9. Menggila

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anne muntah di wastafel, dengan air mata yang mengalir di pipi. Mencuci mukanya dengan air dingin, berkali-kali dan berharap itu bisa membersihkannya dari rasa kotor yang memenuhi wajahnya. Tetapi tetap saja semua itu tak membuat rasa jijik di dada terhadap dirinya sendiri berhenti.

Kepalanya menoleh keluar pintu kamar mandi. Melihat Luciano bangkit berdiri sambil menaikkan celana pria itu dengan seringai gelap yang tersungging untuknya. Sekaligus kepuasan yang begitu besar. Kemudian berbalik dan berjalan ke arah tangga.

Tubuh Anne jatuh terduduk di lantai. Ia benar-benar tak tahan menghadapi situasinya. Seolah dihajar habis-habisan untuk menyerah dan pasrah di bawah kaki pria itu. Dan ia hampir menyerah. Tetapi kebenciannya terhadap Luciano mendorongnya untuk tetap bertahan.

Anne menghapus air matanya. Menarik napasnya dalam-dalamnya dan menguatkan hati. Tidak ada siapa pun yang akan menolongnya jika bukan dirinya sendiri. Baiklah, Luciano bisa melakukan apa pun pada dirinya. Pria itu bisa menghancurkan dirinya menjadi remahan-remahan. Hingga tak ada apa pun dari dirinya yang bisa dihancurkan oleh pria itu. Maka ia pun akan melakukan apa pun yang diinginkannya.

***

"Kau terlihat senang," ucap Reene saat Luciano menginjakkan kaki di lantai satu. Wanita itu mengekor Luciano yang berjalan ke halaman belakang. Masih mencoba membaca ekspresi di wajah Luciano yang sulit diterjemahkannya. Apakah pria itu senang untuk hal yang ia pikirkan, ataukah sesuatu yang tidak ia sukai.

"Ada apa?" Luciano langsung pada inti pembicaraan. Jika Reene mendekat, tentu saja ada yang ingin wanita itu katakan. Sebaiknya bukan hal yanh membosankan.

"Mengenai rencana perjodohan kita."

Luciano sama sekali tak tertarik. Ya, Reene adalah putri tunggal pamannya yang dijodohkan dengannya. Sebagai salah bentuk pencegahan pengkhianatan antar saudara. Pamannya memegang wilayah tertentu, yang harus memihak padanya. Pernikahan ini ditujukan untuk meredakan konflik antar wilayah. Dan ia tak suka direpotkan dengan hal-hal kecil tentang penyerangan klub atau terlalu banyak musuh yang cukup bodoh dan masih berpikir ingin mencari gara-gara dengannya.

"Aku sedang tak ingin membicarakannya, Reene. Suasana hatiku sedang buruk." Luciano duduk di kursi, mengambil sebatang rokok dan Reene dengan sigap menyalakan pemantik untuknya. Luciano melirik dengan sudut matanya. Niat wanita itu terlalu jelas, yang membuatnya merasa bosan.

Alih-alih seperti Anne yang selalu membuatnya bersemangat untuk menaklukkan wanita itu, Reene jelas begitu memujanya. Binar wanita itu setiap melihatnya membuatnya jengah, dan sama sekali tidak membuatnya menarik. Wanita itu akan melakukan apa pun untuknya.

"Satu-satunya kesepakatanku dengan ayahmu hanyalah memastikanmu aman berada dalam perlindunganku dan keamananmu. Juga posisimu sebagai keluarga inti."

"Dan itu hanya bisa kudapatkan dengan mengandung darah dagingmu."

"Hanya jika Anne tidak bisa memberiku anak," koreksi Luciano dengan tegas.

"Well, kau sudah lihat hasil pemeriksaannya, bukan. Dia tidak bisa memiliki anak. Rahimnya masih terlalu lemah."

"Bukan tidak bisa, tapi belum bisa." Sekali lagi Luciano mengoreksi kalimatnya dengan tegas dan mulai sedikit jengkel.

Permukaan wajah Reene membeku, dengan kekecewaan yang begitu jelas. "Apapun alasanmu, kita tetap harus menikah seperti kesepakatan yang kau janjikan dengan ayahku, Luciano," balasnya dengan setengah mendesak.

Luciano memutar kepala dan tatapan tajamnya menusuk tepat di kedua mata Reene. "Jangan memerintahku, Reene. Aku tahu apa yang kulakukan, meski tidak seperti yang kau inginkan."

Reene mengerjapkan mata dan seketika menampilkan raut patuhnya. Sedikit menjauhkan wajahnya dari Luciano. Ia sangat memahami seorang Luciano. Jika sedikit saja ia melangkah lebih dekat tanpa ijin pria itu, maka selesailah sudah semua impiannua untuk memiliki Luciano.

"Harapanmu yang terlalu besarlah yang membuatmu tak bisa menanggung kekecewaanmu sendiri. Aku tak bertanggung jawab untuk semua itu."

Sekali lagi Reene dihentak kekecewaan yang besar. Tidak terima dengan keputusan Luciano yang membuangnya begitu saja karena wanita sialan itu.

Luciano menghisap rokoknya dan mengembuskan asapnya ke depan. Pandangannya menerawang ke depan. Memikirkan hukuman apa yang akan diberikannya pada Anne selanjutnya.

"Bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?" Reene tak menyerah. Tentu saja, posisi menjadi istri Luciano adalah impiannya sejak remaja. Ia selalu memuja dan menyimpan perasaan pada sepupunya itu sejak lama. Bagaimana mungkin setelah impiannya nyaris terpenuhi, harus tersingkir begitu saja? Bahkan dengan nyawanya, ia akan membuat Luciano menjadi miliknya.

Luciano hanya melirik tipis, tak mengatakan apa pun.

"Kenapa kau menikahinya, Luciano?"

Luciano masih bergeming, menghisap dan mengembuskan asap rokok  tanpa jawaban sepatah katapun.

"Dia membencimu. Dia bahkan menggugurkan kandungannya karena menolak mengandung anakmu. Wanita itu hanya akan memberikan dampak buruk untuk reputasimu. Juga menghina kepemimpinanmu karena tak bisa membuatnya patuh. Dia benar-benar masalah."

"Aku tahu, Reene."

"Dan apa yang akan kau lalukan padanya?"

"Kau mempertanyakan keputusanku untuk menikahinya?"

Sekali lagi rahang Reene terkatup rapat dengan patuh. Tak mengatakan apa pun lagi.

***

Anne turun ke lantai dua lebih lambat dari Luciano dan Reene. Dan jika bukan karena Luciano yang memerintahkan pelayan untuk membawanya turun ke bawah dengan memaksa, Anne enggan untuk turun. Bahkan ia sama sekali tak berselera makan setelah apa yang dilakukan oleh Luciano dengan mulutnya. Perutnya masih mual setiap ia mengingat pelecehan yang dilakukan Luciano terhadapnya.

Pandangan Luciano langsung menemukan Anne yang melangkah masuk ke ruang makan. Ujung bibirnya menyeringai melihat keengganan Anne, tetapi wanita itu masih mematuhi perintahnya. Rupanya Anne mengambil sedikit pelajaran dengan hukumannya tadi siang.

Dan di tengah-tengah keheningan tersebut, pelayan memberitahu bahwa ada seseorang yang datang.

"Tuan Faraz," jawab pelayan tersebut.

Luciano menggangguk, dan sesosok pria tinggi dan lebih kurus, dengan rambut ikal yang diikat sedikit berantakan melangkah masuk. Pria itu mengenakan setelan jas berwarna biru gelap yang dasinya sudah diurai.

"Selamat malam semuanya," sapa pria bernama Faraz tersebut, yang seketika memecah kesunyian yang menyelimuti ruang makan. Senyum semringah pria itu masih bertahan di wajahnya, bahkan ketika tak ada satu pun yang membalas.

Luciano hanya menatap Faraz dengan tatapan datarnya, Reene jelas tak suka dengan kedatangan pria itu sedangkan Anne hanya diam saja.

Anne mengenal Faraz di salah satu pesta yang ia datangi bersama Luciano. Pria itu bekerja sebagai kaki tangan kepercayaan Luciano. Terakhir kali ia bertemu dengan pria itu adalah di acara pernikahannya. Sebagai pengiring pengantin pria. Pria itu terlalu banyak senyum, yang membuat Anne tak menyukai pria itu.  Juga karena pria itu kaki tangan Luciano, karena ia tak ingin mengenal kehidupan Luciano lebih banyak lagi.

"Hai, Anne," sapa Faraz sembari duduk di kursi kosong samping Anne.

Anne sama sekali tak menjawab, apalagi memutar wajah untuk menatap pria itu.

Faraz mendecakkan lidahnya. Mencoba mencondongkan tubuh ke arah Anne. "Kau masih marah padaku? Karena aku mendapatkan buket bunga pernikahanmu?"

Anne tetap bergeming, sibuk menyiapkan nasi ke mulut dan mengunyahnya. Menelannya dan rasanya gumpalan nasi itu tertahan di tenggorokan. Sekali lagi Anne merasa mual dan bangkit berdiri, kemudian berlari ke lamar mandi terdekat untuk memuntahkan nasi tersebut.

Pandangan Luciano mengikuti ke mana Anne pergi. Menghilang di balik pintu kamar mandi yang ada di lorong menuju dapur belakang.

"Dia sakit?" Faraz menaikkan alisnya ke arah Luciano.

Luciano mendengus tipis. "Dia hanya belum terbiasa."

"Terbiasa apa?"

"Menyenangkanku. Aku pikir dia memang polos, dengan kecerdikannya untuk membuatku marah, aku tak tahu dia ternyata sepolos itu."

Faraz terdiam, mencoba menelaah kalimat Luciano dan saat ia memahaminya, kedua matanya melebar dan manggut-manggut. "Ahhh, begitu. Well, aku sudah mengatakan padamu, kan. Dia perawan yang sangat polos. Dan alami."

Wajah Reene merah padam akan pembicaraan pria yang dibahas oleh Luciano dan Faraz. Saat ia bertanya-tanya hukuman macam apa yang diberikan Luciano pada Anne, Reene tak pernah memperkirakan hukuman itu adalah sebuah keintiman. Yang malah menumpuk kecemburuan di dadanya.

Bisa menyentuh dan disentuh Luciano bukanlah sebuah hukuman. Itu adalah impiannya, yang hingga detik ini tak pernah bisa ia cicipi. Luciano selalu memandangnya sebagai seorang sepupu. Tetapi ia selalu bersikeras membuat pria itu menatapnya sebagai seorang wanita.

"Jadi, bagaimana rasanya?" Faraz mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Luciano. Dengan ketertarikan yang begitu besar di kedua matanya.

Wajah Luciano seketika berubah datar, menatap lurus kedua mata Faraz. "Kenapa aku harus membagi urusan ranjangku denganmu?"

Faraz memberikan cengiran kudanya, kemudian menarik tubuhnya kembali tegap. Pelayan datang dan memberikan piring bersih untuknya. "Aku belum pernah berurusan dengan perawan, tetapi memikirkan untuk mengajari seorang perawan cara bersenang-senang sepertinya cukup menarik. Apakah aku harus mencobanya juga?" tanyanya pada Luciano.

"Mereka tak tahu cara bersenang-senang. Apanya yang menarik, Faraz?" dengus Reene menyela dengan nada tak suka yang begitu kental. "Bagaimana seseorang seperti itu bisa menyenangkanmu? Mengajari? Benar-benar membuang waktu."

Faraz beralih menatap ke arah Reene. "Karena kau bukan perawan?" balasnya mengejek.

Kedua mata Reene seketika mengerjap dan mulutnya membuka nutup. "Tutup mulutmu, Faraz."

Faraz tertawa kecil. "Aku lupa, wanita juga punya kebutuhan yang tak bisa ditunda, ya. Jangan merasa malu, Reene. Kehidupan kita memang tak sesuci keluarga Anne. Yang begitu kolot. Dan keluarga semacam itu, hanya ada satu di antara jutaan orang."

Reene mendengus keras. "Dan apa yang perlu dibanggakan dengan semua itu?"

"Well, Luciano tak pernah melakukan apa pun tanpa sebuah tujuan, kan? Kita tak perlu menpertanyakan alasan Luciano." Pandangan Faraz berpindah pada Luciano.

"Apakah yang membuatmu datang ke sini  malam-malam begini?" Luciano malah mengalihkan pembicaraan.

Dan dalam sekejap ekspresi wajah Faraz berubah serius. Luciano menangkap jawaban tersebut dan mengangguk singkat.

"Apakah istriku masih di kamar mandi?" tanya Luciano pada pelayan.

"Ya, Tuan."

"Kau bisa mengurusnya sebentar." Faraz belum sempat menutup mulutnya ketika Luciano mendorong kursi ke belakang dan langsung menyusul Anne ke kamar mandi. Tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan sebungkus permen. Membuka pembungkusnya dan memasukkan isinya ke dalam mulut.

Anne membungkuk di depan wastafel, sedang berkumur dan mencuci muka ketika Luciano membuka pintu kamar mandi. Wanita itu menoleh dengan keterkejutan bercampur ketakutan yang kesulitan ditutupi.

Luciano melangkah masuk dengan perlahan. Kedua mata mengunci pandangan Anne, yang mulai beringsut. Luciano mengambil beberapa lembar tisu dan mengulurkannya pada Anne. Penolakan wanita itu segera ia patahkan, "Aku tak suka ditolak, Anne. Lagipula kau membutuhkannya."

Anne pun mengambil tisu tersebut dan menggunakannya untuk mengeringkan wajah dan tangannya. Setelah selesai, Anne membuang tisu bekas tersebut ke tempat sampah. Dan saat ia menoleh, Luciano menarik pinggangnya hingga menempel di tubuh bagian pria itu. Sedangkan tangan Luciano yang lain membawa wajahnya ke bibir pria itu.

Luciano melumat bibir Anne dengan lumatan yang lebih lembut dari siang tadi, sedikit melegakan Anne. Ditambah ada sebutir permen yang lembut dan manis dipindahkan ke dalam mulutnya. Saat menyecap, Anne mengenali rasa coklat yang manis meleleh di lidahnya. Luciano menarik wajahnya dan tetap mempertahankan posisi sedekat mungkin dengan wajah Anne. "Kau juga membutuhkan itu, bukan?"

Anne hanya terdiam. Tak tahu harus memberikan respon seperti apa untuk apa yang dilakukan Luciano padanya dan untuk menjawab pertanyaan pria itu. Keduanya matanya berkedip sekali.

Luciano terkekeh pelan. Tangannya yang masih berada di wajah Anne, bergeser sedikit. Ujung ibu jarinya bergerak menyeka bibir bagian bawah Anne dengan gerakan yang sangat perlahan. "Manis, bukan?"

Anne tak mengangguk, terlalu sibuk dengan wajahnya yang memanas. Karena tatapan intes pria itu.

Senyum tersungging di ujung bibir Luciano. "Biasakan dirimu, Anne. Ada banyak cara yang akan kuajarkan padamu untuk menyenangkanku. Setelah terbiasa, aku yakin kau akan mulai menikmatinya."

Anne menelan ludahnya. Ketakutan mulai merebak di seluruh wajahnya.

"Aku akan mengajarimu dengan penuh kesabaran."

"Kenapa kau lakukan ini padaku, Luciano?" Suara Anne terdengar seperti sebuah cicitan. "Kenapa harus aku?"

Luciano mendengus. "Kau masih mempertanyakannya?"

Anne menggigit bibir bagian dalamnya. "Karena kulit yang membungkus tubuhku."

Senyum Luciano mengembang. "Salah satunya. Kecantikanmu membuatku sulit untuk mengabaikanmu begitu saja, Anne."

Wajah Anne berubah dingin, dan dalam sekejap mata genggaman tanganya menggores pipi saat ia berkata, "Apakah dengan menghancurkan wajahku akan membuatmu berhenti menginginkanku?"

Luciano membeku, tercengang selama sedetik dan detik berikutnya ia menangkap genggaman tangan Anne. Sebuah garis yang berlumuran darah membentang di pipi wanita itu. Wajahnya mengeras, menemukan pecahan kaca di dalam genggaman wanita itu, yang entah bagaimana dan dari mana Anne mendapatkannya. "Kau benar-benar sudah gila, Anne," gerammya. Menyambar handuk bersih yang ada di laci bawah wastafel dan langsung menempelkannya di pipi kanan Anne, menahan darah mengalir lebih banyak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro