16. Calon Tunangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kau sudah menikah?” tanya Esther melihat cincin yang tesemat di jari manis Anne.

Anne menarik tangannya dan memberikan seulas senyum sangat tipis. Tak pernah nyaman membicarakan pernikahannya, yang tak ada hubungannya ini pembicaraan dengan orang asing atau bukan. Sejak awal datang ke pesta, semua orang tak berhenti menanyakan pernikahannya dan Luciano, tak lupa juga dengan apakah sudah ada kabar bahagia.  Luciano berjanji kabar itu tidak akan lama mereka dengar, dan Anne menyeringai dalam hati.

“Sebenarnya, kedua orang tuaku membawaku ke sini karena sebuah perjodohan.”

Anne mengangguk, memahami kegundahan yang menyelimuti wajah Esther. Mengingatkannya akan apa yang terjadi padanya beberapa bulan lalu. “Ya, seseorang seperti kita tidak punya banyak pilihan untuk memutuskan pasangan.”

“Apa kalian saling jatuh cinta sebelum pernikahan atau sebuah perjodohan sepertiku?”

“Perjodohan.” Anne berpaling, membuang tisu kotornya ke tempat sampah.

Esther mengangguk-angguk paham.

Anne melirik jam tangannya. “Maaf, sepertinya aku harus segera pergi.

“Ah, ya. Senang berkenalan denganmu.”

Anne mengangguk dan keluar dari toilet lebih dulu. Setelah mengirim pesan singkap pada Eshan yang langsung dijawab oleh pria itu, Anne bergegas menuju balkon yang ada di timur ballroom.

“Hai, kau sudah datang?” sapa Eshan begitu Anne melangkah keluar ke balkon yang sepi. Pemandangan kota dan angina dingin malam seketika menerpa seluruh kulit telanjang Anne. Meski begitu, Anne tetap melangkah lebih jauh. Mendekat ke arah Eshan yang berdiri bersandar pagar balkon dari kaca tebal. “Kau terlihat cantik,” pujinya. “Ah, kau selalu terlihat cantik.”

Anne tersipu malu. Segera mengalihkan pembicaraan. “Maaf, apa kau menunggu lama?”

Eshan menggeleng sambil melepas jasnya dan segera melilitkan di tubuh Anne. “Lebih baik?”

Anne tersenyum, tak hanya hangatnya jas tersebut yang bisa Anne rasakan. Tetapi juga kelembutan hati pria itu seketika menyelimuti dadanya oleh kebahagiaan. “Terima kasih.”

“Bukan masalah.” Lalu Eshan berjalan ke arah meja kecil yang ada di samping mereka. Memberikan segelas cairan berwarna emas padanya.

Anne tidak tahan dengan alcohol, tetapi tak pernah menolak pemberian Eshan. Ia pun mengambil dan menyesap dua kali.

“Ibra menitipkan sesuatu padaku,” tambah Eshan sambil memberikan kantong dompet berwarna merah muda yang diambil dari saku celana.

Anne mengambilnya, berusaha menyembunyikan semburat merah di wajahnya mengingat apa yang ada di dalam dompet tersebut.  Dan langsung memasukkannya ke dalam dompetnya yang lebih besar. “Sekali lagi terima kasih, Eshan.”

“Bukan masaalah.” Eshan mengedikkan kedua bahunya sambil lalu. Tersenyum dari balik bibir gelasnya yang juga berisi cairan yang sama dengan yang diberikannya pada Anne.

Anne memutar tubuhnya, menghadap gemerlap kota yang begitu indah. Tak hanya itu, pemandangan langit malam pun seolah mendukung. Dengan taburan bintang yang memenuhi langit. Anne tersenyum, menarik udara sebanyak mungkin memenuhi dadanya dan mengembuskannya secara perlahan.

Hal tersebut tak lepas dari pengamatan Eshan yang ikut berdiri di samping wanita itu. Tubuh pria itu menoleh ke samping, mengamati sisi wajah Anne. “Apakah semua berjalan dengan baik? Terakhir kali kita bertemu sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu.”

Raut wajah Anne membeku, seketika teringat dua malam yang lalu ketika Eshan datang ke rumahnya. Ia pun menoleh, membalas tatapan Eshan sebelum menjawab, “Maaf, saat itu aku membuatmu tak nyaman.”

Eshan menggeleng sekali. “Aku tak peduli dengan ketidaknyamanku, Anne. Aku lebih peduli denganmu. Malam itu kau seperti ketakutan. Apakah suamimu mengancammu?”

Anne tak bisa menjelaskan dengan lebih banyak atau sekali lagi ia akan membuat Eshan berada dalam bahaya. “K-kami … Luciano hanya kesal aku terlambat pulang dan aku tidak memberitahunya.”

Mata Eshan menyipit, menagamati lebih saksama eskpresi di wajah Anne. “Sepertinya bukan hanya itu. Apakah dia memperlakukanmu dengan baik?”

Sekali lagi pertanyaan Eshan membuat Anne membeku, wanita itu memilih tak menjawab dan kembali menatap pemandangan kota sambil meneguk sisa cairan yang ada di gelasnya dalam sekali tegukan.

Eshan mengambil tangan Anne dan menggenggamnya.

Tubuh Anne membeku, merasakan kehangatan dan dukungan yang disalurkan pria itu berhasil merasuk ke dalam dadanya. Kedua mata mereka saling pandang dalam keheningan yang panjang. Saling mengungkapkan perasaan masing-masing yang tak bisa terungkapkan dalam kata-kata. Jarak yang begitu luas membentang di antara mereka, tetapi untuk sejenak. Keduanya tak memedulikan batasan tersebut.

“Kau selalu memiliki aku, Anne. Aku sudah mengatakan padamu, kan?”

Anne mengangguk tipis.

“Aku tahu kau tak menginginkan pernikahan ini.”

“Maafkan aku, Eshan.”

Genggaman tangan Eshan semakin dalam. “Aku tahu, kau tak bisa menolak keinginan kedua orang tuamu. Tetapi … tidak bisakah kau berusaha menjelaskan pada mereka bahwa kebahagiaanmu yang terpenting lebih dulu? Bagaimana kau bisa membahagiakan mereka jika kau sendiri tidak bisa bahagia?”

Anne terdiam. Membenarkan kata-kata Eshan, tetapi semua sudah terlambat dan sudah terlalu banyak usaha yang ia kerahkan demo menolak perjodohan tersebut. Dan pada akhirnya, kuasa Luciano yang mengambil alih semua keinginannya. Hanya sekejap, Anne melihat secercah harapan di kedua mata Eshan. Di dalam genggaman pria itu. Bisakah mereka memiliki harapan itu?

Hanya sekejap pertanyaan itu itu muncul di benaknya, ketika detik berikutnya diruntuhkan oleh suara bariton yang mendadak muncul dari arah belakang mereka. Menyiram wajahnya dengan kepucatan.

“Anne, kaukah itu?” Luciano melangkah masuk dan tubuh Anne berputar. Menarik tangannya dari genggaman Eshan.

Napas Anne tertahan dan degup jantungnya seolah berhamburan ke segala arah. Matanya langsung ditangkap oleh Luciano, dan wanita itu bisa merakan kegelapan di balik mata pria itu yang menatapnya dan Eshan bergantian. “L-luciano?” Suara Anne hampir berubah menjadi cicitan.

Luciano mengamati penampilan Anne, berhenti pada jas yang warnanya senada dengan celana Eshan. Menyelimuti tubuh wanita itu. Ujung bibirnya berkedut tak suka, menyembunyikan seringai gelapnya. “Di sini kau rupanya. Aku mencarimu ke mana-mana.”

Anne tak berani menjawab, bahkan tak berani melirik Eshan yang berdiri terlalu dekat dengannya.

Luciano melangkah maju, mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Anne yang dingin. “Sepertinya kau kedinginan. Kenapa kau di sini?”

“A-aku …”

“Kami kebetulan bertemu dan saling menyapa. Pestanya sangat membosankan. Jadi kami butuh menghirup udara segara.” Eshan mengambil alih jawaban.

Luciano menoleh ke arah Eshan. Tatapan keduanya saling bertemu dalam ketegangan yang begitu kental, tetapi tak lebih dari itu. “Begitukah?” Salah satu alis Luciano terangkat, kesangsian terlihat jelas di kedua matanya meski senyum terlalu lebar melengkung di kedua ujung bibirnya. “Well, terima kasih sudah sedikit menghibur istriku, Eshan. Kalau begitu, aku bisa mengambil alihnya sekarang. Kami punya banyak cara untuk saling menghibur satu sama lain.” Luciano tak melepaskan pandangannya dari kedua mata Eshan, sembari melepaskan jas pria itu yang digunakan oleh Anne. “Juga saling menghangatkan,” tambahnya mengembalikan jas tersebut pada pemiliknya.

Raut Eshan membeku. Tidak bodoh untuk memahami isyarat Luciano untuk tak melangkah lebih jauh dan menahan perhatian apa pun untuk Anne. Eshan jelas tak peduli. Tatapannya bergerak ke wajah Anne yang langsung menghindari tatapannya. Bibir wanita itu menipis, tak berkutik ketika berada di samping Luciano.

“Kalau begitu, kami pergi. Selamat malam.” Luciano mengangguk singkat dan membawa Anne kembali masuk ke dalam keramaian pesta.

Anne bisa merasakan genggaman tangan Luciano yang menguat ketika membawanya menerobos di antara para tamu undangan. Kepala pria itu tertunduk, berbisik di telinga Anne dengan suaranya yang tajam. “Apa yang kukatakan tentang sepuluh menit, Anne?”

Anne menelan ludahnya. Ia bisa merasakan wajahnya yang pucat. “Kami hanya kebetulan bertemu …”

Luciano mendengus. “Suaramu bergetar, Anne. Aku bahkan tak perlu melihat kebohongan di wajahmu, aku bisa merasakannya. Kita berdua tahu.”

Sekali lagi Anne menelan ludahnya. Anne tak tahu Luciano membawawanya ke mana, ketika ia menyadari. Tiba-tiba saja mereka sudah berbelok di sebuh pintu, Anne melihat sebuah lorong panjang yang sunyi dan tubuhnya dihimpit di dinding oleh tubuh besar Luciano. Salah satu tangan pria itu merangkum rahangnya dan tangan yang lain masih memegang pinggangnya. Wajahnya terdongak dan wajah Luciano menunduk sehingga pandangan mereka sejajar.

“Kau minum?” Luciano mengendus aroma di sekitar mulut Anne.

Anne mengerjap. “Hanya sedikit.”

“Tidak akan sedikit jika aku terlambat menemukanmu,” tambah Luciano mengoreksi.

Anne tak mengatakan apa pun, bisa merasakan kemarahan yang menyeruak di antara kedua pandangan Luciano yang menusuk matanya. Dan setiap kali marah, satu-satunya hal yang digunakan Luciano untuk meluapkan kemarahan pria itu adalah dengan seks. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya meski Anne sudah tahu jawabannya.

“Menghangatkanmu.” Telapak tangan Luciano yang ada di pinggang Anne bergerak naik. Punggung jemarinya bergerak menyentuh kulit telanjang di sisi tubuh wanita itu dengan gerakan seringan bulu. Berbanding terbalik dengan kemarahan yang berkobar di balik kedua mata pria itu.

“Tidak bisa, Luciano.” Tubuh Anne menggeliat, hanya untuk semakin ditekan ke dinding oleh tubuh besar Luciano.

“Aku tidak meminta ijinmu.” Luciano semakin memangkas jarak di antara wajah mereka. “Aku bisa melakukannya kapan pun aku ingin.”

Anne mulai panik. “Setidaknya jangan di sini. Bisakah kau …”

Luciano membungkam kalimat Anne dengan lumatan yang dalam dan sedikit kasar. Merampas udara yang memenuhi dada wanita itu dan sengaja menjadikan lumatan itu sebagai hukuman karena telah mengendap-endap di belakangnya untuk menemui pria lain.

Anne benar-benar kewalahan menerima lumatan Luciano, lumatan itu semakin dalam dan semakin membuat dadanya sesak. Ia kesulitan bernapas dan tak bisa bernapas. Hingga sampai rasa sesak itu tak tertahankan, tiba-tiba suara deheman dari arah samping merusak kesenangan Luciano sekaligus menolong Anne.

Luciano menggeram dengan gangguan tersebut dan menjauhkan bibirnya dari wajah Anne. Begitu menoleh ke samping, tatapan tajamnya seketika bertemu dengan kedua mata Faraz.

“Tidak bisakah kau menahannya ketika pulang, Luciano? Ayolah, kita memiliki …” Faraz mengangkat kedua tangannya di udara dan menggoyangkan pelan. Kemudian pandangannya beralih pada Anne yang terengah-engah, berusaha mendapatkan udara sebanyak mungkin untuk bernapas. “Kau hampir membunuhnya,” tambahnya.

Luciano menarik tubuhnya menjauh. Sama sekali tak menyesal melihat wajah Anne yang memerah dan masih sibuk meraup udara dengan serakah. “Sebaiknya gangguanmu memiliki alasan, Faraz. Urusanku dan istriku belum selesai.”

Faraz mendesah pealan. “Aku sudah mendapatkan apa yang kau inginkan.”

Seketika pandangannya dan Faraz saling bertemu. Faraz mengangguk singkat.

“Samping lampu kecil. Arah jam 2.”

Luciano memegang lengan Anne dan hendak menyeret wanita itu masuk kembali ke dalam keramaian pesta. Akan tetapi Anne berusaha memaku kedua kakinya di lantai. “Ada apa lagi?” geramnya dengan tak sabaran.

“Aku tidak bisa.”

Tatapan tajam Luciano sebagai jawaban untuk Anne.

Anne menunjuk bibirnya, ke arah lipstiknya yang berantakan di area bibir.

Sekali lagi Luciano menggeram rendah. Melepaskan genggamannya dan berkata pada Faraz. “Bawa dia kembali padaku dalam sepuluh menit,” ucapnya kemudian berjalan pergi.

“Kau baik-baik saja?” tanya Faraz setelah beberapa saat Anne hanya terdiam.

Anne berpaling dan wajahnya memerah oleh rasa malu.

“Ada toilet sebelah sini.” Faraz menunjuk ke samping kirinya.

Anne mengikuti petunjuk yang diberikan oeh Faraz. Tak lebih dari sepuluh menit, pria itu menepati perintah Luciano dan membawanya kembali ke dalam pesta.

“Ada apa?” tanya Faraz ketika Anne tiba-tiba berhenti.

“Aku ingin mengambil minuman di sana sebentar.”

Faraz tak setuju.

“Hanya sebentar. Kau tunggu di sini.” Anne berjalan menuju meja tanpa menunggu Faraz memberi ijin. Lalu kembali dengan dua gelas berisi cairan merah di kedua tangannya. “Untukmu.”

Mata Faraz menyipit penuh curiga.

“Kau pikir aku memasukkan sesuatu ke minuman ini?” dengus Anne.

“Tidak. Tapi Luciano tidak mengijinkanmu minum.” Faraz mengambil gelas yang diulurkan padanya.

Anne hanya memutar matanya dengan jengah. Mengikuti Faraz yang kemudian membawanya membelah di antara kerumunan para tamu undangan. Tak lama, Anne bisa melihat Luciano yang berdiri di antara kerumunan kecil para tamu undangan. Pandangan Luciano seketika tertuju pada gelas yang ada di tangannya, dan pria itu langsung menghampirinya. Mengambil gelas di tangannya sambil melemparkan tatapan peringatan pada Faraz.

“Aku haus, Luciano.” Anne memasang raut protesnya yang tak sungguh-sungguh. Membiarkan gelas di tangannya direbut. Ya, minuman itu memang diperuntukkan khusus bagi Luciano.

Tatapan Luciano menajam, melirik ke arah Faraz. “Berikan dia minuman yang lain,” perintahnya

Faraz mengangguk dengan patuh dan bergegas pergi.

“Anne?” Suara lembut dari arah belakang mengalihkan perhatian keduanya. Anne menelengkan kepalanya, mengintip di balik tubuh Luciano yang segera bergeser ke samping. “Hai, sudah lama tante tidak melihatmu.”

Anne terkejut menemukan suara lembut dan familiar itu adalah milik Eva Sebastian, mama Eshan. Wanita paruh baya itu langsung memeluknya dan mencium pipi kanan dan kirinya secara bergantian. Dan tak hanya keberadaan mama Eshan yang mengejutkannya. Papa Eshan dan Eshan. Juga Esther, dan pasangan paruh baya yang berdiri di sisi kanan dan kiri Esther. Kening Anne berkerut, semakin dalam ketika tatapannya bertemu dengan Eshan.

“Kemarilah, tante ingin memperkenalkanmu dengan calon tunangan Eshan.” Eva merangkul Anne dan membawa wanita itu semakin dekat.

Anne hanya membeku, berusaha mencerna apa yang terjadi. Calon tunangan?

Apakah Eshan dijodohkan dengan Esther?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro