27. Menggali Ingatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tahu apa kau, Anne?" Suara Luciano keluar dengan datar dan penuh ketenangan yang terkendali. Akan kata tahu Anne yang entah mengarah ke mana.

Anne mengumpulkan keberaniannya, menatap wajah Luciano yang memias. "Sapu tangan itu. Aku tak sebodoh itu untuk tidak bisa membaca hubungan kalian berdua."

Kerutan muncul di antara kening Luciano. Mencerna kalimat wanita itu dengan perlahan. Bukan karena ia tak memahami kecurigaan Anne, tapi lebih kepada alasan Anne mencurigainya. Tak ada tuduhan dalam suara tersebut. Wanita tak sedang memergoki atau menangkap basahnya. Wanita itu mengatakan sebuah pernyataan. Yang tak lebih dari sebuah bualan di telinganya.

"Kau diam-diam menemuinya di belakangku. Sapu tangan itu tak mungkin jatuh begitu saja  Luciano."

"Apa yang kau bicarakan, Anne?" Luciano masih berusaha menanggapi pernyataan tersebut dengan hati-hati. Ia tak pernah peduli pada pendapat orang lain tentang hubungannya dengan wanita-wanita mana pun yang mencoba mengemis perhatiannya. Sekedar dekat demi sebuah gosip. Dan ia tak pernah terusik dengan gosip murahan apa pun. Tetapi tuduhan yang dibungkus pernyataan tersebut jelas mengusik harga dirinya sebagai seorang pria. Sebagai seorang suami yang telah memegang sumpah pernikahan sebagai seorang pria.

Saat ia memutuskan untuk menikahi seorang wanita dan itu Anne. Ia hanya tahu Anne adalah wanitanya. Istrinya. Dan satu-satunya wanita yang akan melahirkan keturunannya. Hanya Anne yang akan menghangatkan ranjangnya. Pun dengan semua paksaan dan kefrustrasiannya demu menaklukkan wanita keras kepala itu.

Dan semua itu tentu sana harus adil. Anne pun harus melakukan hal yang sama. Wanita itu hanya miliknya.

Ya, saputangan itu memang tak mungkin jatuh.

"Kau menginginkannya, kan? Aku tahu kau tertarik padanya."

"Omong kosong macam apa ini, Anne?"

"Begitu pun dengan Esther. Dia jelas menyukaimu lebih besar dari Eshan. Yang adalah tunangannya sendiri."

Akhirnya Luciano tahu ke mana arah pembicaraan ini mengalir. Seringai tersungging di salah satu ujung bibirnya. "Apakah itu yang rasakan terhadap aku dan Eshan? Kau jelas menyukainya lebih besar dari pernikahan ini. Lebih besar dariku sebagai seorang suami? Bahkan aku dan pernikahan ini tak bisa dibandingkan dengan perasaanmu padanya, begitu?"

Anne sama sekali tak menyangkal meski menyadari ketegangan yang menguar dari tubuh Luciano mulai membunyikan alarm di dalam dirinya. Bulu tengkuknya meremang, tatapan tajam Luciano terasa begitu membekukannya. Membuat kedua lututnya melemah dan tak berkutik.

"Malam-malam dia datang ke rumah ini hanya untuk mengembalikan sapu tanganmu. Dia juga pulang setelah bicara denganmu. Kau mengusirku. Kalian saling suka, bukan?"

"Dan apa yang coba kau inginkan dari semua omong kosongan sialan ini, Anne?" Tatapan Luciano lebih tajam dari sebelumnya. Membuat Anne mau tak mau menelan ludahnya."

"Kau bisa bersamanya."

"Apa kau mencoba membuat kesepakatan denganku, Anne. Menukar kebebasanmu dengan wanita itu?"

"Ini adil untuk kita berdua."

"Dan bagaimana tentang harapan terakhir papamu?"

"A-aku akan mengabulkannya."

"Denganku atau pria itu?" Bibir Luciano menipis keras, nyaris tak bergerak dengan garis bibirnya yang semakin tajam. Kedua matanya menusuk tepat di kedua mata Anne.

Anne tahu ini saatnya untuk mundur. Kegelapan di wajah Luciano semakin memekat. Kalinya melangkah mundur, tetapi sikunya ditangkap oleh Luciano dengan cepat. Pria itu menggenggamnya dan ia tak diberi pilihan untuk menjawab, "Denganmu. Aku tahu mama dan papaku akan menyukainya jika itu darah dagingmu." Suara Anne diselimuti getaran yang semakin merebak. Mengaliri tenggorokannya dengan keras.

Seringai Luciano naik lebih tinggi, tampak puas dengan jawaban Anne. Ia menambah tekanan dalam genggamannya. "Rupanya kau masih belum memahami situasi kita, Anne. Bahkan jika kepalamu hancur, kupikir kekeras kepalaanmu masih mengerak di otakmu."

"S-sakit…"

"Jika aku menginginkannya, aku akan memilikinya, Anne. Jika aku menginginkan wanita-wanita itu  aku akan mendapatkannya. Dan aku tak butuh persetujuanmu, apalagi ijinmu. Itulah yang terjadi padamu, istriku."

"L-lepaskan, Luciano." Tangan Anne berusaha membebaskan sikunya. "Kau menyakitiku."

Luciano menyentakkan tubuh Anne hingga wajah wanita itu membentur dadanya. Melempar ponsel Anne ke lantai satu lalu menangkap rahang Anne sata wajah wanita itu berputar. Terkejut dan menatap nanar ponsel yang ia yakin sudah tak bisa digunakan lagi.

Tangannya mencengkeram dengan tekanan yang begitu kuat, mendongakkan wajah Anne dan memberikan perhatian wanita itu hanya kepadanya. "Kau memang tak layak mendapatkan sedikitpun kebaikanku, Anne."

Anne semakin terisak. "M-maafkan aku."

"Aku sudah memberimu peringatan. Memberimu kesempatan. Sekarang keputusanku. Tak ada ponsel. Tak ada teman. Dan tak ada pria lain. Selesai." Luciano memungkasi kalimatnya dengan menyentakkan wajah dan tubuh Anne menjauh darinya.

"Tidak, Luciano. Aku sudah minta maaf."

"Begitukah?" Salah satu alis Luciano terangkat. Menyangsikan permintaan maaf tersebut dengan ekspresi mencela. "Kau pikir aku akan termakan trikmu untuk menjadi istri yang patuh? Trik memberi untuk menerima?"

"Ck,ck,ck. Hidup ini memang tidak adil, Anne. Biasakan dirimu."

Isakan Anne seketika terhenti. Digantikan ekspresi dan tatapan dinginnya. Ya, ia akui permintaan maafnya adalah salah satu trik untuk membujuk pria itu. Seperti sebelum-sebelumnya, permohonan dan penyesalannya cukup ampuh untuk membuatnya mendapatkan apa yang diinginkannya.

Luciano mendengus. Menyelami lebih dalam kemarahan dan kebencian yang memekati tatapan wanita itu. "Sekarang kau terlihat lebih jujur, Anne. Betapa manisnya."

Gurat amarah di wajah Anne semakin mengeras akan kalimat ejekan Luciano. "Kau benar-benar membuatku kehilangan napasku, Luciano."

"Baguslah jika kau memahami posisimu."

"Kau mencekikku. Kau membuatku tak bisa bernapas!" Suara Anne mulai menguat.

"Itu yang terjadi sejak aku datang di hidupmu dan kau masih belum terbiasa." Luciano berhenti sejenak oleh suara getaran ponsel pria itu sendiri. Tertegun menatap nama kontak yang tertera. "Kembalilah ke tempat tidur dan persiapkan dirimu."

Anne tak mengerti akan perintah tersebut, pandangannya mengikuti Luciano yang berjalan ke arah lift. "Siap untuk apa?" tanyanya karena malas bertanya-tanya maksud perintah Luciano yang ambigu tersebut.

Luciano hanya menatapnya dari balik bahu. "Menidurimu," jawabnya ringan.

Wajah Anne seketika merah padam.

"Sudah lima hari aku tidak menyentuhmu. Aku benar-benar merindukan tubuhmu," tambah Luciano sebelum pria itu benar-benar masuk ke dalam lift. Yang membuat wajah Anne tak bisa lebih merah padam lagi.

***

"Katakan," perintah Luciano begitu panggilan tersambung dan pintu lift tertutup secara bersamaan.

"Saya sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan, Tuan."

"Ya. Ke mana saja dia pergi?"

"Hanya rumah, rumah calon mertuanya, dan klinik."

"Klinik?"

"Ya. Klinik konseling dan hipnoterapi. Beliau sedang menjalani pengobatan. Setiap dua minggu sekali selalu datang dengan rutin sejak pindah ke negara ini."

Tubuh Luciano menegang. Hanya ada dua hal yang menunggu saat ingatan Esther kembali. Masalah dan bencana besar.

"Siapa dokternya?"

"Dr. Aldric Sentosa."

Kening Luciano bertaut. "Gunakan koneksiku untuk membuat pertemuan kami."

"Akan saya usahakan."

"Secepatnya," tegas Luciano sebelum memutus panggilan. Pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar. Menuju ruang kerjanya dan melihat Faraz yang menunggu di depan meja kerjanya. "Ada apa lagi?"

"Hanya sedikit pekerjaan. Kau terlihat kesal." Faraz diam sejenak. "Dan gugup."

"Hmm, sesuatu mengusikku," jawab Luciano sembari membanting pantatnya di kursi. Mendekatkan berkas yang sudah diletakkan di hadapannya.

"Anne? Kulihat kau menghancurkan ponselnya dari lantai dua."

"Salah satunya." Luciano membuka berkas tersebut. "Berikan ponsel dan nomor baru. Dan hubungkan semuanya ke ponselku. Aku butuh mengawasi wanita itu."

Faraz terkekeh pelan. "Apa dia masih berhubungan dengan kekasihnya? Kau sudah menghancurkan ponselnya, Luciano. Apa yang kau khawatirkan? Dia tak bisa menghubungi siapa pun lagi."

Wajah Faraz terangkat. "Dan kau pikir itu akan berhenti untuknya? Kau mengenalnya, Faraz. Dengan kepala batunya, dia bisa menggunakan banyak cara."

Faraz manggut-manggut setuju. Tetapi kemudian teringat jawaban awal Luciano. Kepalanya miring ke samping. "Dan yang lainnya?"

Kali ini Luciano bernapas dengan berat, mulai membaca berkas di depannya dengan ekspresi yang keruh.

"Esther?"

"Aku tak ingin membahasnya."

"Hmm, oke." Faraz manggut-manggut lagi. "Kudengar dia mencoba melalukan hipnoterapi demi mengingat masa lalunya. Dia benar-benar tak menyerah sejak kau muncul di hadapannya. Aku sudah memperingatkanmu, kan. Menemuinya adalah ide paling konyol yang pernah kau pikirkan."

Luciano menggeram.

"Jangan katakan aku tak memperingatkanmu. Kau mendadak begitu emosional."

"Dan kau pikir itu akan berhenti sampai di sana? Ada banyak cara yang akan membuatku masih berseliweran di sekitarnya. Aku hanya ingin membuatnya menjadi jelas untuk kami berdua."

"Oke. Meski tampak jelas untukmu, sepertinya tidak untuknya, Luciano."

"Maka waktu akan membuatnya terbiasa."

"Apakah itu berarti kau akan siap jika ingatannya kembali dan membawanya kembali ke hidupmu?" Salah satu alis Faraz terangkat, menyelami emosi di kedua mata Luciano dengan hati-hati.

"Tak ada yang perlu kusiapkan. Dan tak ada alasan dia kembali ke hidupku. Semua sudah selesai sepuluh tahun yang lalu."

"Kau yakin?"

Luciano menggeram dan menatap tajam kedua kata Faraz, yang seketika mengatupkan rahang.

"Oke. Aku tak akan bertanya lagi." Menepuk berkas di hadapan Luciano dan berkata, "Aku butuh tanda tanganmu malam ini juga."

***

"Apa yang sebenarnya yang kau katakan, Esther?" Kepucatan melintasi wajah mama Esther mendengar kalimat sang putri yang tiba-tiba muncul ke ruang tidurnya. Dan suaminya berada di ruang kerja, yang membuatnya harus berusaha lebih keras untuk tetap tenang menghadapi sang putri tunggal.

"Sepuluh tahun yang lalu, di mana kita tinggal, Ma? Aku merasa melewatkan ingatan itu dan baru menyadari kalau ingatan itu tidak ada."

Mama Esther tampak menelan ludahnya. Memastikan suaranya tak sampai bergetar ketika menjawab, "Mama tak tahu apa yang kau tanyakan. Ingatan apa yang kau maksud?"

"Sepuluh tahun lalu. Di mana kita berada? Aku hanya butuh satu jawaban itu."

Mama Esther  mengerjap dengan gugup.

"Apakah sesulit itu untuk menjawabnya?" Esther maju satu langkah lebih dekat dengan mamanya. Nada suaranya terdengar mendesak, begitu pun dengan wajahnya. "Jangan bilang mama melupakannya."

Mama Esther terdiam.

"Dan kenapa mama terlihat terkejut?"

Mama Esther segera menguasai ekspresi wajahnya dengan begitu apik. Tidak. Rahasia ini tak  oleh terbongkar. Ingatan putrinya tidak boleh kembali ke masa terburuk itu. "Kau sebelumnya tidak pernah mempertanyakan hal semacam ini. Kita hidup dengan penuh ketenangan sepuluh tahun ini."

Alis Esther bertaut dan matanya memicing tajam. "Apakah itu artinya sebelum sepuluh tahun ini hidup kita tidak penuh dengan ketenangan?"

Kedua mata mamam Esther seketika melebar, bersamaan kesiap pelan wanita paruh baya itu.

Esther maju lebih dekat, memegang kedua pundak mamanya dengan keingintahuan yang penuh antusias. "Benar, bukan. Sesuatu terjadi sepuluh tahun yang lalu. Dan kita tinggal di kota ini, kan?"

Mama Esther menggeliatkan tubuhnya. Mengurai diri dari pegangan sang putri. "Tidak, Esther. Bukan itu yang mama katakan."

"Lalu?"

"Dan kita tidak pernah tinggal di kota ini."

"Lalu di mana kita tinggal? Apakah sesulit itu mama mengingatnya? Mama bahkan masih ingat apa saja yang kulakukan saat aku masih sekolah tk."

Mama Esther mulai terlihat kebingungan. Memutar ingatannya dan menjawab, "Sepuluh tahun lalu, kita masih tinggal di Singapore. Bukan mama yang tak mengingatnya, tapi kau, Esther. Dan semua yang katakan benar-benar tak masuk akal. Ingatan apa yang tidak ada di ingatanmu? Itu semua hanyalah halusinasimu saja. Tak ada yang perlu kau ingat. Kau hanya tak menyukai tempat kita tinggal dan melupakannya."

Esther menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, Ma. Mama berbohong. Bukan tak ada yang perlu kuingat. Tapi mama dan papa yang berusaha menutup ingatanku."

Kepucatan merebak di seluruh permukaan wajah mama Esther melihat keseriusan yang semakin memekati wajah sang putri. Bibir wanita itu membeku saat bertanya, "A-apa maksudmu?"

"Selama ini, kupikir hidupku begitu kosong di antara ketenangan ini. Aku memiliki trauma yang aku sendiri tak tahu alasannya setiap berada dalam ruangan yang tertutup seorang diri. Aku selalu bertanya-tanya dan tak tahu pertanyaan apa yang selalu menghantui mimpiku. Aku membutuhkan jawaban yang aku sendiri tak tahu. Aku selalu tak tahu dan semua menjadi jelas sejak kita datang ke kota ini."

Mama Esther menjilat bibirnya yang mendadak kering. "Mama benar-benar  tak tahu apa yang kau katakan, Esther?"

"Dan Singapore? Kita pindah dari sana saat aku berumur 17 tahun. Dan aku tak ingat kita kembali ke sana."

Kepucatan di wajah mama Esther semakin dalam dan pekat.

"Jika mama dan papa tidak mengatakan padaku, maka aku sendiri yang akan mencari tahunya."

"Tak ada yang hilang dan tak ada yang perlu kau cari tahu, Esther. Kenapa kau meracau tak jelas seperti ini? Kau melewatkan pertemuanmu? Apa kau tidak cocok dengan dokter barumu? Mama akan mencarikan …."

"Tidak perlu." Esther menggeleng. "Aku sangat yakin ini ada hubungannya dengan Luciano Enzio."

Kening mama Esther berkerut. "Luciano Enzio?" ulangnya dengan lirih dan seketika teringat pasangan Enzio di pesta malam itu. "Apa hubungan semua ini dengannya?"

"Aku akan mencari tahunya." Jawaban Esther penuh dengan kemantapan.

Mama Esther menatap sang putri dengan penuh ketidak percayaan. "Kau benar-benar tak waras Esther. Kau bertemu dengan orang asing dan berpikir ingatanmu hilang? Kewarasanmu yang hilang."

Raut Esther masih diselimuti kekeras kepalaannya. Berpegang teguh dengan keyakinannya. "Kalian semua yang menipuku. Kalian  berbohong dan seolah-olah aku tak tahu."

"Esther?"

Esther mengangkat kedua tangannya. "Kalian tidak perlu mengatakan apa pun lagi. Biarkan aku sendiri yang mencari tahunya," pungkasnya kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruang tidur mamanya. Mengabaikan panggilan sang mama. Dengan keyakinan yang semakin mengakar di dalam dadanya.

***

Yang lagi baca, buruan dibaca ya. Part perlahan akan dihapus dari atas, jadi jangan sampai ketinggalan setiap update. Di sini  akan tetep diupdate sampai tamat kok, makanya jangan sampai ketinggalan setiap update.

Jadwal update dua hari sekali bergantian antara Still in Love dan Gadis Kecil Kesayangan Sang Presdir. (Misal hari ini Luciano, lusa depan gantian Mikail. Kalau telat, berarti authornya lupa. Bisa ditag atau di dm. Wwkwk)

Yang ga sabaran, bisa langsung cus ke Karyakarsa. Di sana udah sampai bab 41-42 dan update setiap pagi. (Link di bio) Jangan lupa follow juga. Biar author ga kesepian di sana. Juga biar makin semangat update tiap harinya.

Selamat membaca ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro