18. Kebencian Yang Semakin Menguat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anne mendorong dada Eshan menjauh, meski keinginannya tak sungguh-sungguh karena setelah ciuman itu selesai. Anne sama sekali tak berusaha membuat jarak di antara semakin menjauh. Wajah keduanya masih cukup dekat, mata menatap mata dan Anne tahu perasaan pria itu masih miliknya.

"Apakah itu cukup menjelaskan tentang rencana pertunanganku dengan Esther?"

Anne mengangguk samar. Sisi wajahnya masih dirangkum kehangatan telapak tangan Eshan dan kelegaan mengaliri tenggorokannya.

Eshan menurunkan tangannya, menggenggam tangan Anne dan membawa wanita itu turun ke lantai basement. Keduanya naik mobil Eshan, keluar dari area gedung. Pria itu menggenggam tangan Anne, dengan tangan lainnya yang sibuk dengan setir.

"Sebelumnya mama mengatakan tentang wanita itu dan memintaku menemuinya. Dua kali pertemuan dan kupikir aku dengan jelas sudah mengatakan tentang penolakan tersebut. Tetapi rupanya Esther mengatakan yang sebaliknya dan rencana itu masih berlangsung."

Anne hanya terdiam, mendengarkan kisah Eshan dengan seksama. Membuatnya berada dalam dilema yang cukup serius. Eshan pasti sama tak berdayanya dengan dirinya menghadapi tuntutan keluarga terhadap perjodohan. Lalu … apakah mereka harus meneruskan harapan yang sudah setipis kulit ari ini?

Eshan menambah tekanan dalam genggamannya. "Aku tak tahu, sejak kapan mama mulai mempersiapkan rencana pertunangan ini. Tentang undangan itu, hari pertunangan kami. Dan bahkan aku tak tahu dia sudah datang ke negara ini," lanjutnya sambil menyempatkan menoleh ke samping. Untuk menilai ekspresi di wajah Anne. "Bisakah kau mengatakan sesuatu, Anne? Apa kau marah mengetahui tentang semua ini?"

Anne menelan ludahnya. "Aku hanya tak tahu harus mengatakan apa, Eshan."

"Aku tak ingin semua ini mengubah perasaanmu padaku. Itu sudah lebih dari cukup bagiku." Eshan berhenti sejenak. "Aku akan mencari cara untuk membatalkan rencana pertunangan ini."

Anne tak sungguh-sungguh mendengarkan. Ia hanya ingat perkenalannya dengan wanita itu di toilet. "Esther terlihat menginginkan rencana pertunangan ini, Eshan," ucapnya dalam gumaman yang lirih.

"Aku tidak menginginkannya, Anne. Hanya kau wanita yang kucintai. Dan hanya kau yang kuinginkan."

"Dan aku sudah menikah dengan Luciano." Suara Anne kini semakin jelas. Meraibkan segala sesuatu di antara mereka. "Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkan semua ini?"

Eshan terdiam sejenak. Kemudian mengangguk pelan sembari memgetatkan genggaman tangan mereka di pangkuannya. "Aku akan menunggumu, Anne. Aku akan selalu menunggumu."

Anne tak yakin harus menjawab apa. Ia memaksa seulas senyum untuk Eshan. "Bisakah kau mengantarku ke rumah orang tuaku?"

Eshan menoleh dengan kerutan di kening, tetapi kemudian tak mengatakan apa pun selain memberi Anne satu anggukan. Melajukan mobil menuju rumah orang tua Anne.

Ponsel Anne berdering, tetapi wanita itu mengabaikannya sepanjang perjalanan. Hingga kecepatan mobil perlahan berkurang ketika memasuki area perumahan Anne dan Eshan menghentikan mobil di depan gerbang rumah.

"Aku akan turun di sini," ucap Anne ketika Eshan menurunkan kaca jendela untuk menyuruh penjaga membukakan pintu gerbang untuk mereka.

Tetapi Anne belum sempat membuka pintu mobil saat pintu gerbang tersebut bergerak membuka dengan perlahan. Dan napas Anne seketika tertahan ketika melihat sosok tinggi dan kekar yang muncul dari balik gerbang. Luciano.

Kedua mata Anne nyaris melompat. Bagaimana mungkin Luciano ada di sini?

Eshan sendiri terkejut dengan keberadaan Luciano di depan mobil mereka. Ketika menoleh ke samping, tampaknya Anne pun tak tahu tentang keberadaan Luciano di sini. "Apa kau baik-baik saja?"

Anne seketika melepaskan tangannya dari genggaman Eshan. Masih dengan napas yang tertahan, mata Anne tak lepas dari wajah Luciano yang bergerak memutari bagian depan mobil dan berhenti di samping pintu. Membukakan pintu untuk Anne.

Pria itu memasang senyum terlalu lebar di balik matanya menggelap marah ketika tubuhnya membungkuk. Langsung bertemu dengan kedua mata Eshan. "Terima kasih sudah mengantar istriku pulang, Eshan. Aku mendapatkan sedikit masalah ketika membawanya pulang." Luciano melirik tajam pada Anne ketika mengucapkan kalimat terakhir. Tangannya bergerak mengambil tangan Anne dan menarik wanita itu turun dari mobil. Membawa Anne masuk tanpa menoleh ke belakang.

"Apa yang kau lakukan di sini, Luciano?" Suara Anne berubah menjadi cicitan. Seharusnya pria itu masih dalam pengaruh obat dan tidur dengan Reene. Bukannya ada di rumah kedua orang tuanya.

Luciano hanya mendengus dengan seringai gelapnya, mengetatkan tangannya yang menggenggam pergelangan tangan Anne.

"S-sakit, Luciano. Lepaskan!"

Luciano malah semakin menekannya, menyeret dan mendorong tubuh wanita itu ke dalam area gelap di samping rumahnya. Membenturkan punggungnya di pohon palem dengan gerakan yang kasar, lalu membungkam pekikan wanita itu dengan bibirnya.

Anne tak mampu menolak perlakuan kasar tersebut. Ia tahu akan mendapatkan bayaran ini jika ketahuan dan tetap tak menyesalinya. Luciano tak menahan-nahan diri lagi ketika melumat kelembutan bibir Anne dengan penuh gairah. Telapak tangan pria itu menelusup di balik gaunnya, menarik belahannya hingga ke pinggang dan Anne benar-benar tak berdaya ketika Luciano memenuhi dirinya dengan pria itu.

***

Beberapa saat kemudian, keduanya berbaring di tempat tidur Anne. Saling telanjang di balik selimut tebal. Anne berbaring miring memunggungi Luciano, yang memeluknya dari belakang. Pria itu masih tak berhenti menyentuhnya setelah menyetubuhinya di taman seperti hewan. Tak peduli dengan air mata tanpa suaranya yang menetes. Tapi bukankah Luciano memang tak punya hati. Pria itu menidurinya seperti orang gila.

Telapak tangan Luciano yang bermain-main di kulit perutnya perlahan naik ke atas, wajah pria itu yang tenggelam di helaian rambutnya mulai bergerak ke samping. Menggigit daging di cekungan lehernya dan napas pria itu mulai kembali memberat.

Anne menggeliat tak nyaman sambil berkata dengan penuh permohonan. "Aku benar-benar sudah lelah, Luciano. Bisakah aku istirahat?"

Bibir Luciano menyeringai, tetapi gerakan tangannya terhenti dan berbisik, "Kau diam saja sejak tadi. Apa kau tidak penasaran bagaimana kita berakhir di tempat tidur lamamu?"

Kedua mata Anne terpejam, begitu melihat Luciano. Anne hanya tahu rencananya gagal tanpa perlu mengetahui detailnya. Reene jelas tak becus melakukan tugasnya.

Luciano terkekeh di balik daun telinga Anne. "Kau pikir aku tak tahu kau memasukkan sesuatu di minumanku, Anne sayang? Aku meminumnya hanya ingin mengetahui sampai mana keberanianmu menyusun semua rencana ini. Betapa menggemaskannya dirimu melihatmu berpikir aku telah masuk ke dalam rencanamu."

Tubuh Anne membeku. Jadi sejak awal Luciano sudah tahu? Anne mengerang dalam hati, merasa begitu frustrasi karena rasanya tak ada yang tidak diketahui Luciano tentangnya.

Anne menggeliatkan tubuhnya, mencoba bangun terduduk. Tetapi hanya dalam satu gerakan yang ringan, tubuhnya kembali terbanting di tempat tidur dan tubuh Luciano berguling menindihnya. Memaku kedua tangannya di atas kepala. Air mata Anne merembes jatuh ke bantal, tetapi ia berusaha menahan isak tangisnya.

"Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak main-main di belakangku, Anne," desis Luciano di atas wajah Anne.

"Aku benar-benar membencimu, Luciano."

"Maka bencilah aku sesukamu, Anne. Selama kau tahu batasanmu, aku tak akan mempermasalahkan apa pun itu yang ada di kepala dan hatimu."

Air mata Anne mengalir, kali ini isakannya terlepas. "Kenapa kau lakukan semua ini pada hidupku, Luciano? Kenapa kau datang dan menghancurkan hidupku? Kenapa kau begitu egois? Aku benar-benar membencimu."

Luciano hanya menyeringai. "Aku tak perlu alasan untuk menginginkanmu. Dan ya, aku memang egois. Aku tak akan menolak tuduhanmu. Apakah itu cukup bagimu untuk memahami pernikahan ini?"

Anne menggelengkan kepalanya. "Aku tak ingin memahami. Aku tak butuh memahami pernikahan ini. Aku hanya tahu aku tak menginginkan pernikahan ini."

Wajah Luciano mulai menggelap dan gurat amarah menggaris keras di permukaan wajahnya. Dada pria itu menggeram. Sedetik kemudian, membungkam penolakan Anne dengan lumatan yang kasar. Sekali lagi menggunakan tubuh Anne sebagai pelampiasan nafsunya dan Anne tak bisa berbuat apa pun untuk menolak setiap sentuhan Luciano.

***

Pagi harinya, Anne terbangun dengan tanpa Luciano di sisi tempat tidur. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi dan tubuhnya terasa begitu remuk redam. Satu-satunya hal yang diinginkannya adalah berendam, tetapi baru saja ia menurunkan kedua kakinya di lantai, pelayan datang dan memberitahunya kalau mama dan papanya, juga Luciano sedang menunggunya di meja makan.

Anne pun hanya mandi dan mengenakan pakaian yang ada di lemari lamanya. Butuh beberapa kali memilah karena ia lebih butuh menggunakannya untuk memutupi kissmark yang ada di lehernya daripada sekedar kenyamanan.

Setelah memutuskan menggunakan turtle neck lengan pendek berwarna biru muda dan rok selutut berwarna senada, Anne pun turun ke lantai bawah dan bergabung di meja makan.

Luciano dan papanya sedang membicarakan bisnis seperti biasa, dan mamanya membantu pelayan menyiapkan meja makan. Yang selesai ketika Anne muncul.

Anne duduk di samping Luciano, yang menyapanya dengan senyum lebar yang dibuat-buat. Menyapa mama dan papanya dan mulai menyibukkan perhatian pada isi piring.

Sepanjang makan pagi tersebut, Anne hanya bicara sesekali saat papa dan mamanya bertanya, yang ia jawab dengan singkat.

Setelah makan malam selesai, Luciano langsung membawanya berpamit pulang karena ada sesuatu yang mendadak. Yang Anne yakin hanya alasan karena pria itu ingin segera  membawanya pergi dari rumah kedua orang tuanya. Bahkan Luciano juga membatasi hubungannya dengan kedua orang tuanya.

Luciano sibuk dengan ponsel pria itu dan Anne menatap jalanan dari jendela mobil. Menikmati kesunyian tersebut dan menggunakannya untuk tidur. Mengganti waktu tidurnya yang dirampas oleh Luciano tadi malam.

Samar-samar Anne terbangun ketika kecepatan mobil berkurang dan berhenti. Kemudian suara gerbang yang bergeser membuat kelopak matanya perlahan membuka dan melihat mobil baru saja melewati gerbang tinggi. Anne sepenuhnya terbangun ketika mobil berhenti di teras rumah. Satu pengawal datang membukakan pintu untuk Luciano dan pengawal yang lainnya untuk Anne.

"Tuan?" Anne menoleh ke arah Luciano, yang langsung menanggapi pengawal tersebut dengan sikap yang serius.

"Ada apa?"

Tanpa menjawab, pengawal itu  menatap ke arah Anne.

"Masuklah, Anne. Tunggu aku di dalam. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."

Anne berjalan masuk ke dalam rumah, bukan karena patuh pada perintah Luciano. Dan begiru Anne menginjak ruang tamu,  ia disambut luapan amaran Reene.

"Apakah semua ini memang rencanamu? Pengkhianat! Pembohong!" Tangan Reene sudah melayang dan siap mendarat di pipi Anne.

Namun Anne menangkapnya dengan sigap dan menyentakkan tangan wanita itu dengan keras. "Kau sendiri yang tak becus mengurus bagianmu, Reene.

"Apa?" Mulut Reene membuka nutup tak percaya. Akan sentakan tangan Anne juga cacian wanita itu. "Kau bilang apa?"

"Aku sudah melakukan bagianku dengan baik. Kau sendirilah yang merusak rencana ini." Dagu Anne terangkat, sam sekali tak peduli dengan amarah yang meluap-luap di kedua kata wanita itu. Keduanya berdiri dan saling bersitegang, hingga kemudian dipecahkan oleh decakan mengejek dari arah belakang Anne.

"Ck, sebenarnya apa yang membuat kalian berdua berpikir bisa membodohiku dengan cara receh seperti ini, hah?" Luciano berdiri di samping Anne. Menatap penuh cemooh pada keduanya secara bergantian.

Anne merasa semakin jengkel, sedangkan Reene yang wajahnya memerah menahan malu dan berpaling. "Dia yang merencanakan semua ini, Luciano. Aku hanya mengikuti perintahnya."

Anne mendelik, semakin dongkol dengan Reene yang malah menusuknya dari belakang. "Kau menginginkan ini juga, kan. Kau begitu putus asa karena rencana pernikahanmu gagal dan sekarang kau ingin membuat Luciano menghamilimu."

Mulut Reene membuka nutup seperti ikan yang kehabisan air, "Kau benar-benar pembohong besar, Anne. Jangan percaya padanya, Luciano. Dia berbohong."

Anne sendiri sama sekali tak peduli, hanya mendengus jengkel lalu berjalan melewati Reene yang wajahnya masih merah padam. "Katakanlah sesukamu. Aku tak akah membela diri," ucapnya ketika berhenti di samping Reene, lalu melanjutkan langkahnya ke dalam. Melewati ruang tengah dan ia bisa mendengar Reene yang masih bersikeras menjelaskan detail yang dibuat-buat. Benar-benar wanita ular, batin Anne.

Merasakan tubuhnya yang sakit, terutama di bagian pangkal pahanya. Anne berniat naik menggunakan lift. Ia berbelok ke samping tangga dan melintasi lorong pendek.

Ia baru saja menekan tombol di dinding menggunakan sidik jari ketika salah satu pintu ruang tamu terbuka dan seorang pria tua dengan pakaian berwarna putih dan stetoskop mengalung di leher berjalan keluar. Diikuti Faraz.

"Bagaimana keadaannya, Dok?"

Dokter itu mengangguk. "Sepertinya perkembangannya cukup baik. Anda bisa mulai mengajaknya bicara dengan perlahan."

Faraz mengangguk, mendengarkan dengan seksama penjelasa dokter hingga tak menyadari Anne yang berjalan menghampiri keduanya.

Selesai, dokter itu pun berpamit setelah mengatakan akan datang besok sore.

"Mari, Nyonya Enzio." Dokter itu juga mengangguk pada Anne yang tiba-tiba berada di depannya.

Anne mengangguk singkat, memiringkan tubuhnya memberi ruang bagi sang dokter untuk lewat.

"Kalian sudah pulang?"

Anne menjulurkan lehernya ke arah pintu yang setengah terbuka di belakang Faraz. Sempat melihat wanita yang berbaring di tengah tempat tidur. "Siapa yang sakit?"

Faraz bergegas menutup pintu di belakangnya. "Pergilah, Anne. Sebelum Luciano…."

"Apa yang kau lakukan di sana, Anne?" Suara bariton Luciano memenggal kalimat Faraz.

Faraz dan Anne memutar kepala bersamaan. Melihat Luciano yang berjalan dari ujung lorong dengan langkah besar-besarnya. Wajah pria itu tampak mengeras dan mulai menggelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro