18. Melewati Batas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

21+!!!!!!!!!!!

Akibat jarang tidur siang, Darel jadi kebablasan. Pukul 7 malam dia baru terbangun dengan suasana kamar hotel yang gelap. Memindai sekeliling setelah menghidupkan lampu, dia tidak menemukan Violet. Dan secarik kertas di ranjang memberi jawaban untuk Darel.
Mantannya sudah pergi dan mengucapkan terima kasih atas bantuan tadi. Sayangnya, Darel melupakan sesuatu, hingga dia buru-buru meninggalkan hotel dan berusaha menghubungi Deandra terus-menerus.

Cemas dan marah berbaur jadi satu ketika dia tahu Agustin dan Deandra berada di kelab. Bahkan, kemarahan itu masih dia bawa ketika sampai di penthouse bersama Deandra yang masih mabuk. Gadis itu telah menghabiskan kesabaran Darel dan mungkin sebentar lagi hukuman akan Deandra dapatkan.

“Tuan berbohong pada Deandra. Tuan mengingkari janji. Tuan jahat!” racau Deandra.

Kesalahan utama memang ada pada Darel yang tidak menepati janji. Kalau saja Deandra tetap di penthouse dan tidak berulah, Darel akan menebus kesalahannya. Namun, sekarang, laki-laki itu telanjur marah. Dengan langkah tergesa dia membopong Deandra ke kamar mandi. Lalu menurunkan gadis itu di bawah shower menyala.

“Ah, basah!”

Desahan kecil itu kian mematik hasrat Darel yang telah menyulut sejak tadi. Melihat Deandra yang tertawa sembari melompat-lompat kecil di bawah air juga telah memusnahkan sisa pikiran jernih Darel. Tubuh yang halus dan basah itu menggoda untuk dicumbu.

“Deandra.”

Berat dan agak serak, suara Darel sedikit membuktikan bahwa dirinya tengah menahan sesuatu. Matanya masih mengawasi dalam diam bagaimana gadis itu menikmati ketidaksadaran dengan riang. Lantas beberapa detik setelahnya, Darel menanggalkan kaus putih yang melekat di tubuhnya.

“Mungkin setelah ini kamu lebih membenciku, Deandra, tapi terserah. Kamu yang memulainya dan membuatku hampir gila menahan ini.”

Darel berkata pada dirinya sendiri sebelum mendekap Deandra dari belakang. Air hangat kini membasahi tubuh mereka berdua. Dalam dekapan Darel, Deandra meronta-ronta minta dilepaskan.

“Jangan peluk Deandra!” larangnya dengan suara tegas.

“Lalu kamu mau dipeluk laki-laki bajingan di luar sana?” Darel berbisik seraya menggerakkan jari di bahu terbuka Deandra.

“Tuan!”

Sekali lagi Deandra menjerit. Tampaknya kesadaran gadis itu mulai hadir, karena wajahnya menggambarkan rasa kecewa dan kesal di saat bersamaan. Bisa jadi kucuran air hangat yang membantunya cepat sadar.

“Panggil namaku dengan lembut, Deandra.”

“Tuan menyebalkan sekali!”

Kesedihan terdengar jelas dari suara Deandra. Dia masih meronta-ronta, tetapi Darel enggan melepaskan. Tubuh Deandra bahkan kini didorong agar menempel pada dinding kamar mandi, sedangkan Darel tetap memeluknya dari belakang.

“Tuan mau apa?!”

“Sepertinya kamu sudah tidak mabuk, Deandra. Sangat bagus bercinta dalam keadaan sadar.”

Kecupan bertubi mendarat di tengkuk juga bahu Deandra. Gadis itu melenguh sekaligus mendesah penuh gairah karena tidak bisa menahan sentuhan Darel. Kecupan penuh kelembutan disertai desir aneh yang menjalari hati, kian membuat Deandra tidak berdaya.

“Menyentuhmu seperti ini adalah hal yang selalu aku hindari. Tapi malam ini kamu membuatku melewati batas,” bisik Darel sebelum menjilat dan menggigit pelan telinga Deandra.

Hanya sebatas desahan yang keluar dari mulut Deandra ketika Darel menciumi tubuh bagian belakangnya lebih gencar. Gadis itu berusaha berpegangan dengan baik pada dinding kaca, agar tidak jatuh. Kakinya sudah lemas dan bergetar sejak tadi. Sentuhan dan sensasi itu membuatnya merasa terbang di ruang bebas. Pusing akibat minuman tadi juga memberi efek ringan untuk tubuhnya.

“Kamu menawariku untuk bercinta malam itu. Sekarang mari kita lakukan secara nyata.”

“A-apa?” desis Deandra terkejut.

Namun, Darel tidak mengindahkan keterkejutan gadisnya. Jari-jari besar itu mulai bekerja, menyelusup ke balik gaun Deandra yang seketika membuat gadis itu menjerit.

“Tu-tuan ....”

“Aku suka suaramu, Deandra.”

Entah apa yang sebenarnya Deandra inginkan. Dia ingin berhenti dan lari, tetapi dia juga menikmati bagaimana bibir dan jari Darel menyentuhnya pada bagian yang tepat. Dia ingin protes, tapi lidahnya seakan-akan ingin berkata lakukan lagi yang lebih dari ini.

Pada detik dia tidak menolak Darel yang menawarinya segala macam kemewahan, Deandra seharusnya sadar bahwa dia telah memilih lubang. Lubang yang menjadi tempat berlindung sekaligus mengancamnya. Tidak ada waktu dan kesempatan untuk berlari. Deandra terjebak bersama Darel di dalam lubang lain yang bernama nikmat sekaligus salah.

Jeritan Deandra memenuhi ruang saat Darel memberinya sentuhan yang lebih dalam. Air matanya menetes atas rasa perih yang diakibatkan oleh Darel. Deru napas laki-laki yang tengah menguasai tubuhnya terdengar menyakitkan, tetapi juga menyenangkan.
Dari geraman dan desahan laki-laki itu, Deandra tahu  baru saja telah memberikan sesuatu yang menyenangkan dan berharga. Diserahkan pada Darel tanpa perlawanan, Deandra sendiri kebingungan bagaimana menikmati rasa sakit itu untuk saat ini.

“Tuan, sakit sekali.”

Rintihan Deandra tidak berarti apa-apa bagi Darel yang tengah menggila. Sentuhannya tidak kasar sama sekali, terkesan pelan dan tidak ingin menyakiti. Dengan itu pula, dia mengabaikan air mata gadisnya yang terus menetes. Menikmati tubuh yang baru terjamah tanpa mau memikirkan hal lainnya. Membiarkan Deandra dengan posisi sedikit bungkuk dan kaki yang terbuka lebar adalah imajinasi Darel sejak lama.

Malam ini segala pikiran kotor laki-laki itu terwujud. Tidak ada celah untuk Deandra menghentikan aktivitas Darel. Meski kakinya sudah lemah untuk berpijak, laki-laki itu tahu bagaimana cara menopang tubuh gadisnya tanpa harus memutus sentuhan.

“Yang pertama memang selalu sakit, Deandra. Yang kedua dan seterusnya, kamu akan menikmatinya juga.”

Mulut Deandra terbungkam oleh ciuman lembut Darel. Tubuh gadis itu dalam kuasa penuh sang tuan. Desahan dan lenguhan memenuhi ruang kaca tersebut. Dari pantulan kaca, Deandra juga bisa melihat bagaimana ekspresi Darel yang sangat serius berpadu kenikmatan. Sementara dirinya sendiri, terlihat kacau dengan gaun yang masih melekat di tubuh, tetapi sudah melorot hingga ke perut.

“Kamu membuatku gila, Deandra. Aku tidak bisa berhenti.”

Giliran Darel yang meracau. Gerakannya semakin liar, tetapi kembali melembut ketika mendengar Deandra menjerit keras.

“Panggil namaku,” bisik Darel.

Bibir yang tadinya digigit kuat, kini perlahan-lahan Deandra lepaskan. Mulutnya sudah sedikit terbuka, hendak bersuara. Dia ragu, haruskah menuruti Darel? Namun, bukankah yang dia lakukan sejak pertama kali memang menurut?

Mungkin Deandra lupa kalau tidak diingatkan, bahwa jalan yang dia pijaki setelah malam di kelab itu sepenuhnya berdasarkan keputusan Darel. Segalanya diatur oleh laki-laki itu. Kalau saja Deandra ingat, sesungguhnya tidak ada ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Dia terikat pada Darel yang berkuasa.

Bagai budak yang hanya akan bertindak atas perintah tuannya, mungkin Deandra bisa diibaratkan seperti itu. Memang kebebasan apa yang Deandra punya sejak bersama Darel kecuali kebebasan membeli barang-barang mahal? Sekadar melampiaskan amarah malam ini pun Deandra tidak berhak, karena Darel tidak suka dan malah memberitahunya akibat dari tindakan tersebut.

“Tuan ....”

Menurut sekali lagi bagi Deandra tidak ada salahnya. Bukankah Darel juga telah memberi banyak hal untuk Deandra?

“Panggil namaku dengan benar, Deandra.”

Darel bergerak semakin cepat, membuat Deandra ingin menuruti tuannya dengan segera atas desakan yang makin keras di bagian bawah sana.

“Da-Darel?” panggil Deandra ragu.
“Katakan lagi, Deandra.”

“Darel ....” Panggilan yang lemah disertai berbagai perasaan aneh untuk Deandra.

Sekali lagi Deandra menurut. Lalu geraman panjang terdengar dari Darel. Sebuah penutupan aktivitas yang mengakibatkan Deandra ingin terjatuh lemas di lantai. Namun, ada Darel yang memeluk tubuh itu begitu erat, tanpa berniat untuk membiarkannya terjatuh sendiri.

Masih dengan napas tersengal-sengal, Darel hanya mendekap Deandra di bawah pancuran air yang kembali dinyalakan setelah tadi sempat dimatikan. Suara air jatuh mengisi kesunyian di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran dan rasa masing-masing.

“Aku tahu sudah melewati batas dan aku tidak berniat untuk melepasmu setelah ini, Deandra. Kamu hanya akan menjadi gadisku.”

Itu sebuah perintah dan keputusan, Deandra sama sekali tidak perlu menjawabnya. Mau menolak pun, Darel akan kembali memenangkan perdebatan. Jadi, untuk apa Deandra membuang tenaga membicarakan hal yang tidak perlu akan pendapatnya sendiri?
Air mata gadis itu kembali menetes, bukan karena nyeri di pangkal pahanya, atau cengkeraman erat Darel di bokongnya tadi. Deandra sendiri tidak tahu untuk apa dia menangis, meski Darel masih mendekapnya erat.

🍁🍁🍁

Bercinta dengan Darel adalah mimpi buruk, itu yang Deandra pikir ketika matanya mulai terbuka di pagi hari. Namun, ketika merasakan lengan seseorang ada di perutnya yang tertutup selimut, Deandra mengerti kalau kejadian semalam nyata. Rasa sakit yang terlalu pada pangkal paha itu juga menampar wajah Deandra, bahwa dia telah kehilangan sesuatu.

“Selamat pagi.”

Kepala gadis itu menoleh cepat ke sisi kiri. Ada Darel yang memberinya senyum menawan di pagi hari. Ingatan Deandra kemudian datang secara berdesak-desakan, berusaha memenuhi kepalanya dengan kenangan tadi malam.
Pening akibat mabuk semalam baru dia rasakan dengan jelas pagi ini. Perutnya bergejolak hebat dan Deandra tidak mampu menahan hanya untuk membalas sapaan sang tuan. Kaki kecilnya berlari menuju kamar mandi, mengabaikan rasa perih dan Darel yang tangannya dia sentak kasar.

Cairan berwarna kuning dimuntahkan oleh Deandra, menyisakan kerongkongan yang mendadak terasa pahit dan sakit. Hendak kembali ke kamar setelah mencuci mulut dan membasuh wajah, Darel datang seraya membawa minyak angin.

“Aku akan memakaikannya di punggung juga perutmu, agar merasa lebih baik.”

Hendak mencegah Darel yang kini membuka tali pengikat kimono tidurnya, tetapi Deandra ingat bahwa semalam seluruh tubuhnya telah dilihat oleh Darel. Lalu apa gunanya untuk menolak? Deandra hanyalah si penurut yang kini jadi pendiam saat jari-jari besar Darel bergerak di kulitnya.

Penuh perhatian, Deandra menyadari hal itu pada diri Darel. Tubuhnya yang diangkat penuh kehati-hatian untuk kembali berbaring di ranjang seolah-olah menandakan bahwa Darel tahu Deandra kesulitan berjalan. Sesuatu seperti meluruh dari diri gadis itu saat matanya bertatapan dengan sang tuan.

Ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Darel pun belum membuka lagi percakapan mereka. Dia duduk dalam diam di samping Deandra yang terlihat lusuh pagi ini. Wajah itu tidak merona seperti mentari pagi. Mungkin karena efek mabuk semalam. Atau bisa jadi karena bayangan sialan semalam yang tak bisa dia enyahkan.

“Untuk yang semalam, aku tidak akan meminta maaf.”

Asshole. Makian itu tentu saja cocok untuk Darel yang telah merenggut kegadisan Deandra, tetapi dengan terang-terangan enggan meminta maaf. Entah hatinya terbuat dari apa, hingga sanggup menyerukan kalimat tadi. Kalau saja Deandra punya kekuatan salah satu pahlawan super, mungkin dia sudah menendang bokong Darel dan berakhir di Segitiga Bermuda.

“Aku melakukannya dengan sadar, karena aku memang menginginkanmu, Deandra.”

Belum ada suara dari Deandra. Matanya masih sibuk menelusuri bentuk sempurna wajah Darel yang semalam menguasainya secara utuh. Napas gadis itu kemudian terhela panjang, memberi tanda bahwa ada berat yang dirasa.

“Aku tidak bisa membayangkan kalau semalam laki-laki lain menyentuhmu di kelab. Tubuhmu hanya boleh untukku dan meski untuk itu, aku sudah melanggar prinsip yang selama ini aku pegang.”

“Prinsip?” Deandra mulai tertarik untuk menjawab.

“Ya.” Tangan Darel menggenggam jemari Deandra, lalu mengecupnya. “Bercinta dengan gadis di bawah delapan belas tahun itu bagiku tidak manusiawi.”

“Tapi Tuan melakukannya.”

“Benar. Untuk itu aku tidak ingin melepasmu, karena kamu sudah kumiliki. Kamu terlalu menggoda semalam, hingga aku tidak sanggup lagi menahan diri.”

Getar dalam dirinya tidak ingin Deandra cegah. Genggaman Darel juga dia lepas secara paksa tanpa kata. Otaknya mendadak hanya dipenuhi oleh kalimat-kalimat yang sang tuan luncurkan tadi.

Kalau memiliki hanya diputuskan berdasarkan telah meniduri, apa jika tidak melakukannya lagi kepemilikan juga akan terhenti? Deandra tidak mengerti dirinya sedang berdiri di titik apa saat ini. Darel mendeklarasikan kepemilikan atas dirinya, tetapi Deandra sendiri tidak bisa melakukan itu. Rosella-lah pemilik Darel yang resmi.

Antara senang dan bimbang. Gadis mana yang tak akan jatuh pada pesona Darel? Bahkan Deandra tidak menampik jika dia pun meleleh atas segala perlakuan manis Darel. Dan dari semua ingatan bagus tentang laki-laki itu, Deandra harus terbangun dengan sebuah fakta, bahwa dia hanyalah orang ketiga.

Kehadirannya tidak pada waktu yang tepat, hingga harus terjebak dalam pernikahan Darel serta Rosella. Dia terlalu muda untuk bisa memikirkan segala risiko yang ada. Kejamnya sangsi sosial atas perempuan yang menyandang status perusak hubungan orang pun belum pernah Deandra bayangkan.

Berhenti di sini, bisa jadi sebenarnya itulah yang terbaik untuknya. Namun, Deandra terlalu takut melangkah sendiri setelah segala yang dia alami. Dia pernah terjatuh, lalu Darel mengulurkan tangan dan membantu berdiri. Jadi, untuk memutuskan ikatan dengan Darel meski tahu salah, Deandra belum mampu.
Hatinya telah terpaut pada laki-laki itu. Deandra membiarkan dirinya terikat oleh tali tak kasat mata. Mau berlari sejauh mana, tentu Darel mampu menariknya lagi. Kecuali, jika tali itu terputus habis.

“Deandra bingung.”

Merasa berpandangan dengan Darel kian meruntuhkan hati, Deandra memalingkan wajah, sekaligus membalik tubuh. Darel yang ada di belakangnya dengan segera ikut berbaring, lalu mendekap tubuh sang gadis.

“Jangan bingung. Aku bersamamu, Deandra. Kamu tidak akan pernah aku biarkan jatuh. Cukup selalu jadi gadisku yang penurut, maka kita akan terus bersama.”

Semua aksara yang telah Deandra rangkai kembali terpendam saat merasakan sentuhan Darel di tengkuknya. Buai indah laki-laki itu membinasakan sedikit kesadaran yang sempat menghampiri Deandra tadi. Lembut rayuan Darel dan gairahnya dalam mencumbu Deandra, menelan habis akal jernih sang gadis.

Dalam sentuhan yang tidak bisa dia tolak, Deandra memasrahkan diri dikuasi oleh Darel sekali lagi. Rona merah di wajahnya menjalar dengan cepat melihat secara nyata dan jelas sesuatu yang telah mengoyak dirinya semalam.

Untuk menelan ludah pun Deandra kesusahan, tetapi Darel tahu bagaimana cara agar gadisnya mulai terbiasa. Mereka berciuman dengan lembut dan bergairah di tengah usaha Darel memberi sentuhan lebih. Gadis itu mencengkeram erat seprai karena sekali lagi rasa itu memenuhi intinya.

Erangan Deandra tertahan sebab Darel masih menguasai bibir itu. Lamat-lamat, Deandra memindahkan tangannya dan mencengkeram lengan Darel yang berotot. Matanya memejam rapat di antara rasa sakit yang kini berubah menjadi ... nikmat.

“Aku berjanji yang kedua ini akan membuatmu mendesah dan mengerang nikmat, Deandra,” bisik Darel tanpa menjauhkan wajah setelah berciuman.

Dan Darel sungguh-sungguh menepati janji. Senyumnya melebar mendapati Deandra yang kelelahan setelah berhasil mendapatkan pelepasan pertama disertai desahan panjang.

To be continued

Selamat pagi dengan diawali bacaan yang uwuww 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro