1. Bertemu Tuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Heh, anak seorang pelacur ternyata cantik juga. Aku akan menjualmu malam ini. Pasti banyak yang memperebutkan tubuhmu di sana."

"Jangan, Nyonya! Jangan! Deandra tidak mau dijual! Deandra mau di rumah saja!"

Deandra Marjeta, gadis tujuh belas tahun yang tengah mengiba pada seorang wanita separuh abad di hadapannya. Sejak tadi dia terus memohon agar dilepaskan dari cengkeraman dua penjaga di sebelahnya. Nasib buruk kini benar-benar terlihat jelas dalam hidupnya.

"Aku harus menyingkirkan apa pun yang bersangkutan dengan masa lalu suamiku, termasuk anak haram sepertimu. Baguslah ibu pelacurmu itu sudah mati. Sedikit mengurangi bebanku untuk menyingkirkan kalian."

"Tidak! Ibu bukan pelacur! Ibu Deandra orang baik!" bela Deandra sembari terus meronta-ronta.

Sayang, semua teriakan dan pembelaan Deandra tidak berguna, karena beberapa detik setelahnya, mulut itu dibekap. Deandra perlahan-lahan kehilangan kesadaran karena saputangan yang menutup mulutnya berisi obat bius. Kaki gadis itu melemah, tapi tak sampai jatuh ke lantai karena lengannya ditahan oleh dua laki-laki bertubuh kekar.

Senyum sinis tercipta di bibir Aretha selepas memberi titah pada bawahannya untuk membawa Deandra ke mobil. Sejenak Aretha memandang ke sekeliling sudut rumah yang dia pijaki. Tawanya kemudian terdengar, merasa senang atas penderitaan hidup yang Deandra dan mendiang sang ibu alami.

Rumah kumuh ini lebih tepat dijadikan penangkaran tikus daripada ditinggali manusia. Ya, seperti itu pemikiran Aretha. Hatinya bersorak gembira mengetahui bahwa perempuan yang pernah menghabiskan malam bersama suaminya menjalani kekurangan dalam segala hal. Bahkan sampai ajal menjemput, mendiang ibu Deandra tidak sempat lagi bertemu dengan ayah Deandra.

Puas merasakan bahagia di tempat yang menjadi penderitaan Deandra, Aretha menuju mobilnya. Tidak lama setelah itu, mereka keluar dari area kumuh yang sangat menjijikkan untuk kaum kelas atas seperti Aretha. Kalau bukan demi menjemput Deandra dan menjualnya ke tempat prostitusi, Aretha bersumpah tidak akan mau datang ke sana.

"Dandani dia sebaik mungkin. Aku akan mengirimnya ke kelab malam milik temanku. Gadis ini akan dibayar mahal, lalu menghasilkan banyak uang karena tubuh indahnya," titah Aretha pada sang asisten pribadi sesaat setelah mereka sampai di sebuah apartemen elit.

Laki-laki tadi mengiyakan perintah sang atasan tanpa membantah. Sejenak dia memandangi tubuh tidak berdaya Deandra penuh iba. Gadis selugu itu dipaksa menjalani kerasnya hidup seorang diri dan sekarang ditambah akan mendapat tekanan mental di tempat prostitusi.

Beberapa jam setelah kesadarannya hilang total, Deandra akhirnya terbangun. Perlahan dia menggeliat, hingga teringat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Gadis itu hendak turun dari ranjang, tapi tangan dan kakinya yang terikat mencegah niatnya.

Keterkejutan melanda hati gadis itu, ketika menyadari bahwa dirinya terikat di sebuah tempat yang bagus. Pikiran Deandra berkecamuk, hatinya menjerit saat tahu pakaiannya sudah berganti. Gaun hitam selutut yang mengekspos dadanya membuat Deandra menjerit keras. Tidak, Deandra tidak mau dijual. Deandra tidak mau memakai pakaian seperti ini di hadapan laki-laki yang akan mencicipi tubuhnya.

"Sudah bangun?" Pertanyaan itu membuat Deandra mengalihkan pandangan ke ambang pintu. Di sana, Aretha berdiri penuh kesombongan. Deandra bergidik ketika Aretha mendekat dan membelai rambut panjang miliknya. "Harus kuakui, kamu cantik, dan untuk itu pantas dibayar mahal."

"Tidak!" teriak gadis itu diiringi tetesan air mata.

"Kamu bisa hidup enak, Deandra." Ucapan Aretha terdengar penuh ejekan.

"Deandra tidak mau, Nyonya! Deandra tidak mau! Lepaskan Deandra! Nyonya jangan ganggu Deandra, karena Deandra tidak pernah ganggu Nyonya!"

Teriakan putus asa Deanda dan air mata itu malah membuat Aretha tertawa bahagia. Dia akhirnya duduk di sisi gadis yang masih terbaring dengan tangan meronta-ronta. Setiap kali memikirkan Deandra dan ibunya, hati Aretha selalu sakit. Dan ya, gadis itu memohon untuk dilepaskan dengan alasan tidak pernah mengganggu Aretha.

Sayangnya Aretha tidak berpikir demikian. Sejak dia mendapat pengakuan dari Orion bahwa pernah menghabiskan malam bersama seorang perempuan, Aretha tidak pernah tenang. Setiap hari dalam hidupnya dia terus mencari keberadaan perempuan yang dimaksud. Meskipun sang suami mengatakan bahwa itu hanya percintaan semalam, tapi Aretha tidak peduli.

Posisi wanita itu terancam karena tidak bisa memberi Orion keturunan. Maka dari itu, hidupnya tidak akan tenang sebelum berhasil memusnahkan segala parasit yang mungkin tumbuh di sekitar suaminya. Kecurigaannya benar, setelah belasan tahun mencari, Aretha akhirnya menemukan jejak ibu Deandra. Dan inilah yang dia lakukan saat ini, berusaha menyingkirkan Deandra sebelum Orion mengetahui ada seorang gadis yang lahir berkat benih yang dia tanam.

"Oh, lugu sekali gadis ini. Dengarkan aku, Deandra. Aku tidak akan pernah membiarkan kamu mengancam posisiku. Suamiku tidak boleh tahu tentang keberadaanmu."

"Tapi Deandra tidak pernah ganggu suami Nyonya. Deandra tidak pernah bertemu dia!"

"Bagus. Dan aku ingin seterusnya seperti itu."

Gadis lugu itu terus terisak. Berkali-kali menjerit memohon dilepaskan, tapi tidak membuahkan hasil. Yang ada kini dirinya diangkat paksa untuk menuju mobil dengan keadaan mulut dibekap.

Mobil Aretha membelah padatnya jalanan ibukota. Deandra yang tidak bisa berkutik terus saja menangis. Hatinya merasakan perih bertubi-tubi. Baru kemarin sang ibu meninggal dan kini dia akan dijual oleh seseorang yang mengaku sebagai istri dari ayahnya.

Deandra tidak dapat mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Karena itu dia terus memanggil nama mendiang ibunya di dalam hati, memohon bantuan. Gadis berambut sepinggang itu menangis atas pahitnya hidup yang menimpa. Selama ini tidak pernah mengenal sosok sang ayah dan sekarang kehidupannya terancam hancur, lalu menjadi salah satu dari bagian sampah masyarakat.

Tiba di sebuah kelab ternama, Aretha dan Deandra yang dalam kuasa penjaga menuju sebuah kamar VIP. Gadis itu kian ketakutan berada di keramaian dengan musik yang menggema keras, hingga menyakitkan telinga. Dia sangat yakin, teriakannya barusan tidak ada yang mendengar. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Percuma saja mulutnya tidak lagi dibekap, karena lolongan minta tolongnya hanya membuat tenaga Deandra maki terkuras.

Baru saja Aretha akan membuka pintu sebuah kamar, seseorang lebih dulu muncul di sana. Mata pria tua itu memandang takjub atas gadis di hadapannya. Air liurnya bahkan hendak menetes ketika menatap dada Deandra yang membusung.

"Pilihanmu sangat bagus, Aretha. Aku tidak sabar untuk menikmatinya."

"Tidak! Deandra tidak mau!" Lagi, Deandra menjerit, tapi malah mengundang gelak tawa Aretha dan pria tadi.

"Dia milikmu mulai sekarang. Aku akan pergi. Ingat jaga rahasia kita."

Dua penjaga yang mencekal lengan Deandra sejak tadi, menyerahkan gadis itu pada pria tua. Deandra menjerit, tapi tetap tidak bisa melakukan hal lebih karena tangan dan kakinya masih diikat. Ini adalah hari terburuk kedua setelah kematian ibunya. Sejak tadi Deandra dipaksa berjalan layaknya penjahat atau manusia sampah dengan keadaan kaki seperti itu.

"Halo, Sayang. Kita akan bersenang-senang malam ini."

"Lepas!" Deandra memberontak di sela-sela isak tangisnya.

Ketika Aretha berjalan pergi setelah memastikan pria tadi mengizinkan, tangis Deandra semakin menjadi. Dia sekarang hendak dibawa memasuki kamar. Pria itu sungguh tidak sabar untuk melihat bagaimana gadis belia tanpa busana dalam kungkungannya.

"Jangan sentuh Deandra!" Gadis itu masih berusaha melawan ketika tubuhnya diseret masuk. Tentu saja pria tadi tidak akan mendengarkannya. "Jangan! Deandra tidak mau!"

Pria tadi jadi kesusahan ketika hendak menutup pintu sebab Deandra yang terus bergerak tidak keruan dalam dekapannya. Kesabaran pria itu habis, tubuh Deandra diempaskan begitu saja ke lantai setelah diberi satu tamparan pada wajah. Sontak isak tangis kian memenuhi ruangan. Deandra kesakitan dan tak berdaya.

"Sok jual mahal! Setelah ini kamu juga akan berinisiatif sendiri untuk membuka baju di depan laki-laki!"

Pria tadi kembali pada niatnya untuk menutup pintu, tapi sebuah kaki menghalanginya. Dia mendongak, menemukan laki-laki dewasa tengah berdiri dengan kaki yang sengaja diletakkan di ambang pintu.

"Dia bilang jangan sentuh. Apa kamu tuli?"

"Jangan menggangguku, Tuan! Di sini banyak perempuan lain yang bisa kamu tiduri!"

Lagi, pria tua itu mencoba menutup pintu. Namun, tendangan keras di daun pintu membuat pria tersebut terempas ke belakang. Si laki-laki dewasa kemudian masuk, berdiri dengan tenang di hadapan Deandra yang terisak. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari kantung jasnya dan melemparkannya ke arah pria yang masih meringis di lantai.

"Tu-tuan Darel Oris Tristan?" sebut pria itu dengan gugup. Namun, Darel tidak menanggapi. Dia kini berlutut untuk melepaskan ikatan di kaki dan tangan Deandra. "Tu-tuan menginginkan gadis ini? Ambil saja! Ya, ambil saja! A-aku tidak keberatan meski sudah membayar mahal untuknya."

Darel selesai melepaskan ikatan Deandra, tapi gadis itu masih menunduk dengan bahu bergetar. Tanpa meminta izin, Darel membawa Deandra yang terisak dalam bopongannya. Sejenak dia menghentikan langkah ketika mencapai ambang pintu.

"Aku belum selesai denganmu."

Satu kalimat Darel terasa seperti sebuah bahaya yang mengintai pria tua itu. Malam ini dia sangat beruntung karena masih sempat mengenali Darel melalui kartu nama yang dilemparkan tadi. Kalau tidak, jelas dia akan berbuat kurang ajar pada seseorang yang mengganggu kesenangannya. Lalu bisa dipastikan, tidak sampai 24 jam, kelab miliknya akan tutup total. Karena Darel Oris Tristan adalah salah satu crazy rich yang sangat berpengaruh di negaranya.

🍁🍁🍁

Deandra tidak mengucapkan sepatah kata pun pada Darel meski dirinya kini dibawa ke sebuah hunian mewah. Namun, air matanya masih saja mengalir. Kejadian dari pagi hingga beberapa jam lalu terus saja berputar di kepala Deandra. Dia ingin menjerit untuk mengurangi sesak di dada, sayangnya tidak ada suara yang mampu dia keluarkan.

Darel yang sejak tadi duduk di sofa mengamati bagaimana gadis itu menangis tanpa suara, akhirnya bangkit. Dia duduk di sisi ranjang, bersebelahan dengan Deandra yang tadi dia sandarkan pada kepala ranjang.

"Berhentilah menangis. Karena mulai dari sekarang, kamu akan jadi gadisku yang kuat."

Kata-kata itu tidak berhasil membuat Deandra menjawab, tapi cukup memberi respon melalui tatapan. Mereka saling berpandangan dalam diam, hingga tangan besar Darel menghapus air mata di wajah lelah Deandra.

"Kamu mendengarnya? Mulai sekarang kamu adalah gadisku. Kamu tidak akan menangis untuk orang lain, selain aku."

Masih saja hening yang berkuasa. Deandra tidak menjawab kata-kata Darel.

"Siapa yang menjualmu?" tanya Darel.

Gadis itu masih diam, bibirnya sama sekali tidak terbuka. Air matanya kini mengering, karena sejak tadi Darel terus menyapukan tisu di wajah itu. Deandra hanya diam menatap sang penyelamat, sedangkan otaknya tetap memutar kejadian-kejadian tadi.

"Bisa jelaskan kenapa kamu bisa ada di sana? Dan kamu bisa memberi tahu aku siapa yang menjualmu."

Darel menghela napas panjang ketika Deandra tetap diam. Hanya ada tatapan kosong di mata cokelat itu. Dengan lembut Darel menyentuh tangan Deandra, berniat untuk lebih membuat sang gadis nyaman. Namun, reaksi Deandra yang menarik tangan secara tiba-tiba membuat Darel akhirnya tersenyum.

"Kamu bereaksi atas sentuhanku. Kamu pasti masih ketakutan."

Iya, Deandra masih ketakutan. Sentuhan pria di kelab itu telah mengguncang hati putih Deandra. Belum pernah dia disentuh pria mana pun, terlebih lagi dengan cara yang kasar. Deandra bergidik ketika kembali teringat bahwa hampir saja pakaiannya tanggal di hadapan pria tua yang menatapnya penuh nafsu.

"Kamu sudah makan?"

Makan?

Gadis itu ingin menggeleng, tapi tidak bisa. Seharian dia memang belum makan. Aretha sama sekali tidak memberinya selembar roti atau seteguk air untuk meredakan gejolak di perut. Seluruh tubuh Deandra ingin menjerit atas perlakuan buruk yang diterimanya hari ini. Bertahun-tahun menjalani kesusahan materi bersama sang ibu, tapi Deandra tidak pernah semenderita ini.

"Aku akan membeli makanan untuk kita."

Laki-laki berpakaian formal itu bangkit, tapi kakinya urung melangkah ketika Deandra mencekal pelan pergelangan tangannya. Darel menatap tangan mungil Deandra, lalu beralih pada sepasang mata cokelat yang kini menatapnya dalam.

Tidak ada suara, hanya hening yang berkuasa, sampai Darel memutuskan untuk kembali duduk di sisi Deandra. Gadis itu juga akhirnya melepas cekalannya. Dia ingin mengatakan jangan pergi, tapi mulutnya lagi-lagi tidak bisa terbuka.

"Kamu takut aku tinggal?" Darel mencoba memahami keinginan Deandra.

Deandra takut sendiri. Tolong jangan pergi, Tuan.

Meski dirinya kini sedang berduaan saja dengan seorang laki-laki, tapi Deandra merasa aman. Darel telah menyelamatkannya dan jika ingin berniat buruk, tentu saja tidak perlu menunggu hingga berjam-jam. Deandra yang lugu sedikit menggunakan otaknya untuk memahami situasi bahwa Darel tidak akan menyobek gaunnya secara paksa. Maka dari itu, dia takut kalau Darel pergi. Deandra takut kesepian, takut ditinggal, dan takut tidak akan bertemu lagi dengan Darel.

"Oke. Aku akan memesan makanan dari restoran bawah, seharusnya mereka masih buka jam segini."

Tangan besar laki-laki itu meraih gagang telepon yang berada di nakas. Deandra hanya diam memperhatikan apa saja yang Darel pesan. Deandra asing dengan nama-nama makanan itu, bahkan dia tidak yakin bisa menelannya.

Berada di garis keterbatasan materi yang rendah, membuat Deandra hanya mengenal tahu, tempe, dan sesekali telur sebagai menu sehari-hari. Tidak jarang, dia dan sang ibu juga hanya makan nasi dengan garam. Deandra pernah minum susu cokelat, satu-satunya minuman mewah yang selalu dia ingat rasanya dan ingin dia cicipi lagi. Namun, Deandra mengerti pekerjaan sang ibu yang hanya sebagai buruh cuci harian dengan penghasilan tidak tetap.

"Apa kamu mau mandi?" Darel bertanya setelah selesai memesan makanan. Deandra akhirnya mengangguk pelan, membuat Darel kembali menarik sudut bibirnya. "Kalau begitu, ayo turun dari ranjang. Kamar mandinya ada di sana."

Tangan laki-laki itu menunjuk sebuah pintu yang tertutup. Mata Deandra mengikuti arah yang Darel maksudkan, tapi tetap saja, dia masih bergeming. Ingin sekali Deandra berlari ke sana, lalu menyiramkan air sebanyak-banyaknya ke seluruh tubuh. Sayangnya, kedua kaki itu tak mampu bergerak. Deandra bagai patung porselen yang cantik, tapi rapuh di saat bersamaan.

Napas Darel terhela panjang. Tanpa kata, dia membuka jas dan dasi yang masih menggantung di leher. Dilanjutkan dengan membuka tiga kancing teratas kemejanya dan melipat lengan kemeja hingga sesiku. Detik selanjutnya, tubuh Deandra berada dalam kuasanya. Tubuh mungil itu terasa sangat ringan bagi Darel ditambah tidak ada rontaan, hingga Darel dengan mudahnya membawa Deandra ke kamar mandi.

Darel menurunkan Deandra di bawah shower menyala yang suhunya sudah diatur agar tidak terlalu panas. Gadis itu diam, merasakan air yang menyentuh kulitnya sangat menenangkan. Namun, gerakan tangan Darel yang perlahan menarik turun resleting gaun, berhasil membuat Deandra bereaksi. Dia menggeleng kuat, takut kalau yang selanjutnya terjadi adalah sama seperti di kelab tadi.

"Tenanglah. Aku hanya ingin memandikanmu, Gadisku."

Lalu gaun itu benar-benar terjatuh di lantai dan Darel melanjutkan tugasnya membersihkan tubuh Deandra. Ketika Darel menggosokkan sabun, gadis itu memejamkan matanya erat. Deandra ingin menangis, ingin sekali menangis, karena teringat mendiang ibunya. Dan luruhlah air mata itu, tanpa ada isak yang malah justru terlihat sangat menyakitkan bagi Darel.

Dengan satu tarikan, Deandra kini berada dalam dekapan Darel. Laki-laki itu mengusap pelan punggung polos Deandra dan mengecup kepala yang hanya sebatas bawah dadanya. Remasan erat pada kemejanya yang basah menyadarkan Darel bahwa gadisnya benar-benar mengalami tekanan. Jiwa itu terluka begitu dalam, hingga hanya ada air mata yang keluar.

"Berteriak saja jika itu membuatmu lebih baik. Remas saja kemejaku jika itu membuatmu lebih nyaman. Tenanglah, Sayang, aku akan bersamamu mulai dari sekarang."

"Deandra takut, Tuan ...."

Mata Darel melebar mendengar suara lirih itu. Lantas diusapnya rambut panjang Deandra dengan lembut, ditambah pelukan yang sedikit lebih erat.

"Jadi namamu Deandra, ya."

Kembali hening. Perlahan, Darel mendorong tubuh Deandra. Lalu cepat-cepat membilas tubuh yang masih isi sisa-sisa sabun. Setelahnya, Darel mengeringkan tubuh Deandra dan memakaikan kemeja bersih yang ada di ruang ganti. Jelas kebesaran di tubuh mungil itu, tapi terlihat ... seksi. Sebagai laki-laki normal, Darel hampir kehilangan kendali dirinya.

"Aku akan mandi. Kamu bisa ke ranjang sendiri?"

Tidak ada jawaban, tapi dengan langkah pelan Deandra langsung berjalan meninggalkan ruang ganti. Darel mengamati dengan senyum. Mengamati dengan dada berdebar bagaimana gadis itu membuatnya bertindak gila malam ini. Ya, bagaimana tidak? Darel padahal ingin berpesta dengan teman-temannya di ruang VIP kelab tadi. Namun, tanpa sengaja melihat Deandra yang tengah kesulitan, hatinya jadi tak mampu mengabaikan.

Laki-laki berusia 31 tahun itu mulai menanggalkan pakaiannya dan mengguyur diri di bawah shower. Ada sesuatu yang harus dia tenangkan jika tidak ingin membuat gadisnya semakin trauma. Ya, setidaknya untuk malam ini saja, Darel harus menahan diri. Entah dengan malam-malam berikutnya.

🍁🍁🍁

"Aku akan menyuapimu," kata Darel, ketika Deandra masih diam menatap makanan yang diantarkan oleh seorang pelayan tadi.

Perut gadis itu sudah berbunyi tidak keruan sejak tadi. Namun, dia masih tidak bisa menggerakkan tangannya. Atau lebih tepatnya, Deandra enggan melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.

Dengan sabar Darel memotong kecil steik tenderloin favoritnya, lalu mengarahkan ke mulut Deandra yang masih tertutup. Gadis itu benar-benar diam sejak tadi. Mulutnya masih setia bungkam. Bahkan saat ini potongan steik di ujung garpu yang Darel pegang belum digigit oleh Deandra.

"Bisakah kamu sedikit menghargai usahaku supaya kamu tidak kelaparan?"

Bulu mata Deandra mengerjap pelan. Lalu mulut itu terbuka dan Darel segera menyuapinya. Sambil mengunyah pelan, Deandra terus menatap laki-laki tampan di depannya. Deandra terlalu takut dan berkutat dengan segala yang terjadi seharian, sehingga tidak sedikit pun berpikir tentang identitas sang penyelamat. Deandra berutang budi, itu yang dia ingat.

"Kamu suka?" Lagi, Darel mengajukan pertanyaan, menyadari bahwa Deandra telah menandaskan steik itu.

Deandra mengangguk pelan, masih enggan bersuara.

"Kamu mau makan lagi? Ada spaghetti carbonara."

Mata Deandra fokus pada piring besar di tangan Darel. Spaghetti carbonara, Deandra asing dengan makanan itu, tapi melihat dari bentuknya, dia yakin itu adalah mi. Meskipun tampilannya berbeda dengan mi instan yang Deandra beli dari warung.

Tangan Darel sudah bersiap menyuapi Deandra, tapi gadis itu menggeleng. Dia lebih tertarik dengan minuman yang berada di troli makanan. Darel mengerti meski Deandra tidak mengatakan apa pun. Jadi, dia langsung meraihnya dan menyerahkan pada Deandra.

"Cokelat hangat untuk gadis manis."

Lalu Deandra mulai minum. Rasa yang begitu dia rindu akhirnya mampir lagi di kerongkongannya. Tidak, ini lebih enak dari yang Deandra pernah minum. Rasa yang begitu kuat dan nikmat, hingga tidak perlu memerlukan waktu lama untuk dia menghabiskannya.

"Gadisku suka cokelat hangat, ya."

Entah mengapa, setiap kali Darel mengucapkan sesuatu, Deandra merasakan ketenangan. Seperti barusan, Deandra suka nada Darel yang seolah-olah terdengar bahwa dirinya adalah gadis yang berhak mendapat perhatian laki-laki itu.

Darel juga lapar, jadi setelah memastikan Deandra tidak ingin lagi makanan berat, dia mulai memakan sisa makanan yang ada. Deandra mengamati dengan saksama bagaimana rahang laki-laki itu bergerak saat mengunyah. Wajah yang menampakkan kedewasaan dan memancarkan pesona sekaligus, membuat Deandra akhirnya tanpa sadar mengulurkan tangan.

Mata cokelat Darel langsung bereaksi, tatapannya jatuh pada tangan Deandra yang kini ada di pipinya. Lalu senyum itu terbit, tahu ini adalah hal baik karena gadis yang sejak tadi membisu, kini mulai aktif.

"Apa kamu suka dengan wajahku, sampai-sampai kamu menyentuhnya?" Hening beberapa saat. Darel meletakkan piringnya dan memilih untuk menyentuh tangan Deandra yang lain. "Sentuh di mana pun yang kamu mau. Aku tidak akan melarang."

"Tuan, terima kasih."

Akhirnya, ya akhirnya, kalimat itu keluar dari Deandra. Sebagai salah bukti bahwa kesadarannya mulai pulih.

Bibir Darel lagi-lagi mengulas senyum. Dia hendak menjawab kalimat Deandra, tapi dering ponsel mengalihkan perhatiannya. Segera dia ambil benda pipih di nakas, lalu mengangkat panggilan tanpa menjauh dari Deandra lebih dulu. Dan semua kata-kata yang Darel ucapkan terekam jelas di ingatan Deandra, membuatnya kembali bungkam.

"Ya, Sayang. Aku tidak pulang malam ini. Aku sedang di luar kota, mengurus beberapa hal penting. Maaf tidak bisa mengikuti pesta di rumah keluargamu, katakan itu pada keluarga kita.

Baiklah, selamat bersenang-senang. Aku mencintaimu, Istriku."

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro