BAB 7 : Nocturne

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rissa menyandarkan kepalanya di meja. Dua hariberlalu sejak kejadian di restoran. Ia masih tak bisa mempercayai apa yangsudah terjadi, bahwa ayahnya akan menjodohkannya dengan orang asing. Hatinya bergejolak, ia tak tahu apakah harus tetap menolak keinginan ayahnya atau hanya pasrah menerima semuanya. Setelah pulang dari restoran iu, Rissa dimarahi habis-habisan oleh ayahnya, hal yang dianggapnya mustahil dilakukan oleh ayahnya sendiri dan kata-kata ayahnya itu masih terngiang-ngiang di pikiran Rissa.


-Flashback-

"Icha! Ini semua Ayah lakukan demi kebaikan kamu! Ayah hanya minta hal itu dan tidak akan minta hal lainnya lagi. Dia adalah pemuda yang baik. Dan Ayah harap, kamu mau menuruti kemauan Ayah yang satu ini!!"

"Yah! Icha nggak mau tunangan, Icha masih pengen meraih impian Icha di bangku sekolah. Icha masih pengen kuliah, mengejar prestasi dan menikmati kehidupan Icha. Pokoknya Icha nggak mau tunangan apalagi sampai nikah muda!"

Bbbrrraaaakkkkkk. . . .

"Kamu berani melawan Ayahmu?! Ayah tidak mau tahu. Minggu depan, kamu harus bertemu dengan pemuda itu. Ayah tidak akan mendengar alasan apapun lagi. Ini semua Ayah lakukan demi kebahagiaan kamu. Sekarang lebih baik kamu segera masuk kamar!! Ayah akan mempersiapkan pertemuanmu dengannya. Setelah Ayah kembali dari Jerman, Ayah harus sudah melihatmu berteman dengannya."

"AyahJahattttt. . .!!!!"    

-Flashback End-


"Rissa!!" May menepuk punggung Rissa. Rissa tersentak dan mengangkat kepalanya.

"Kamu kenapa, Ris? Kamu juga nggak pesan makanan. Kamu sakit?" tanya Veve. Rissa menggeleng.

"(kraaaukkk) Ada masalah? Kamu harus cerita ke kita-kita, Riss. Siapa tahu kita bisa bantu. Jangan dipendem sendiri. Dari tadi pagi, kamu juga diem aja," sahut Karis sambil mengunyah keripik kentangnya. Selama beberapa detik, Rissa mengamati sahabat-sahabatnya itu. Ia bisa melihat raut wajah kekhawatiran. Ia menghembuskan napas panjang, Rissa tidak tega juga menyembunyikan kegundahan hatinya. Akhirnya, dengan sedikit keberanian, ia menceritakan hal yang telah dialaminya.

"Apaaa!?" Sahabat-sahabatnya berteriak bersamaan dan tidak menyembunyikan ekspresi terkejut. Karis hampir saja memuntahkan keripik kentangnya.

Rissa menempelkan jari telunjuk di depan bibir, "Sssssttt.. Jangan teriak gitu dong! Ini kantin, tahu. Bisa-bisa kita jadi pusat perhatian." Rissa menenangkan sahabat-sahabatnya. Mata para sahabatnya itu tetap melekat erat memandangi wajah Rissa, tentunya ekspresi terkejut mereka belum hilang.

"Jangan melihatku kayak gitu dong," Rissa protes.

"Sumpah, Riss? Kamu dijodohin sama Ayahmu?!" tanya Veve setengah berbisik.

May berdecak kemudian menggeleng pelan, "Riss, udah gak zaman kali jodoh-jodohan," ujarnya.

Rissa menggigit bibir bawahnya, ia juga tidak habis pikir tentang perjodohan itu, "Aku juga mikirnya gitu kok, May. Tapi mau gimana lagi? Ayahku pengen aku tunangan setelah lulus SMA ini dan calonnya udah ayah tentuin," jawab Rissa.

"Terus? Kamu mau aja gitu dijodohin? Kamu nggak nolak?" sahut Karis.

Rissa menghembuskan napas dengan kesal. "Aku udah bilang berkali-kali kalau aku nggak mau tunangan. Tapi jawaban ayah juga nggak berubah. Dia bilang kalau ini semua demi kebaikanku. Aku nggak ngerti maksudnya, kebaikan macam apa? Setelah pulang dari restoran itu, ayah marah-marah. Baru pertama kali aku melihat ayah begitu marah kayak kemarin. Nyaliku langsung menciut detik itu juga, akhirnya aku hanya bisa menyendiri di kamar."

Karis, Veve, dan May merasa prihatin dengan keadaan sahabatnya itu, mereka saling berpandangan bergantian. Mereka baru pertama kali melihat Rissa sesedih ini dan mencoba menghiburnya.

"Sabar ya, Riss. Jujur, aku nggak tahu harus ngomong apa. Ini adalah keputusan Ayahmu." kata Veve.

"Iya, lagipula, kita juga nggak berhak ngatur hidup kamu. Kalau ayahmu udah bilang gitu, berarti, kita juga nggak bisa apa-apa," imbuh May.

"Aku cuma bisa berharap semoga ayahmu sadar dan membatalkan pertunangan itu, Riss. Gila aja! Kita masih SMA, coy," Karis menyambung.

Rissa tersenyum, "Makasih ya, kalian semua emang sahabat terbaikku. Aku nggak tahu lagi gimana galaunya aku kalau nggak ada kalian."

"Ya udah, gimana kalau habis ini kita ke ruang musik? Refreshing. Kita main musik bareng, Karis yang nyanyi," ajak May.

Veve menjentikkan jarinya, "Boleh tuh, tanganku juga gatal pengen main gitar, anak-anak band pada sibuk semua, sih," ujar Veve.

Mereka beranjak lalu bergegas ke ruang musik di gedung kegiatan sekolah. Ketika mereka sudah hampir dekat dengan ruang musik, mereka samar-samar mendengar sebuah alunan piano.

Nocturne nomor dua? Siapa yang main? Rissa mengenal alunan lagu itu.

"Eh, siapa yang main piano di ruang musik?" tanya Veve.

"Iya. Aku juga denger. Mungkin bu Siska," jawab May.

Bukan! Aku hapal permainan bu Siska, gaya permainan piano bu Siska tidak seperti ini. Rissa berbicara dalam hati.

"Coba lihat dulu ke sana, yuk," ajak Karis. Mereka dengan langkah pelan mendekati ruang musik. Namun, tiba-tiba alunan piano itu berhenti. Karena penasaran, mereka mempercepat langkah dan mengintip ruang musik lewat jendela. Namun tak ada seorang pun di sana.

"Ha? Nggak ada siapa-siapa, tuh," ujar Karis.

"Terus? Siapa yang main tadi?" tanya May.

Rissa juga tidak melihat siapa pun di ruang musik, Permainannya sempurna. Siapa dia? batin Rissa.

Krrriiingggg...!!!! Bel tanda berakhirnya istirahat sudah berbunyi.

"Kok jam istirahat cepet banget, sih?" tanya May. Rissa mengangkat bahu dan mereka pun memutuskan untuk segera kembali ke kelas. Mereka datang bersamaan dengan guru kimia yang mengajar di kelasnya.

"Untung banget nggak terlambat," bisik May kepada Rissa. Ketika kegiatan belajar mereka masih berlangsung sekitar sepuluh menit, seseorang yang terlambat masuk kelas mengetuk pintu.

"Permisi, maaf pak, saya terlambat," dengan santainya, Rick masuk ke kelas dan segera menempati bangkunya.

Ha? Rick? Aku nggak sadar daritadi Rick belum masuk kelas, batin Rissa. Mata Rissa mengekor Rick dan tiba-tiba jantung Rissa berdegup cepat ketika Rick melewati bangkunya. Ia menyentuh dadanya, menarik dan membuang napas perlahan agar degup jantungnya kembali normal. Aku kenapa, sih? Kemarin bayangan dia tiba-tiba muncul, sekarang deg-degan sama seperti waktu melihat dia memanah.

Rissa menggelengkan kepalanya, berharap apa yang dirasakannya itu enyah dan mulai konsentrasi lagi mengikuti pelajaran.

***

Keesokan harinya di jam istirahat, Rissa dan ketiga sahabatnya sedang menikmati makanan mereka masing-masing di kantin dengan tenang. Sampai suara Ivandito mengagetkan mereka.

"Minggir, woy, jangan berdiri di jalan. Emang ini kantin punya emakmu?" Ivandito membentak seseorang yang dianggapnya menghalangi jalan. Ivandito, Bryan, Justin, dan Rick memasuki kantin dan duduk agak jauh dari tempat duduk Rissa. Tak lama kemudian, Rissa melihat Icha, Lena, dan Shilla menyusul gerombolan Ivandito. Mereka berbicara dan tertawa dengan keras, membuat orang sekeliling yang sedang menikmati makanannya merasa tidak nyaman.

"Mereka benar-benar merusak selera makanku," kata Karis.

"Udah, biarin aja, toh udah biasa kelakuan mereka kayak gitu," ujar Veve.

"Rick malah ikut-ikutan mereka. Andai aja dia bukan anggota SSDC, udah jadi incaranku, tuh," ucap May setelah menelan nasi soto di mulutnya.

Rissa juga merasa tidak nyaman. Namun, saat ini, yang mengganggu Rissa bukan karena kegaduhan Ivandito dan kawan-kawannya, melainkan apa yang dilihatnya. Icha duduk di samping Rick. Tangan Rick bersandar di sandaran kursi yang diduduki Icha, posisi mereka sangat dekat. Rissa tak tahu kenapa pemandangan itu mengganggunya, perasaannya akhir-akhir ini memang sedang kacau semenjak melihat pertandingan panahan tempo hari. Duh, apaan, sih? Kenapa perasaanku jadi nggak nyaman gini, sih? Ngobrol sama Rick aja nggak pernah. Ia mengalihkan perhatiannya dengan menghabiskan makanannya.

"Udah deh, habisin makanan kalian, lalu kita balik ke kelas aja," kata Rissa kepada sahabat-sahabatnya, namun tak ada satupun yang menjawab, karena mata sahabat-sahabatnya sedang menuju ke arah gerombolan Ivandito. Rissa mengikuti arah pandangan sahabat-sahabatnya.

Dua orang siswi kelas X mendekati gerombolan Ivandito. Yang seorang membawa sekotak coklat di tangannya. Kedua adik kelas itu lumayan cantik, menurut Rissa. Siapa mereka? Kalau dilihat, anak populer dari kelas sepuluh, ya? batinnya. Rissa tahu bahwa kedua anak itu kelas sepuluh karena garis di ujung lengan jas seragamnya berwarna hijau.

"Wow, ada angin apaan nih dua adik kelas nyamperin? Ada perlu apa? Nyariin kak Ivandito, ya?" tanya Ivandito.

"Namanya siapa?" tanya Justin. Tak ada respon dari kedua adik kelas itu, alih-alih, mereka menunduk malu, "Kok gak jawab, sih? Malu, ya?"

"Wah, wah. Kayaknya bawa-bawa coklat, tuh. Pasti buat Kak Bryan, ya?" nada Bryan terdengar menggoda.

Dengan takut-takut, siswi kelas X itu berkata lirih, "Kak Rick, tolong terima coklat ini." Ia mendekat dan menyodorkan coklat itu di depan Rick.

"Wow!!" Justin bertepuk tangan, "cieeee, Rick, tuh ada yang ngasih coklat. Kamu terima, nggak?" godanya.

"Anak masih baru aja udah banyak penggemar," ujar Ivandito sambil melirik Rick. Sedangkan Icha terlihat tidak suka, namun ia hanya melipat kedua tangannya di depan dada sambil memperhatikan.

Rick menatap gadis di hadapannya itu dengan tatapan datar.

"Siapa namamu? Kelas berapa?" tanya Rick.

Cewek itu tersipu, "Nabila, Kak. Kelas sepuluh tiga." Selama beberapa detik, suasana hening, hanya beberapa orang yang terdengar berbisik-bisik. Semua perhatian pengunjung kantin sekarang tertuju kepada Rick.

"Bawa pulang aja coklatnya atau bagi-bagiin ke temen-temenmu," kata Rick. Ivandito terkekeh mendengar jawaban Rick.

"Udah ditolak tuh, buat Kak Bryan aja, ya?" kata Bryan sambil mengedipkan sebelah mata kepada Nabila.

"Buat Kak Justin juga boleh," sambung Justin, kemudian diikuti tawa keduanya.

Nabila tertunduk malu. "Tapi, ini untuk Kak Rick," katanya kemudian.

Rick menghela napas dan beranjak bangkit. "Aku tidak mau," katanya singkat dan bergegas melangkah keluar kantin. Namun, Nabila mengejarnya, "Kak Rick coklat ini..." Nabila tidak melanjutkan perkataannya karena kini coklat itu jatuh ke tanah. Kejadiannya begitu cepat, Rick berhenti, berbalik dan menampik kotak coklat itu sehingga jatuh ke tanah, sialnya penutup kotak coklat itu terbuka dan isinya berhamburan ke lantai. Rissa tercengang, tak sadar ia sudah bangkit berdiri dan diliputi rasa marah. Begitukah cara Rick mempermalukan seorang gadis? batinnya.

Nabila tampak terkejut, sedangkan Rick memandang coklat yang jatuh di hadapannya itu dengan tatapan monoton. Ivandito dan gengnya bangkit kemudian menyusul Rick. Ivandito merangkul Rick yang masih terpaku dan mengajaknya keluar, "Ayo, Rick."

"Yah, sayang banget, kan? Coba tadi coklatnya buat Kak Bryan, pasti Kak Bryan habisin." Bryan berkata kepada Nabila sambil berlalu.

"Ckckck... kasian. Makanya jangan sok cakep," bisik Icha di dekat telinga Nabila, kemudian berlalu.

Nabila hanya berdiri terpaku, Rissa tahu bahwa gadis itu sedang menahan tangisnya, badannya gemetar. Temannya segera merangkul Nabila dan membawanya keluar kantin. Melihat kejadian itu, Rissa merasa marah. Marah? Untuk apa? Karena melihat seseorang dipermalukan? Atau sebenarnya kecewa melihat sikap Rick? Rissa tak dapat memastikannya.

***


Unch unch, akhirnya bab ini selesai kurevisi. Btw, apakah kalian pernah merasa kagum sengan seseorang karena orang itu hebat melakukan suatu hal? Kalau aku sih pernah :D bukannya itu wajar, ya? hahaha. Jadi, apa yang terjadi sama Rissa, ya? Bagaimana juga kelanjutan perjodohannya?

Btw, alunan piano yang Rissa denger dari ruang musik itu adalah Nocturne in E-Flat Mayor Op. 9 No. 2 karya Frederick Chopin. Kalau ingin mendengarnya, silakan cek video di mulmed. Sampai jumpa di bab berikutnya :D


Magic Forest

4 Oktober 2017 (Republish)

19:13

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro