BAB 4 : Kotak Musik Kenangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rissa menyambar kotak musiknya yang berada di atas nakas. Ia merebahkan diri di tempat tidur dan mulai memutar tuas kotak musik. Tak lama, alunan Fur Elise karya Beethoven pun mengalun. Ia menggenggam kotak musik klasik itu dan merasakan getaran ketika komponen-komponen mesinnya bekerja. Ketika mendengarkannya, hati Rissa merasa tenang. Ia menutup mata dan bayangan-bayangan masa lalu pun muncul.

Dalam bayangannya, Rissa melihat seorang anak laki-laki berjas biru dengan lambang Centaurus di dada. Anak laki-laki itu mengulurkan kotak musik dan tersenyum padanya. Ia mengingat jelas kejadian duabelas tahun lalu, ketika ia berumur lima tahun. "Diego, aku ingin bertemu dengamu. Apa aku salah?" gumamnya.

Timbul banyak pertanyaan di pikiran Rissa yang tidak bisa terjawab hingga kini, Diego, di mana kamu? Bagaimana rupamu sekarang? Bagaimana kabarmu? Apa kamu masih mengingat kotak musik ini? Aku harap kamu mengingatnya. Setiap menjelang tidur, Rissa selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan alunan kotak musik itu, hanya lagu itu yang bisa membuatnya tenang.
Tak sadar, ia tersenyum simpul. Matanya terbuka ketika mendengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Ia bangkit, "Siapa?" tanyanya.

"Riss, ini aku, Veve," jawab Veve dari balik pintunya.

"Masuk aja, Ve. Nggak dikunci, kok."

Veve membuka pintu dan melongok ke dalam. Kemudian mengambil posisi duduk di samping Rissa di tepi ranjang. Veve melirik kotak musik yang digenggan Rissa, "Kotak musik itu memang indah ya, Riss?"

Rissa mengangguk tanpa melepas pandangannya dari kotak musik itu. "Ya, klasik banget dan ukirannya indah. Selama ini aku belum menemukan kotak musik klasik semacam ini. Aku beruntung bisa memilikinya," ujar Rissa.

Veve mengamati Rissa yang sedang tersenyum simpul memandang kotak musik itu, "Kamu memang beruntung memiliki kotak musik itu, tapi Diego lebih beruntung karena ada seorang gadis yang masih suka sama dia selama duabelas tahun," ujarnya.

Rissa menoleh, memandang Veve, kemudian tertawa kecil, "Entahlah, Ve. Ketika aku memainkan kotak musik ini, detik itu juga aku selalu ingat sama Diego. Bisa kebayang kan, kalau aku selalu memainkan kotak musik ini setiap hari? Aku nggak bisa melupakannya, Ve. Mungkin kalau dia memberikan kotak musik yang biasa saja dan gampang rusak, aku bisa dengan mudah melupakannya. Tapi kamu tahu sendiri, kan? Usia kotak musik klasik bisa puluhan tahun. Sudah duabelas tahun berlalu dan kotak musik ini masih berfungsi."

Veve tersenyum, "Kamu hebat ya, Riss. Kadang aku merasa iri. Aku juga pengen menyukai seseorang seperti caramu menyukai Diego."

"Aku juga nggak nyangka bisa menyukainya sebesar ini, Ve. Diego adalah cinta pertamaku. Padahal kalau dipikir-pikir, aku jatuh cinta pada sosok anak kecil. Aku terlalu naif banget, ya?"

"Riss, nggak ada kata naif buat suka sama seseorang. Sekarang, sih, mungkin Diego udah dewasa di luar sana dan kalau kamu masih menyimpan perasaan suka itu sampai sekarang, kamu nggak salah."

Sejenak, suasana hening, Rissa tenggelam dalam pikirannya tentang masa lalu, sedangkan Veve membiarkan Rissa untuk mengenang masa lalunya.

"Ve?"

"Hmm?"

"Apakah aku egois?" tanya Rissa.

Alis Veve bertautan, "Kenapa kamu tanya kayak gitu?"

Rissa menghela napas, "Awalnya aku pengen banget ketemu sama Diego sekali lagi untuk ngucapin terimakasih. Tapi, semakin dewasa aku sadar kalau aku nggak hanya pengen ngucapin terimakasih aja sama dia, aku udah menganggap Diego sebagai cinta pertamaku. Aku seperti terjebak dalam masa lalu, Ve," ujar Rissa.

"Riss, aku juga terkadang kasihan sama kamu. Sahabatku menanti sesuatu yang tak pasti selama duabelas tahun. Terjebak dalam masa lalu itu aku yakin nggak enak. Gimana kalau sampai kapanpun kamu nggak pernah ketemu sama Diego? Itu masih mending, gimana kalau Tuhan memberi kesempatan untuk mempertemukan kalian dan ternyata Diego nggak seperti yang kamu harapkan? Misalnya saja dia orang jahat, pemabuk, atau narapidana. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi, Riss.

"Kadang aku sepakat dengan May kalau harus mendukungmu untuk move on. Tapi terkadang aku juga ragu melihat perasaanmu yang tulus itu. Sahabat macam apa yang tidak bisa mendukung keinginan sahabatnya? Kayak kasus Vano kemarin, bahkan kamu menolak seseorang yang baik macam Vano. Antara aku nggak percaya dan harus menghormati keputusanmu, jujur saja aku bingung," Veve berhenti sejenak untuk menghela napas, "jadi, akhirnya aku cuma bisa mikir kalau cuma kamu yang menjadi kunci utama untuk memilih jalan hidupmu sendiri, Riss. Kamu hanya butuh waktu," terang Veve.

Rissa menatap dalam mata sahabatnya itu, ia bersyukur memiliki sahabat yang peduli padanya, "Sebenarnya, Vano memang cowok yang baik, tapi kalau hatiku nggak cinta sama dia, aku juga nggak bisa terima dia. Entah karena aku memikirkan Diego atau memang belum siap menjalin hubungan dengan siapapun. Makasih banyak ya, Ve. Aku bersyukur punya sahabat kayak kalian. Aku beruntung bertemu kalian padahal dulu motivasiku sekolah di Saint Sirius karena hal yang lain."

Rissa mengusap kotak musiknya, "Aku jadi ingat, dulu waktu kecil, aku nggak ngerti kalau seragam sekolah yang dipakai Diego adalah seragam identitas Saint Sirius School. Ternyata beberapa waktu kemudian aku tahu kalau seragam itu adalah seragam Saint Sirius Elementary School. Ayah mengajakku berkeliling dengan mobil dan kami melewati depan sekolah itu. Banyak anak-anak memakai seragam yang sama dengan seragam yang dipakai Diego. Dan itulah awal mula aku merengek meminta Ayah memasukkan aku ke sekolah itu. Tapi ternyata menemukan Diego itu nggak mudah. Diego nggak ada di sekolah itu."

Veve mengusap dagunya, "Nah, itu juga masih membingungkan, Riss. Harusnya dia jadi kakak kelasmu di situ, kan? Katanya, kamu juga meminta ayahmu untuk menanyakan ke Kepala Sekolah mencarikan anak bernama Diego."

"Iya, seingatku dulu memang ada anak bernama Diego. Tapi, dia bukan Diego yang aku cari. Aku juga bingung, Ve. Ya mungkin saja dia udah nggak sekolah di situ."

Veve manggut-manggut, "Iya, mungkin saja. Hmm, sudahlah Riss. Tuhan pasti punya rencana lain. Kalau memang takdirmu bertemu dengan Diego, pasti ketemu, kok. Aku hanya bisa mendukungmu apapun yang kamu pilih."

Rissa tersenyum, "He-eh. Makasih banyak. Oh, iya, tadi ada apa kamu ke sini?"

"Nggak papa kok, Riss. Aku cuma pengen ngajak ngobrol dan ngasih dukungan ke kamu. Soalnya aku lihat, kamu kayak menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya gitu. Syukurlah kamu mau sharing sama aku."

Rissa mengangguk senang, "Iya, aku juga lega kok udah curhat gini ke kamu. Yah, intinya aku cuma butuh waktu, Ve."

"Ya, udah. Kalau gitu, aku balik ke kamarku, ya."

Mata Rissa mengekor Veve sampai ia menghilang dari balik pintu. Rissa merebahkan diri ke ranjangnya dan memainkan kotak musiknya sekali lagi. Sambil memejamkan mata, ia berkata lirih, "Selamat malam, Diego."

***

Rick sedang meletakkan sepatunya di loker ketika seseorang menyapanya.

"Hai, Rick?" Icha menunjukkan senyum yang menjadi andalannya memikat cowok. Rick mengamati Icha yang sedang memasukkan sepatunya ke dalam loker di sampingnya, sambil mengingat-ingat siapa cewek di sampingnya itu, tak lama ia mulai ingat bahwa cewek itu yang selalu duduk di bangku depan. "Ya?"

"Rajin banget pagi-pagi gini udah dateng," ujar Icha.

"Kamu sendiri?"

Awalnya Icha datang pagi karena ingin mencari kostum dance di ruang tari, andai saja ia tak melihat Rick mengendarai motornya memasuki gerbang, akhirnya, Icha hanya bisa menjawab, "Menu sarapan di asrama bukan seleraku. Aku jadi malas sarapan dan langsung berangkat ke sekolah."

Tak ada respon dari Rick, ia malah bergegas masuk ke dalam kelas. Icha mengikutinya, "Aku kenal Ivandito. Katanya, kalian dimarahi habis-habisan sama guru BP dan dihukum membersihkan halaman sekolah. Tahun lalu, SSDC juga membuat ulah ketika tahun ajaran baru dimulai, malah sampai membuat kaca kelas sebelas lima pecah."

Rick menyandarkan punggung di bangkunya dengan malas dan Icha yang ternyata masih mengikutinya duduk di bangku depan Rick, menhadap ke belakang, "Aku nggak nyangka kamu bakal gabung SSDC, berarti, orang tuamu berpengaruh juga ya di sekolah ini?"

Rick mengangkat bahu, "Mungkin," jawab Rick sekenanya. Ia datang pagi supaya bisa tidur di kelas, tapi ternyata ada cewek yang sedari tadi mengajaknya ngobrol. Rick sedikit kesal.

Icha menghela napas, Susah banget ngajak ngobrol Rick. Ngomongnya juga irit banget, pikirnya. "Oh iya, aku belum sempat kenalan sama kamu kemarin-kemarin, kamu susah buat didekati. Aku Icha." Icha mengulurkan tangannya. Raut wajah Rick berubah, terkejut mendengar nama yang barusan didengarnya. "Siapa namamu tadi?" Rick bertanya untuk memastikannya lagi.

Icha memutar bola matanya, "Icha. I-C-H-A." Icha memberi tekanan pada setiap ejaan namanya. Icha melihat Rick memandangnya dengan aneh, Jangan-jangan, dia nggak mau menjabat tanganku, batin Icha bertanya-tanya.
Namun, di luar dugaan, Rick menyambut uluran tangan Icha dan tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, Rick benar-benar mengamati cewek yang ada di hadapannya itu. Rick berpikir bahwa cewek itu tidak terlalu cantik, namun pandai merias diri, sehingga dengan sekali lihat, orang bisa menebak status cewek itu populer dan dari lingkungan berada. Jackpot, batin Rick.

***

Rissa dan ketiga sahabatnya berjalan memasuki gerbang sekolah.

"Udah fix nih aku nggak bakalan naksir Rick lagi!!" seru May. Mendengar ucapan May, ketiga sahabatnya tersenyum geli. "Aku nggak bakal respek sama anggota-anggota SSDC. Satu stok cowok ganteng udah tercoret dari daftar gebetan May. Ngapain juga sih, Rick gabung SSDC? Gabung sama anak-anak nakal pembuat onar dan pembolos macam Ivandito, Bryan, dan Justin. Mereka katanya juga sering merokok di atap sekolah."

"Idih, May. Suka-suka dia lah mau gabung SSDC kek, gabung klub pecinta alam kek. Bukan urusan kita juga, kok kamu sewot?" sahut Veve.

"Bukannya gitu, Ve. Kita sekolah di sekolah favorit, masa pasukan cowok gantengnya membuat onar, sih? Apa kata sekolah lain nanti?"

"Heh, kalau di novel-novel sih, cowok yang kayak gitu malahan yang dicari-cari cewek-cewek. Ganteng, tamvan level seratus tapi badboy," Karis menimbrung.

"Duh, enggak enggak," May menggelengkan kepalanya, "Mayangsari Soedirman nggak suka cowok nakal. Sukanya goodboy. Aku jadi penasaran apakah Rick itu cowok pintar atau enggak. Biasanya, badboy itu otaknya nggak encer."

"Belum tentu juga kali, May," ujar Rissa.

"Apanya? Kebanyakan gitu, udah pasti," kata May tidak mau kalah.

"Ada juga kok yang otaknya encer, cuma belum nemu aja," sahut Veve.

Mereka masih berdebat sampai di lantai dasar gedung utama. Tiba-tiba Rissa tertarik melihat papan pengumuman yang ada di sisi kanan pintu masuk. Sahabat-sahabatnya pun berhenti mengobrol dan mengikutinya. Wajah Rissa berseri ketika ia membaca salah satu pengumuman yang ada di sana. Ia segera mengambil ponsel di sakunya dan memotret informasi itu.

"Wow, Riss. Ada kompetisi piano di akhir tahun ini!" seru Karis sambil menunjuk papan pengumuman.

"Kamu harus ikut, nih," imbuh Veve.

Rissa mengangguk setuju, "Yups, aku nggak akan melewatkannya. Aku harus berlatih mulai sekarang biar nanti bisa menampilkan yang terbaik," kata Rissa.

"Wow, sip. Semangat ya, Riss. Jadi, kamu bakal latihan setiap pulang sekolah lagi kayak dulu?" tanya May.

"Iya, May. Kayak tahun lalu. Jadi, mulai minggu depan, kalian pulang duluan aja ke asrama, ya. Aku berlatih di ruang musik."

Sahabat-sahabatnya mengangguk. Kemudian mereka berlalu menuju kelas.

***

Magic Forest

1 Oktober 2017 (Republish)

14:01

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro