❬ 6 ❭ Ara dan Keanehan yang Dibawanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dua insan yang sama-sama menatap kolam ikan di sebuah taman, duduk berdampingan di atas rumput. Sang gadis sibuk mengunyah roti dari dalam plastik bungkusannya. Sedangkan si lelaki sesekali menatap insan di sebelahnya sembari tersenyum kecil. 

"Lo udah berapa tahun nggak makan?" celetuk Alby sesaat setelah Ara meminum minuman yang ia beli di sebuah minimarket sesaat sebelum datang ke sana. Melihat gadis itu makan sangat lahap, sangat mencerminkan jika ia sungguh kelaparan.

Ara diam, tak menanggapi. Hanya menghela napas panjang sembari terus menatap gelombang kecil yang muncul di kolam. Tak lama setelahnya, muncul ikan kecil. Namun lantas, ikan itu kembali menenggelamkan diri.

"Lo bisa pergi, nggak? Gue lagi pengen sendiri," pinta Ara dengan nada rendah. Ia lantas menundukkan kepalanya.

Alby menoleh dengan senyum jenaka. "Kalau gue nggak mau?"

Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu merotasikan bola matanya. Kepalanya sama sekali tak punya ide lain untuk mengusir lelaki asing yang entah sejak kapan terasa seperti ingin selalu di dekatnya ini. Namun, setidaknya lebih baik daripada harus berada di dekat kakak tirinya.

Alby menaikkan sudut bibirnya sembari menatap Ara lamat. Detik berikutnya, lelaki berkaus hitam itu menumpukan kepalanya di bahu kanan Ara. "Ya udah, gue nggak bakal pergi ke mana-mana. Btw, bahu lo lumayan nyaman juga." Senyumnya lantas kian mengembang.

"Ihhh! Lo apaan, sih?" pekik Ara tak terima lalu menyentak bahunya agar Alby menjauh. Wajahnya sukses memerah menahan kesal, sementara Alby malah terbahak sembari memukul rumput.

Gadis itu menatap Alby dengan pandangan tak suka. Bertemu saja baru beberapa kali dan hari ini sudah bertingkah saja seperti orang paling dekat. Punya dosa apa Ara hingga harus dipertemukan dengan orang-orang menyebalkan?

"Mending lo pergi sekarang."

Alby menggeleng tegas, tak lupa dengan senyum jenaka yang tak kunjung luntur dari wajahnya. "Nope! Gue takut entar lo bundir di kolam ikan." Dagunya lantas menunjuk ke depan.

Semilir angin sore kemudian menerpa wajah keduanya. Ara menyugar anak rambutnya sembari menghela napas panjang. Keadaannya saat ini benar-benar serba salah. Ia takut untuk pulang, sementara di sini ada Alby tak tak henti mengganggunya. Pergi ke tempat lain pun gadis itu tak dapat memastikan jika Alby tak mengikutinya seperti anak ayam.

"Lo nggak pulang?" Alby kembali membuka suara ketika tampak di matanya gurat jingga yang terukir di angkasa. Lelaki itu menekuk lututnya lantas melirik Ara yang juga menengadah.

Ara tercenung menatap gurat jingga yang menurutnya indah itu. Namun, kala kembali teringat untuk pulang, rasanya raga tak siap. Ia masih takut untuk menginjakkan kali di rumah itu karena Ezra. Pun, Mama dan Papa tirinya seperti tak pernah mengerti apa yang Ara inginkan. Lengkung di bibir gadis itu kian menipis, ia tersenyum miris.

"Gue berasa ngomong sama angin. Jawabannya cuma napas."

Celetukan Alby lantas membuat Ara menoleh dengan sorot tajam. Di matanya, Ara mendapati Alby yang ikut-ikutan menghela napas panjang. Berkali-kali hingga membuat gadis yang masih mengenakan seragam itu mengernyit heran.

Tak lama setelahnya, lelaki itu menoleh pada Ara. Menampilkan raut yang hampir sama ketika pandangan mereka saling bertubrukan. "Lo kalau terus-terusan liat kayak gitu, entar gue peluk. Mau?"

Sudut bibir kiri Ara lantas kian naik. Gadis itu menaikkan dagunya sedikit. "Lo mau gue tampar untuk yang kedua kalinya?"

Setelahnya, ia bangkit dengan bungkus sisa makanan di tangan. Meninggalkan Alby yang tercengo sebentar lalu mengikuti kemana Ara pergi.

"Eh, eh. Emang lo udah inget kalau pernah nampar gue?" tanya lelaki itu bingung. Jalannya dipercepat hingga kemudian berhasil menyusul Ara. Ia lalu berjalan mundur di depan gadis itu.

Kala mata gadis itu menangkap sebuah tong sampah, tangannya lantas memasukkan sisa makanannya ke dalam sana. Ia lanjut berjalan lurus walau sebenarnya Alby hampir menghalangi jalannya.

Ara bergidik acuh. "Nggak juga, sih."

Lelaki jangkung itu menatap Ara sebentar dengan mata menyipit lalu mendengkus malas. Detik berikutnya ia menatap sekeliling. Suasana hijau melingkupi kala keduanya hendak menuju pintu keluar taman. Pantulan sinar jingga dari mentari seakan memberi warna menakjubkan pada pijakan di bawah kaki.

Orang-orang di sekitar semakin menghilang—meninggalkan taman yang warnanya kian kontras dengan langit yang menunjukkan gurat jingga. Hanya ada beberapa orang yang sepertinya juga akan ikut beranjak.

"Lo mau pulang, kan? Gue anterin, tapi naik bus."

Setelahnya Alby memberikan cengiran lebar. Ara hanya menghela napas panjang. Gadis itu lantas memilih terus berjalan hingga menemukan sebuah halte. Tentu saja dengan Alby di belakangnya yang terus mengikuti seperti anak ayam.

***

Sepasang kaki menginjak beton di bawah naungan sebuah halte. Kala berbalik, keningnya berkerut dalam karena mendapati lelaki dengan tubuh jangkung dengan cengiran yang sedari tadi seakan tak kian luntur. Ara heran, apakah pipi Alby tidak pegal?

"Lo ngapain masih ngikutin gue?" tanya Ara heran—jemarinya menunjuk pada Alby yang memasukkan dua tangannya ke dalam kantong celana. "Atau ... rumah lo deket sini?"

Alby menggeleng. "Enggak. Kan udah gue bilang mau nganterin lo pulang."

Gadis itu mendengkus lagi. Rasanya bicara pada Alby malah membuatnya sakit kepala. "Dia pikir gue anak kecil kali, ya," gerutunya pelan lalu lanjut berjalan—pulang ke rumah.

"Lo bilang apa?"

Alby berjalan lebih cepat, menyeimbangkan langkah dengan Ara. Kepalanya lantas didekatkan pada Ara. Namun, yang ia dapatkan malah tangan yang mendorong kepalanya. Lelaki itu terkekeh.

"Gue kira, lo bilang kalau lo suka sama gue," celetuknya kemudian tertawa lagi.

Dengan santainya ia berjalan di samping gadis yang sudah menunjukkan raut tak percaya. Ara sampai terpelongo dan berhenti dari jalannya akibat pernyataan yang tak terduga itu.

Ara mempercepat langkahnya—menyusul Alby yang jaraknya tak seberapa jauh. Kala sudah menyamakan langkah, gadis itu menempeleng kepala Alby hingga pemuda itu mengaduh. "Mimpi aja lo, njir!"

Lelaki berkaus hitam itu memberenggut. Namun, kemudian kembali mengikuti langkah gadis yang masih mengenakan seragam itu. Hingga tak lama, keduanya menginjakkan kaki di halaman sebuah rumah bercat putih dengan gaya Eropa. Alby berkedip beberapa kali kala memandanginya.

"Orang kaya kok pergi-pergi naik bus? Kan bisa naik mobil," ucap Alby pelan sembari terus memandangi pekarangan rumah Ara.

Suasananya memang cukup tenang. Saking tenangnya, Alby merasakan bulu kuduknya berdiri. Mungkin saja karena hari yang semakin gelap. Jingga hampir memudar dan kian terganti biru gelap.

"Muka gue emang keliatan kayak tertarik naik mobil? SIM aja nggak punya." Ara membalas dengan nada ketus. Gadis itu merotasikan bola matanya lalu bersandar pada pintu utama berwarna putih bersih.

"Di rumah sebesar ini ... lo tinggal sendirian? Kayaknya sepi banget." Mata lelaki itu tak kunjung selesai menatapi seluruh pekarangan dan rumahnya. Ara sampai heran sendiri.

"Nggak, lah. Ada bokap, nyokap, sama abang yang brengsek," sahut Ara ogah-ogahan. "Udah, pulang lo sana."

"Ngusir?" Alby menaikkan alis kanannya.

Ara mengangguk mantap. "Iya!"

"Tapi gue, kan, tamu. Tamu itu harus diperlakukan selayaknya raja." Lelaki itu menaikkan kedua sudut bibirnya. "Ajak masuk dulu, kek. Minum teh bentar."

"Tapi gue nggak nerima tamu," balas Ara dengan dagu terangkat—tersenyum paksa sebentar lalu membuka pintu untuk dirinya sendiri. Kala Alby hendak ikut masuk, gadis itu dengan cepat membanting pintunya hingga gema nyaring terdengar. Lelaki itu hanya terpelongo di tempat untuk beberapa saat.

"Galak. Kayak anjing Pak Rahmat," gumam Alby dengan bibir mengerucut sembari menatap pintu putih di depannya.

Tumitnya memutar, memandang angkasa yang kian menggelap. Helaan napas panjang kemudian menguar dari bibirnya. Ia pasti akan ditodong dengan sederet pertanyaan oleh sang Bunda.

Lelaki jangkung itu lantas berjalan menuju keluar pekarangan. Gadis itu benar, ia harus pulang. Jika lebih terlambat lagi, Alby mungkin saja tidak diberi pintu oleh bundanya.

Baru saja berjalan beberapa langkah keluar dari pekarangan, seorang pria berpakaian seperti penjaga keamanan muncul di hadapannya dengan raut sedikit terkejut.

"Eh, kamu baru dari rumah Non Ara, ya? Pacarnya bukan?" todong pria itu langsung. Membuat Alby gelagapan bingung.

"I-iya, saya baru dari rumah Ara. Tapi saya bukan pacarnya." Alby mengibaskan tangannya untuk memperjelas pernyataan. Jangankan pacar, dikatakan sebagai teman saja Ara mungkin tidak mengakui.

Pria yang Alby tebak adalah satpam di rumahnya Ara itu tersenyum jenaka. Entah apa maksudnya, Alby juga tak tahu. "Ohh, iya, deh. Mau pulang, kan? Hati-hati, ya."

Alby menggaruk belakang telinganya lalu menyengir kecil. "Hehe, makasih, Pak."

Pria berkumis itu tersenyum lantas mengangguk. Benar dugaan Alby, pria itu berjalan menuju pos satpam yang ada di depan rumah Ara. Itu berarti, pria itu adalah penjaga keamanan di sana. Terlihat dari pria itu yang sibuk mengeluarkan kunci hendak membuka pintunya.

Lelaki berkaus hitam itu terdiam sebentar. Pemikiran tentang untuk mengetahui lebih dalam tentang Ara lantas menghantam kepalanya. Ah, mungkin menanyai satpam itu bisa jadi pilihannya.

"Pak Satpam, rumahnya Ara sepi banget, ya." Alby berucap begitu sampai di depan kaca pos tersebut. Pria di dalamnya sempat terlonjak kaget karena Alby datang dengan nada sedikit tinggi.

"Kan, Non Ara cuma tinggal sendiri di sini." Setelah menetralkan keterkejutannya, Pak Satpam menjawab dengan senyum tipis.

"Ooh." Alby mengangguk paham. Namun lantas menyadari ada sesuatu yang salah. Keningnya berkerut dalam.

"Ta—"

Drrtt ... drrtt ....

Ponsel di saku celananya berketar. Dia baru ingat bahwa jika seharusnya ia sudah pulang ke rumah saat ini. Pasti bundanya akan mengomel panjang nanti.

Benar saja. Kala menatap layar gawainya, tulisan Bunda terpampang di sana. Perlahan, lelaki itu menggeser icon hijau lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.

"Halo, Bun."

"...."

"Maaf, Bun. Al tadi ke rumah temen dulu."

"...."

"Iya, Bun. Ini Al mau jalan pulang."

"...."

"Iyaa."

Sambungannya kemudian terputus. Alby memasukkan ponselnya ke kantong celana. Lelaki itu menghela napas panjang dengan tatapan mengarah pada jalan. Ia harus pulang sekarang. Alby beruntung karena bundanya tidak mengomel banyak tadi. Namun, entahlah jika dia sudah sampai di rumah nanti.

Padahal tadi ia keluar rumah hanya berniat untuk beli buku. Akan tetapi, malah berakhir datang ke rumah Ara. Sangat aneh.

Pandangannya kembali mengarah pada pos di depan rumah Ara. Dari kaca tembus pandang itu, terlihat Pak Satpam yang sibuk mengisi TTS. Namun, yang jadi pusat perhatian Alby adalah potongan kertas koran yang ditempel di dinding berwarna putih gading itu.

Pesawat Libra Air LB118 Jatuh di Pesisir Sumatera, 113 Orang Ditemukan Tewas, 42 Orang Masih Dalam Pencarian. — Metro Harian, 9 Oktober 2020.

Alby buru-buru melihat ponselnya. Sekarang tanggal 9 Desember 2020. Itu berarti, potongan koran tersebut adalah berita dua bulan yang lalu. Yang menjadi pertanyaan, mengapa potongan berita tersebut harus ditempelkan di dinding?

***

Berlanjut ....

Hai hai! Balik lagi dengan Ara dan Alby.

Menurut kalian, gimana sama bagian ini? 😆

Jangan lupa terus tungguin, ya. Furthermore balik setiap Senin. Dadaaahh~

Salam gulali dari Tim D'Camellias; vanilla-shawty.

—[08/02/2020]—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro