2. Lebih Dekat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rapuh, butuh perhatian, dan butuh perlindungan, itulah Deandra. Jadi, ketika dia mendengar bahwa Darel menyatakan cinta pada seseorang di telepon, gadis itu tetap diam. Tidak ada hal aneh yang dia pikirkan, juga tidak ada yang Deandra harapkan selain Darel memberinya kasih selama dirinya memulihkan kesadaran secara penuh. Karena setelah itu, Deandra berjanji akan keluar dari penthouse mewah Darel.

Gadis itu hanya cukup tersentak mengetahui Darel berbohong. Sementara Deandra adalah alasan Darel tidak menghadiri acara keluarga yang disebut di telepon tadi. Hatinya merasa resah, membayangkan mungkin istri Darel akan marah-marah.

Mata Deandra enggan menatap objek lain ketika Darel kembali sibuk mengisi perut. Beberapa menit yang lalu, Deandra begitu menikmati menyentuh rahang laki-laki di hadapannya. Tangan Deandra bergetar, tapi bukan sebagai bentuk ketakutan hendak diperlakukan buruk.

"Kalau Tuan mau pulang, Deandra juga akan pulang."

Suara lirih itu menghentikan gerakan tangan Darel yang sedari tadi memasukkan makanan ke mulut. Bibir menawannya tertarik, ditambah tatapan teduh yang menenangkan. Deandra berani bersumpah, bahwa Darel sangat tampan, hingga dia terus ingin menatap. Mata cokelat itu seolah-olah membius, bahkan dapat menghancurkan keteguhan hati seorang perempuan tanpa disadari. Namun, teringat siapa dirinya dan siapa Darel, kekaguman itu harus Deandra singkirkan.

Serupa bunga yang tumbuh di tepi jalan, lalu seseorang berhenti untuk sejenak mengamati keindahannya. Berharap dipetik, dibawa pulang, dan pada akhirnya layu di vas bunga. Harapan yang awalnya indah dan berujung perih. Ya, Deandra pun tidak mau seperti bunga itu. Karena kini Deandra memahami, akan ada luka di setiap pengharapan. Akan ada pedih di setiap alur kisah yang dia mulai dengan dambaan.

"Aku hampir lupa, kamu pasti punya keluarga yang sedang menunggu." Darel tertawa kecil, tapi seketika terdiam melihat Deandra menggeleng pelan. "Tidak ada keluarga?" Laki-laki itu memastikan.

"Ibu Deandra meninggal kemarin."

"Ayahmu? Keluargamu yang lain?" Maksud kebungkaman Deandra dapat Darel mengerti. "Jadi sangat bagus kalau kamu tinggal di sini. Tinggal di ibukota sendirian itu berbahaya," lanjut Darel.

Mulut Deandra tidak akan memberi sangkalan. Seorang diri di ibukota yang kejam memang teramat bahaya, apa pun bisa terjadi. Untuk bertahan hidup setelah ini pun Deandra tidak tahu harus bagaimana. Kepergian sang ibu masih menjadi pukulan telak untuk Deandra, meluluhlantakkan hati yang biasanya masih memiliki sedikit gairah. Gadis malang itu belum sempat memikirkan masa depan sebab luka yang masih basah di setiap inci tubuhnya.

Sekali lagi gadis itu ingin menangis. Pedih di hatinya kembali menusuk-nusuk. Kenyataan pahit bahwa dia kini sendirian adalah hal berat. Deandra ingin melarikan diri, ingin pergi sejauh mungkin. Akan tetapi, dia sadar, ke mana pun langkah membawanya berjarak dari kota ini, luka itu tetap ada. Sekeras apa pun Deandra bersedih, meraung pedih, dan menjerit penuh siksa, kenyataan tetaplah sama.

"Tapi Tuan punya istri. Deandra tidak mau dimarahi istri Tuan karena tinggal di sini."

Apa yang diucapkan Deandra adalah kenyataan. Gadis itu takut tiba-tiba diusir dengan dalih bahwa istri dari pemilik hunian mewah ini tidak menerima kehadirannya. Ketakutan juga membelenggu Deandra, mengingat bagaimana Aretha murka, meski Deandra sudah jujur tidak pernah berhubungan dengan suami wanita itu. Dia tidak mau lagi jadi sasaran amukan wanita. Cukup sudah untuk hari ini saja.

"Istriku tidak akan tahu, Deandra. Jangan khawatir."

"Deandra tidak mau disebut pengganggu rumah tangga orang."

Jawaban Deandra berhasil sedikit melebarkan mata Darel. Laki-laki itu memilih menandaskan air di gelasnya, lalu mendorong troli makanan agak jauh. Kini, Darel duduk bersila di hadapan Deandra. Mereka masih saling tatap dalam keheningan malam di tepi ranjang.

"Kamu bukan pengganggu, tapi kamu adalah semangatku yang baru."

"Tuan akan tinggal di sini?"

"Ya, sesekali."

Sesekali. Ya, tentu saja seperti itu. Mana mungkin seorang laki-laki beristri bisa tinggal dengan perempuan lain setiap hari. Jelas ada hati dan raga yang tengah menunggunya di rumah. Atau tepatnya menunggu di ranjang mereka yang sering berderit di malam-malam sunyi. Deandra paham itu, tapi tetap saja, hatinya merasakan sedikit kepahitan atas ucapan Darel barusan. Mustahil Deandra akan tinggal sendirian tanpa ada orang sekitar yang dia kenal.

"Apa kamu takut tinggal sendirian?" Deandra mengangguk pelan, tapi untuk meminta Darel selalu menemaninya juga adalah kemustahilan besar. "Tenang saja. Aku akan menyewa seorang pelayan untuk menyiapkan makananmu dan menemanimu selagi aku tidak datang."

"Deandra pulang saja," katanya lirih dengan wajah tertunduk.

Kembali ke rumah kumuh di pinggiran kota adalah hal terbaik yang Deandra pikirkan saat ini. Meski di sana dia juga sendirian, tapi ada di lingkungan yang dikenalnya terasa lebih bagus. Mungkin di sana Deandra akan melanjutkan pekerjaan sang ibu. Ya, Deandra bisa mencuci baju. Mungkin juga dia akan mencoba mendatangi warung-warung makan terdekat untuk menawarkan diri menjadi tukang pencuci piring. Deandra akan mencoba beberapa kemungkinan yang sekarang ada di benaknya untuk menyambung hidup.

"Kenapa? Kamu tidak suka di sini? Aku bisa mengajakmu ke penthouse atau apartemenku yang lain."

Suara Darel terdengar mantap. Tidak ada keraguan atau candaan yang Deandra tangkap dari kalimat itu. Entah karena Darel memang sungguh-sungguh mengatakannya, atau karena Deandra yang begitu polos mudah percaya ucapan orang lain.

Sempat mengamati sekeliling kamar, jelas Deandra sangat menyukai hunian ini. Meskipun dia belum menginjakkan kaki di ruang lain yang Deandra yakini ada, sebab ukuran kamar ini saja sangat luas dan mewah dengan tampilan furnitur yang bagi Deandra sangat bagus. Jika ditanya apa yang kurang dari salah satu sudut tempatnya berlindung sekarang, Deandra akan menjawab tidak ada.

Ranjang empuk dengan kain pelapis yang lembut adalah dambaan Deandra sejak dulu. Kamar mandi yang memiliki pengatur panas sendiri juga adalah salah satu mimpi gadis itu. Kemeja Darel yang harum dan nyaman. Parfum ruangan yang menenangkan. Lantai marmer yang berkilat mewah. Deandra menyukai semua itu, tapi sayangnya semua ini bukan miliknya. Satu kesadaran itulah yang akhirnya meneguhkan hati Deandra untuk meninggalkan tempat ini dan memilih kembali pulang.

"Gadis Manis, apa yang kamu mau? Katakan saja. Tapi aku tegaskan padamu, bersamaku jelas pilihan terbaik untukmu. Kamu aman di sini."

"Ini rumah Tuan, bukan Deandra. Deandra tidak mau menumpang di sini."

Tangan besar Darel terulur untuk menyentuh dagu Deandra dan menaikkan pandangan itu. Sekali lagi mata mereka bertemu. Tatapan dalam yang perlahan-lahan menyelipkan debaran aneh di dada masing-masing. Dan saat ibu jari Darel menyentuh bibir merona Deandra, gadis itu merasakan kegugupan luar biasa. Rasa aneh yang bahkan tidak dia rasakan ketika tadi Darel melihat tubuhnya tanpa sehelai benang.

Telanjang. Deandra baru menyadari hal itu. Namun, sangat terlambat untuknya berteriak melayangkan protes pada Darel. Karena Deandra tadi tidak menolak, diamnya memberikan izin pada Darel untuk melihat tubuh polos itu. Dan ya, sangat terlambat untuk merasakan malu, meski tetap saja kini wajahnya terasa panas.

Ada yang aneh, ada yang salah. Deandra merasa nyaman dengan sentuhan laki-laki di hadapannya, terlebih diiringi tatapan lembut itu. Sejenak mata Deandra terpejam, lidahnya belum bisa mengucap balasan atas kata-kata Darel tadi. Pikiran Deandra saat ini dipenuhi perihal ketenangan yang Darel salurkan melalui sentuhan di bibir dan juga wajahnya. Hanya satu yang jelas, Deandra berpikir apakah sentuhan seorang ayah juga senyaman ini?

"Aku akan mengubahnya atas namamu, Deandra, jika itu yang membuatmu nyaman."

Bisikan Darel menggetarkan tubuh Deandra. Hawa panas kini melingkupinya, seperti pendingin ruangan yang tidak bekerja, meski sebenarnya sudah menyala. Debar Deandra semakin menjadi, saat bibirnya merasakan sentuhan yang lain. Bukan lagi ibu jari Darel, melainkan bibir laki-laki itu yang kini menempel di sana. Mata sang gadis membulat lebar mendapat satu lumatan yang membuatnya berdebar kian gila.

Rasanya ... mendebarkan, lembut, dan candu. Sentuhan bibir Darel terasa hangat dan memabukkan. Padahal hanya ciuman singkat, bahkan benar-benar sekejap, tapi berhasil membuat Deandra terengah-engah. Rasanya, sensasinya, dan getaran gilanya masih melekat di benak sang gadis. Sementara, Darel tersenyum puas mendapati reaksi gadisnya yang sangat polos sekaligus menggoda.

"Ngomong-ngomong masalah menumpang yang kamu katakan, jangan dipikirkan. Penthouse ini akan jadi milikmu, dan kamu akan membayarnya. Jadi, ini tidak gratis."

"Ba-bayar?" Deandra tergagap.

Dari mana Deandra mendapat uang untuk membayar tempat sebagus ini? Tidak memiliki utang saja sudah bagus untuknya selama ini. Untuk itu, dia dan mendiang ibunya tidak pernah makan bermewah-mewah. Apa yang mereka makan akan disesuaikan dengan uang yang didapat. Dan sekarang Darel menyuruhnya untuk membayar! Deandra tentu akan lebih memilih pergi dari sini.

"Ya. Bayarannya tidak mahal. Cukup jadi gadisku yang penurut. Gadisku yang patuh dan ... polos."

Malam itu ditutup dengan keheningan yang Deandra berikan. Tidak ada penerimaan, tidak ada penolakan, dan tidak ada kepastian. Tubuh lelahnya saat itu hanya ingin terbaring di bawah selimut tebal nan nyaman. Sementara, matanya terpejam rapat. Deandra perlu berpikir. Dia perlu menjernihkan pikirannya dengan istirahat. Atau yang sebenarnya dia butuhkan adalah terbangun dan menghentikan mimpi gila yang membuatnya hampir tidak sadar sungguhan.

🍁🍁🍁

Kasur yang empuk dan nyaman, ditambah pendingin ruangan yang membuat kamar jadi tidak pengap, berhasil membawa Deandra pada tidur terbaik yang dia ingat. Matanya mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan sinar matahari yang menerangi ruang melalui tirai tipis dinding kaca. Beberapa kali menggeliat sembari menguap, Deandra mendapatkan kesadaran. Ini nyata, bukan mimpi, bukan juga halusinasinya. Dia benar-benar ada di penthouse milik laki-laki semalam.

Perlahan Deandra turun dari ranjang. Kakinya yang polos tanpa alas menuju dinding kaca, lalu menyibak tirai. Deandra terkesiap, kakinya bahkan sempat mundur dua langkah mendapati pemandangan di hadapannya. Gedung-gedung pencakar langit kini bisa dia tatap tanpa harus mendongakkan wajah, hingga leher sakit. Dia berada di lantai yang tinggi dan merasa awan hampir bisa dia sentuh jika mengulurkan tangan ke luar sana.

"Wow! Pemandanganku sangat indah siang ini."

Suara itu mengalihkan Deandra. Darel baru saja masuk dengan senyum terkembang. Menyaksikan seorang gadis tengah memakai kemeja dan berdiri di kamarnya dengan keadaan wajah yang khas baru bangun, terlihat sangat menggoda. Apalagi, dari balik kemeja itu tidak ada kain lainnya yang melapisi tubuh Deandra. Demi apa pun, Darel mati-matian menjaga diri agar tidak menarik Deandra lalu menjatuhkannya di ranjang.

"Selamat siang, Tuan," sapa Deandra dengan wajah tertunduk.

Jemarinya bertautan, lalu berlomba untuk saling meremas. Dia resah, mengingat betapa tidak malunya dia sudah telanjang di depan Darel dan disempurnakan oleh sebuah ciuman. Sungguh, Deandra malu. Rasanya ingin kembali ke ranjang dan menenggelamkan wajah di bantal. Namun, kakinya serasa dipaku. Dia tidak bisa bergerak, terlebih ketika Darel sudah berdiri begitu dekat.

Napas Deandra hampir habis, ketika Darel mengangkat dagunya dan kembali memberi sebuah kecupan singkat di bibir. Kaki Deandra lemas. Dia butuh sandaran! Dan beruntungnya Darel meraih pinggang Deandra, hingga gadis itu tidak benar-benar jatuh karena terkejut.

"Selamat siang, Sayang."

"Tuan membuat Deandra malu," jujur Deandra, yang disambut tawa ringan dari Darel.

"Kamu harus membiasakan diri. Karena kita pasti akan sering seperti ini, bahkan lebih."

Lebih?

Deandra awalnya tidak paham makna kata lebih yang meluncur dari mulut Darel. Namun, ketika Darel menyampirkan rambut tergerai Deandra ke satu sisi leher, gadis itu mulai memahami. Kecupan di sisi lehernya yang bebas tanpa tertutup rambut hampir menenggelamkan kewarasan Deandra. Jemarinya meremas baju kaus polos Darel.

Sensasi yang dia dapat sama gilanya dengan ciuman semalam. Bahkan yang sekarang lebih mengikis akal sehat. Deandra harus menahan sesuatu dari bibir seksinya karena kecupan-kecupan kecil yang Darel beri.

"Gadisku yang lugu."

Entah sebuah pernyataan atau mungkin pujian, yang Deandra tahu Darel sangat pandai membuat wajahnya panas sekaligus malu. Meski Darel sudah menjauhkan wajah, tapi lingkaran satu tangannya itu tetap saja menggetarkan dada Deandra.

"Aku tidak suka rambut sepanjang ini," kata Darel sembari menyentuh rambut Deandra.

"Deandra harus potong?"

"Ya. Kita akan memotongnya hari ini, sesuai yang aku suka." Deandra mengangguk pelan. "Aku juga ingin kulitmu dirawat, agar halus seperti yang aku suka." Lagi, Deandra mengangguk. "Dan kita akan membeli baju yang sesuai untukmu, juga yang aku suka."

Tidak ada bantahan dari Deandra. Darel mendominasi dan akan selalu begitu. Celah untuk Deandra mengelak dan menolak jelas tidak ada. Karena laki-laki itu akan melakukan apa pun yang dia suka. Apa pun.

"Bagus. Aku suka yang penurut sepertimu, meski sesekali tidak masalah jika harus liar."

Darel tersenyum lebar melihat kebingungan di wajah Deandra. Dia lalu menarik tangan kecil itu untuk keluar dari kamar menuju ruang makan. Mereka harus mengisi perut sebelum memulai sesuatu yang baru hari ini.

"Berapa usiamu?" tanya Darel sembari menuruni anak tangga.

"Tujuh belas tahun, Tuan."

Laki-laki itu menggeleng pelan sembari berdecak. Pikirannya memang kacau karena berniat menawan gadis tujuh belas tahun di hunian mewahnya. Namun, apa mau dikata, Darel benar-benar akan melakukan itu. Deandra akan tetap ada dalam genggamannya.

"Kalau Tuan berapa?" Deandra bertanya gugup, takut kalau Darel marah. Akan tetapi, sampai di meja makan, dia tidak mendapati jawaban.

Setelah mereka duduk dan Deandra mulai mengunyah roti yang terlihat sangat lezat, barulah rasa penasarannya terjawab. Darel berusia tiga puluh satu tahun. Perbedaan usia yang sangat jauh.

"Apa kamu pikir aku sudah tua?"

Ya, Tuan.

"Tidak," jawab Deandra lirih.

"Tenang saja. Meski usiaku terbilang tua untukmu, tapi di tubuhku ada beberapa bagian yang bekerja sangat baik. Bagian yang tidak pernah tua dan selalu bugar."

Kening Deandra berkerut akan kata-kata Darel. Akan tetapi, laki-laki itu malah tersenyum jahil. Lalu kembali melanjutkan mengunyah. Sejenak Deandra mengamati sekitar. Ruangan yang indah dengan dinding berwarna hitam dan emas. Meja makan yang panjang dan sempurna karena dilengkapi peralatan makan tebal sekaligus berkualitas tinggi. Lampu kristal yang menggantung di atas meja makan juga tidak luput dari perhatian Deandra.

Gadis itu menghela napas panjang, lalu meletakkan roti di tangannya tanpa semangat. Darel yang melihat tindakan gadisnya barusan, menatap penuh tanya. Wajah Deandra yang tertunduk juga membuat laki-laki itu tidak nyaman.

"Ada apa, Deandra? Kamu tidak suka rotinya? Bukankah masih ada makanan yang lain?" Gadis itu menggeleng. "Lalu ada apa? Katakan. Aku tidak suka didiamkan di saat kamu bisa mengatakan apa pun padaku."

Perlahan wajah Deandra terangkat. Ada kesedihan dan kekecewaan di sorot matanya. Ada perih yang masih teredam, karena Deandra tahu, Darel tidak mengerti perasaannya.

"Apa Deandra menjadi gadis simpanan Tuan?"

Dengan tenang Darel bangkit dari kursi yang berseberangan dengan Deandra. Dia lalu menghampiri Deandra dan berlutut di sisinya. Wajah muram Deandra kembali terarah pada pahanya yang tertutup kemeja. Kesedihan menyelimuti hati, sebab gadis lugu itu memahami apa posisinya sekarang.

"Tidak. Kamu adalah gadisku, hanya gadisku." Diraihnya tangan Deandra, lalu dikecup pelan. "Dengar, Deandra. Kamu bukan simpananku, karena kamu punya tempat khusus dalam pikiranku. Tempat yang istriku sendiri tidak miliki."

Entah perasaan apa yang mendorongnya, Deandra mengubah posisi duduk, lalu melingkarkan tangan di leher Darel. Selanjutnya, gadis itu menenggelamkan kepala di dada Darel. Tidak ada suara, tidak ada tangis kesakitan. Deandra terus terdiam tanpa aksara yang menjelaskan sesuatu. Sementara Darel, satu tangan besarnya melingkupi pinggang sang gadis dan satunya lagi mengusap punggung itu.

To be continued

Hai! Semoga kamu dan kamu selalu sehat. Selalu bahagia dan nggak lupa buat senyum meski masih ada setumpuk masalah yang belum terselesaikan.

Di kisah ini nggak akan ada adegan vulgar seperti lapak Reinard atau Glenn. Tapi, pastinya beberapa scene kayak cium leher seperti di atas itu ada. Jadi, baiknya, aku masukin kisah ini ke rate dewasa atau nggak? Nggak vulgar, tapi kalau anak di bawah umur baca cium-cium gitu juga bahaya kan? Terus gimana?😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro