17. Pelampiasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seharusnya pagi ini Darel sudah memenuhi janji pada Deandra. Sayang, Esther mengacaukan rencana tersebut melalui ajakan sarapan bersama dan meminta Darel menemaninya membeli beberapa pot bunga anggrek untuk meramaikan taman belakang rumah. Sudah memprioritaskan Esther sejak dulu, Darel pun kali ini memilih mengesampingkan perasaan Deandra. Lagi pula, menolak Esther hanya akan membuat Billy curiga.

“Rosella tidak mau ikut, katanya ingin istirahat di rumah. Apakah kamu membuatnya kelelahan semalam?”

“Bisakah Ibu membahas hal lain?”

“Bisa, asal kamu segera memberi cucu.”

Dapat Darel lihat bahwa mata sang ibu menyorotkan begitu banyak harapan. Tanpa bosan dan lelah, Esther bahkan Billy terus mendesak Darel agar segera memberikan cucu.

“Kenapa Ibu tidak meminta Kevin untuk segera menikah dan memberikan cucu? Itu lebih baik.”

Darel fokus mengemudi dan dengan sengaja enggan melirik sang ibu. Kalau mata mereka bertemu, Darel tidak sampai hati harus terus memberi alasan tentang belum adanya anak dalam pernikahan yang telah dibangun selama satu tahun.

“Adikmu itu belum bersedia menikah. Ibu tidak mau memaksa.”

“Aku juga tidak mau dipaksa, Bu.”

Kelepasan!

Merasa diperhatikan dengan tajam, Darel akhirnya menoleh pada Esther. Gigi-gigi ratanya sengaja dia perlihatkan untuk mencairkan suasana. Akan tetapi, terlambat. Wanita di sebelahnya sudah mendengar dan paham maksud Darel tadi.

“Memiliki anak kamu anggap keterpaksaan? Benar-benar tidak bermoral!”

Satu cubitan mendarat di lengan Darel. Sungguh, Darel merasa kesakitan, hingga mengaduh. Dia juga berdecak, kesal pada respons sang ibu yang tega main fisik. Padahal, laki-laki itu bisa berbuat lebih kejam dengan orang lain.

“Bukan seperti itu. Aku dan Rosella masih muda, kami belum ingin memiliki anak, Bu.”

“Lalu kapan kalian siap?”

Embusan napas Darel panjang dan berat. Perjalanan jadi terasa lama karena ibunya terus saja membicarakan hal yang sama. Untuk mengusir jenuh dari ocehan Esther, sesekali Darel melempar pandang ke luar kaca di sisinya. Jalan senggang, membuatnya dapat sedikit berleha-leha untuk fokus pada jalan di depan.

Tujuan mereka sudah dekat, Darel pun berharap kegiatan ibunya nanti cepat selesai. Dia ingin menepati janjinya pada Deandra untuk tiba di penthouse paling lambat saat jam makan siang.

“Darel ....”

“Apa lagi, Bu?”

Laki-laki itu mengira Esther akan kembali mengajak berdebat, tetapi dia salah. Sang ibu mengguncang lengan anaknya berulang-ulang dan segera menyuruh Darel untuk menepi.

Hendak melayangkan protes, tetapi telunjuk Esther yang mengarah pada satu titik di luar mobil telah menelan seluruh aksara Darel. Otaknya mendadak kosong atas sesuatu yang dilihatnya. Matanya seolah-olah tidak berkedip demi meyakinkan objek dia tangkap tidaklah salah.

“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?” tanya Darel pada diri sendiri.

“Pergi dan tolong dia. Ibu rasa semuanya tidak baik-baik saja.” Pandangan Darel jatuh pada wajah serius Esther. “Apa pun yang terjadi, Violet dan kamu pernah punya kisah indah. Tidak ada salahnya menolong orang kesusahan. Ibu akan berjalan ke toko tanaman itu. Bicara berdua denganmu pasti lebih nyaman untuknya saat ini.”

Tanpa menunggu persetujuan Darel, Esther keluar dari mobil dan berjalan menuju toko yang hanya berjarak kurang lebih dua ratus meter dari tempatnya berhenti tadi. Dalam keraguan, Darel akhirnya turun. Sejenak dipandanginya seorang perempuan berwajah lusuh yang terduduk di trotoar di seberang jalan. Ada sesuatu pada Violet, Darel tahu itu.

Meyakinkan diri untuk menghampiri sang mantan kekasih, Darel mulai berjalan. Kini, dia sudah berdiri tegak, sedangkan Violet diam, tidak menyadari kehadiran seseorang di sisinya.

“Violet, apa yang terjadi?”

Perempuan itu mendongak, lalu turunlah air matanya bak sungai mengalir deras. Belum lagi dia terisak-isak, yang menambah kepanikan Darel.

“Aku hancur, Darel,” ucap Violet di sela-sela tangis.

Meninggalkan seorang perempuan kacau di pinggir jalan bukanlah hal terpuji. Jadi, Darel memilih ikut masuk ke dalam kesedihan Violet dengan cara duduk di sampingnya dan menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Tangis perempuan itu kian menjadi dan Darel masih diam, membiarkan mantannya mencurahkan perasaan.

Sudah merasa Violet lebih tenang, Darel mulai melayangkan pertanyaan. Kenapa violet bisa seperti itu. Kenapa harus duduk di tepi jalan, sedangkan membawa mobil. Dan beberapa pertanyaan lain yang sama sekali tidak dibalas oleh perempuan itu.

“Apa kamu mau pergi ke suatu tempat?”

Gila! Darel meneriaki dirinya sendiri.

Sebuah dinding menjulang ada di antara mereka, tetapi Darel dengan sengaja malah ingin melewatinya. Dengan segala risiko yang sudah pasti, Darel tetap saja tidak bisa mengabaikan seseorang yang pernah bertakhta di hatinya.

Hubungan keduanya dulu berakhir begitu saja. Segala perasaan yang pernah menyiksa Darel, ternyata kini sudah tidak ada lagi. Alasannya ada di sini hanyalah sebagai wujud rasa kemanusiaan. Jantung itu tidak berdegup gila saat Violet ada di sisinya.

“Kita mau ke mana?” Violet bertanya lirih sembari sibuk mengusap wajah.
Kepalanya masih bersandar di dada Darel, hal yang tentunya bisa menimbulkan kesalahpahaman jika orang lain melihat.

“Ke hotel.”

Tidak membutuhkan waktu lama, Darel sudah bangkit bersama Violet. Lalu menyuruh perempuan itu masuk ke mobilnya dan duduk di kursi penumpang. Darel juga meminta kunci mobil Violet, agar seseorang nanti bisa mengantarkannya ke hotel tujuan mereka.

Bu, aku menyuruh seseorang untuk menjemput Ibu. Aku harus pergi bersama Violet.

My Queen:
Ya, pergilah.

Sudah mendapat izin, Darel segera menginjak pedal gas. Deru mesinnya beradu dengan waktu yang terus bergerak. Tidak ada percakapan apa pun di mobil. Air mata Violet terus mengalir tanpa diiringi isak, Darel mengulurkan tisu. Ya, hanya seperti itu saja adegan yang berlangsung sebelum mereka tiba di salah satu hotel milik keluarga Darel.

“Jika kamu terus diam, aku tidak akan mengerti masalahmu, Violet.”

Percakapan kembali dibuka oleh Darel. Sejak tadi matanya terus menelusuri fisik sang mantan. Tiga tahun lalu dan hari ini, Darel menyadari ada banyak perubahan terhadap perempuan di hadapannya. Lebih kurus dan terlihat tidak baik-baik saja adalah hal yang laki-laki itu tangkap.

“Suamiku berselingkuh, Darel. Selama tiga tahun dia masih saja bermain perempuan. Aku tidak tahan lagi. Dia juga sering memukuliku ketika bercinta.”

Isak yang tadi tak ada, kini memenuhi ruang. Kedua telapak tangan Violet menutupi wajah yang tertunduk. Helai demi helai rambut panjangnya bergerak pelan akibat tubuh yang berguncang karena tangis.

“Kalau itu masalahmu, aku tidak bisa membantu. Kamu bisa membawanya ke ranah hukum.”

“Tapi keluargaku menyuruh untuk mempertahankan pernikahan kami, Darel. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tolong aku, Darel.”

Pernikahan Violet bukanlah bagian yang bisa Darel jamah. Posisinya yang hanya sebagai mantan dan tidak termasuk anggota keluarga adalah batas yang tidak bisa dilanggar. Ikut campur dalam suatu hal yang tidak ada hubungan dengannya juga bukan hal yang baik.

“Itu bukan masalahku.” Dingin dan tegas. Violet seketika menatap Darel. “Pernikahanmu ada dalam kuasamu. Aku hanya orang lain yang tidak punya hak. Tolong jangan sampai kamu berpikiran bahwa aku akan berjuang untuk kebebasanmu, Violet. Apa yang aku lakukan hari ini hanya atas dasar kemanusiaan.”

Sudah jelas semuanya. Darel tidak ingin memberi harapan dan membiarkan Violet bergantung padanya. Kisah mereka sudah usai tiga tahun lalu. Pertemuan hari ini hanyalah penegas bahwa di antara mereka memang sudah tidak ada hal yang patut dibicarakan.

“Sekarang istirahatlah selama yang kamu mau.”

“Satu bantuan lagi, Darel, aku mohon. Tinggallah di sini sebentar, setidaknya sampai aku melupakan sedikit rasa sakitku ketika tidur.”

Melihat ketidakberdayaan Violet, Darel enggan langsung memberi penolakan. Melalui tatapan sayu itu, Darel memahami ada pengharapan di dalamnya.

“Aku butuh pelampiasan. Aku butuh peralihan dari rasa sakit ini, tapi aku tahu, memintamu memelukku terus-terusan juga tidak bisa. Tolong temani aku sebentar saja, Darel.”

Harus siapa pun akui, bahwa Darel mampu menjadi laki-laki dengan berbagai peran. Saat ini dia bahkan tidak menolak permintaan Violet. Dengan suara datar Darel menyuruh perempuan itu berbaring di ranjang, sedangkan dirinya tetap sofa.
Hari ini adalah tidak terduga untuk Darel. Pertemuan dengan sang mantan yang mengalami rumit pernikahan terdengar miris untuknya. Jika Darel juga terpaksa menikah, tetapi bedanya dialah si pemimpin permainan. Otaknya jadi lelah membayangkan kepelikan yang ada, hingga dia menutup mata dan jatuh dalam tidur.

🍁🍁🍁

Janji adalah utang. Utang adalah janji. Kalimat itu terus Deandra ulang di dalam hati. Baginya, lebih baik tidak usah menawarkan kata-kata manis jika hanya untuk dikecewakan. Hatinya kecewa, menanti Darel sedari pagi, tetapi hingga jam tujuh malam belum juga datang.
Bolak-balik memeriksa ponsel juga tidak ada gunanya bagi gadis itu. Tidak satu pun pesannya dibalas oleh Darel. Demi apa pun, Deandra ingin menangis karena kesal. Agustin bahkan kewalahan menghadapi Deandra yang mendadak jadi cerewet.

“Tuan sangat menyebalkan! Deandra kesal!”

Sudah berulang kali Agustin mencoba memberi pengertian kalau mungkin saja Darel sedang ada urusan. Berulang kali juga Deandra menyanggah, kalau seharusnya Darel ingat sudah membuat janji.

“Deandra mau ke kelab malam!” putus gadis itu.

Terang saja Agustin jadi terbelalak. Seorang Deandra yang lugu pergi ke kelab malam? Entah seperti apa jadinya.

“Sebaiknya kita tunggu Tuan Darel. Sangat bahaya pergi ke kelab malam, Nona.”

Persetan dengan kata bahaya. Deandra menulikan telinga ketika Agustin terus mengoceh di saat dirinya sedang mengganti pakaian. Pilihan Deandra jatuh pada gaun bunga-bunga dengan dasar putih. Tanpa bahu atau lengan, gaun itu memampangkan setengah bagian dada Deandra. Kulit putihnya terekspos dan menggugah untuk disentuh.

“Kalau kamu tidak mau pergi, biar Deandra saja! Katakan pada Tuan kalau dia datang, Deandra marah padanya!”

“Aduh, Nona.”

Berada dalam kegamangan sesaat, Agustin akhirnya mengikuti langkah Deandra yang menuruni anak tangga. Pergi bersama jauh lebih baik ketimbang membiarkan Deandra sendirian. Melepasnya seorang diri hanya seperti membiarkan seekor kelinci lepas di sarang ular. Ya, hanya keberuntungan saja jika Deandra selamat tanpa dimanfaatkan laki-laki hidung belang.

“Nona yakin mau pergi?”

Berharap Deandra mengubah keputusan, Agustin bertanya sekali lagi. Mudah saja membawa Deandra ke kelab malam. Ada mobil mewah dan uang berlimpah untuk gadis itu habiskan. Namun, Agustin khawatir kalau nanti Darel marah.

“Jangan cerewet, Agustin. Deandra bisa pergi sendiri kalau kamu tidak mau mengantar.”

Kalimat telak. Tanpa bertanya lagi, Agustin mulai melajukan mobil yang memang Darel khususkan untuk mengantar Deandra ke mana saja. Roda kendaraan itu terus berputar, membawa mereka pada sebuah kelab yang dari luarnya saja terlihat elegan.

Untuk beberapa detik, Deandra merasa ragu akan keputusannya. Namun, teringat bagaimana Darel membuatnya kecewa itu benar-benar menyakitkan. Deandra ingin menumpahkan marahnya dengan bersenang-senang melalui hal baru. Mau Darel marah atau mengamuk, Deandra tidak peduli.

Mereka sudah melewati pemeriksaan, kini ruang dengan pencahayaan remang-remang telah Deandra masuki. Gadis itu menelan ludah dengan susah payah, teringat dia pernah ada di tempat seperti ini dan hendak dijual waktu itu. Takut dan ragu, tetapi Deandra mengeraskan hati untuk tetap menghabiskan beberapa jam di sana.

“Nona sebaiknya minum jus saja,” saran Agustin.

Saran Agustin cukup bagus untuk Deandra yang sejak tadi duduk di meja bar sembari melihat-lihat gambar minuman yang namanya susah dia sebutkan. Namun seperti di awal, Deandra keras kepala ingin mencoba sesuatu yang baru dan sialnya langsung ditolak oleh Agustin.

“Jangan bercanda, Nona. Itu minuman keras. Nona bisa mabuk.”

“Biar saja, Agustin. Deandra mau coba.”

“Tidak boleh!” putus Agustin tegas.

Di antara bising musik yang menggetarkan ruangan dan pencahayaan remang, Deandra mengerucutkan bibir kesal. Segelas jus sungguh tersaji di hadapannya. Agustin benar-benar mengatur.
Dua perempuan itu duduk sembari menikmati jus. Mata-mata nakal sesekali terarah pada mereka. Ada yang terang-terangan menghampiri Deandra dan mengajak berkenalan. Dengan sigap Agustin mengusir dan mengatakan bahwa gadis itu sudah ada yang punya.

Deandra tidak memedulikan godaan-godaan yang datang menghampirinya. Pikirannya sibuk pada Darel yang menyebalkan. Agustin yang mengoceh di sebelahnya juga tidak dihiraukan.

“Tuan Darel menelepon,” beri tahu Agustin. Ponselnya bergetar sejak tadi dan dia baru menyadari.

Seperti tidak mendengar, Deandra tetap tidak bersuara. Jus itu dia aduk-aduk tanpa gairah, hingga tidak tahu Agustin sedikit menjauh untuk mencari sudut yang tidak terlalu berisik.

“Ya, Tuan.”

Di mana Deandra?! Ponselnya kuhubungi sejak tadi tidak dijawab!”

Laki-laki itu terdengar panik. Ya, wajar saja. Agustin ingat bahwa Deandra sengaja meninggalkan ponsel di penthouse.

“Kami—”

Kalian di kelab?! Sialan! Kelab mana?!”

Itu yang Agustin takutkan. Murkanya Darel entah bisa segila apa jika tahu sejak tadi ada saja yang menggoda Deandra. Dan sekarang laki-laki itu pasti sedang melajukan mobil bagai kesurupan setelah Agustin memberi tahu nama kelabnya.
Melangkah dengan kekhawatiran besar membayangkan Darel akan tiba, Agustin dibuat hendak tenggelam setelah sampai di bar. Mata perempuan itu mendelik mendapati lima gelas sloki di meja. Hal terparah adalah, Deandra yang jadi meracau tidak jelas dan senyum-senyum sendiri.

Matilah kamu, Agustin! Tuan Darel akan memecatmu karena tidak becus menjaga Nona!

Panik, Agustin segera meminta air mineral pada sang bartender dan mengambil potongan jeruk nipis yang ada di meja. Tangannya gemetaran ketika berusaha membuat Deandra minum air dan menelan perasan jeruk itu.

Sang bartender tampak tidak peduli pada kerisauan Agustin. Mau menyalahkan pun, perempuan itu tidak punya hak. Deandra membayar dan si bartender hanya menjalankan tugas. Akan tetapi, dirinya kini yang terlibat dalam masalah besar. Rasanya Agustin ingin dunia menelannya sekarang juga.

“Tuan Darel menyebalkan! Deandra benci!”

Gadis itu meracau sembari tertawa kecil. Duduknya pun sudah tidak tegak. Beberapa kali tubuhnya nyaris jatuh, kalau Agustin tidak menahan.

“Apa yang dia pesan tadi?” tanya Agustin pada sang bartender.

“Lima seloki tequila.”

Tequila untuk seorang pemula sangatlah buruk. Pantas saja Deandra langsung mabuk dan tidak bisa bicara normal. Agustin berharap tuannya segera datang dan membawa mereka pergi dari sana.

“Sadarlah, Nona.”

Pipi lembut Deandra ditepuk-tepuk oleh Agustin. Gadis itu tetap saja meracau dan sesekali menggeleng tidak keruan.

“Dia mabuk?!”

Suara berat itu sontak mengalihkan fokus Agustin. Darel sudah berdiri di belakangnya dengan raut wajah tak bisa ditebak.

“Ma-maaf, Tuan. Saya hanya meninggalkannya sebentar untuk menerima panggilan Tuan.”

Suara Agustin berlalu begitu saja untuk Darel. Disentuhnya lengan Deandra, tapi seketika ditepis oleh gadis itu.

“Tuan jahat! Pergiii!”

“Deandra, kamu membuat kesabaranku habis.”

Agustin seketika merinding melihat tatapan mematikan Darel. Lebih merinding lagi saat sang tuan menguasai tubuh Deandra dalam dekapannya untuk dibawa ke mobil. Tanpa henti gadis itu terus meracau dan mengatai Darel dengan sangat keras. Orang-orang tentunya melihat mereka, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli.

“Pergilah ke tempat lain dan kembalilah besok sore. Aku ingin berdua dengan Deandra.”

Berani menolak, habislah nyawa Agustin. Jadi, dia memilih jalan aman dengan mengiyakan perintah Darel.

“Dan untukmu, Deandra. Aku akan menunjukkan bagaimana kamu sudah menghabiskan kesabaranku malam ini.”
Lalu Darel meninggalkan kelab itu dan menuju penthouse dengan tidak sabaran.

To be continued

Apakah kalian bisa menebak part selanjutnya kayak gimana? Ya! Adegan yang kalian tunggu-tunggu antara Darel dan Deandra. 😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro