3. Rindu yang Menyesakkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak selalu keingintahuan akan sesuatu berujung pada kepuasan diri. Tidak selalu keangkuhan karena berpikir sudah memegang kendali akan terjaga sepanjang waktu. Seperti Aretha yang kini mengerang frustrasi sebab mengetahui kabar tentang lolosnya Deandra. Dia kira rencananya sudah berjalan sebaik mungkin. Hatinya bahkan hendak meledak gembira membayangkan telah menyingkirkan pengganggu dalam rumah tangganya.

Sang pemilik kelab tidak mengatakan dengan jelas bagaimana Deandra bisa kabur. Bukan karena dia hendak melindungi gadis itu, melainkan semata-mata untuk menjaga kelangsungan hidupnya sendiri. Ancaman yang anak buah Darel berikan tidaklah main-main. Mana mungkin si pria tua itu berani menyebarkan informasi pada Aretha, bahwa yang menyelamatkan Deandra adalah Darel Oris Tristan.

Wanita itu bernapas dengan tidak teratur. Matanya memicing, seolah-olah jendela kamar yang kini ditatapnya adalah musuh yang bisa dia musnahkan. Masih merasa marah dan tidak terima, Aretha menggenggam erat gelas kaca di tangannya. Sangat erat, hingga gelas itu jadi berkeping-keping dan air yang tadi tertampung di sana membasahi kaki Aretha. Bersamaan dengan hancurnya gelas serta air yang tumpah, darah juga menetes tanpa jeda.

Terlalu banyak darahnya, hingga telapak tangan kanan wanita itu didominasi warna merah. Namun, dia masih bergeming. Kesakitan atas luka itu tidak sebanding dengan segala perasaan yang dia selalu tekan setiap saat. Perih yang merayapi kulitnya tidak lebih parah dari kecemasan selama belasan tahun ke belakang.

"Astaga, Nyonya! Nyonya kenapa?!"

Seorang pelayan berteriak histeris melihat kekacauan di lantai. Pecahan gelas berbaur dengan tumpahan air dan darah. Perpaduan pemandangan yang diciptakan sangatlah buruk. Pelayan tadi segera berlari untuk mengambil kotak P3K dan memanggil pelayan lain demi membereskan kekacauan di kamar Aretha.

"Nyonya harus diobati."

Aretha tidak bersuara ketika tubuhnya dituntun untuk duduk pada tepian ranjang. Perlahan-lahan sang pelayan membersihkan darah dan mengobati luka Aretha. Lisannya hendak menyuarakan tanya, tapi urung ketika Aretha masih tidak merespons. Bahkan ketika pelayan tadi sudah selesai dengan tugasnya, sang majikan tidak juga mengatakan apa pun.

Lama, Aretha termenung, menikmati kesunyian yang menemaninya. Rumah ini terlalu sepi dan wanita itu paham dialah penyebabnya. Tidak ada tangis bayi yang memekakkan telinga sekaligus membawa keceriaan. Aretha paham ketidaksempurnaannya sebagai seorang wanita, sampai-sampai sindiran dari pihak keluarga Orion selalu dia terima. Dua puluh tahun dirinya telah bertahan dalam tekanan batin. Dan sekarang, dia memiliki tekanan baru.

Kalau saja dia langsung memilih melenyapkan Deandra, mungkin kekalutannya tidak akan sebesar ini. Aretha takut Orion berhasil menemukan Deandra, lalu membawa gadis itu pulang. Tidak, Aretha tidak bisa membiarkannya. Hanya dia yang berhak menjadi ratu dan penguasa di rumah mewah itu. Namun, percakapan Orion dan sang asisten yang Aretha dengar semalam tidak dapat diabaikan begitu saja.

"Apa belum ada informasi?"

"Belum, Tuan."

"Sudah delapan belas tahun. Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?" Orion terdengar tidak sabar.

Wanita itu seketika terdiam mendengar suaminya tidak sendirian di ruang kerja. Tangannya dia tahan agar batal memberi ketukan pada pintu dan mengajak Orion makan malam. Telinganya dia fungsikan baik-baik, agar dapat mendengar secara jelas apa yang tengah dibicarakan sang suami.

"Maaf, Tuan, saya akan berusaha lebih keras lagi. Tapi Tuan jelas tahu, memang akan sulit karena kita tidak mengetahui namanya."

"Kamu harus menemukannya! Aku harus memastikan setelah hari itu dia mengandung anakku atau tidak! Paham?!"

Sang asisten menjawab cepat.

Degup jantung Aretha meningkat. Kakinya gemetaran dan serasa lemas untuk berpijak. Dengan gerakan pelan dia berjalan menjauhi ruang kerja Orion. Pikirannya berkecamuk, karena satu ketakutannya menjadi nyata.

Teriakan yang begitu ingin dia loloskan sayangnya tetap terpendam. Jiwa Aretha bertambah rapuh membayangkan hasil percintaan suaminya berkeliaran di rumah mereka. Aretha pikir Orion telah sepenuhnya melupakan kesalahan malam itu. Aretha pikir Orion tidak pernah memikirkan perempuan yang telah ditidurinya akan mengandung atau tidak. Namun, dia salah. Suaminya bahkan mencari tahu keberadaan perempuan itu selama ini.

Sialan!

Umpatan itu hanya ada di hati Aretha sejak semalam. Dia tidak berani mengungkit tentang masa lalu Orion, karena mengira Orion akan tambah semangat untuk mencari jejak ibu Deandra.

Aretha menyentuh pelan sisi ranjang tempatnya duduk. Ada kehampaan besar yang selalu coba dia tutupi. Kini dia mengerti, sikap dingin Orion beberapa waktu ke belakang karena laki-laki itu sedang fokus pada hal lain. Ranjang mereka tidak lagi sehangat dulu. Gaun-gaun malam dengan belahan dada rendah ataupun menerawang milik Aretha, tidak bisa lagi menarik minat Orion untuk membuat ranjangnya berderit.

Tubuh dengan lekukan indah dan kencang Aretha sudah lama mendamba pelukan hangat sang suami. Sering, di malam nan sunyi, Aretha mengiba pada Orion. Memuji dan memujanya dengan gerakan tangan yang menegangkan untuk beberapa titik sensitif tubuh. Sayangnya, semua itu gagal. Orion akan memilih beranjak dari kamar, lalu menghabiskan malam di ruang kerja.

Kemewahan yang Aretha miliki seolah-olah bergerak menjauh secara perlahan-lahan. Gemerlap hidup yang dia genggam tidak lagi berarti sejak suaminya berubah sikap. Dia sendiri bahkan tidak menyadari sudah seberapa besar jarak yang ada, hingga kini Aretha menahan sesak.

Rindunya menyesakkan. Ingin menyentuh Orion seperti dulu lagi, tapi laki-laki itu telah membatasi diri.

"Aretha?! Ada apa dengan tanganmu?!" Orion berjalan cepat dan berlutut di bawah Aretha. Perhatiannya tertuju pada tangan sang istri yang tertutup perban. "Aretha?"

Wanita itu bergeming dengan panas pada mata yang dia tahan agar tidak luruh. Aretha suka Orion perhatian seperti ini. Namun, perhatian yang laki-laki itu beri semata-mata hanya karena ikatan yang masih ada di antara mereka. Bukan lagi seperti dulu-dulu, yang mana Orion akan sangat panik melihat sesuatu terjadi pada cintanya.

"Kenapa kamu diam?" Napas Orion terembus panjang ketika Aretha masih saja diam. "Aku tidak suka dengan diammu seperti ini, Aretha. Kamu bukan anak kecil yang harus kubujuk untuk menceritakan sesuatu. Tapi, jika kamu sungguh tidak mau mengatakannya, aku juga tidak akan memaksa."

Lalu Orion berdiri. Kakinya hendak melangkah, tapi urung, saat mendengar tawa kecil Aretha. Dahi Orion mengernyit, merasakan keanehan pada sang istri.

"Kamu benar-benar berubah, Orion ...." Mata Orion terpejam. Dia lelah jika harus membahas ini lagi. "Kamu dulu tidak akan pergi sebelum aku menceritakan apa yang sebenarnya membuatku sedih. Sekarang? Kamu hanya terlihat berbasa-basi memberiku perhatian."

"Aku hanya lelah," kilah Orion, sembari melonggarkan dasi kerjanya.

"Lelah mencari jalangmu itu?"

Sindiran Aretha refleks membuat Orion membalik tubuh. Seketika dada laki-laki itu bergemuruh. Melihat Aretha yang tersenyum sinis, Orion bertambah geram. Dengan gerakan cepat dia sudah berdiri di dekat wanita itu, lalu mencengkeram kuat rahang sang istri. Aretha terbalik, tidak menyangka mendapat perlakuan kasar seperti itu.

"Jangan memanggilnya jalang. Aku yang memperkosanya karena mabuk malam itu. Aku! Kamu dengar?! Dia bahkan masih perawan saat aku melakukannya berkali-kali malam itu. Jadi jangan pernah menghinanya lagi di depanku!"

Setelah selesai mengucapkan kata-kata tadi, Orion melepas kasar cengkeramannya. Dia berlalu tanpa menjeda langkah untuk sekadar mencari tahu apakah istrinya baik-baik saja. Dan tinggallah Aretha yang meringis diiringi tangis. Seharusnya dia memang tidak pernah membahas masa lalu Orion. Seharusnya dia bisa menahan amarahnya. Karena yang pada akhirnya Aretha dapati adalah hati yang tersakiti.

🍁🍁🍁

Deandra terpaku menatap pantulan dirinya pada cermin. Tangan kanannya mengusap pipi secara pelan, hanya untuk sekadar meyakinkan bahwa yang di cermin memanglah dirinya. Setelah beberapa menit, Deandra akhirnya yakin kalau dia tidak salah mengira.

"Itu memang wajahmu, Deandra. Apa kamu ragu?"

Suara dari arah belakangnya membuat Deandra gelagapan. Wajahnya yang bertabur pemerah pipi kini semakin merona. Darel bisa menangkap ekspresi senang itu. Mau tak mau dia tersenyum sembari membelai rambut Deandra yang kini hanya sampai sebatas dada.

"Deandra kenapa bisa jadi berubah seperti ini, Tuan?"

Darel tertawa kecil, lalu mengecup kepala belakang Deandra. Seketika wangi yang menggairahkan meliuk ke hidung laki-laki itu.

"Kamu tidak berubah, Deandra. Hanya saja kecantikanmu tertutupi selama ini. Dan sekarang karena uang, akhirnya kecantikanmu yang sebenarnya terlihat."

Darel benar. Deandra yang dulu terlihat kusam karena tidak terawat. Sekarang, penampilannya sangat berbeda. Wajah itu tampak segar dengan taburan make-up yang pas. Harus Deandra akui, dia suka dengan hasil pekerjaan orang-orang yang sejak berjam-jam lalu memberinya perawatan diri.

Bukan hanya Deandra, Darel pun puas melihat gadisnya sesuai dengan yang dia mau. Rambut yang tidak terlalu panjang, wajah yang terbalut riasan, kulit yang wangi, dan tentunya pakaian yang enak dilihat. Setengah hari menunggu gadis itu di salon, nyatanya tidak membuat Darel berpikir telah merugi. Pemandangan yang dia dapati sepadan dengan waktu dan uang yang telah dia korbankan.

"Mari pergi dari sini. Kita akan makan malam, lalu berbelanja baju untukmu."

Gadis itu sama sekali tidak membantah. Mereka pergi dari salon milik teman Darel dan makan malam di sebuah restoran. Deandra membiarkan Darel memesankan makanan, mempercayakan laki-laki itu secara sepenuhnya atas apa yang akan Deandra konsumsi. Dan Deandra memang tidak salah, laki-laki itu tentunya tidak mengecewakan lidah Deandra.

Usai makan malam, Deandra diajak ke sebuah butik. Seperti yang sebelumnya terjadi, Darel tidak menanyai gaun atau baju macam apa yang Deandra suka. Semuanya sudah diatur oleh Darel dan Deandra hanya cukup mencoba semua pakaian yang dibawakan untuknya.

"Ini banyak sekali, Tuan," keluh Deandra, karena mulai lelah. Dia sudah mencoba belasan pakaian.

"Karena kamu harus selalu tampil menawan untukku, Deandra." Darel berkata dengan tenang, dengan mata yang menyiratkan ketegasan.

Tidak ada sanggahan lagi, Deandra menuruti perkataan Darel, mencoba puluhan pakaian yang telah disediakan. Deandra akan mencatat sejarah dalam hidupnya ini. Karena dulu, jangankan membeli pakaian di toko mewah, bisa membeli ayam saja sudah sangat Deandra syukuri.

Mereka tiba di penthouse saat tengah malam. Gadis itu beberapa mengeluh mengatakan kakinya pegal mondar-mandir ke kamar ganti saat di butik tadi. Darel hanya menanggapi dengan tawa kecil. Dia merasa Deandra yang berani bicara seperti sekarang jauh lebih baik dibandingkan Deandra pendiam yang semalam dia bawa ke huniannya.

"Kamu tidak perlu merapikan semua pakaian ini. Besok seseorang akan datang untuk menata di lemari." Deandra mengangguk mengerti. "Sekarang ganti pakaianmu dan pergilah tidur."

Darel menyerahkan sebuah gaun malam berwarna putih. Awalnya Deandra ragu untuk mengambil, tapi akhirnya kini benda itu sudah ada di tangannya. Sambil menggosok gigi, Deandra terus memperhatikan dirinya di cermin. Dia mengasihini betapa malang dirinya tanpa seorang ibu. Deandra berusaha menahan tangis selama seharian, karena dia yakin, Darel akan selalu ada untuknya. Tangis sedih kehilangan ibu akan Deandra redam sebisa mungkin, menggantikannya dengan tawa dan senyum tulus untuk hari-hari barunya.

Deandra selesai membersihkan diri. Dia keluar dengan gaun malam yang sontak membuat fokus Darel pecah. Padahal, tadi laki-laki itu hendak mengirimkan pesan pada seseorang, tapi akhirnya urung karena tergoda akan pemandangan indah yang tersuguh.

Melangkah malu-malu, Deandra mencoba menyembunyikan kegugupan dalam tatapan tajam Darel. Gadis itu tidak mengerti, apakah penampilannya ada yang salah, hingga Darel hanya diam memperhatikan dirinya yang kini duduk di tepi ranjang. Bahkan Deandra hendak kembali ke kamar mandi, ingin mengganti gaun malam yang menerawang itu. Namun, Darel lebih dulu berdiri di sisinya.

"Kamu mau apa?"

"Mau berganti, Tuan," jawab Deandra dengan wajah tertunduk.

"Kenapa diganti?"

"Tuan sepertinya tidak suka."

Dalam hitungan detik setelahnya, tubuh Deandra terbaring di ranjang. Bukan karena dia tiba-tiba pingsan, tapi Darel-lah yang melakukannya. Gadis itu gugup ketika Darel mulai merangkak di atasnya. Kedua tangan laki-laki itu juga berada di sisi lengan Deandra, mengurung gadis itu penuh keintiman.

"Tu-tuan ...."

"Aku sangat suka gaun tidur di tubuhmu, Deandra. Terlalu suka, sampai-sampai aku ingin menyobeknya dengan tidak sabaran."

Kedua alis Deandra hampir bertautan, tidak paham antara korelasi suka dan ingin menyobek. Seharusnya kalau suka, tentunya dirawat dengan baik. Namun, Darel membuatnya bingung.

"Lain kali aku akan menunjukkan rasa sukaku terhadap gaun malammu. Untuk sekarang, biarkan aku menghirup wangimu saja."

Deandra pasrah dalam sentuhan Darel. Belaian Darel di kepalanya, di rambut, sentuhan di bibir, juga desah napas laki-laki itu akhirnya mengantarkan Deandra pada dunia mimpi.

Pagi hari ketika Deandra bangun, sayangnya yang dia temukan hanya secarik kertas di sisi ranjang.

Aku harap tidurmu nyenyak, Sayang. Satu sampai dua pekan ke depan aku tidak bisa datang. Tapi tenang saja, aku sudah menyiapkan segalanya untukmu. Kamu tidak akan kelaparan atau kesusahan selama aku tidak ada.

Ada perasaan aneh yang secara tiba-tiba merasuki dada Deandra. Kertas di tangannya dia tatap lama, sebelum akhirnya dia letakkan dan beranjak menuju dinding kaca. Matahari sudah memancarkan kehangatan di luar sana, tapi sayangnya Deandra merasakan hal lain. Dadanya sesak membayangkan Darel tak ada di sisinya.

Sepertinya ... Deandra merindu, meski tidak menyadarinya.

To be continued

Love from Bali♥️

Di part ini aku tuh pengen kalian tahu, bahwa Aretha juga sebenarnya tersakiti. Wkwkwk!

Jadi gini, part selanjutnya akan tayang hari Senin. Karena jadwal tayangnya aku bikin Senin dan Kamis. Tapiii, buat kalian yang mau aku update sebelum hari Senin, bolehlah minta 200 vote di tiap part. Deal, ya? 😘

Cocok ya jadi Deandra? Mungil, lugu, cute, dannnn begitulah. Hihihi

Biasa aja dong ekspresinya, Bang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro