8. Hukuman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anak dalam kandungannya tak terselamatkan, dan bahkan Anne hampir kehilangan nyawa karena pendarahan yang hebat. Jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, nyawa wanita itu pasti sudah melayang. Beruntung ada pelayan yang datang dan menemukan wanita itu dalam keadaan sekarat.

Anne pingsan selama beberapa jam, dan saat terbangun hari sudah sore. Kepalanya masih pusing dan rasa tak nyaman bersarang di perutnya. Tidak ada siapa pun di ruang perawatannya. Tetapi ia yakin ada dua pengawal Luciano yang berjaga di samping kanan dan kiri pintu.

Telapak tangan Anne yang dipasang jarum infus bergerak menyentuh perutnya. Ia tak sudi mengandung anak Luciano, tetapi rasa kehilangan yang teramat sangat tetap saja tak bisa ia tahan. Seakan jantungnya dibetot dan ditarik keluar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya ketika suara langkah kaki yang kuat dan tergesa semakin mendekat. Anne baru saja memikirkan Luciano, dan dalam sekejap pintu dibanting terbuka lalu wajah murka pria itu muncul dan melangkah masuk.

Anne mengerjapkan matanya, mengurai air matanya tak sampai jatuh dan pandangannya langsung ditangkap oleh pria itu.

Kemurkaan terlihat jelas menyelimuti wajah pria itu. Menggaris keras dengan tatapan tajam yang menusuk kedua kata Anne.

"Kau benar-benar membuatku muak, Anne. Kau sengaja menggugurkannya?"

Anne terkejut dengan tuduhan tersebut, sekaligus tersinggung. Ia akui ia membenci kehamilan ini karena Luciano, tetapi ia bahkan belum memutuskan apa yang akan dilakukannya pada janin tersebut karena nalurinya yang ternyata lebih kuat dari kebencian nya terhadap Luciano.

"Aku tahu kau sangat membenciku, tetapi tak pernah memperkirakan seseorang seperti dirimu akan membunuh anak kandungmu sendiri. Kau benar-benar tak punya hati."

"Lalu bagaimana denganmu?" desis Anne tajam dengan suaranya yang lebih kuat. Begitu pun dengan tatapannya pada Luciano. "Kau yang menjebakku, Luciano. Apa kau bahkan peduli pada diriku? Kau begitu egois, kau tak lebih dari seorang pecundang yang berpikir bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan hanya dengan jentikan jarimu. Diriku, pernikahan, dan bahkan anak. Semua atas keinginanmu."

Wajah Luciano membeku, hanya untuk sejenak. Saat berikutnya wajah pria itu kembali diselimuti kemurkaan. "Ya, aku selalu mendapatkan apa pun yang kuinginkan. Kau, pernikahan ini, dan bahkan aku akan membuatmu mengandung anakku. Mengikatmu seumur hidup dan kau tak akan bisa lari ke mana pun selain kembali ke dalam pelukan."

Anne hanya terdiam. Keseriusan dan kesungguhan dalam kalimat Luciano mampu membuat bulu kuduk Anne meremang. Apakah itu berarti Luciano akan membuatnya hamil lagi? Tidak. Itu tidak boleh terjadi.

"Kau pikir ini akan berhenti sampai di sini saja? Tidak. Aku akan membuatmu hamil, hanya untuk membuktikan bahwa dirimu sudah menjadi milikku. Dan kau tak bisa melakukan apa pun untuk menolakku. Dan percayalah, saat kau berpikir bisa lolos dariku dengan ijinku, itu akan menjadi hal terburuk dari pada sekedar penghangat ranjangku."

Air mata Anne mengalir tanpa suara. Jatuh ke bantal, sekuat apa pun ia mencoba menelan kuat-kuat ketakutan di dalam dirinya. Ancaman pria itu terlalu nyata, bahkan mampu melumpuhkan seluruh tubuhnya yang berbaring di tempat tidur.

"Aku akan membuatmu tak lebih dari seonggok daging yang akan kulemparkan para pria-pria mesum di klubku. Kau akan menghabiskan seluruh hidupmu dalam penyiksaan. Dan aku akan membuatmu menyesal karena berada di tempat tidurku jauh lebih baik dari pada di sana. Kau akan memohon dan mengemis padaku untuk menolongmu, tapi aku sudah terlalu muak dengan keangkuhanmu. Kau akan..."

"Hentikan, Luciano!" jerit Anne dengan kedua tangan yang menutupi telinganya. Air matanya semakin deras dan ia memiringkan tubuh, memunggungi Luciano dan meringkuk. Terisak sangat dalam karena tak ingin mendengar ancaman mengerikan itu lebih banyak lagi.

Luciano menatap punggung Anne dengan kepuasan. "Sebaiknya kau mulai memahami posisimu, Anne. Sebelum aku benar-benar muak padamu," pungkasnya kemudian berjalan keluar kamar. Membiarkan Anne meringkuk dan terisak dalam ketakutan wanita itu sendiri.

Luciano membanting pintu di belakangnya. Kepalanya benar-benar terasa pusing dan suasana hatinya menjadi kacau. Urusannya bahkan belum selesai, tetapi ia harus pulang kembali ke negara ini ketika mendengar Anne keguguran. Dan ia tahu sangat pasti bahwa itu adalah kesengajaan Anne melenyapkan darah dagingnya. Wanita itu benar-benar menginjak-injak harga dirinya. Dan belum pernah ia merasa begitu hina akan penolakan Anne.

Kebencian Anne, bahkan cara wanita itu yang ingin menggagalkan pernikahan mereka dengan kehamilan, semua itu masih berada dalam batas ambang kesabarannya. Tetapi melenyapkan darah dagingnya, ini benar-benar tak termaafkan.

"Luciano?" Suara memanggil dari arah samping kiri membuat Luciano menoleh. Menemukan Reene yang melangkah dengan sebuah berkas di tangan kanan. "Kau sudah datang?"

Luciano tak menjawab. Suasana hatinya masih sangat kacau dan ia tak ingin membuang waktu untuk omong kosong Reene.

"Aku baru saja dari ruangan dokter untuk melihat detail tentang keadaan Anne."

Luciano memutar tubuhnya ke arah Reene. Tertarik denagn pembicaraan tersebut. Kemudian mengambil berkas di tangan Reene sebelum wanita itu memberikan padanya.

"Karena obat yang diminumnya terlalu keras, itu membuat lapisan rahimnya menipis dan butuh waktu untuk memulihkannya. Dia tidak bisa hamil dalam waktu dekat atau hal semacam ini akan terulang." Tentu saja hal ini membuat Reene semakin puas. Tak hanya batu sandungan tersebut lenyap selama-lamanya, Anne tak bisa memberikan apa yang diinginkan Luciano untuk menjadi seorang ayah. Yang tentu saja akan memberi kesempatan pada hubungan mereka lebih besar lagi.

Luciano membeku mendengarkan penjelasan tersebut. Menekan kuat kemurkaan yang rasanya sampai di ubun-ubun.

"Dia minum obat?" tanya Luciano dengan bibir yang menipis tajam saking geramnya.

Reene mengangguk. Menunjuk berkas di tangan Luciano. Yang diremas pria itu saking geramnya pada perbuatan Anne. Rupanya ini rencana wanita itu selama dia pergi ke Italia.

"Dokter mengatakan sejak awal kandungannya memang lemah, jadi..." Reene menghela napas rendah dan berat. Sebuah sesal yang dibuat-buat tertampil di wajahnya dengan begitu apik. "Maafkan aku tidak menemukannya lebih cepat sehingga anakmu tidak terselamatkan, Luciano."

Luciano berusaha keras untuk tidak berbalik dan masuk ke dalam ruang perawatan Anne. Ingin menghukum dengan cara yang paling buruk. Tetapi keadaan wanita itu masih sangat lemah dan ia moktak akan membuat hukumannya menjadi ringan jika Anne mati dengan cepat.

Ia perlu menunggu. Menunggu Anne pulih sehingga wanita itu bisa merasakan setiap derita yang akan ia berikan. Tangannya meremas berkas di tangannya dan membuangnya di lantai. "Kau urus dia. Pastikan dia segera pulih dan bawa dia pulang kepadaku. Dengan nyawanya," pungkasnya kemudian berjalan melewati Reene dengan kemarahan yang mendidih di ubun-ubun.

Reene mengangguk singkat, seringainya mengembang tinggi melihat punggung Luciano yang semakin menjauh hingga ke ujung lorong. Kemarahan pria itu untuk Anne membuat kebahagiaan mengembang di dadanya. Well, masih semudah ini jalannya.

Tak sabar ingin menyaksikan hukuman apa yang menunggu Anne setelah wanita itu sembuh dan kembali ke rumah Luciano. Yang ia yakini, hanya akan ada penderitaan sebagai bayaran atas ketidak tahu dirian wanita itu.

***

Anne sudah mengembalikan ketenangannya dari ketakutan dan emosinya yang campur aduk karena kegugurannya. Ia mencoba menekan rasa pusing yang masih tersisa saat bangun terduduk. Mengambil gelas air putih di nalas dan meneguknya hingga setengah. Pintu ruangannya bergeser terbuka ketika ia meletakkan gelas di nakas, dan melihat Reene melangkah masuk.

Senyum wanita itu tak bisa disembunyikan di raut wajahnya. Atau memang wanita itu tak bersusah payah menutupi kebahagiaan atas kehilangannya.

"Aku tahu kau yang melakukannya," desis Anne tajam begitu Reene berhenti tepat di samping ranjang pasiennya. Senyum Reene mengembang, kedua tangan bersilang dada dengan sikap angkuh yang begitu kental. "Aku hanya memberimu apa yang kau inginkan. Tidak sulit untuk mengucapkan terima kasih, Anne. Hanya perlu mengatakannya saja," ucapnya dengan ringan dan penuh ketenangan. Ya, memang ialah yang mengganti vitamin kehamilan Anne dengan obat penggugur kandungan. Kandungan Anne masih sangat muda dan rentan.

"Kau membunuh anak Luciano. Kau pikir apa yang akan dilakukannya padamu?"

"Kau pikir Luciano akan memercayaimu?"

Rahang Anne terkatup rapat. Luciano tak akan memercayainya. Pria itu tak pernah memercayainya, terutama dengan kebencian yang mendarah daging dalam dirinya untuk pria itu. Ia membenci kehamilannya, dirinyalah yang memiliki motif paling kuat dalam keguguran ini.

Keterdiaman Anne membuat Reene semakin berada di atas awan. Wanita itu membungkuk, menyejajarkan wajahnya di depan wajah Anne dan berkata, "Kesombonganmu itu tak akan memberi manfaat apa pun selain penderitaan, Anne. Kau hanyalah mainan Luciano, dia bisa membuangmu kapan pun dia ingin. Dan percayalah, saat itu tiba. Aku akan bergembira untukmu. Tidak akan lama. Kau bisa sedikit bersabar."

Raut wajah Anne memucat, ketakutannya kembali mengambang tetapi ia berusaha untuk menenggelamkannya lagi. Kedua kayanya mengerjap dua kali, membalas tatapan Reene dengan tak kalah tajamnya. "Aku berjanji, saat ia membuangku. Itu akan menjadi hal paling indah yang pernah kudapatkan di seumur hidupku. Kau tak perlu khawatir. Aku tak akan menyesalinya," janjinya dengan mantap dan penuh keyakinan meski perlahan ketakutan menggerogoti hatinya.

Reene mendengus tipis. Kemudian menegakkan punggungnya dan berdecak, "Kau masih saja menjadi sombong dan tak tahu diri. Terserah, kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan. Aku sudah memperingatkanmu."

"Ya, aku akan melakukan apa pun yang kuinginkan." Sekali lagi Anne mempertegasnya.

Reene hanya mengedikkan bahu. "Cepatlah sembuh. Kau tak akan sabar menanti apa yang menunggumu di depan sana."

Anne tak mengatakan apa pun lagi. Hanya tertegun menatap kepergian Reene. Menepis pemikiran tentang apa yang menunggunya di depan sana, ia menghela napas panjang.

Kemudian telapak tangannya menyentuh perutnya. Saat ia berpikir tak akan memaafkan perbuatan Reene, ia lebih tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dengan setumpuk rasa bersalah yang menggunung di dada. Air mata Anne kembali menetes di ujung kelopak matanya. Dan ia segera menyeka dengan ujung jemarinya. Meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ini yang terbaik untuk janin dalam kandungannya.

Sekali lagi Anne menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Lalu kembali berbaring.

***

Selama tiga hari Anne dirawat di rumah sakit, Luciano sama sekali tak menampakkan dirinya. Anne hanya sendirian, bahkan ia tak diijinkan untuk menghubungi kedua orang tuanya.

Anne benar-benar akan menggila jika menghabiskan waktu lebih banyak lagi di ruangan serba putih ini. Ia tak pernah mengeluhkan makanan apa pun yang dihidangkan untuknya, tetapi makanan rumah sakit benar-benar buruk dan ia tak tahan menelan makanan itu untuk makan siangnya nanti.

Pagi itu, begitu dokter memeriksanya dan mengatakan keadaannya sudah membaik dan bisa melalukan rawat jalan, Anne langsung meminta pulang. Hanya ada pengawal Luciano yang menyelesaikan semua administrasi rumah sakit dan pengawal lainnya yang membawakan baju ganti untuknya.

Setelah ia selesai mengganti pakaian dan mencuci muka agar terlihat sedikit segar, Anne melangkah keluar dan menemukan kedua pengawal Luciano sudah menunggu di depan pintu.

"Aku ingin pergi ke ruangan lain sebentar," pintah Anne dengan nada yang dibuat setegas mungkin.

"Maafkan kami, Nyonya. Tuan tidak..."

"Hanya lima menit," tegas Anne. Kali ini dengan tatapan memerintah yang begitu kuat. Ia tahu Luciano tak akan mengijinkannya. Tetapi Luciano sedang tidak ada di sini. "Setelah aku pulang, aku tak yakin Luciano akan mengijinkanku menengok sahabatku sendiri. Dan aku berjanji tak akan membuat tugas kalian menjadi lebih berat dari ini."

Kedua pengawal itu tampak saling pandang dan mempertimbangkan. Tetapi sebelum selesai untuk memutuskan, Anne berjalan ke samping lorong. Ruangan Ibra ada di lantai yang sama. Hanya berjarak beberapa pintu dari ruang perawatannya.

Anne mengetuk pintu sekali dan suara lain menjawab dari dalam. "Masuk."

Anne pun mendorong pintu terbuka dan langsung melangkah masuk. Melihat Ibra yang ditemani oleh Eshan. Eshan masih mengenakan pakaian dokter, sedang mengupas apel. Sedangkan Ibra, pria itu duduk bersandar pada bantal dengan kepala dan kaki yang digips.

"Hai," sapa Anne sambil berjalan lebih mendekat ke arah Ibra. "Bagaimana keadaanmu?"

Ibra hanya meringis dengan bibirnya yang pucat dan kering. "Tidak cukup baik," jawabnya dengan cengiran. Mengangkat kedua tangannya ke arah Anne. Tetapi kemudian matanya menatap dengan seksama wajah Anne. "Sepertinya kau juga sedang tidak baik. Wajahmu terlihat pucat."

Anne hanya tersenyum. Tak mungkin mengatakan tentang kegugurannya. Bahkan keberadaannya di rumah sakit ini disembunyikan oleh Luciano.

"Aku sudah mengirim pesan untukmu, kupikir sesuatu terjadi denganmu. Kau tak bisa dihubungi selama tiga hari ini," sela Eshan.

"Ya, aku bahkan sudah menyuruh Eshan untuk memeriksamu di rumahmu. Tapi tidak ada dari kami yang mengetahui rumah suamimu," tambah Ibra.

"Ya, terjadi sesuatu dan aku tak tahu di mana ponselku. Tapi aku baik-baik saja." Anne berusaha berdalih. Sambil menghindari tatapan kedua pria itu. "Kapan dokter akan mengijinkanmu pulang?" tanyanya mengalihkan pembicaraan tentang dirinya.

"Tidak dalam waktu dekat, yang pasti." Eshan mengambil alih jawaban Ibra. Dan Ibra mengerang pelan, mengeluhkan kebosanannya.

"Memangnya apa yang akan kau lakukan dengan kakimu yang patah itu?" sergah Anne. "Sebaiknya kau turuti kata-kata dokter, Ibra."

Ibra memanyunkan bibirnya, "Dia bukan dokter yang mengurusku."

"Kau tak ingin kubius hanya untuk membuatmu tetap berbaring di tempat ini, kan?"

"Ck," decak Ibra. Ya, Eshan bekerja sebagai dokter anestesi di rumah sakit ini. Dan ketiganya berada di lingkungan sosial yang sama sehingga bisa saling mengenal.

Eshanlah salah satu dokter yang membantu operasi papanya, dan sejak saat itu hubungannya dengan pria itu menjadi lebih dekat. Hingga tumbuh benih-benih Cinta tetapi sebelum benih itu tumbuh lebih dalam, perjodohannya dan Luciano terjadi. Menghancurkan harapan Anne akan kehidupan bahagia yang ia impikan. Yang membuatnya menolak pernyataan cinta pria itu meski ia sangat mencintai Eshan. Dan keduanya berjanji untuk mempertahankan hubungan baik ini seperti semula.

Eshan selesai mengupas apel dan memotong-motongnya lalu meletakkan piring tersebut di pangkuan Ibra.

"Sejak Anne menikah aku serasa dibuang olehnya," keluh Ibra sambil mengenyahkan potongan apelnya. Melirik Anne dengan ekspresi pedih yang dibuat-buat.

"Maafkan aku. Aku..."

"Aku mengerti, Anne." Ibra mengibaskan telapak tangannya di depan wajah. Melihat keseriusan di wajah Anne. "Sekarang kau sudah bersuami. Tentu saja suamimu yang utama. Benar, kan, Eshan?"

Eshan mengerjap, kemudian menatap Anne dan Ibra bergantian dengan senyum yang dipaksa tersungging di kedua ujung bibirnya. "Ya, tentu saja. Pernikahan lebih penting."

Anne benar-benar merasa tak nyaman dengan pernikahannya dan pembahasan tentang pernikahannya.

"Lagipula ini karena keteledoranku. Aku yang tak melihat ada mobil melintas dan masuk ke jalanan begitu saja. Lalu semuanya terjadi begitu saja."

Kerutan tersamar di kening Anne. Ibra bahkan tak tahu kalau itu bukan sebuah kecelakaan. Rupanya Luciano membersihkan semuanya dengan sangat rapi. Ibra melanjutkan keluhannya akan kedua orang tua pria itu yang tak akan mengijinkannya naik mobil selama tiga bulan.

"Sepertinya aku harus pergi," sela Anne di tengah-tengah cerita Ibra.

"Kau ingin pulang?"

Anne mengangguk. Menatap kedua mata Ibra dan pria itu langsung mengerti dengan memberikan anggukan singkat. Anne berpamit pada Ibra dan Eshan, kemudian berjalan keluar. Ia baru saja menutup pintu ruang perawatan Ibra ketika pintunya kembali terbuka dan Eshan menyusul keluar.

"Anne?"

Anne memutar tubuhnya dan Eshan berjalan mendekat.

"Apa kau baik-baik saja?"

Anne memaksa senyuman di bibir. "Ya, tentu saja."

Eshan jelas tak percaya. Pria itu mengambil tangan Anne yang ditempel plester bekas jarum infus.

Anne segera menarik tangannya begitu Eshan melihat plester tersebut dan jelas pria itu tahu bagaimana plester itu ada di sana.

"Apa yang terjadi?"

Anne menggeleng dengan cepat.

"Katakan, Anne. Apakah ... pernikahanmu baik-baik saja?"

Kedua mata Anne melebar, kemudian kepalanya berputar dan menemukan kedua pengawal Luciano yang menunggu di ujung lorong. Dengan jarak sejauh ini, Anne merasa lega mereka tak mendengar apa yang dikatakan oleh Eshan. "Ya, tentu saja. Kenapa pernikahan kami tidak baik-baik saja?"

Eshan terdiam, mengamati raut wajah Anne lebih seksama dan satu-satunya yang ia lihat hanyalah kebohongan. "Itulah pertanyaannya. Kenapa pernikahanmu tidak baik-baik saja? Semua terlihat di matamu."

Raut Anne membeku. Eshan dengan mudah menangkap gelagatnya.

"Kau bisa mengatakan apa pun padaku, Anne. Hubungan kita tak akan berubah hanya karena pernikahanmu. Kita sepakat mempertahankan hubungan kita dengan baik-baik, kan?"

Ia menelan ludahnya dan tak berani membalas tatapan Eshan saat berkata, "Aku harus pergi. Maaf."

Eshan sudah akan mengejar Anne sekali lagi, tetapi Anne sengaja berlari menghampiri kedua pria berseragam serba hitam. Pengawal yang mengikuti ke mana pun Anne pergi.

Kernyitan membentuk di antara kedua alis Eshan. Merasa ada sesuatu yang tak beres dengan Anne. Terutama dengan suami wanita itu.

Anne seolah membutuhkan pertolongan, tetapi ada sesuatu yang menahan wanita itu. Sehingga wanita itu memilih memendam derita tersebut seorang diri.

***

Dalam satu jam, mobil yang ditumpangi Anne berhenti di depan teras rumah Luciano. Pengawal yang duduk di depan bergegas turun lebih dulu untuk membukakan pintu wanita itu.

"Tuan menunggu Anda di lantai dua," ucap pengawal itu dengan nadanya yang datar.

Napas Anne tertahan, menatap pintu utama yang terbuka lebar dan ia bisa melihat kedua kaki tanga. Ia menelan ludahnya. Menelan ketakutannya sebelum mendesah singkat dan mulai mengangkat kakinya.

Kedua kakinya terayun menyeberangi ruang tamu yang luas dan langkahnya kembali terhenti ketika sampai di depan anak tangga. Berusaha menetralisir ketakutan di dadanya ketika mengingat ancaman Luciano dan peringatan Reene.

"Apa Anda baik-baik saja, Nyonya," ucap salah satu penjaga di samping tangga. Membuyarkan lamunan Anne

Anne tersentak pelan. Menggeleng dengan cepat dan mulai menggerakkan kedua kakinya menaiki anak tangga. Dengan jantung yang berdebar-debar.

Di sisi lain, Reene menyaksikan kegugupan Anne dengan senyum yang mengembang sangat lebar. Dan kelicikan yang tersirat di kedua mata. Menyaksikan pertunjukkan dengan penuh kebahagiaan.

Setelah sampai di lantai dua, Anne berbelok dan melewati partisi kayu. Dari celah partisi ia bisa melihat Luciano yang menunggu di sofa tunggal. Dengan kedua kaki bersilang dan kedua lengan di lengan sofa. Pandangan pria itu melekat pada kedatangannya, bergerak mengikuti setiap langkahnya dengan kegelapan yang menyelimuti tubuh pria itu.

"Kau sudah datang?" Pertanyaan sambutan Luciano tak membutuhkan jawaban dan Anne tak berminat menjawab karena sibuk menetralisir ketakutannya.

"Kemarilah," senyum tersungging di wajah Luciano meski kedua mata pria itu tersimpan kemarahan.

Anne membeku, tak bergerak sama sekali.

"Aku tak akan mengulang perintahku, Anne." Kali ini peringatan dalam suara Luciano lebih kuat.

Anne menggigit bibir bagian dalamnya dengan ketakutan yang masih menyelimuti tubuhnya. Dalam hitungan ketiga yang tersirat di kedua mata Luciano, Anne pun angkat kaki.

Hanya butuh tiga langkah sebelum kemudian Anne tangan ditarik dan pantatnya mendarat di pangkuan pria itu. Dan bahkan Anne tak sempat terkejut ketika bibirnya ditangkap oleh Luciano dalam lumatan yang dalam. Saat itulah Anne merasakan kemarahan dalam lumatan tersebut.

Luciano mencium dengan lumatan yang kuat dan kasar. Membuat Anne kewalahan karena tak diberi kesempatan untuk mengambil napas. Bahkan pria itu sengaja merampas udara di dalam paru-parunya. Sengaja membuat gelagapan, dengan wajah merah padam. Pinggangnya ditahan dengan kuat tetap di pangkuan pria itu sedangkan telapak tangan yang lain mulai menelusup ke balik pakaiannya. Anne menyadari, semua ini adalah siksaan. Hukuman dari Luciano. Pria itu benar-benar berniat membunuhnya dengan ciuman tersebut.

Anne pikir dirinya akan kehabisan napas ketika tiba-tiba Luciano melepaskan lumatan tersebut dan ia tersengal dengan keras. Berusaha meraup udara serakus mungkin demi bernapas.

Anne megap-megap nyaris mati, dan Luciano malah tersenyum menyaksikan penampilan wajah Anne. Dan bahkan wanita itu tidak berani membantah.

Butuh waktu lebih banyak bagi Anne untuk menormalkan napasnya. Ketika tangan Luciano merangkum sisi wajahnya. Ibu jarinya mengusap bibir bagian bawah Anne dengan gerakan yang sangat perlahan.

"Aku menginginkanmu." Suara Luciano sangat lirih, tetapi itu adalah perintah yang tak membutuhkan penolakan.

"A-aku tidak bisa, Luciano," jawab Anne dengan suaranya yang nyaris terdengar seperti sebuah cicitan. Dan beruntung dengan pendarahan yang masih dialaminya karena keguguran tersebut. Sebagai alasan untuk menolak keinginan Luciano.

Senyum Luciano berubah menjadi seringai. Ketika sekali lagi ibu jarinya bergerak menyeka kedua bibir Anne secara bersamaan. "Ada banyak cara bagi tubuhmu untuk menyenangkanku. Salah satunya ini."

Wajah Anne yang merah padam seketika berubah merah padam. Anne tak memahami maksud dalam kalimat Luciano. Tetapi ketika kedua mata mereka saling pandang, keinginan Luciano dari bibirnya terlalu jelas.

"Mulut ini tak hanya bisa digunakan untuk mengucapkan kebencianmu untukku, Anne. Kita berdua bisa bersenang-senang dengan..."

"Tidak. Aku tidak mau!" Anne tak ingin mendengar lebih banyak, tubuhnya berusaha melompat dari pangkuan Luciano. Hanya untuk kembali terbanting di pangkuan pria itu. Dan ia tak berdaya menolak hukuman dari pria itu. Pun dengan air mata yang mengalir di wajahnya dengan tanpa suara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro