23. Kesempatan Dalam Kesempitan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau benar-benar keterlaluan, Luciano," sembur Anne begitu mendapati pria itu yang berdiri di pintu masuk rumah sakit. Seolah pria itu tahu dirinya akan datang dan menunggu di sana. Dengan senyum di wajah yang terlihat datar.

"Aku sudah menawarkan diri untuk mengantarmu, kan?" Balasan Luciano tanpa sesal dan rasa bersalah sedikit pun ketika Anne sudah berada di depan pria itu.

"Kau tidak mengatakan kalau papaku dirawat di rumah sakit," sembur Anne, sambil mendaratkan pukulan di dada Luciano. Hanya satu pukulan, usaha keduanya ditangkap oleh pria itu di pergelangan tangan.

"Maka belajarlah untuk menghormati diriku sebagai suamimu, Anne. Agar aku bisa melakukan tugasku dengan baik sebagai seorang suami."

Anne terdiam, menatap keseriusan di wajah Luciano yang tak main-main. "Aku benar-benar membencimu, Luciano."

"Bencilah aku sampai kau lelah. Kau tahu itu tak akan merubah apa pun di antara kita. Kau akan tetap menjadi milikku. Tidak akan berubah sedikit pun." Ketegasan dalam suara Luciano benar-benar membuat Anne tak berkutik.

Anne menekan dalam-dalam amarah yang siap menyembur untuk pria itu. Tahu dan sadar diri bahwa ia tak akan pernah menang melawan arogansi dan keegoisan Luciano. Ia menghela napas dalam dan berat, kemudian suaranya keluar dengan lebih lirih. "Aku ingin melihat papaku."

Luciano tersenyum, melepaskan tangan Anne dan merangkum sisi wajah wanita itu. Mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Anne sambil berbisik. "Setidaknya ini hadiah untuk membantu membawamu kepada mereka, kan?"

Hati Anne benar-benar serasa diremas habis-habisan. Luciano memutar tubuh dan membawanya melewati pintu putar rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lift, pria itu menceritakan tentang keadaan papanya. Yang ternyata diam-diam menyembunyikan penyakit seriusnya.

Sudah sejak dua tahun yang lalu, papa Anne divonis mengidap kanker darah stadium akhir.

Lutut Anne benar-benar melemah, jatuh ke pelukan Luciano. Kebencian di dadanya sementara lenyap, digantikan keputus asaannya yang begitu menekan pundaknya.

"B-bagaimana ...."

Luciano tak pernah pandai "Aku sudah mendapatkan beberapa dokter terbaik untuk memeriksanya. Dan mereka .... semua mengatakan hal yang sama."

Anne tak berani bertanya lebih lanjut. Cukup kata 'semua' mengartikan bahwa sesuatu itu adalah yang terburuk. Kedua orang tuanya adalah satu-satunya orang yang paling berarti di hidupnya. Pun dengan ketetapan mereka yang secara sepihak menikahkannya dengan Luciano. Penderitaan terbesar yang diberikan oleh mereka.

Kedua orang tuanya adalah orang yang baik, terlalu baik hingga mempercayakan dirinya untuk dipersunting Luciano. Dengan semua kebaikan dan kasih sayang kedua orang tuanya, ia tak mampu menolak perjodohan ini. Dan kenekatannya dengan melakukan inseminasi buatan pun berakhir gagal total, yang semakin diperburuk dengan kekecewaan kedua orang tuanya.

"Kau tak ingin tahu berapa lama dia akan bertahan?"

Rasanya seluruh indera Anne akan melumpuh, rasa panas mulai menggenang di kedua kelopak matanya. Tubuhnya semakin jatuh dalam pelukan Luciano.

"Bahkan dia memohon agar diberi kesempatan untuk melihat cucunya. Dan aku sudah berjanji akan membuatnya mendapatkan harapan terakhirnya."

Dan sempurna sudah beban itu menumpuk di pundaknya.

Luciano mendaratkan kecupan di ujung kepala Anne, "Kami memiliki harapan yang sama. Bagaimana denganmu, Anne? Apa kau ingin mengabulkan harapan terakhir papamu?"

Anne tak mampu membuka mulutnya. Air matanya jatuh dan Luciano segera merangkum wajahnya. Menghadap ke wajah pria itu dan Anne bisa merasakan ujung jemari Luciano yang menyeka tetesan air matanya. Senyum kemenangan telak berada di genggaman pria itu dan kali ini Anne tak mampu menolaknya. Jika itu satu-satunya harapan yang diinginkan oleh papanya yang tengah meregang nyawa, maka ia bersedia melakukannya. "Apa kau bisa menjamin kesembuhannya jika aku memberikan apa yang kau inginkan?"

"Aku tak bisa menjaminnya, keadaanya sudah tak memungkinkan. Aku hanya bisa membuatnya bertahan. Bahkan bagi para dokter, itu sudah merupakan sebuah kemustahilan."

Air mata Anne kembali merebak, menggenang di kedua kelopak matanya. Ia terisak, menjatuhkan wajahnya di dada Luciano.

Suara denting menyela di antara isak tangis tersebut dan pinti lift bergeser. Luciano membawa Anne keluar dengan dekapan di pundak wanita itu, dan saat itulah seseorang berdiri di depan pintu lift.

"Tuan Enzio?" Senyum di wajah Esther merekah, kemudian pandangan wanita itu berpindah pada Anne. Dengan kerutan di kening. "Anne? Kau baik-baik saja?"

Keduanya berhenti, Anne menegakkan punggungnya dan tatapan basahnya bertemu dengan tatapan khawatir Esther.

Luciano sempat membeku, tetapi dengan segera menguasai ekspresinya sedatar dan setenang mungkin. Memasang seulas senyum tipis di bibir dan menjawab, "Tidak cukup baik, tetapi kami akan baik-baik saja. Masalah keluarga. Terima kasih atas kekhawatirannya, Nona Esther."

Jawaban Luciano terdengar begitu sopan dan ramah, tetapi Esther bisa menangkap batasan yang digariskan oleh pria itu. Pria itu mengangguk, dengan dekapan di pundak Anne yang seolah semakin diperdalam. Keduanya berbalik dan Esther tertegun di tempatnya.

Tepat ketika Luciano berputar di depannya, tanpa sengaja pandangannya menangkap tanda di balik telinga pria itu. Rambut panjang pria itu yang disisir rapi ke belakang hingga menyentuh kerah jas, membuat tanda iti terlihat cukup jelas. Sebuah tanda lahir, yang terasa begitu asing dan familiar di saat yang bersamaan.

Esther terhenyak cukup lama, dengan kening berkerut saat mencoba menggali ingatannya. Ia merasa kehidupannya berjalan dengan normal sebelum datang ke negara ini. Hidup sebagai anak tunggal yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai manager di perusahaan papanya di London. Semua berjalan dengan baik-baik saja, meski terkadang ia merasa bosan dengan rutinitasnya yang terasa begitu datar.

Hingga kedua orang tuanya merasa umurnya sudah menginjak dewasa dan belum menemukan kekasih hati yang tepat. Mereka pun mulai khawatir dan sudah waktunya turun tangan untuk mengatur masa depannya. Dengan sebuah perjodohan dengan keluarga Eshan. Karena kedua orang tua mereka telah berteman baik dan sudah menjadi rekan kerja yang bisa dipercaya.

Esther tidak menolak. Membaca profil Eshan yang sempurna, sepertinya mereka bisa cocok bersama. Akan tetapi, kenapa semua ketenangan hidupnya. Mendadak tergoyahkan dengan kemunculan Luciano yang secara kebetulan di pesta malam itu. Juga pertemuannya dengan Anne di toilet. Seolah semua ini bukan hanya sebuah kebetulan. Seolah ada sesuatu yang yang begitu mengganjal tentang Luciano.

"Esther?" Suara Eshan yang memanggil dari arah belakang memecah lamunan wanita itu.

Esther memutar tubuhnya, mengalihkan pandangan dari punggung Luciano dan Anne yang menghilang di ujung lorong pendek, kepada Eshan yang berjalan mendekat dengan ponsel miliknya yang berada di tangan pria itu.

"Kau meninggalkan ponselmu."

"Ah." Esther seketika teringat meninggalkan ponsel tersebut di ruang rawat ibu Eshan. "Terima kasih," ucapnya dengan senyum lebar.

Eshan memberikan ponsel tersebut, dengan kedua alis yang saling bertaut. "Kau masih di sini?"

Esther menganggukkan kepala sambil memasukkan ponsel tersebut ke dalam tasnya. "Aku bertemu dengan tuan Enzio dan istrinya. Sepertinya ..." Esther berhenti. Menyadari dirinya sudah bicara terlalu berlebihan. "Maaf. A-aku tak ..."

"Mereka di sini?"

Esther tak langsung mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu. Kembalilah, mamamu sendirian."

Eshan sendiri tak sungguh-sungguh mendengarkan. Pandangannya melewati pundak Esther, tempat pandangan wanita itu mengarah sebelum ia menegur.

Pintu lift terbuka dan Esther bergegas masuk ke dalam lift. Masih dengan senyum yang mengembang untuk Eshan hingga pintu lift tertutup dan membawanya turun.

Sedangkan Eshan, senyum pria itu segera lenyap dan bergegas menyusup ke arah lorong tepat ketika pintu lift tertutup. Hanya ada dua ruang perawatan VVIP di lorong sebelah sini. Berbelok di ujung lorong, ia terus melangkah menuju pintu pertama dan memeriksa nama pasien. Betapa terkejutnya Eshan menemukan nama yang tertulis adalah Johnny Lucas. Papa Anne.

Sial, ia bekerja di rumah sakit ini dan tak tahu kalau papa Anne dirawat di sini.

Tangan Eshan sudah akan terangkat untuk mengetuk pintu di depannya, tetapi hanya membeku di udara. Tidak, ada Luciano di dalam. Ia tak ingin membuat Anne berada dalam masalah. Pria itu pun menurunkan tangannya dan berbalik pergi. Sekarang bukan saat yang tepat.

***

Di dalam ruang perawatan Johnny, Anne terisak dalam pelukan mamanya. Pada awalnya Julia terkejut dengan kedatangan sang putri dan menantunya. Rupanya Julialah yang melarang Luciano memberitahu Anne tentang semua ini. Tak ingin membuat putrinya sedih dan khawatir dengan hal ini. Di awal pernikahan sang putri yang bahkan berawal cukup kacau.

Julia sendiri tak henti-hentinya merasa beruntung dan berterima kasih akan semua kebaikan Luciano terhadap keluarga mereka.

"Bagaimana pun Anne akan tetap tahu, Ma." Anne mengurai pelukannya.

Julia mengangguk. "Kau sedang hamil, Anne. Hamil muda, dan itu adalah usia yang sangat rentan."

Air mata Anne mengalir, teringat bahwa kedua orang tuanya tidak pernah tahu tentang kegugurannya. Yang membuat dadanya semakin diremas oleh rasa bersalah dan kecewa pada dirinya sendiri. Jika saja ia tidak keguguran, ia pasti sudah mengabulkan harapan terakhir yang diinginkan papanya.

"Beruntung kau memiliki Luciano, yang menjagamu dengan baik."

"Itu sudah kewajiban saya sebagai suami Anne, Ma. Tak ada lagi yang perlu mama khawatirkan," balas Luciano sambil mengelus lembut lengan sang mertua yang melingkari pundak Anne.

Julia mengangguk. "Dengan begini, mama bisa tenang memercayakan putri kesayangan kami padamu, Luciano."

"Terima kasih sudah mempercayakan wanita yang saya cintai pada saya, Ma. Sayalah yang berhutang terima kasih pada mama. Telah melahirkan, merawat dan menjaga wanita cantik untuk saya."

Perasaan Anne benar-benar campur aduk. Semakin terjebak dengan posisinya yang berada di antara kebencian dan desakan kedua orangnya untuk jatuh semakin dalam ke pelukan Luciano.

Air matanya yang menggenang di kedua kelopak matanya menghalangi pandangannya pada tubuh papanya yang berbaring tak bergerak di ranjang pasien di seberang ruangan. Dengan berbagai macam alat bantu yang membuat dadanya semakin sesak. Ia tak akan siap ditinggalkan papanya. Tak akan pernah.

***

Setelah tiga jam menunggu di ruang perawatan papanya, akhirnya Anne dipaksa pulang oleh mamanya. Ia melangkah keluar dengan lengan Luciano yang melingkari pinggangnya.

Meski hatinya tak bisa bernapas dengan baik karena keadaan papanya, sekarang ia sudah berhasil menetralisir keterkejutannya dan kebencian di hatinya untuk Luciani kembali ke tempatnya semula.

Luciano jelas telah mengambil kesempatan dalam kesempitan ini. Dan betapa pun ia membenci kelicikan tersebut, Anne benar-benar tak berdaya ketika mamanya menceritakan tentang keinginan papanya yang sempat diucapkan pada mamanya dengan kisah yang dramatis. Juga permintaan maaf papanya karena telah menampar Anne di hari pernikahan.

Anne benar-benar direndam rasa bersalah yang tiada henti. Benar-benar memenuhi dadanya hingga sesak.

"Jadi, berapa banyak waktu yang kau butuhkan untuk menyiapkan diri, Anne?" Pertanyaan Luciano memecah keheningan di dalam lift.

Ekspresi wajah Anne membeku, bergerak ke atas dan menatap wajah Luciano. Yang meski terlihat peduli, ia bisa menangkap kelicikan yang melintas di kedua mata picik pria itu. "Kaupikir aku punya waktu untuk mempertimbangkannya?"

Seringai mengembang tinggi di kedua ujung bibir Luciano. Dengan sangat ringan, pria itu menjawab, "Tidak."

Berengsek sialan! sumpah serapah Anne di dalam hati. Membuang wajahnya ke samping dengan menggigit bibir bagian dalam saat air mata merembes jatuh ke pipinya. Membiarkan kekalahan menginjak-injak harga dirinya.

Anne masih tak mengatakan apa pun lagi ketika keduanya duduk di dalam mobil. Ingatannya tiba-tiba memutar kalimat yang diucapkan oleh Luciano di depan rumah sakit tadi.

'Maka belajarlah untuk menghormati diriku sebagai suamimu, Anne. Agar aku bisa melakukan tugasku dengan baik sebagai seorang suami.'

Benaknya masih sibuk mempertimbangkan kalimat tersebut dengan seksama, saat suara dering ponsel wanita itu memecah keheningan di dalam mobil. Napas Anne seketika tertahan di tenggorokan, bertanya-tanya siapakah yang menghubunginya. Seluruh tubuh Anne menegang, dari ekor mata wanita itu bisa merasakan perhatian Luciano yang sepenuhnya beralih kepadanya.

"Kau tidak mengangkatnya?" tanya Luciano ketika Anne tetap mendiamkan panggilan tersebut hingga di deringan pertama.

Anne pun merogoh tasnya dan seketika mendapatkan kelegaannya kembali ketika menemukan nama Ibra sebagai kontak pemanggilnya. Luciano sedikit mempercayai temannya yang satu ini. Dan napas itu hanya bertahan untuk sepersekian detik, sebelum kemudian ia menjawab panggilan tersebut. Yang dijawab oleh suara orang lain. Bukan Ibra, melainkan Eshan.

"Hallo, Anne. Ini aku, Eshan."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro