BAB 5 : Panahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel pulang sekolah berbunyi tepat pukul 14.00 WIB. Semua murid menyiapkan diri untuk mengikuti klub masing-masing. Terlihat Rissa, Veve, Karis, dan May sedang berjalan menuju ke ruang musik di gedung kegiatan sekolah. May menenteng biola kesayangannya sedangkan Veve menggendong tas yang berisi gitar.

"Kegiatan klub hari ini palingan cuma perkenalan buat kelas sepuluh, ya?" tanya Veve.

"Kayaknya sih gitu. Jadi, kita bisa pulang cepat," jawab May.

"Kamu nggak lupa bawa kertas partitur kan, Riss?" tanya Karis kepada Rissa.

"Nggak kok. Hari ini hari yang aku tunggu-tunggu jadi nggak bakalan lupa, lah. Aku udah rindu banget sama yang namanya piano di ruang musik." jawab Rissa.

"Akhirnya, Christina nggak nganggur lagi. Aku juga sudah gatal ingin main sama Christina," ujar May sambil mengusap-usap biola kesayangan yang diberinya nama 'Christina' itu, "semoga aja, kita dipilih lagi oleh Bu Siska buat tampil di festival sekolah nanti."

"Sama. Aku juga pengen tampil lagi, nih," ujar Veve.

Ketika mereka sampai di halaman utama, langkah mereka terhenti. Beberapa meter di depan mereka, di antara siswa-siswi yang berlalu lalang, Rick dan Icha terlihat akrab mengobrol. Sesekali, mereka terlihat tertawa lepas. Ha? Dia? Ternyata, Rick juga bisa tertawa? ujar Rissa dalam hati. Melihat hal yang sama, May mengusap matanya.

"Aku nggak salah lihat, kan?" katanya kemudian.

"Maksudmu, Rick sama Icha yang ada di depan sana?" Karis bertanya.

"Sejak kapan mereka jadi akrab? Kukira, Rick itu kayak robot yang nggak bisa senyum dan temenan sama manusia," sahut Veve.

"Sejak masuk kelas kita, Rick emang jarang ngobrol. Kita yang temen-temen sekelasnya aja nggak pernah disapa. Banyak yang bilang kalau Rick itu sombong. Beberapa hari ini kuperhatikan, di kelas kerjaannya juga cuma tidur atau main-main. Mungkin kena pengaruh SSDC," kata May.

"Ngomong-ngomong, Rick kan juga wajib masuk klub resmi, aku penasaran dia masuk klub apa. Masa dia ikut klub tari bareng Icha?" tanya Karis. Veve dan May tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Karis.

"Udah deh, jangan ngomongin orang terus. Ke ruang musik aja, yuk," ajak Rissa. Mereka pun mempercepat langkah menuju ruang musik.

***

Rissa dan ketiga sahabatnya tampak keluar dari ruang musik.

"Nah, kan, dugaan kita bener. Hari ini paling cuma perkenalan," ujar Veve.

"Tapi, lumayan banyak ya yang ikut klub musik dari kelas sepuluh. Kayaknya banyak juga yang punya bakat," kata May.

"Hoaahhmm," Karis menguap, "sampai asrama nanti, kayaknya aku langsung tidur aja, deh," katanya.

Mereka berempat berjalan menuju gerbang sekolah. Namun, pandangan mereka menangkap kerumunan siswa-siswi lain di lapangan panahan yang ada di seberang gedung kegiatan sekolah. Beberapa siswa-siswi yang berjalan di samping mereka juga melenggang memutuskan untuk pergi ke sana. Terdengar sesekali kerumunan yang kebanyakan cewek itu bertepuk tangan dan berteriak.

"Ada apa lagi, sih rame-rame?" tanya Rissa.

"Nggak tahu. Paling-paling juga ngelihat anak panahan lagi latihan. Masa SSDC berulah lagi, sih?" tukas Veve.

"Bukan, deh, Ve. Kayaknya ada yang lagi latihan panahan. Tapi biasanya nggak seheboh ini, deh. Mendingan kita ke sana aja, yuk. Jadi penasaran." Karis mengajak sahabat-sahabatnya berlari menuju lapangan panahan yang dipagari dengan pagar kawat yang tinggi. Di lapangan berukuran 60m x 20m itu, mereka melihat anggota klub memanah yang sedang berlatih. Awalnya, Rissa merasa tidak ada yang aneh, tapi setelah matanya menangkap cowok yang sudah ia kenal, ia terpaku. Rick! Di klub panahan?

Rick melepas jas seragam dan dasinya, kemudian mengambil busur panah. Ia tampak membidik papan sasaran yang berada jauh di depannya, sekitar 20 meter. Di sampingnya juga berdiri pemanah lain, Rissa juga mengenal pemanah itu, dia Alvin, ketua klub memanah.

Rick mengangkat busur, menarik tali busurnya, beberapa detik terlihat membidik papan target, kemudian melepaskan tali busurnya sehingga anak panah melesat jauh ke depan. Sesaat ia tidak bergerak dan terlihat serius, ia baru bergerak ketika anak panahnya sudah menancap ke papan target. Anak panahnya menancap di bagian terdalam lapisan papan.

Sontak saja semua penonton bertepuk tangan dan berteriak kagum. Veve, Karis, dan May juga kelihatan histeris, Rissa tanpa sadar juga ikut bertepuk tangan dan tersenyum, Hebat! pikirnya. Rissa memperhatikan Rick yang sedang melinting lengan kemejanya. Rick memperhatikan sekeliling dan untuk sesaat, pandangan mereka bertemu. Rissa merasakan jantungnya berdegup dengan kencang ketika itu terjadi. 

Kok? Kenapa jadi deg-degan? Rissa membatin. Kemudian, perhatiannya teralihkan kepada Alvin yang juga melakukan hal yang sama dengan Rick. Anak panah Alvin juga menancap di bagian tengah lapisan papan target 20 meter di depannya.

"Nggak heran kalau semua pada heboh. Atlet panahan lagi bersaing, tuh," kata Karis.

"Iya, biasanya banyak juga yang nonton anak panahan lagi latihan, sih. Tapi ini menurutku yang paling beda dan heboh," ujar May.

"Kayaknya karena ada si anak baru dan ketua klub panahan yang sedang bertanding, deh. Mungkin mereka juga promosi biar banyak adik kelas yang gabung. Rick hebat juga, ya. Iya kan, Ris?" Veve menyikut lengan Rissa.

Rissa tersentak, "Eh, apa Ve?".

Melihat Rissa salah tingkah, Veve tersenyum menggoda, "Cieeee cieeee, jangan bilang kamu juga lagi terpesona, nih, sampai nggka fokus gitu."

"Ha? Enggak, lah. Apaan sih kamu, Ve?" Rissa menghindari tatapan Veve.

"Udah, jujur aja. Terpesona sama yang mana hayo, Rick atau Alvin?" Veve semakin menggoda Rissa. Melihat itu, May dan Karis juga ikut menggoda, "Apaan sih, kalian? May dan Karis juga ikut-ikutan. Nggak terpesona sama siapa-siapa, kok."

"Jangan-jangan ketularan May nih, naksir sama Rick," ujar Karis.

"Enggak!" Rissa membela diri, ia sadar sudah salah tingkah, apalagi sahabat-sahabatnya tetap memandangnya sambil tersenyum nakal. "Ih. Kalian jangan ngelihatin aku kayak gitu, dong. Udah, deh, aku mau pulang asrama duluan aja." Rissa langsung beranjak pergi.

"Eehh, tunggu dong Riss!" Veve, Karis, dan May mengikutinya meninggalkan tepi lapangan.

Sedangkan di tempat Rick, para anggota klub panahan mengucapkan selamat padanya. Begitu juga ketua klub memanah, Alvin dari kelas XII-6. "Selamat ya! Kamu resmi menjadi anggota baru kita. Kamu bisa beli seragam klub di sekretariat panahan. Tempatnya di gedung kegiatan sekolah," kata Alvin kepada Rick sambil menjabat tangannya. "Aku nggak nyangka kalau kamu itu atlet panahan."

Rick tertawa, "Jangan berlebihan, aku hanya pernah ikut klub panahan waktu SMP."

"Tapi, lumayan oke, kok. Kamu bisa mewakili klub untuk mengikuti kompetisi beberapa bulan lagi. Hari ini juga ada anggota baru dari kelas sepuluh. Penampilanmu tadi bisa sekaligus sebagai alat promosi." Alvin menepuk pundak Rick. "Oh ya, kalau kamu berminat ikut kompetisi itu, hubungi aku di kelas dua belas enam. Minggu depan kita latih anggota baru dari kelas sepuluh." Rick mengangguk.

Tiba-tiba dari arah samping, muncul Icha, Lena, dan Shilla. Mereka mengulurkan tangan dan bergantian berjabat tangan dengan Rick. "Gila! Kemampuan kalian memang hebat." Lena memuji Rick dan Alvin.

"Iya. Keren banget deh, sumpah," sahut Shilla. Langsung saja Icha menyikut lengan temannya itu. Icha memberi tanda agar Shilla diam. Lalu pandangannya teralih kepada Rick.

"Selamat ya, Rick. Tadi aku lihat dari jauh, bagus banget permainan panahnya," kata Icha kemudian.

Rick tersenyum dan hanya mengangguk singkat, kemudian ia sibuk memainkan busurnya. Suasana menjadi hening.

"Mmm... kayaknya banyak kegiatan klub yang udah selesai, ya? Cuma perkenalan?" Alvin bertanya kepada tiga cewek di depannya, memecah keheningan.

"Iya. Kebanyakan cuma perkenalan, kok. Tapi, kayaknya masih ada yang belum selesai," jawab Shilla. Suasana hening kembali. Icha juga tak ingin terlibat pembicaraan lebih lama, hari ini, Rick harus mengantarnya pulang. Icha berpikir sejenak, lalu tersenyum miring, "Eh, temen-temen. Katanya kalian berdua tadi, mau mampir ke minimarket deket halte, kan?" kata Icha tiba-tiba kepada Shilla dan Lena.

"Apa?" Lena tidak mengerti ucapan Icha barusan. Icha memberi tanda agar Shilla dan Lena cepat pergi. Shilla dan Lena saling berpandangan. Lalu seperti sadar akan sesuatu, ekspresi Lena berubah.

"Oh iya. Hahaha. Aku sampai lupa. Yuk, Shill!" Lena menggamit lengan Shilla, sekilas mengedipkan mata kepada Shilla, "Alvin, Rick, kita pergi duluan, ya," katanya kemudian menarik tangan Shilla yang masih kebingungan dan membawanya pergi. Icha langsung mengalihkan perhatian Rick dan Alvin.

"Eh, kalian nggak haus? Aku bawa minuman gelas di tas. Kalian mau?" tanya Icha kepada Rick dan Alvin.

"Nggak, thanks, Cha. Anyway, kamu nggak cepat pulang? Kok nggak ikut Lena sama Shilla tadi?" tanya Alvin.

"Mmmm... iya sih, sebenernya ini juga aku mau pulang. Lena sama Shilla tadi mau mampir minimarket dulu. Jadi, aku nggak bareng," jawab Icha sambil meliri Rick, namun, yang diliriknya itu masih sibuk mengutak-utik busur panah.

"Kamu tinggal di asrama, kan? Deket lah kalau jalan kaki," kata Alvin.

"Iya. Tapi, aku nggak pernah jalan sendirian, sih, biasanya sama Lena dan Shilla. Tapi, gimana ya, Lena dan Shilla lagi belanja," sekali lagi, ia memandang Rick, Duh, peka nggak, ya? Icha harap-harap cemas.

"Aku akan mengantarmu." Kata-kata Rick yang tiba-tiba itu membuat Icha merasa tak percaya sekaligus senang. Ha? Serius? Ternyata dia peka, ucapnya dalam hati. Senyum merekah menghiasi wajahnya.

Alvin memandang Rick dan Icha bergantian, "Ciee, jangan-jangan kalian pacaran? Iya, kan? Ngaku aja, Cha." Alvin menggoda Icha yang pipinya sudah bersemu merah.

"Apaan, sih kamu, Vin? Aku kan cuma..."

"Bukan pacar. Calon pacar mungkin," kata Rick sambil tersenyum memandang Icha. Tatapan Rick membuat Icha salah tingkah dan Icha semakin merasa malu. Ha? Apa dia bilang? Calon pacar? Aku nggak salah denger, kan? batin Icha.

"Ow, gitu ya. Cieeee... lagi pedekate nih ceritanya." Alvin tertawa. "Ya udah! Kalau kalian pulang, pulang aja duluan. Aku dan anggota yang lain masih harus membereskan peralatan."

"Biar aku bantu," ujar Rick.

"Eh, nggak usah, Rick. Biar anggota yang lain aja. Kasian tuh, Icha udah pengen pulang. Lagian, aku juga terimakasih banget sama kamu. Tadi udah mau tanding bareng. Lain kali aku tantang lagi, Bro."

Rick mengangguk dan menyerahkan busurnya kepada Alvin. Setelah berpamitan, Alvin beranjak pergi. Rick mengambil barang-barangnya dan mengajak Icha pulang. Icha mengikuti Rick sampai ke parkiran. Jantung Icha sudah berdegup kencang seperti genderang memikirkan kata-kata Rick tadi. Ia harap Rick tidak asal bicara atau bercanda.

Rick menyerahkan helm full face-nya kepada Icha, "Pakai aja," katanya singkat. Icha menerima dan memakainya. Tak lama kemudian, mereka sudah melesat ke jalanan. Sepanjang jalan, Icha ragu-ragu untuk memeluk pinggang Rick. Ia sedikit kecewa karena Rick tidak memintanya berpegangan seperti yang dia harapkan. Jadi, ia memutuskan hanya berpegangan pada tas punggung Rick. 

Tapi, di sisi lain, ia merasa senang karena sudah diantar pulang oleh Rick. Sesampainya di depan asrama, Icha mengucapkan terimakasih sebelum Rick melesat pergi. Sebenarnya, ia ingin bertanya tentang kata-kata Rick yang diucapkannya di depan Alvin tadi, namun ia mengurungkan niatnya. Diantar pulang aja udah syukur banget. Kemajuan, lah. Ia tak sabar untuk menceritakannya kepada Lena dan Shilla. Sambil berlari kecil menuju lobi asrama, ia bersenandung.

Di sisi lain, Rick melajukan motor Yamaha R25-nya dengan kencang. Tangannya mencengkeram erat stang motor. Tiba-tiba ia diliputi rasa marah. Lihat saja apa yang bisa aku perbuat.

***

Magic Forest

2 Oktober 2017 (Republish)

22:12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro