10. Hasrat Dan Gairah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luciano menggedor meja di hadapannya dengan kedua kepala tangannya. Buju-buku jari pria itu memutih saking kuatnya cengkeraman tersebut. Menunjukkan kemarahannya terhadap Anne benar-benar tak bisa ditahannya. Wanita itu telah merampok segala emosi di dadanya. Kesabarannya benar-benar raib dan kepalanya terasa berdenyut memikirkan bagaimana lagi cara menaklukkan wanita yang satu itu.

Faraz hanya terduduk di kursi yang ada di depan meja tempat Luciano berdiri. Matanya melirik barang-barang yang jatuh ke lantai. Hanya mengamati dengan keseriusan yang terlalu dalam karena rasa laparnya.

Ia baru saja memasukkan dua suap nasi ke mulut ketika Luciano muncul membopong Anne dengan handuk di wajah wanita itu. Faraz pikir itu adalah sebuah kecelakaan, karena Luciano tampak begitu khawatir. Sebelumnya, Faraz tak pernah melihat Luciano sepanik itu.

Luciano sangat pandai mengendalikan emosi pria itu. Terlihat begitu tenang dan datar. Setenang air danau dalam situasi genting apa pun. Saking datarnya raut pria itu hingga mamoy membuat siapa pun kesulitan membaca ekspresi di wajah Luciano.

Tetapi rupanya Anne Lucas Enzio benar-benar sesuatu. Hingga mampu membuat seorang Luciano kewalahan mengahadapi emosi pria itu sendiri.

"Aku tak tahu ternyata sefrustrasi itu mengurus perawan," gumam Faraz lirih setelah keheningan berlalu dengan tegang. Mengedikkan pundaknya sambil mendesah pelan. Menatap kefrustrasian yang menyelimuti raut wajah Luciano di balik meja. Mengenal Luciano berpuluhan tahun, Faraz sendiri belum pernah melihat Luciano terlihat seresah itu. Seolah kehilangan akal dan tak bisa mengontrol keadaan.

"Apa yang dikatakan dokter?" Luciano tak berhenti mengetukkan ujung jemari di lengan kursi. Bibir menipis tajam dan ujungnya berkedut karena ketidak sukaan situasi ini. Yang berada di luar kendali.

Faraz menoleh ketika suara langkah kaki semakin mendekat. Pintu diketuk satu kali dan Reene muncul dengan pria berjas putih dan tas kulit hitam di tangan kanan. Keduanya berhenti di depan meja Luciano yang berantakan.

"Lukanya tidak cukup dalam, Tuan. Hanya butuh dua jahitan dan …"

"Apa akan meningalkan bekas?"

"Saya akan memberikan gel yang bisa dioleskan secara rutin agar tidak meninggalkan bekas."

"Berapa lama?"

"1-2 minggu, Tuan."

"Aku ingin lebih cepat." Luciano tidak meminta. Kalimatnya adalah sebuah keharusan.

Dokter tersebut seketika terdiam, menatap Reene dan Faraz bergantian sebelum menjawab dengan suaranya yang hampir serupa cicitan. "Saya akan berusaha keras untuk menghilangkannya dalam seminggu."

Luciano tak suka menunggu selama itu, tetapi ia selalu berusaha menekan ketidak sabarannya dan itu hanya karena Anne. Satu anggukan singkat membuat dokter tersebut bernapas lega, kemudian berpamit keluar setelah mengatakan Anne sedang istirahat.

"Wanita itu benar-benar tidak tahu diri dan angkuh, Luciano. Apalagi yang kau inginkan darinya?" Reene menggerutu dengan jengkel.

Luciano hanya mendesah pendek dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Menatap Faraz dan siapa menghadapi bisnisnya. "Apa yang ingin kau katakan?"

Faraz pun dalam sekejap berubah menjadi mode serius. Mengabaikan keberadaan Reene. "Kupikir ini perbuatan Mad Dog lagi."

Kening Luciano berkerut dalam keseriusan. "Apa?"

"Tiga wanita menghilang dari Aneeta."

Luciano menegakkan punggungnya. Keseriusan di wajahnya berubah lebih pekat.

"Aku sudah mencari mereka di bas camp dan mempertanyakannya, tetapi rupanya mereka sudah menghilang sejak tiga hari yang lalu. Tidak ada satu pun yang tahu, dan terakhir kali mereka terlihat adalah saat pulang dari klub di pagi hari."

"Kenapa kau tidak berpikir kalau mereka sedang mencoba melarikan diri?"

"Kau pikir ada tempat yang lebih baik dari Aneeta bagi mereka?" Faraz mematahkan argumen Reene dalam sekejap.

"Ini hanya tiga hari, Faraz. Jangan menanggapi terlalu serius. Apalagi ini berhubungan dengan si pecundang Mad Dog itu. Untuk apa dia menculik anak buah Luciano? Apakah dia pikir Luciano akan memyerahkan  nyawanya demi tiga wanita tak berharga itu?"

"Jaga kata-katamu, Reene," peringat Luciano pada kalimat Reene. "Nyawamu pun tak lebih berharga dari mereka."

Wajah Reene merah padam meski tahu Luciano tidak merendahkan dirinya. Tetapi pria itu yang selalu menghargai nyawa anak buahnya lebih besar dari segalanya. "Apakah aku salah? Ini sama sekali bukan gaya Mad Dog untuk mengusikmu, Luciano."

"Diam saja kau, Reene," sergah Luciano dingin.

"Aku mendengar gosip tentang perdagangan ilegal," sela Faraz.

Kedua mata Luciano melebar, tampak berpikir keras. "Apa kau sudah mengetahui siapa pria itu?"

Faraz menggeleng pelan. "Dia bahkan lebih licik dari ular, Luciano."

"Itu bukan alasan selama dua tahun ini tidak menunjukkan perkembangan, Faraz."

Mulut Faraz membuka nutup seperti ikan yang dikeluarkan dari air. "Kau tahu aku melakukan yang terbaik. Dan sangat hati-hati."

"Dan apa yang kau dapat?"

"Aku mendapatkan sesuatu, tetapi aku masih belum yakin."

"Apa?"

"Dia salah satu anak dari petinggi perusahaan besar."

Kerutan di kening Luciano semakin menajam.

"Ya. Sepertimu. Dia berkecimpung di dunia atas sepertimu. Menjalin hubungan yang baik dan berada dalam lingkaran bisnis yang sangat stabil. Kupikir itu untuk menutupi kedoknya yang sesungguhnya. Aku sedang memikirkan rencana untuk pesta minggu depan di kediaman Mr. Litzy."

"Pesta?" Wajah Reene seketika berubah semringah. "Minggu depan?"

"Yup," jawab Faraz yang dengan segera melenyapkan senyum tersebut dengan kalimatnya. "Kau akan datang denganku sebagai pasangan, jangan tersinggung. Aku juga tak menyukainya."

"Kenapa?" Reene memprotes pada Luciano.

"Luciano tak mungkin datang dengan wanita lain saat dia baru saja menikah, Reene. Terutama dengan kedua orang tua Anne yang pasti akan datang di sana." Faraz mengambil alih jawaban.

"Dan kau tak mungkin membawanya ke pesta dengan luka sayatan di pipi putrinya."

Faraz mendesah pelan, terlihat begitu jengah dengan Reena yang terlalu memaksakan keadaan. "Itulah sebabnya Luciano menyuruh dokter untuk menyembuhkannya dalam waktu seminggu. Kenapa kau tidak mencerna situasimu dengan baik, Reene."

Wajah Reene seketika berubah seperti kepiting rebut. Luciano bangkit berdiri dan berkata, "Temukan ketiga wanita itu secepatnya." Kemudian berjalan keluar tanpa menoleh ke belakang. Sepenuhnya mengabaikan panggilan Reene.

Faraz mendecakka lidahnya. "Kau membuatnya semakin bosan denganmu, Reene."

"Ini semua gara-gara wanita itu."

"Tidak. Sejak awal kau yang membohongi dirimu sendiri dengan harapanmu. Bukan karena Anne tapi Luciano tidak seputus asa itu untuk meniduri sepupunya sendiri."

Kedua mata Reene melotot tak terima.

"Pikirkan ini, Reene." Faraz mencondongkan tubuhnya ke arah Reene dengan ujung jemari mengetuk kepala. Merendahkan suaranya saat melanjutkan. "Kenapa Luciano harus menikahimu jika ia sudah punya istri? Istri cadangan? Ck, saat dia membutuhkan istri cadangan, kupikir banyak pilihan lainnya."

"Tutup mulutmu, Faraz. Kau tak tahu…"

"Tentang kesepakatan Luciano dengan ayahmu?" Faraz memenggal kalimat Reene dengan nada mengejek. "Kau hanya tahu luarnya. Tak tahu kesepakatan yang sebenarnya, ayahmu sendiri yang menghancurkan kesepakatan tersebut."

"Apa maksudmu, Faraz?" Kemarahan Reene berubah menjadi kepucatan.

Faraz hanya mengedikkan bahunya, kemudian bangkit berdiri. "Hufft, aku lapar. Kupikir aku akan menghabiskan dua piring spaghetti."

"Faraz?!" Reene ikut bangkit. Menyusul Faraz Yang berpura tuli. "Katakan padaku apa yang terjadi dengan ayahku."

Faraz masih bergeming. Menuruni anak tangga dan masih menutup mulut hingga membuat Reene menyerah dan membanting pintu kamarnya dengan keras.

***

Anne berdiri di depan wastafel, menatap pipi kanannya yang diplester dengan tatapan yang dingin. Pipi nya masih terasa sedikit kebas, tetapi ia yakin jika biusnya sudah hilang pipinya akan terasa perih.

Sedikit pun ia tak akan menyesal jika luka itu akan meninggalkan bekas di sana. Bahkan ia berharap akan meninggalkan bekas di sana hanya agar Luciano marah. Kecantikan yang membuat pria itu tertarik padanya sudah berhasil ia rusak.

"Kau pikir itu akan membuatku berhenti? Aku benar-benar kehilangan kata-kata untuk menunjukkan betapa tololnya dirimu, Anne," dengus Luciano yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar mandi, mengamati Anne yang melamun di depan wastafel. Jelas tampak puas dengan perbuatan wanita itu sendiri.

Anne tersentak dan menoleh.  Cukup dibuat terkejut dengan keberadaan Luciano yang entah sejak kapan ada di sana. Ia bahkan tak mendengar suara langkah pria itu. Dan ketika pandangannya turun, ia melihat pria itu tidak mengenakan alas kaki.

"Jangan memaksakan dirimu terlalu jauh, Anne. Hanya akan membuat dirimu sendiri menderita."

"Itulah yang kuinginkan. Aku hanya butuh mengetahui sampai di mana batasku untuk tidak menyerah dan putus asa."

Dengusan Luciano semakin keras. "Aku sudah pernah mengatakan padamu, kan. Bahkan jika perlu, aku akan mematahkan kaki dan tanganmu. Sehingga tidak ada satu orang pun yang akan mengulurkan tangan padamu, bahkan dengan rasa iba mereka. Aku akan membuatmu menjadi sangat menjijikkan hingga mereka tak sudi menoeh kepadamu saat kau merintih."

"Cukup, Luciano!" penggal Anne setengah membentak. Lagi-lagi tak sanggup menahan ketakutan yang mulai merebak di dalam dadanya.

Ujung bibir Luciano terangkat salah satu. Kakinya mulai melangkah, dengan sangat perlahan. Sengaja membuat Anne merasa terintimidasi. "Kata-katamu tak seteguh tatapanmu, Anne."

"Aku bisa mati…"

"Tidak. Kau tak bisa mati tanpa seijinku," tandas Luciano dengan ketegasan yang sangat kuat.

Langkah Anne bergerak mundur. Setiap satu langkah yang diambil Luciano, ia akan mengambil satu langkah ke belakang. Hingga punggungnya membentur dinding  dan sedetik Anne berpikir untuk menyelinap ke samping, detik berikutnya tubuh Luciano menghimpitnya. Menekan tubuhnya ke dinding dan membawa dagu Anne terdongak.

Luciano terkekeh. "Apa yang membuatmu berpikir bisa lolos dariku di ruangan sesempit ini, Anne?"

Anne menekan ketakutannya dan berusaha keras agar suaranya tak bergetar saat berdesis, "Lepaskan, Luciano."

"Memintalah dengan cara yang benar."

"Dari mana aku tahu kau akan mengabulkan permintaanku jika aku melakukannya dengan benar?"

Sekali lagi Luciano terkekeh. "Aku tidak tahu. Tapi… kau benar-benar menggemaskan, Anne."

"Aku tidak," delik Anne tersinggung.

"Membuatku tiba-tiba menginginkanmu."

Mata Anne melebar, segera menyadari apa yang akan dilakukan Luciano padanya.

"Aku akan melepaskamu setelah aku memanjakan tubuhmu."

Anne meronta-ronta, tetapi kedua tangannya malah dipaku ke atas dan tangan lain Luciano merobek bagian depan pakaiannya. Sekali lagi ia tak bisa lolos dari hasrat dan gairah Luciano.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro