya," ucap Dibyo sambil menghampiri Diego yang masih syok. Ia menyambar lengan Diego lalu menyeretnya dengan kasar dan membawanya pergi. Diego pasrah, entah kenapa kekuatannya seakan hilang. Ia tak sanggup berpikir jernih.

Dibyo membawa Diego ke garasi dan menyuruh Diego masuk ke mobil. Tak lama, Dibyo melesatkan mobilnya ke jalanan. Diego menatap kosong sekelilingnya.

"Kenapa diam bocah kecil?" tanya Dibyo setelah beberapa waktu hening.

"Jadi, wanita bernama Diana itu adalah pasangan selingkuh ayahku?" tanya Diego dengan nada datar.

Dibyo tersenyum masam. "Sebelum orang tua Hendra menjodohkannya dengan Jihan, Hendra sebenarnya sudah mempunyai kekasih, yaitu Diana. Dan bodohnya dia karena tidak mau memperjuangkan Diana. Yang ada di pikiran Hendra hanya keuntungan untuk perusahaannya saja. Jadi, si brengsek itu lebih memilih Jihan, anak rekan kerja ayahnya yang memberikan kontribusi besar untuk perusahaannya."

Diego tertawa pendek, "Jadi, kau membunuh ibuku karena kau marah pada ayahku perihal Diana? Perbuatan kejimu tidak sebanding dengan alasanmu membunuhnya!!" Kemarahan kembali melandanya.

"Apa? Tidak sebanding? Baiklah, aku akan membawamu mengetahui kebenaran siapa yang sebenarnya tersiksa selama ini. Dan kau harus berpikir ulang apakah itu sebanding atau tidak."

Mobil Dibyo melaju lebih kencang selama beberapa menit dan berhenti di depan sebuah rumah sakit. Diego tahu rumah sakit itu.

"Kenapa kita di sini?" tanyanya, alih-alih menjawab, Dibyo berjalan cepat memasuki rumah sakit. Diego mengikutinya melewati lorong-lorong rumah sakit. Di sekeliling Diego, ia melihat para pasien berpakaian serba putih yang didampingi petugas rumah sakit. Keadaan pasien-pasien itu terlihat normal, yang membuatnya tidak normal adalah perilaku pasien-pasien itu, saling berebut barang, beberapa dari mereka tertawa-tawa tanpa alasan, di sisi lain juga ada yang meronta-ronta menangis, seorang lelaki tua mengamati sebuah sendok seakan baru pertama kali melihatnya.

Perhatiannya teralih ketika Dibyo mendadak berhenti di depan ruang kamar dengan dinding kaca, sehingga orang luar bisa melihat ke dalam. Diego memusatkan perhatiannya kepada seorang wanita yang ada di kamar itu. Wanita yang sepertinya seumuran dengan ibunya jika masih hidup. Wanita itu duduk membelakanginya, menghadap jendela yang mengarah ke luar, sambil memegang sesuatu di tangannya. Diego menyipitkan mata, memperhatikan lebih seksama benda apa yang dibawa wanita itu. Matanya melebar ketika mengetahuinya.

Boneka bayi. Sejenak ia belum paham kenapa Dibyo membawanya ke rumah sakit itu. Tapi semakin ia mencerna cerita masa lalu orang tuanya dan keadaan yang dihadapinya saat ini, ia mulai paham.

"Diana?" ucapnya.

Dibyo tersenyum puas, "Ya. Dia adalah Diana! Diana adikku yang dicampakkan oleh Hendra brengsek itu!"

Satu lagi tamparan keras untuk Diego, ia terkejut tentu saja.

Jadi, Diana berakhir di rumah sakit jiwa? batinnya.

Diana bangkit dari kursi, senyumnya mengembang ketika melihat Dibyo. Perlahan ia mendekati kaca, berhadapan dengan Dibyo yang melihatnya di balik kaca. Mata Diego menyipit, memperhatikan dengan seksama wajah wanita itu. Ia ingat wanita itu mirip dengan wanita yang duduk di kursi roda di foto yang dilihatnya di rumah Dibyo. Diana memperlihatkan boneka bayinya dan mengucapkan kata-kata yang tak bisa didengar Diego dari luar. Dibyo mengangguk pelan dan menyunggingkan senyum untuk adiknya itu.

"Dulu, dia pernah mencoba bunuh diri. Untunglah dia selamat tapi bagian menyedihkannya, ia berakhir di tempat ini. Mungkin seumur hidupnya ia tak akan bisa melihat dunia luar lagi." Suara Dibyo terdengar bergetar.

Tak lama kemudian suasana berubah, Dibyo terhenyak ketika Diana menangis meronta-ronta, berlari berputar ruangan sambil menggendong bayinya, berlutut dan berteriak histeris. Ia lalu melempar boneka bayinya itu ke dinding dan sibuk menjambak rambutnya sendiri. Dibyo menutup wajahnya dengan tangan, berusaha menahan tangis tapi tak bisa, air matanya tetap mengalir. Dibyo menunjuk Diana, "Inilah yang kalian lakukan pada adikku!!"

Diego terpaku. Ia tak tahu harus berkata apa. Melihat kejadian ini ia merasa bersalah atas orangtuanya yang membuat kehidupan Diana seperti itu, tapi di sisi lain, ia juga memikirkan ibunya yang meninggal karena dibunuh.

"Kau yang sudah membunuh ibuku! Kami lah yang lebih tersiksa karena ada yang kehilangan nyawa!!"

Dibyo mencengkeram krah baju Diego dan menghempaskannya ke dinding dengan keras. "Apa kamu pikir di pihakku tidak ada yang kehilangan nyawa? Lihatlah adikku! Semenjak janin yang dikandungnya tiada, selama belasan tahun ia seperti itu. Tidak bisa menikah, tidak bisa bekerja, tidak bisa melanjutkan hidupnya, tidak bisa menggapai impiannya sejak kecil. Ia berada di antara hidup dan mati! Kalian tak hanya membunuh anaknya, tapi juga membunuhnya!!"

"Dibyo!"

Sebuah suara menghentikan pergulatan mereka.

"Sudah cukup! Berhenti menyiksa anakku! Akulah yang melakukannya di masa lalu, jangan lampiaskan kemarahanmu pada Diego."

Hendra tiba-tiba muncul, berdiri tak jauh dari mereka. Dibyo melepaskan cengkramannya pada Diego. Sekarang ia berbalik menyunggingkan senyum yang dipaksakan, "Ada apa ini? Reuni teman lama? Lama tidak bertemu, Hendra. Syukurlah kau datang dan menghentikan upayaku untuk membunuh anakmu. Genius sekali!" katanya kepada Hendra.

"Kau sudah dibutakan oleh dendammu itu, Dibyo. Tapi aku merasa kasihan padamu, kau tak mengetahui kebenaran lain yang sebenarnya terjadi saat itu."

Dibyo tertawa, "Kau pasti bercanda, aku sudah mendapatkan semua kebenaranku. Aku tak butuh kebenaranmu."

"Tidak, Dibyo. Kau harus mendengar kebenaran lain yang tidak kau ketahui selama ini."

Dibyo terlihat tidak tertarik. "Sudahlah! Aku tak mau mendengar apapun dari orang brengsek sepertimu."

Hendra tak mengacuhkan kata-kata Dibyo dan perlahan menghampiri Dibyo.

"Apa kau ingat saat Diana mencoba bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangannya sendiri setelah ia kehilangan anaknya?"

"Tentu saja aku ingat, Bodoh!"

"Waktu itu kau kebingungan mencari pendonor untuk Diana? Yang menyelamatkan Diana pada waktu itu adalah Jihan. Jihan membahayakan nyawanya dan bayi yang dikandungnya. Meskipun ia sedang hamil, ia tetap mendonorkan darahnya untuk Diana. Setelah mendonorkan darahnya, Jihan harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit."

Dibyo terhenyak, ia sedikit terkejut bahwa orang yang sudah mendonorkan darah untuk Diana adalah Jihan. Tapi ia berusaha mempertahankan apa yang dia yakini selama ini. Dibyo tertawa mengejek, "Oh, jadi Jihan yang mendonorkan darahnya? Jihan adalah orang yang bodoh! Aku tak pernah memintanya untuk mendonorkan darahnya. Aku bisa mendapatkan darah meskipun aku harus berkeliling ke semua kantor PMI di seluruh kota ini."

"Dan membiarkan Diana mati sementara kau berkeliling kantor PMI?! Kau tahu betul keadaan Diana kritis dan tak ada waktu lagi, Dibyo!" bentak Hendra, tangannya mengepal menahan amarah. Kawan lamanya ini masih sama seperti yang ia kenal dulu, keras kepala.

"Dan kau? Apa yang sudah kau lakukan untuk Diana? Kau bahkan tak mengakui janin yang dikandung Diana dan lebih memilih menikahi Jihan. Kalau kau tak mengkhianatinya waktu itu, Diana tak akan menderita!!"

Hendra tertunduk, "Saat itu aku masih muda dan labil. Aku benar-benar minta maaf, aku tak bisa membiarkan perusahaan orang tuaku yang sudah mereka bangun bertahun-tahun berakhir. Itu adalah kesalahanku. Kau seharusnya membalaskan dendammu padaku, bukan pada keluargaku."

"Nah? Kau sudah mengakui kesalahanmu, kan?" Dibyo tertawa keras, perhatiannya beralih ke Diego. "Dengar, Nak? Ayahmu inilah yang memulai semuanya. Dia adalah sumber penderitaan kita selama ini. Untunglah Jihan sudah mati, ia tak pantas mempunyai suami brengsek sepertimu."

Air mata Diego mengalir, ia menatap Hendra dalam, seakan ia berkata bahwa sulit untuk menerima kenyataan. Hendra memandang anaknya itu, terakhir kali ia harus meninggalkan anaknya dan masuk ke jeruji penjara, saat itulah terakhir kali Hendra melihat Diego menangis. Kini, melihat air mata Diego yang tumpah, ia merasa sangat terpukul karena anaknya harus mengetahui semua kenyataan pahit itu.

"Kau salah, Dibyo. Bukan hanya darah dan keselamatannya saja yang dikorbankan Jihan untuk Diana, tapi juga aku."

Dibyo menyeringai, "Apa maksudmu?"

"Sebenarnya setelah Diana meminta pertanggung jawabanku pada hari sebelumnya, aku bertengkar hebat dengan Jihan. Keputusan akhirnya adalah Jihan memintaku menikahi Diana. Jihan meminta cerai setelah Diego lahir dan memohon setelah perceraian itu agar aku menikahi Diana."

"Apa? Bohong, kau selalu saja berbohong!"

"Terserah!!" Hendra menatap Dibyo tajam. "Aku hanya menceritakan kejadian sesungguhnya. Jihan mempertahankanku karena Diego, ia tak ingin Diego lahir tanpa ayah. Dia mencintaiku, tapi ia lebih mencintai Diego dibanding segalanya. Dan akhirnya aku menyetujuinya. Tapi semuanya kacau saat Diana keguguran, mencoba bunuh diri, dan kau menjadi brutal."

Tiba-tiba Dibyo merasa lemas, tubuhnya limbung dampai membentur dinding, "Tidak! Tidak! Kalau begitu kenapa kau tak pernah membicarakannya padaku? Kenapa kau diam dan membuat Diana menderita, hah?!"

"Apa aku punya pilihan? Setiap kali kau melihatku kau selalu menghajarku tanpa memberiku kesempatan berbicara, kau menggila. Setiap kali aku pergi ke rumahmu, kau juga selalu mengusirku. Apa kau ingat?"

Dibyo seakan tak sanggup untuk berdiri.

"Gara-gara kau aku sudah membenci Hanggono selama bertahun-tahun. Aku tak mempercayainya dan membuat hidupnya menderita. Aku sampai melibatkan keluargaku untuk membalas dendam. Lihatlah perbuatanmu itu lebih banyak membuat orang lain menderita! Sadarlah Dibyo!"

Tubuh Dibyo melorot sampai ke lantai. Dilihatnya Hendra dengan tatapan nanar. Air mata Hendra mulai menetes, perlahan ia berlutut di depan Dibyo.

"Aku meminta maaf atas perbuatanku pada Diana. Percayalah aku juga menyesalinya selama hidupku. Kau boleh membenciku seumur hidupmu. Tapi yang harus kau tahu, kau sudah salah mengerti tentang Jihan, Dibyo. Jihan tak seburuk yang kau pikirkan."

Dibyo terpaku. Kebenaran yang ia yakini selama ini salah. Perasaannya kacau, tak tahu harus marah atau menyesal. Tapi ia sadar bahwa masa lalu tak akan terulang lagi. Air matanya tumpah.

"Aku menahan diri untuk tak menghajarmu, mengingat kau sudah membunuh Jihan, tapi demi Diego dan masa depannya, aku akan melepasmu dan memaafkanmu. Hentikan kebencianmu, Dibyo."

Dibyo hanya membisu, menatap nanar salah satu sudut lorong rumah sakit. Suasana hening. Tak ada yang bicara, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

*****


Hiks.. Diego :'( sini peluk dulu.

Mana suaranya yang pengen update cepet?? :D


Magic Forest

24 Mei 2018 (Republish)

19.00   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro