15. Siapa Esther?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa ini?" Anne menatap dua gaun malam yang baru saja diletakkan oleh pelayan di tempat tidur. Berwarna hitam dengan beberapa detail berwarna emas, dan satunya lagi berwarna peach dengan hiasan Kristal yang menyebar di bagian bawah. Tanpa lengan dengan belahan depan sampai di bawah dada dan kulit punggung yang terekspos bebas.

"Kau pakai yang ini." Baru saja Anne mengamati betapa kekurangan bahannya gaun peach tersebut, Luciano sudah memungut gaun itu dan memberikannya pada Anne.

"Untuk?" Anne tahu apa gunanya gaun ini, tapi tetap saja ia bertanya. Dan tentu saja ia akan kembali pajangan di samping Luciano. Di salah satu acara pesta yang membosankan. Ia akan diseret kesana kemari dan dipamerkan seperti boneka.

"Aku ingin kau menemaniku ke salah satu acara seni."

Anne memasang ekspesi lesunya. "Aku sedang tidak enak badan, Luciano. Kau bisa pergi bersama Reene untuk menemanimu. Dia ..."

"Aku tidak meminta pendapatmu, Anne. Aku menginginkanmu. Tidakkah satu kalimat itu sudah cukup membuatmu mengerti."

"T-tapi ..."

"Bersiaplah dalam sepuluh menit. Saat aku selesai, sebaiknya kau sudah siap. Kita sudah terlambat."

Anne tak mengatakan apa pun, tetapi sepuluh menit jelas waktu yang sangat singkat untuk bersiap ke pesta. Anne pun sengaja melambat di depan meja rias, membuat Luciano menipiskan bibir saat pria itu keluar dari ruang ganti dengan penampilan yang sempurna, tapi pria itu tak mengatakan apa pun dan turun ke lantai satu lebih dulu.

Setengah jam kemudian, Anne baru selesai dan turun ke bawah. Sangat tak nyaman dengan pakaiannya yang terlalu terbuka, tetapi tetap mengenakannya. Dalam kesibukannya merias wajah, tiba-tiba ide itu muncul begitu saja. Untuk menjodohkan Reene kembali dengan Luciano.

Biasanya, pesta adalah banyak minuman keras. Ada banyak kesenangan sekaligus kekacauan. Dan Anne tak akan melewatkan kesempatan tersebut.

Pandangan mereka bertemu, Anne menangkap tatapan terpana Luciano. Menatap penampilannya dengan penuh kepuasan seperti biasa. Pinggangnya langsung ditangkap dan kepala pria itu bergerak menunduk. Tetapi sebelum bibir pria itu mendarat di bibirnya, Anne memiringkan wajahnya. Membuat bibir Luciano mendarat di pipinya dan menggeram rendam.

"Kau tak ingin kita semakin terlambat, kan?" Anne sangat puas memiliki alasan yang kuat untuk menolak ciuman tersebut.

Luciano menyeringai, tak bisa menolak alasan cerdik Anne meski wanita itu cukup berpuas diri. Mengalah dan bibirnya bergerak ke leher Anne, menggigit daging lembut di sana untuk meninggalkan jejak yang cukup jelas sekaligus tersamar.

Anne memutar kedua bola matanya, pria itu seolah tak berhenti memberinya tanda. Bahwa dirinya adalah milik pria itu. Rasanya tak ada orang di kalangan mereka yang tak tahu kalau dia bukan istri Luciano Enzio.

"Sudah selesai, kan?" Suara Reene dari arah samping menyela momen Luciano dan Anne. Bangkit berdiri dengan kekesalan yang terlalu jelas melihat pasangan suami istri tersebut. Menatap Anne sedikit lebih lama, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan tanpa perias wajah dan penata rambut, penampilan wanita itu jelas membuatnya kesal didera rasa iri hati yang begitu kental.

Anne tak mengatakan apa pun, lebih terfokus oleh rasa sakit dari gigitan Luciano di lehernya ketimbang mengurus kecemburuan Reene. Pria itu memutar tubuhnya dan menggandengnya ke pintu. Reene mengekor di belakang.

Ketika ketiganya sampai di teras, Faraz baru saja menghentikan mobil tepat di belakang mobil yang sudah disiapkan untuk Luciano.

"Kenapa kau datang ke sini?" sinis Reene menatap Faraz yang menurunkan jendela mobil dan tersenyum menyapa ketiganya.

"Luciano ingin aku menjadi pasanganmu malam ini."

Raut protes Reene segera tertampil, tetapi kembali terpatahkan oleh kalimat selanjutnya Faraz yang menjengkelkan. "Kau tak berpikir pesta ini hanya untuk bersenang-senang, kan?"

Tanpa mengatakan apa pun dengan mulutnya yang memberengut, Reene melangkah ke mobil Faraz dan membanting pintu tertutup.

Setelah membukakan pintu mobil untuk Anne dan duduk di balik kemudi. Luciano melajukan mobil setelah sebuah mobil hitam di samping gerbang bergerak. Mobil Faraz mengikut di belakang dan Anne bisa melihat dua mobil hitam lainnya yang mengekor dari kaca spion.

Sepanjang perjalanan, Luciano tak mengatakan apa pun dan Anne mempertahankan suasana tersebut. Ia tak pernah menikmati perbincangan apa pun dengan Luciano. Tentu saja ia sangat menikmati keheningan tersebut.

Ponsel Luciano mendadak berdering dan pria itu langsung mengangkatnya. "Kau sudah menemukannya?"

"..."

Anne bisa merasakan keterkejutan dari suara Luciano ketika membalas lagi. "Apa? Kau yakin?"

"..."

"Aku mengerti." Kali ini suara Luciano terlihat dipaksa tenang sebelum panggilan terputus terputus.

Dan sisa perjalanan, keduanya kembali diselimuti keheningan. Sampai akhirnya mobil melambat ketika memasuki area gedung dan berhenti di depan teras lobi. Luciano turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Anne. Anne sudah terbiasa diperlakukan seperti ini, tahu Luciano tak pernah suka ditolak sikap yang satu ini. Dan ia sedang tidak ingin mengusik Luciano.

Begitu keduanya memasuki area pesta, Luciano menjadi pusat perhatian. Para pasangan paruh baya, klien, rekan kerja, saudara Luciano, juga ada banyak para wanita yang terang-terangan berusaha menarik perhatian Luciano. Tak memedulikan keberadaannya sebagai seorang istri, meski Anne tak benar-benar peduli jika salah satu wanita itu berhasil membuat Luciano tertarik.

'Seorang pria seperti Luciano Enzio bisa melakukan apa pun sesukanya. Termasuk memiliki banyak wanita.'

Anne bisa mendengar suara bisik-bisik tersebut. Yang langsung mendapatkan perhatian dari Reene. Wanita itu mendapatkan tumpahan anggur merah di gaunnya yang berwarna putih dan kekurangan bahan. Tetapi tak ada satu pun yang berani memprotes.

Keduanya berhenti terlalu sering sebelum benar-benar menemui si pemilik pesta Mr. Smith dan kedua orang tua Anne. Luciano benar-benar sengaja ingin mematahkan kakinya. Pria itu sama sekali tak membiarkannya beristirahat meski hanya sekedar duduk untuk meringankan kakinya yang sudah begitu pegal. Anne memang tak pernah terbiasa mengenakan sepatu hak tinggi betapa pun seringnya ia memakai benda itu.

"Aku ingin ke toilet," ucap Anne setengah berbisik ke arah Luciano. Keduanya sedang dalam perjalanan menghampiri pasangan paruh baya yang merupakan salah satu rekan kerja papa Anne. Bersama anak perempuan mereka, yang sepertinya masih tak menyerah untuk memberikan putri mereka sebagai hadiah bagi Luciano.

"Tidak bisakah kau membuat alasan yang lain untuk menyelinap di belakangku?"

"Aku sungguh-sungguh, Luciano. Kau memberiku dua gelas cocktail." Yang meski Luciano memastikan minuman itu sama sekali tidak mengandung alcohol, tetap saja itu cairan dan kandung kemihnya terasa penuh.

Luciano sedikit menyipitkan matanya menatap kedua mata Anne, Anne sendiri bersyukur alasannya memang tidak dibuat-buat meski ia memiliki rencana lain di baliknya. Ia butuh ke kamar mandi. Pria itu pun menunduk, mendaratkan kecupan di rahang Anne sambil berbisik. "Tak lebih dari sepuluh menit."

Anne tak sungguh-sungguh ingin menepati dan tetap mengangguk. Menjauh dari Luciano begitu pria itu melepaskan pinggangnya, mencari pintu belakang dan melewati lorong yang cukup panjang menuju toilet. Sambil berjalan, ia membuka tasnya. Mencari ponselnya untuk menghubungi Ibra.

"Apa kau sudah mengirim pesananku?" tanyanya begitu panggilan tersebut tersambung.

"Ya. Aku menitipkannya pada Eshan."

Langkah Anne seketika terhenti dan tersentak dengan keras. "A-apa? Siapa?"

"Lalu kau pikir aku akan menitipkannya pada mama dan papaku?"

"Ya tapi tetap saja. Kau bisa menitipkannya pada pelayan atau sopirmu, Ibra," desis Anne dengan gemas.

"Ck, tenang saja, Anne. Eshan tidak tahu barang apa yang kutitipkan. Aku menitipkan dompetmu yang ada di laciku."

"Dompet yang mana?"

"Kau meninggalkan banyak barang, Anne. Aku bahkan tak ingat, tapi yang jelas aku tak menyimpan barang wanita di kamarku selain milikmu, kan?"

Anne pun tak ingat, tapi jika itu bisa digunakan sebagai alat agar tak mempermalukannya di hadapan Eshan. Sepertinya inilah salah satu keberuntungan. Eshan pasti berpikir yang tidak tidak terhadapnya jika tahu apa yang dipesannya pada Ibra. "Kalau begitu aku akan menghubungi Eshan."

"Oke. Selamat bermalam panas."

"Diamlah, Ibra. Itu ..." Anne tak sempat menyelesaikan kalimatnya ketika ia menabrak seorang wanita yang mendadak berhenti di depannya. Ponselnya jatuh ke lantai. Wanita bergaun hitam yang ditabraknya menoleh ke belakang dan membantu Anne memungut ponsel wanita itu. "Maaf," ucapnya sambil membungkuk dan mendahului mengambil ponselnya. Menatap panggilannya yang sudah terputus.

"Bukan apa-apa.Kau baik-baik saja?" tanya wanita itu dengan seulas senyum manisnya, berdiri berhadap-hadapan dengan Anne.

"Ya, tentu saja. Aku yang tidak memperhatikan langkahku," balas Anne dengan senyum yang tak kalah ramahnya. Memasukkan ponselnya kembali ke tas. Anne tanpa sengaja mengamati penampilan wanita itu. Cantik dengan rambut lurus hitam pekat dikuncir ke samping. Yang memamerkan pundak dan lehernya yang jenjang. Merasa tak sopan mengamati penampilan wanita itu yang sempurna, Anne mengangguk sekali dan berpamit. Berjalan melewati wanita itu dan masuk ke toilet lebih dulu.

Saat Anne keluar dari salah satu bilik, wanita itu berdiri di depan wastafel dan menyapainya dengan senyum yang lebih lebar, "Hai, kita bertemu lagi."

Anne mengangguk dan berdiri di samping wanita itu. Mencuci tangannya dan mulai sedikit tak nyaman dengan wanita itu yang tak berhenti mengamatinya.

"Aku baru saja pindah di negara ini dan tak memiliki banyak teman." Wanita itu tampan terdiam sejenak, kemudian mengoreksi kalimatnya sekali lagi. "Sejujurnya tidak ada satu pun."

Anne menoleh, menatap wajah wanita itu yang masih diselimuti senyum meski tidak ada secercah kegugupan pun mengingat Anne adalah orang asing, yang wanita itu temui di negara baru bagi wanita itu. Anne sendiri tak memiliki banyak teman di kalangannya selain Ibra, juga Eshan. Terutama setelah Luciano datang di kehidupannya, semua orang serasa memusuhinya. Meski Anne tak benar-benar peduli dengan semua itu. Anne tak bisa mengatur semua orang untuk tidak membencinya. Sejak kecil ia sudah terbiasa menjadi musuh dan satu-satunya kesalahan yang ia miliki adalah menjadi lebih cantik dibandingkan mereka semua. Seolah menikahi Luciano semakin menyempurnakan apa yang dimilikinya. Menjadi istri pria paling berkuasa di kota ini.

"Bolehkah aku berkenalan denganmu?" Wanita itu mengulurkan tangannya ke arah Anne.

Anne menatap ragu pada uluran tangan wanita itu. Anne sendiri tak benar-benar tahu bagaimana rasanya memiliki seorang teman wanita, jadi ... Annne pun membalas uluran tangan tersebut. "Anne Lucas."

Senyum wanita itu mengembang dengan ceria. "Namaku Esther. Esther Marie."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro