22. Hanya Mandi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di antara keheningan yang sempat menyelimuti keduanya, Luciano akhirnya terbahak. "Bukankah ini kisah dramatis yang manis?"

Anne mendengus dalam hati, sudah memperkirakan kalau itu hanyalah sebuah karangan. Tanpa diberitahu pun Anne yakin kalau luka tembak itu didapatkan Luciano dari musuh pria itu. Orang kejam dan jahat seperti Luciano jelas memiliki banyak musuh.

Satu-satunya yang Anne sesalkan, kenapa pria itu tidak mati saja saat mendapatkan luka tembak itu.

"Rupanya kau lebih berharap aku mati ketimbang kisah manis ini menjadi kenyataan ya?" decak Luciano.

Dalam hati Anne sama sekali tak menyangkal. Kepalanya kembali tertunduk dan menggosok bagian perut Luciano yang ia yakin sudah bersih. Dan pilihan teraman adalah kembali bergerak ke atas. Akan tetapi, Luciano tiba-tiba menahan tangannya, dan dalam satu gerakan yang singkat. Pria itu berhasil memutar tubuh Anne, lalu ujung jemarinya memegang tali di pundak.

"Apa yang kau lakukan, Luciano?" Anne memeluk dadanya, menahan pakaiannya tidak turun ketika Luciano menarik tali spaghettinya turun melewati pundak. "Kau bilang hanya mandi."

"Ya, hanya mandi, Anne. Memangnya apa yang kaupikir akan kulakukan?" Seringai tersurai di wajah Luciano dengan geli. "Apa kau mandi dengan mengenakan pakaianmu?"

Bibir Anne menipis tajam. Melonggarkan pelukannya dan membiarkan Luciano menurunkan pakaian tidurnya hingga jatuh ke lantai. Mengelilingi kedua kakinya.

Luciano mengambil botol sabun dan busa yang ada di tangan Anne, perlahan menggosok punggung wanita itu dengan gerakan yang lembut dan setengah menggoda. Mencoba mengamati reaksi Anne.

Anne menelan ludahnya, keduanya matanya terpejam dan bibirnya merapat dengan kuat. Menahan setengah mati agar tak ada secuil pun erangan yang berhasil lolos dari bibirnya.

Sial, Luciano benar-benar sengaja mempermainkannya. Menggunakan tubuhnya untuk mengetes apakah ia bisa tahan dengan sentuhan pria itu.

Anne akui, dibalik semua sikap kasar pria itu padanya, sentuhan Luciano selalu diselimuti kelembutan. Dan Anne tak akan bersikap munafik kalau semua sentuhan itu berhasil mengeluarkan sisi gelap yang tak pernah Anne pikir dirinya miliki.

Membuat Anne tak mengenali dirinya sendiri. Merasakan sensasi yang begitu asing -juga nikmat- sekaligus membuat Anne membenci dirinya sendiri karena berhasil jatuh ke dalam gairah Luciano.

Setiap sentuhan Luciano, Anne selalu merasa pria itu memujanya. Menginginkan dirinya dengan sepenuh hati. Bahwa dirinya adalah satu-satunya yang diinginkan oleh pria itu. Jika tidak mengenal Luciano, Anne yakin dirinya pun akan menjadi salah satu wanita yang berjajar memuja seorang Luciano Enzio. Terutama dengan segala hal yang dimiliki oleh pria itu. Tak hanya seorang berkuasa Presiden Direktur Enz Tech, Luciano juga pemilik gedung-gedung besar di kota ini, pun bisnis lainnya yang menunjang kekuasaan pria itu di mana pun. Ah, jangan lupakan. Kalau Luciano juga seorang filantropis, seorang dermawan dengan hati emas. Salah satunya, sebagai penyumbang terbesar rumah amal yang pegang papa dan mamanya. Itulah alasan kedua orang tuanya jatuh cinta pada Luciano, dan menyodorkan dirinya untuk dijadikan istri.

"Kenapa kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Anne." Luciano menundukkan kepalanya. Berbisik tepat di telinga Anne dan membiarkan air mengguyur tubuh mereka.

Anne bisa merasakan seringai Luciano ketika pria itu memungkasi kalimatnya dengan jilatan di ujung daun telinganya. Kedua matanya terbuka, tatapannya menguat saat mendesiskan balasan yang dingin. "Kita hanya mandi, Luciano."

Seringai Luciano semakin tinggi, dengan kedua telapak tangan yang bergerak ke depan, menyelinap di bawah lengan dan mengusap perut wanita itu dengan lembut. Sembari bergerak lebih ke atas, Luciano berbisik, "Mungkin kita perlu berubah pikiran. Sedikit bersenang-senang agar kau tidak menahan diri lebih banyak lagi. Bukankah ini sangat menyiksa? Kenapa kita harus menunda kesenangan yang datang?"

Anne menahan napasnya kuat-kuat dan membangunkan kesadarannya yang nyaris terpeleset gairah Luciano. Tangannya menurunkan tangan Luciano dengan gerakan yang kasar. "Aku tidak berubah pikiran dan kuharap kau menepati janjimu seperti seorang pria, Luciano. Hanya mandi." Anne mempertegas kalimat terakhirnya.

Luciano terkekeh, menegakkan punggungnya dan mengamati Anne yang mengambil shampo dan mulai keramas. "Perlu bantuan?"

Anne tak menggubris. Menyibukkan diri menggosok helaian rambutnya dan membilas seluruh tubuhnya. Bergegas keluar dari shower sambil menyambar handuk dan melilitkannya di dada. Senyum Luciano tak berhenti melengkung di kedua ujung bibirnya, lalu menyusul Anne keluar setelah mematikan air shower.

Tubuhnya nyaris menabrak punggung Anne yang berdiri di depan pintu kamar mandi ketika melangkah keluar. Kepalanya terdongak semnatu menyelipkan ujung handuk ke pinggang, mengikuti arah pandangan Anne. Dan menemukan Reene yang berdiri membeku dengan wajah merah padam. Kecewa bercampur sakit hati. Benar-benar membuatnya jengah. "Ada apa, Reene?" tanyanya dengan nada yang datar.

Bibir Reene menipis tajam, mengamati penampilan Luciano dan Anne yang baru saja keluar dari kamar mandi. Bersama-sama. Dan rambut keduanya yang masih basah kuyup. Sudah jelas mereka baru saja mandi bersama. Yang membuat hati Reene kembali dibakar kecemburuan.

Selama lima hari ini, Anne dihukum dengan dikurung di lantai dua dan Luciano juga tidur di ruang kerja pria itu. Seharusnya hubungan mereka tak pernah membaik, dan pagi ini ia naik ke sini hanya untuk menyaksikan penderitaan Anne. Bukannya melihat kejutan memuakkan ini.

Mana ada hukuman dengan mandi bersama. Reene benar-benar tak bisa menerima ketidak adilan yang kejam ini.

Anne tentu saja bisa menangkap kecemburuan Reene, tetapi ia tak perlu untuk peduli. Sejak wanita itu mengkhianatinya, tentu saja ia tak akan mengulang kebodohannya untuk kedua kalinya. Anne pun melanjutkan langkahnya ke ruang ganti. Reene adalah urusan Luciano

Luciano melangkah mendekat setelah melihat sebuah berkas yang ada di tangan Reene. Mengambilnya dan membuat wanita itu tersentak dari lamunan kekecewaan. "Ck. Jika tak bisa bertanggung jawab untuk perasaanmu sendiri, setidaknya hentikan dirimu sendiri dari harapanmu yang terlalu jelas, Reene. Kenapa kau begitu keras kepala?"

"Satu-satunya cara untuk berhenti adalah dengan menjadi istrimu, Luciano. Kau tahu itu?"

Luciano mendesah dengan kesal. "Kalau begitu jangan berhenti. Toh aku tak bertanggung jawab untuk yang satu ini, kan?" balasnya kemudian berjalan ke set sofa dan mulai membuka berkas di pangkuannya.

Wajah Reene tak bisa lebih merah lagi. Berjalan menyusul Luciano dan duduk di sofa panjang. "Tidak bisakah kau memaafkan kesalahan apa pun itu yang dilakukan oleh papaku?"

"Dia yang menghancurkan sendiri kesepakatan kami. Dan ..." Wajah Luciano terangkat, menatap lurus kedua mata Reene dengan tajam. "Tidak. Aku tidak memaafkan pengkhianat."

Reene mendengus. "Istrimu sendiri mengkhianatimu."

Salah satu alis Luciano terangkat. "Dan apa sekarang kau ingin berhitung tentang semua ini denganku?"

Ketajaman dalam manik Luciano seketika membuat Reene mengatupkan rahangnya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Luciano sendiri kembali disibukkan berkas di depannya, membacanya sekali lagi dengan kening berkerut sebelum mengembalikan pada Reene. "Ada yang janggal dengan laporan ini. Periksa sekali lagi."

"Apa?" Kedua mata Reene melebar.

"Aku perlu tahu informasi lebih banyak tentang perusahaan itu sebelum menandatanganinya."

"Tapi dia yang memenangkan tender di mega proyek ..."

"Periksa lebih banyak lagi dan siapkan saja meeting nanti siang. Hubungi sekretarisku."

Reene mengangguk dan mengambil kembali berkas di tangan Luciano. Luciano bangkit dan berjalan ke ruang ganti. Saat ia berdiri, dari balik partisi yang memisahkan ruangan luas tersebut dengan ruang ganti, ia melihat Luciano yang berdiri di belakang Anne yang sibuk memilah pakaian di depan lemari. Kedua lengan Luciano melingkari pinggang Anne, lalu punggung pria itu membungkuk. Menjatuhkan wajah di cekungan leher Anne.

Bibir Reene menipis menyaksikan pemandangan tersebut, dengan kecemburuan yang semakin menggunung memenuhi dada. Ia berbalik, dengan langkah dihentakkan ke lantai berjalan ke balik partisi dan turun ke lantai satu.

***

"Jadi, apa yang ingin kau lakukan di rumah orang tuamu?"

Anne tak menjawab, menggeliatkan tubuhnya merasakan gairah Luciano di balik punggungnya.

Jemari Luciano merambat di perut, yang membuat Anne terpaksa berbalik dan mendongak ke arah pria itu, "Kau hanya berjanji membiarkanku pergi, tanpa perlu tahu urusanku, kan? Jika aku menemanimu mandi. Aku sudah membantumu."

Luciano terkekeh, tangannya kembali terangkat dan merangkum sisi wajah Anne. Ujung ibu jemarinya mengusap bibir bagian bawah wanita itu dan bertanya, "Hanya satu ciuman?"

Anne terdiam. Kerutan tersamar di kedua alisnya yang bertaut. Luciano tak pernah bertanya, apalagi menanyakan pendapatnya. Saat pria itu ingin menciumnya, hanya perlu menciumnya. Dan saat ingin menidurinya, hanya perlu membawanya ke tempat tidur dan menelanjanginya. "Apakah jika aku menolak, kau akan memaksaku?" Anne mencoba bertaruh dengan keberuntungannya. Mengamati respon yang diberikan oleh Luciano.

Luciano mulai mempertimbangkan menggunakan cara yang lembut. Cara itu cukup ampuh di saat yang pertama.

'Wanita itu adalah lambang dari kelembutan. Jadi kau juga harus menggunakan cara yang lembut untuk menyentuh hatinya. Buat dia terkejut dengan sikapmu. Buat dia melayang karena kelembutan dan perhatianmu. Maka kau akan menggenggam hatinya. Kau akan mendapatkan segala hal yang kau inginkan darinya. Bahkan dia akan memberikannya dengan sukarela untukmu.'

Mata Luciano mengerjap satu kali dengan petuah sialan dari Faraz tersebut. Yang terus terngiang di kepalanya selama 5 hari belakangan ini. Dan selalu ia sangsikan.

Tak menyangka Anne berhasil terjebak dengan percobaan pertamanya. Dan ia menepati janjinya hanya dengan mandi saja. Sekarang, ia pun dibuat terkejut dengan keheranan yang melapisi permukaan wajah Anne saat ia menginginkan ciuman.

"Ya, tentu saja," jawab Luciano dengan penuh ketenangan.

"Kenapa kau bertanya?" Anne mencoba bertanya sekali lagi. Mengusik sikap temperamental Luciano yang sensitif. Pria itu jauh lebih normal dan aman baginya dengan sikap memaksa dan tak terbantahkannya. Jika seperti ini hanya membuat Anne merasa dipermainkan.

"Apa kau ingin aku menciummu dengan cara yang egois seperti yang bisa kau lakukan?"

Kerutan di kening Anne semakin dalam. "Kau memang egois, Luciano. Kenapa kau tiba-tiba berubah?"

Senyum melengkung di kedua ujung bibir Luciano. "Jika aku mengatakan demi dirimu. Apakah kau akan percaya?"

Wajah Anne seketika bersemu merah dengan jawaban Luciano. Matanya mengerjap terkejut dengan jawaban tersebut.

Luciano jelas menangkap ekspresi keras kepala di wajah Anne yang melunak, meski wanita itu berjuang untuk tidak terjatuh dalam jebakannya.

Anne mendorong tubuhnya menjauh dari Luciano kemudian mengambil salah satu gantungan pakaian yang ada di hadapannya dan berjalan ke samping kiri. Sebagai penolakan akan keinginan Luciano.

Namun, wanita itu malah dikejutkan dengan reaksi Luciano. Yang meski terlihat kecewa, tetap tak melakukan apa pun. Berdiam diri mengamati dirinya yang mulai berpakaian.

Keheranan Anne semakin meningkat, ketika ia berharap Luciano akan memaksanya seperti biasa. Dari ekor matanya, ia melihat Luciano yang menghela napas dengan sabar. Lalu berbalik dan berjalan ke lemari pakaian pria itu sendiri.

Tak hanya sampai di situ. Bahkan ketika Anne menolak pria itu mengantarnya ke rumah kedua orang tuanya, Luciano juga tak mengatakan apa pun. Menuruti keinginan Anne untuk pergi seorang diri. Mobilnya melaju menuju rumahnya dan mobil Luciano menuju gedung perkantoran pria itu.

Anne masih terus memikirkan perubahan sikap Luciano tersebut. Dengan kekhawatiran di dadanya yang semakin memekat. Sepanjang perjalanan ke rumahnya.

Mobilnya berhenti di depan teras, dan kedatangannya disambut oleh pengurus rumah yang sudah bekerja dengan keluarganya sejak Anne masih dalam kandungan.

"Apa papa sudah berangkat ke kantor?" tanya Anne begitu menginjakkan kaki ke halaman rumahnya.

Pelayan itu tampak terkejut dengan pertanyaan Anne.

"Kenapa?"

"Apakah Anda tidak tahu?"

Kedua mata Anne melebar, penuh tanya. "Tidak tahu apa?"

"Sudah tiga hari tuan dirawat di rumah sakit. Dan nyonya yang menjaga beliau di sana."

"Apa?" Anne benar-benar terkejut dengan pemberitahuan ini.

"Bukankah tuan Enzio juga yang membantu mengurus semua yang tuan dan nyonya butuhkan? Termasuk dokter terbaik."

Wajah Anne memerah oleh amarah. Semua yang dilakukan Luciano terhadap kedua orang tuanya, tak membuatnya membenarkan sikap pria itu yang berusaha menyembunyikan fakta ini. Luciano bisa melakukan apa pun sesuka pria itu terhadap dirinya. Tetapi tidak dengan kedua orang tuanya. Kemarahan memenuhi dada Anne dengan sangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro