❬ 5 ❭ Life Goes Further

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo deket-deket sama Ara gitu gak takut?"

"Hah? Apa, sih, maksud lo?"

"Duh, gak liat kemaren itu dia nangis gak jelas. Kek orang kesurupan tau, nggak? Eh, bukan. Menurut gue lebih kayak orang gila."

"Lo kali yang gila!"

Gadis dengan rambut bergaya bob yang tadinya duduk di atas meja yang terletak dekat dengan pintu masuk kelas akhirnya bangkit. Menunjuk gadis satunya dengan amarah yang hampir melunjak.

"Kalo nggak tau kebenarannya nggak usah sok tau gitu, deh," sahut Syifa menggebu.

Gadis yang duduk di bangkunya itu mengernyit heran. "Kok malah lo yang marah? Kan gue bilangin dia."

"Bilangin orang sembarangan gitu, siapa yang nggak marah?" Syifa menaikkan sebelah alisnya—menantang. Sedang gadis satunya hanya memutar bola mata malas.

Kala berbalik, Syifa mendapati Ara yang berdiri di depan pintu dengan pandangan malas. Detik berikutnya, Ara berjalan melewati keduanya menuju tempat duduk. Mengabaikan kata-kata yang hampir beberapa waktu terakhir selalu didengarnya.

Percuma saja ditanggapi, bukankah orang-orang malah akan semakin percaya bahwa Ara gila? Gadis berambut panjang jatuh sepunggung itu duduk di bangkunya. Menyembunyikan kepala di antara lipatan tangan di atas meja. Semakin hari, mood-nya semakin buruk. Ara hanya berharap jika ia benar-benar gila agar tidak menghadapi orang-orang aneh seperti ini.

"Ra, lo nggak perlu dengerin dia. Dia, tuh, yang gila." Syifa lantas menghampiri mejanya. Menunjuk dengan bibir bawahnya pada gadis yang duduk paling depan dari barisan meja Ara. Lalu pandangannya beralih lagi pada Ara yang tampak tak acuh.

Gadis dengan rambut bergaya bob itu memberenggut. "Ra, jangan tidur, dong. Entar lagi masuk, loh."

"Lo bisa nggak tinggalin gue sendiri?" bentak Ara dengan sorot tajam. Tubuhnya langsung tegak karena lelah terus menerus diganggu.

Syifa bergeming untuk beberapa saat. Ia terkejut karena respon tak terduga dari Ara. Bahkan, beberapa orang yang berada di kelas juga memandangi dengan heran akibat hal tersebut.

Ara menghela napas panjang sembari mengerjab. Tak lama, ia bangkit hendak meninggalkan kelas. Gadis itu butuh udara segar. Namun, baru beberapa langkah dari kelas, tangannya dicekal oleh seseorang. Ara sontak mengaduh lalu menatap tajam lagi pada Syifa yang ternyata mengikutinya.

"Lo ...." Pandangan Syifa tak dapat Ara terjemahkan. Yang ia tahu selanjutnya adalah gadis itu menyingkap lengan kiri seragamnya. Goresan sisa semalam lantas terpampang jelas di sana. Syifa tampak tak percaya. Lantas kemudian Ara menarik lengan lalu memperbaiki seragamnya.

Saat kakinya hendak kembali melangkah, nada rendah dari Syifa membuatnya mengurungkan niat.

"Jangan bilang lo mau bunuh diri."

"Itu bukan urusan lo, kan?"

Pertanyaan retoris itu membuat Syifa bungkam. Namun, bukan berarti ia berniat mundur. Gadis itu kemudian mengambil langkah lalu berdiri tepat di depan Ara.

"Gue udah bilang, kalo lo punya masalah itu cerita. Jangan dipendem sendiri." Syifa melirik tangan bekas goresan tadi lalu kembali menatap netra kecoklatan milik Ara. "Banyak orang yang pengen hidup lebih lama, tapi lo malah pengen nyia-nyiain. Masih banyak hal yang bisa lo lakuin. Jangan berpatokan sama sedih lo aja."

Ara menaikkan sudut bibir kirinya. "Lo tau apa soal hidup gue? Ini masalah, masalah gue. Hidup juga hidup gue. Lo nggak perlu sok menggurui."

Syifa hampir frustrasi. Gadis menggeleng kuat untuk menolak pernyataan tersebut. "Gue bukannya mau menggurui. Gue cuma mencoba untuk bikin lo sadar kalau hidup nggak bisa stuck di situ-situ aja. Life goes further. Lo harus liat ke depan, karena sedih yang berlarut-larut malah bikin lo makin hancur."

Setelahnya, Syifa mencoba memegang pundak Ara. Gadis itu tertunduk dalam, mencerna setiap perkataan gadis bertubuh pendek darinya itu. Benarkah itu? Dia terlalu larut dalam kesedihannya?

Andai saja melupakan lara semudah melepas perban, maka akan Ara lakukan. Yang jadi masalah, pedih yang selalu datang padanya. Tak berhenti untuk membuat gadis itu tertekan. Jika begitu, Ara bisa apa?

***

Ara pulang dari sekolah, sampai di rumah tepat waktu seperti biasa. Seperti biasa pula, ia memasuki rumah dengan perasaan hampa. Namun, kali ini ada sedikit perubahan ekspresi yang diperlihatkannya kala mengetahui sang mama yang tengah membawa koper berukuran cukup besar dari dalam kamar.

"Udah pulang, Ra? Kebetulan Mama sama Papa belum pamitan." Ringgo—ayah tirinya—menyapa di depan pintu. Sang papa juga terlihat rapi sama seperti mamanya.

Kerutan di dahi Ara mendalam. "Mama kemana?"

"Mama mau ikut Papa ke luar kota. Kamu baik-baik di rumah, ya." Sekar tersenyum sebentar—melihat bawaannya sekilas sebelum akhirnya masuk lagi ke dalam kamar untuk menggambil tas jinjing yang tertinggal.

Ara menggigit bibir. Hal sulit yang paling ia benci adalah ketika berbicara dengan keluarganya sendiri. Bukan tanpa alasan, ia seperti itu karena memang sudah terlanjur membenci.

Akan tetapi, lintas kejadian kemarin malam ketika dirinya dibiarkan hanya berdua dengan Ezra membuat Ara menyingkirkan sejenak perasaan tersebut.

"Ara boleh ikut?" cicitnya.

Mungkin karena panik, kata itu yang keluar dari mulutnya sebagai tanya. Tentu saja mengundang tawa heran dari sang mama.

"Kamu, kan, sekolah." Sekar menatapnya. Terlihat sinar heran di mata wanita itu melihat sang anak gadis yang hari ini terlihat tak seperti hari-hari biasa. "Kamu ganti baju dulu. Kita makan siang bareng."

Di rumahnya, Ara tinggal bersama sang ibu, ayah serta kakak tirinya. Tidak ada lagi orang lain selain mereka. Kecuali, dua asisten rumah tangga yang biasa membantu Sekar membereskan rumah. Itu pun hanya setengah hari, tidak menginap. Bisa dibayangkan jika Sekar dan Ringgo pergi? Ara tak mau kejadian semalam terulang lagi.

"Mama bisa nggak, nggak usah ikut Papa ke luar kota?" Ara mengabaikan perintah Sekar untuk menganti seragam. Gadis itu justru langsung mengikuti langkah mamanya menuju ruang makan.

Ringgo menatapnya heran. Pun, dengan Sekar yang melakukan hal serupa.

"Ganti baju, Ara." Sekar memperingati lagi.

Ara bisa merasakan tatapan-tatapan itu yang mengarah padanya. Ia juga sadar ketika telah sampai di ruang makan, ternyata Ezra ada di sana.

"Ma, Ara takut."

Gerakan Sekar yang hendak menarik kursi untuk duduk seketika terhenti. Ia tatap sang putri lagi.

"Ara nggak mau sendirian," sambung gadis berseragam itu.

"Ada Ezra." Sekar menujuk pada lelaki berpakaian serba hitam ala rumahan favoritnya. "Abangmu nggak ikut, kok."

Kepala Ara menggeleng cepat. "Jangan pergi, Ma."

Kehabisan kesabaran untuk meladeni sikap aneh anaknya, Sekar menatap tajam. "Kamu ini kenapa? Bukannya kamu biasa sendiri? Menyendiri terus-terusan? Mama cuma pergi sebentar nemenin Papa buat urusan kerja."

Ara mendekat pada mamanya. Mereka berdiri berhadapan. "Ara nggak peduli sama Papa. Dia bukan Papa Ara. Mama jangan pergi."

"Ara!"

"Ma, mungkin Ara capek. Mama makan aja, pesawatnya bentar lagi, kan?" Ezra, karena merasa akan ada perdebatan yang tak penting, memilih untuk menengahi.

Mendengar ucapan dari anak lelaki suaminya, Sekar menghela napas perlahan. "Abangmu pasti jagain kamu. Nggak usah khawatir."

Sekar bergerak untuk duduk. Membiarkan Ara yang masih berdiri di sampingnya.

"Ara nggak punya abang."

"Ara, jangan bikin Mama pusing.."

"Ma, udah. Biarin aja." Ezra melerai lagi.

"Diem lo!" sentak Ara. Seketika membuat semua mata memandang ke arahnya.

"Kamu bisa sekali aja jangan bikin keributan di meja makan?" Nada bicara Sekar meninggi—berniat membalas Ara. Wanita dengan umur empatpuluh tahunan itu lantas memijit pangkal hidungnya.

"Dia bukan abang Ara."

"Iya. Ezra bukan Abang kamu. Tapi seenggaknya dia bisa jagain kamu. Nggak usah takut."

"Justru Ezra adalah ketakutan terbesar Ara, Ma!"

Napas Sekar terhela kasar. "Kenapa? Takut ditinggal? Ezra, kan, juga punya kesibukan. Wajar, dong, Ra. Tapi pasti dia tetep awasin kamu."

"Nggak, Ma." Ara menahan gemuruh di dada. "Ezra ... brengsek."

"Ara!" bentak Sekar.

"Ma," tegur Ezra.

Ara mendecih menatap Ezra. Baginya, lelaki itu hanya sedang mencari muka di hadapan mamanya. Anak kebanggaan sang mama tak mau kelakuan bejatnya terbongkar. Sementara saat ia melirik pada Ringgo, lelaki yang kini menjadi papanya itu hanya diam memerhatikan.

"Ezra itu nggak seperti apa yang Mama bayangkan. Anak kebanggan Mama ini ... bajingan!"

"Ara, cukup."

"Mama nggak tau, kan, kalau kalian nggak ada, Ezra ngapain aja?" Tatap tajam Ara yang menyala-nyala ia layangkan pada tempat di mana Ezra berada. "Dia mabuk-mabukan."

Napasnya berkejaran ketika berbicara sambil memutar memori kejadian semalam. "Ezra mabuk. Dia pulang larut malem. Masuk ke kamar Ara, Ma. Nampar Ara, ngelakuin hal yang nggak akan pernah dilakuin seorang kakak sama adiknya. Ezra ... Ezra hampir nyentuh Ara."

Plak!

Gema suara kulit bertemu kulit menyatu di udara setelah Ara selesai mengucap perkataannya dengan susah payah. Bisa Ara rasakan pipi kirinya perih dan panas. Ia menatap Sekar dengan raut tak percaya.

"Mama bilang berenti, berenti!" Sekar emosi. Ditatapnya Ara dengan lekat. Menghiraukan tegur halus dari Ringgo, Sekar melanjutkan. "Lebih baik kamu ikut papamu!"

Bersama dengan hentakan sepatu milik Sekar yang terdengar menjauh, Ara meneteskan air mata. Mamanya tak pernah semarah itu padanya. Minimal hanya membentak dan berteriak, tidak sampai menampar serta ... mengusirnya.

Apa di benak mereka ... Ara seaneh itu?

"Ara?"

Panggilan itu membuat dirinya menoleh dan mendapati Ezra berdiri di depannya.

"Gue—"

Ara langsung pergi begitu saja sebelum Ezra melanjutkan kalimatnya. Bukan menuju lantai dua di mana letak kamarnya berada, melainkan menuju pintu utama keluar rumah.

Isakan tangisnya masih tersedu-sedu saat ia lihat sopir sewaan sang ayah menatapnya kebingungan. Tanpa kata, Ara hanya berjalan melewatinya. Menuju jalan raya. Berlari, menjauh dari rumah yang tak pernah menjadi tempat singgah baginya.

***

Di pinggir jalan raya dengan padatnya kendaraan, Ara berjalan lunglai tanpa arah. Hanya melihat-lihat sekitar sambil menahan perut yang keroncongan.

Ia abai pada kondisi wajahnya sehabis menangis tadi. Serta pada seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya.

Ara masih punya uang saku lebih untuk membeli makan. Masih ada sisa bekal yang Syifa buatkan. Namun, mulutnya untuk mencicip merasa enggan.

Di tengah rasa kalutnya itu, tanpa sadar Ara melangkahkan kaki menuju jalan raya. Padat dan bisingnya kendaraan di sore hari tak lantas membuat Ara waspada.

Syukurnya tak terjadi apa pun. Meski Ara melewati beberapa kendaraan yang melintas dengan sembarangan, tetapi langkahnya hampir sampai tujuan.

Hampir sampai menuju seberang, Ara mendengar suara klakson yang membuat telinganya berdengung menyakitkan. Hanya sekejap, karena tangannya langsung ditarik seseorang sampai mereka saling menempel. Ara meringis ketika dahinya membentur dada orang itu. Meski keras, Ara bisa merasakan hangat di sana.

"Liat-liat, Neng kalau mau nyebrang."

"Maaf, Pak."

Terdengar orang yang tengah mendekapnya itu berbicara dengan orang lain. Tak lama, suara kendaraan melaju pergi membaur dengan kendaraan lain.

Tersadar akan posisinya, Ara mundur beberapa langkah. Matanya menyipit melihat seorang lelaki tengah menatap ke arahnya.

"Kenapa akhir-akhir ini lo seneng banget ada di sekitar gue?"

"Mungkin ... ini takdir," jawabnya sambil tersenyum.

***

Berlanjut ....

Hoiii~ siapa tuh yang nolongin Ara?
Yuk ditebak dulu. Aaahh~ mudah banget mah ini. Sambil tutup mata juga kejawab. Awokawok.

Hayoloh, tungguin Furthermore terus, yak. Jangan lupa loh. Tiap Senin. Catet gede-gede. Hehe.

Oke, see ya next week!

Salam gulali dari Tim D'Camellias; vanilla-shawty.

—[01/02/2021]—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro