26. Anne Tahu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Apa kau mengenalnya?” Anne menatap penuh keheranan akan reaksi yang ditunjukkan oleh Reene. Wanita itu sama terkejutnya dengan dirinya. Bukankah Reene tidak ada saat mama Eshan memperkenalkan Esther sebagai tunangan Eshan?

Reene segera menguiasai ekspresinya, menggeleng pelan dan menjawab, “Aku ingin bertanya padamu, siapa dia?”

Masih dengan tatapan keheranannya, Anne menjawab, “Dia … ehm, bisa dibilang kenalan? Atau temanku?”

“Kenalan? Teman?” Salah satu alis Reene terangkat. “Lalu kenapa dia mencari Luciano?”

Itu adalah pertanyaan yang sama yang ingin Anne tanyakan.

Reene mengerjap, masih dengan tanya besar yang menggantung di atas kepalanya. Wanita itu berkata, “Aku akan memanggil Luciano. Kau bisa menyambutnya masuk sebagai nyonya rumah, kan?”

Anne tak mengatakan apa pun.

“Dari namanya, sepertinya dia seorang wanita. Kau yakin wanita itu tidak akan mencuri Luciano darimu? Kau tahu, sangat mudah jatuh cinta pada Luciano. Dan kebanyakan dari kami, tidak peduli dengan apa yang akan kami hadapi untuk mendapatkan keinginan kami.”

Anne mendengus tipis, jelas saja ia tak peduli. “Kami? Apakah itu termasuk dirimu sendiri?” seringainya tinggi. “Jika kalian menginginkannya, aku akan menyerahkan suami tercintaku dengan penuh keikhlasan.”

Tentu saja kalimat itu membuat Reene semakin dongkol. Bukan Anne yang menginginkan pernikahan ini, tetapi Luciano yang mendadak terobsesi dengan gadis kecil dan jelas sudah tak polos ini. Sialan, daun muda memang lebih menarik jika dibandingkan dirinya dan Esther. “Kau hanyalah pajangan bagi Luciano.”

“Ya, aku tahu dan sangat paham kenapa diriku menjadi pajangan. Aku tahu aku memang secantik itu.” Anne menyibak rambutnya yang terurai ke belakang pundak. Memastikan Reene menyelami kecantikannya. Sungguh, ia tak pernah menyadari kecantikannya dan tak pernah membanggakan kesempurnaan wajahnya. Semua ini membawanya ke dalam penderitaan ini dan tidak ada alasan ia merasa begitu bangga akan semua ini. Tetapi jika itu untuk membuat Reene kesal, rasanya ia sama sekali tak keberatan.

Wajah Reene merah padam. Dengan penuh kebencian dan iri dengki yang begitu pekat. Kedua tangan wanita itu terkepal di sisi tubuh dan tak tahan ingin melayangkan sebuah tamparan di wajah Anne. Tetapi Luciano muncul di ujung tangga.

“Ada apa?” Luciano menuruni anak tangga, mengamati ekspresi di wajah Anne dan Reene dengan seksama. Rupanya istrinya sudah bisa membiasakan diri melihat kemampuannya membuat Reene terlihat begitu dongkol.

Reene menggeleng pelan. “Ada seseorang yang mencarimu. Namanya Esther.”

Langkah Luciano sempat tersendat, tetapi ia menguasai ketenangannya dengan sangat baik. Sampai di lantai satu dengan lengan yang langsung menangkap pinggang Anne. “Aku? Bukankah dia teman Anne?” Luciano menelengkan kepalanya, dengan salah satu alis yang terangkat.

“Pelayan jelas mengatakan bahwa dia mencarimu.”

Senyum tersemat di kedua ujung bibir Luciano. “Ya, tentu saja. Ini rumahku, kan?”

Kecurigaan di kening Anne perlahan memudar. Membiarkan Luciano membawanya ke ruang tamu.

Reene segera menangkap satu isyarat mata yang dilemparkan oleh Luciano padanya dan bergegas kembali ke kamarnya.

Di ruang tamu, Esther berdiri mengamati foto pernikahan Anne dan Luciano yang terpajang di dinding utama ruang tamu. Anne terlihat begitu cantik dan Luciano yang tampan memandang gadis itu dengan sangat dalam. Sedikit menciptakan butiran-butiran kecemburuan yang semakin menggumpal dan semakin jelas. Telapak tangannya menempel di dada dan semuanya terasa begitu jelas. Ada kecemburuan yang sangat jelas, dan membuktikan bahwa ada sesuatu yang mengganjal di dalam sana. Yang harus ia cari tahu dengan benar. Kenapa Luciano? Apakah pria itu ada hubungannya dengan masa lalunya yang hilang? Perasaan ini terasa benar. Dan ia sangat yakin dengan apa yang dirasakannya. Perasaannya tak pernah meleset.

“Nona Esther?” Suara Luciano menyela di antara lamunan Esther.

Senyum segera melengkung di kedua ujung bibir Esther, tubuhnya bergerak memutar dan senyum itu membeku menemukan bukan hanya Luciano yang datang. Tetapi juga Anne, bahkan dengan lengan yang melingkar begitu posesif di pinggang wanita itu. Yang sekali lagi menciptakan kecemburuan di dadanya semakin jelas.

“Tuan Enzio, Anne,” sapanya sembari menghampiri pasangan tersebut.

“Apakah ada yang bisa kami bantu? Hingga membuat Anda direpotkan?”

Esther menggeleng pelan. “Saya mendapatkan alamat Anda dari Eshan. Ada sesuatu yang harus saya kembalikan pada Anda.”

Kening Anne berkerut, Anda yang dimaksud adalah Luciano. Esther tampak jelas memosisikan dirinya dan Luciano di tempat yang berbeda. Lebih formal pada Luciano. Mungkin karena ia bertemu wanita itu lebih dulu dan menjadi sedikit akrab. Anne tak sungguh-sungguh mampu mengendalikan kecemburuannya pada Esther mengingat wanita itu adalah calon tunangan Eshan.

“Saya?” Luciano mengulang.

Esther merogoh tasnya dan mengeluarkan sapu tangan berwarna hitam dari sana lalu mengulurkannya pada Luciano. “Saya ingin mengembalikan ini pada Anda.”

Pandangan Luciano turun, tak ingat bagaimana benda itu ada pada Esther. Tetapi kemudian ia teringat pertemuan mereka siang tadi. Saat Esther menyentuhnya dan seringai tersamar di ujung bibir Luciano. Tak menyangka akan kelicikan wanita itu. Tentu saja itu hanyalah salah satu trik yang Esther gunakan untuk mengusik hidupnya lebih jauh.

“Sepertinya aku menjatuhkannya di suatu tempat. Meski saya tidak memerlukannya, tetap saja saya harus berterima kasih, kan?” Ketenangan Luciano terkendali dengan baik menyadari tatapan kecurigaan yang menyelimuti kedua mata Anne padanya. Tangannya terulur dan mengambil sapu tangannya, lalu memberikannya pada Anne.

Esther menyangsikan jawaban tersebut. Mengamati raut Luciano dan Anne secara bergantian.

Anne tetap mengambil benda itu meski bertanya-tanya bagaimana sapu tangan Luciano ada pada Esther.

Luciano menurunkan wajahnya, mendaratkan kecupan di pelipis Anne sambil berkata, “Bisakah kau menyuruh pelayan untuk membawakan tamu kita secangkit the?”

Anne mengangguk dan mengurai rangkulan Luciano. Apa pun itu kecurigaan seperti yang Reene katakana, ia tak peduli dan tak merasa perlu peduli. Jika Esther begitu menginginkan Luciano, kenapa dunia sangat tak adil. Kenapa bukan dia yang bersama Eshan dan Luciano bersama Esther.

Senyum di wajah Luciano segera lenyap saat Anne menghilang dari ruang tamu, berubah dingin ketika berhadapan dengan Esther. “Rupanya Anda sengaja melangkah terlau jauh, Nona Esther.”

“Saya memiliki rasa penasaran yang amat sangat tinggi,” jawab Esther tanpa melepaskan sedikit pun tatapannya pada Luciano.

Semua sikap Esther hanya mengingatkan dirinya bahwa wanita itu tak pernah berubah. Tak akan berhenti sebelum mendapatkan jawabannya. “Kalau begitu Anda bisa melakukan apa pun yang Anda inginkan. Hanya saja, Anda perlu tahu batasanya. Pertama, kita mulai dengan cara Anda bersikap pada saya dan istri saya. Anne adalah istri saya, sudah seharusnya Anda memanggilnya dengan nyonya Enzio. Sepertinya Anda tidak terlalu akrab untuk memanggilnya hanya dengan namanya.”

Ekspresi di wajah Esther membeku. Tak bisa menahan kekecewaan melintasi wajahnya.

“Saya adalah pemilik rumah sakit tempat calon tunangan Anda bekerja. Bukankah seharusnya Anda memiliki sopan santun yang perlu dijaga.”

Kali ini wajah Esther memias. “Baiklah, Tuan Enzio. Saya akan mencoba menghormati hubungan ini dengan sangat baik.”

“Kuharap Anda tak perlu pemahaman yang lebih keras lagi. Sebaiknya Anda sedikit berbasa-basi dengan istri saya demi menenangkan pikirannya tentang kita berdua yang memang tidak ada apa-apanya.” Luciano mengangguk singkat, kemudian berbalik pergi.

Masih dengan raut kekecewaan yang begitu jelas, Esther mengerjapkan matanya. Mengurai kaca yang membentuk di kedua matanya. Ujung jemarinya terangkat, menangkap setetes air mata yang jatuh. Esther tertunduk, tertegun menatap tetesan tersebut.

Lihat, ia pasti memiliki ikatan yang kuat dengan Luciano. Hatinya mengatakan seperti itu. Dan ia yakin itu adalah sebuah kebenaran.

***

“Bagaimana dia ada di sini, Luciano?” Reene segera mendatangi Luciano begitu pria itu keluar dari ruang tamu dan melintasi lorong menuju ruang tamu.

“Bukan urusanmu, Reene.” Luciano sama sekali tak mengurangi kecepatan langkahnya.

Reene tak menyerah, menyusul di belakang Luciano.

Anne yang baru saja keluar dari area dapur, tanpa sengaja melihat keduanya menghilang di ujung lorong. Kerutan tersamar di antara kedua alisnya, tetapi segera mengabaikan keduanya dan melanjutkan langkahnya menuju ruang tamu.

Namun, tak ada Esther di sana. Yang semakin membuat Anne diselimuti keheranan. Sudah jelas kedatangan Esther ke rumah ini tidak ada hubungannya dengannya.

Pandangan Anne tertunduk, sejenak menatap sapu tangan hitam yang diberikan oleh Esther. Dan membuangnya ke tempat sampah dalam perjalanan ke lantai dua.

Sampai di ruang tidur, Anne mengambil ponselnya di laci nakas dan bergegas ke balkon. Menghubungi mamanya.

“Hai, sayang. Kau belum tidur?”

“Bagaimana keadaan papa? Apakah masih belum bangun?”

Helaan napas menjawab dari seberang.

Kedua mata Anne terpejam. Ikut menghea napas dengan berat. Rasanya sama memeras hatinya seperti sebelumnya ketika Luciano mengatakan bahwa papanya masih belum bangun. Mamanya pun mengakhiri panggilan dan menyuruhnya beristirahat.

Anne masih berdiri termenung dengan menyandarkan tubuh bagian depannya di pagar balkon saat tiba-tiba teringat akan Eshan. Dan tak menunggu sedetik untuk menundanya.

Panggilannya dijawab di deringan pertama, dengan helaan penuh kelegaan ketika memanggil namanya. “Anne?”

“Hai.”

“Anne, betapa aku merindukan suaramu. Kau menghubungiku dengan cepat. Apa yang terjadi setelah berhari-hari aku tak bisa menghubungimu?”

Anne tak yakin apakah ia harus menceritakan pada Eshan. Kepalanya berputar memikirkan jawaban yang tepat, dan hanya bisa menjawab, “Ponselku rusak. Aku menjatuhkannya dan … ehm ada sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.”

“Baiklah, aku mengerti.”

Hening sejenak.

“Eshan?”

“Hmm?”

“Bagaimana …” Anne menjilat bibirnya yang kering. “.. tentang rencana pertunanganmu dan Esther?”

Mendadak kebekuan menyusul. Selama beberapa saat Eshan hanya terdiam. “Aku sedang memikirkan cara untuk bicara dengan Esther. Mamaku sedang dirawat di rumah sakit dan aku … aku belum mengatakan semuanya.”

“Apa?”  Kedua mata Anne melebar. “Mamamu sakit?”

“Ya, tidak cukup serius. Hanya maagnya yang kambuh. Setelah keadaannya membaik, aku berjanji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”

Anne tak mengatakan apa pun. Jika Eshan membatalkan pertunangan tersebut, lalu apa selanjutnya? Ia tetap tak bisa bersama dengan pria itu. Hidupnya sudah terikat dengan Luciano. Dan keadaan papanya semakin menguatkan jeratan tersebut di lehernya. Tak harapan untuk mereka berdua. Dan ia tak sampai hati untuk mengatakan fakta tersebut pada Eshan.

Apakah ia memberi harapan palsu pada pria itu?

“Anne?” panggil Eshan karena setelah beberapa saat tak ada jawaban dari seberang. “Anne? Kau masih di sana?”

“Y-ya.” Anne menyadarkan dirinya.

“Kau baik-baik saja?”

“Ya. A-aku … hanya memikirkan sesuatu.”

“Tentang apa?”

Anne tak menjawab.

“Apakah tentang kita?”

Anne hanya mengangguk pelan, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Kau tenang saja. Setelah aku mengurus pertunangan ini, kita akan bicarakan tentang dirimu.”

Anne ingin mengatakan bahwa ia menyerah. Tetapi … kalimat itu hanya membeku di ujun lidahnya. Air mata menggenang di kedua matanya, dan ia membekap isakannya dengan telapak tangan.

“Siapa yang kau hubungi?” Suara bariton yang begitu familiar membuat Anne terkejut, tubuh wanita itu berputar dengan cepat dan kepucatan menyiram wajahnya menemukan Luciano yang sudah berdiri di belakangnya. Dan ia belum sempat mencerna keterkejutan tersebut ketika ponsel di telinganya direbut.

Wajah Luciano seketika menggelap melihat nama Eshan yang tertera di layar tersebut. Ujung jemarinya segera menggeser tombol hijau, memutus panggilan tersebut. “Aku hanya sedikit memberimu kelonggaran dan inilah yang kau lakukan padaku, hah?” Suara Luciano sangat tenang, tetapi mampu membuat bulu kuduk Anne meremang.

“A-aku …” Suara Anne bergetar hebat, dan mulutnya seketika terkatup rapat. Air mata yang merebak di kedua matanya jatuh membanjiri pipinya.

Luciano mendengus keras, menggenggam ponsel tersebut kuat-kuat ketika berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamar.

“Luciano?” panggil Anne, setengah berlari demi menyusul langkah besar pria itu menuju partisi. “T-tunggu, aku bisa menjelaskan padamu.”

Luciano benar-benar tak bisa menahan seringainya saking gelinya mendengar kalimat Anne.

“Luciano, tunggu?” Anne akhirnya berhasil menahan lengan pria itu di ujung tangga. Menghentikan langkah Luciano.

“Aku membutuhkannya untuk menghubungi mamaku dan menanyakan …”

“Dan memang itulah aku memberikan benda sialan ini padamu.”

Anne menelan ludahnya. Ia tahu telah menyalahgunakan kebebasan tersebut. “Aku tahu kau memiliki hubungan dengan Esther.”

Luciano mengerjap. Wajahnya seketika membeku dan tatapannya menajam. Terkejut. Bagaimana Anne bisa mengetahuinya?

***

Di Karyakarsa udah up part 35-36 ya
Jangan lupa follow dan komen. Linknya di Bio

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro